Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelin Saulinggi
"Latar belakang: Provinsi Maluku dilanda konflik berkekerasan sejak awal tahun 1999. Hal ini mendorong ribuan orang untuk mengungsi mencari tempat yang Iebih aman. Tinggal di tempat pengungsian sering menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Menurut kepustakaan timbulnya gangguan mental pada pengungsi berhubungan dengan faktor risiko dan pengalaman traumatik yang pemah dialami, serta masalah psikososial yang dihadapi selama di pengungsian. Penelitian dilakukan untuk melihat prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang dengan sampel sebanyak 214 pengungsi berusia 18 - 65 tahun yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon selama bulan Februari - Maret 2006. Data sosiodemografik dan data pengalaman traumatik dan pengungsian diperoleh melalui kuesioner. Data mengenai gangguan mental diperoleh dengan menggunakan instrumen MINI-ICD-10. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS-13.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 30,4% responden mengalami gangguan mental, dengan prevalensi terbanyak ialah gangguan yang berhubungan dengan penggunaan alkohol, diikuti gangguan depresi, gangguan cemas menyeluruh, gangguan distimia, episode manik, episode manik yang berkomorbid dengan ketergantungan alkohol, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan depresi yang berkomorbid dengan gangguan lainnya. Saat dilakukan analisis bivariat dan multivariat, ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin dengan terjadinya gangguan mental. Untuk analisis multivariat diperoleh p: 0,07 dan OR: 2,4 untuk variabel usia dan untuk variabel jenis kelamin p: 0,08 dan OR: 0,4.
Kesimpulan: Prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon sedikit lebih tinggi dari populasi normal, namun lebih rendah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pengungsi di tempat lain. Hal ini disebabkan keterbatasan instrumen yang digunakan, serta pelaksanaan penelitian jauh setelah kerusuhan terjadi.

Background: Maluku province had riot and conflict since early of 1999 which encouraged thousand of people to move and find a safer place. Living in refugee wards often cause uncomfortable feeling and extended trauma. According to literature source, mental disorders in refugees are related to risk factors, suffered traumatic experiences, and psychosocial problems during their daily live in refugee ward. This study was conducted to recognize the prevalence of mental disorder in adult refugees who lived in refugee wards of Ambon city.
Methods: This study was a descriptive study with cross-sectional design. The sample were 214 refugees aged 18 - 65 years old who lived in refugees wards of Ambon city during February - March 2006 period. Sosiodemographic data and data of traumatic experiences and refugee were obtained from questioners. Data of mental disorder was obtained by using MINI-KO-10 instrument. Results were analyzed by using program of SP55-13.
Results: The study results indicated there were 30.4% subjects with mental disorder. The most common prevalence was mental disorder related to alcohol abuse and followed by depression disorder, generalized anxiety disorder, dystimia disorder, manic episodes, manic episodes with co morbidity of alcohol dependence, post-traumatic stress disorder, and depression disorder with co morbidity of other disorders. By using bivariate and multivariate analysis, there was significant association between age and gender with mental disorder. For multivariate analysis, there were p: 0.07 and OR: 2.4 for the age variable and p: 0.08 and OR: 0.4 for gender variable.
Conclusions: The prevalence of mental disorder in refugees who lived in refugee wards of Ambon city is slightly higher than normal population, but it is lower than previous studies in other refugee wards. This is caused by limitation of instrument utilized and timing of study, i.e. the study was conducted long after the riot and conflict occurred.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widayanti Dewi Wulandari
"Obyektif: Untuk menilai kualitas hidup pada pasien dengan penyakit kronis, WHO mengembangkan instrumen penilaian kualitas hidup yaitu WHOQOL-100 yang terdiri dari 100 butir pertanyaan dalam 6 domain dan 24 facet. Untuk kepentingan kepraktisan dikembangkan pula versi singkatnya yaitu WHOQOL-BREF yang terdiri dari 26 pertanyaan dalam 4 domain. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF stabil dan terpercaya dalam menilai kualitas hidup pada pasien yang berobat jalan di RSCM.
Metode: Responden adalah pasien yang didiagnosis menderita penyakit kronis dan sedang berobat jalan di poli rawat jalan RSCM dan petugas kesehatan (perawat, pegawai dan residers) yang bertugas di RSCM. Validasi dilakukan dengan menguji Discriminant Validity dengan r test, sensitivitas, spesifisitas dan akurasi menggunakan Analisis Diskriminan, dan Analisis Faktor menggunakan Principal Componen Analysis. Untuk mengetahui reliabilitas dilakukan uji Cronbach 's alpha untuk memperkirakan internal consistency dan Test-Retest menggunakan Pearson 's r correlation.
Hasil: Hasil uji sentivitas, spesifitas menunjukkan hasil yang cukup valid sedangkan pada Analisis Faktor terdapat 15 pertanyaan yang berkorelasi lemah pada WHOQOL-100 dan pada WHOQOL-BREF 9 pertanyaan. Uji Cronbach's alpha menghasilkan internal consistency seperti yang diharapkan. yaitu antara 0,6138-0,7808 untuk WHOQOLBREF dan 0,6320-0,8190 untuk WHOQOL-100 Test-Retest menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara test dan retest. Sedangkan pada t-test menunjukkan perbedaan yang bermakna antara pasien dan orang sehat, kecuali pada domain spiritual.
Kesimpulan: WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF valid dan terpercaya namun ada beberapa pertanyaan yang perlu diperbaiki, terutama pads tats bahasa agar mudah dipahami.

Objective: To assess quality of life in chronically ill patients, WHO developed an instrument which is called WHOQOL-100 contain 100 items of questions in 6 domain and 24 facets. For practical purpose an abbreviated 26 item and 4 domain instrument, the WHOQOL-BREF has been developed. The aim of this research is to analyze the reliability and validity of the WHOQOL-100 and WHOQOL-BREF in assessing the quality of life of patients Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: Respondents consist of the chronically ill ambulatory patients who came to Cipto Mangunkusumo Hospital and hospital personnel (paramedics, administrative and the residents) who are on duty in RSCM. Data analyses were carried out using SPSS 11.0. To analyze the validity, the Discriminant validity determined via t-test. For sensitivity, specificity and accuracy determined via Discriminant Analysis and Confirmatory Factor Analysis of the items was carried out using Principal Component Analysis. To analyze the reliability we uses Cronbach's alpha to estimate the internal consistency, and for test-retest we use Pearson's r correlation.
Result: The sensitivity, specificity and accuracy show good validity, even though there are 15 questions which have low correlation in WHOQOL-100 and 9 questions in WHOQOL-BREF. Cronbach's alpha show good internal consistency in the range 0.6138-0.7808 for the WHOQOL-BREF and 0.6320-0.8190 for the WHOQOL-100. For test-retest there is no significant difference between test and retest. And for t test there is significant difference between patients and health persons, except for spiritual domain.
Discussion; WHOQOL-100 and WHOQOL-BREF are valid and reliable, even though there are several questions that have to be' reviewed' especially in connotation to make the questions more comprehensible for Indonesians."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Azhari Cahyadi Nurdin
"Stigma merupakan salah satu masalah psikososial pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang menimbulkan dampak negatif karena dapat menghalangi ODHA untuk mencari pertolongan konseling, mendapatkan pelayanan medis dan psikososial, serta mengambil langkah preventif untuk mencegah penularan ke orang lain. Stigma yang diinternalisasi (perceived stigma) juga berhubungan dengan depresi, menurunnya kualitas hidup, serta buruknya adherens terapi pada ODHA.
Berger HIV Stigma Scale merupakan intrumen yang digunakan untuk mengukur perceived stigma pada ODHA. Pada penelitian ini dilakukan uji validitas (kesahihan) dan reliabilitas (kehandalan) instrumen Berger HIV Stigma Scale versi Bahasa Indonesia serta penyusunan versi singkat instrumen tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen Berger HIV Stigma Scale sahih dan handal dalam menilai perceived stigma pada populasi ODHA di Indonesia. Versi singkat instrumen juga memiliki kehandalan yang baik dan skornya berkorelasi kuat dengan versi lengkap instrumen.

Stigma is one of the psychosocial problems in people living with HIV/AIDS (PLWHA) which generates negative impacts because it prevents them from seeking counseling, getting medical and psychosocial service, and taking steps to prevent transmission to others. Internalized stigma (perceived stigma) is also associated with depression, decreased quality of life, and poor adherence to therapy in PLWHA.
Berger HIV Stigma Scale is an instrument for measure perceived stigma in PLWHA. In this study, we perform validity and reliability testing of Indonesian version of Berger HIV and abridge this instrument.
The results of this study indicate that Berger HIV Stigma Scale valid and reliable in measuring perceived stigma in PLWHA population in Indonesia. Abridged version of that instrument also has good reliability and its scores strongly correlated with the full version of the instrument.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T59118
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Pangeran Ericson Arthur
"Latar Belakang: Salah satu domain kognisi sosial yang mengalami defisit pada pasien Skizofrenia adalah rekognisi emosi. Defisit rekognisi emosi negatif, seperti defisit emosi takut, marah, dan sedih sudah ada pada episode pertama Skizofrenia. Musik sebagai terapi diketahui bermanfaat bagi perbaikan emosi, juga terkait pengalaman emosi pasien dengan Skizofrenia. Penelitian ini akan menilai validitas dan efektivitas sebuah modul terapi musik “rekognisi emosi dalam perbaikan rekognisi berbagai emosi dasar pada pasien dengan skizofrenia.
Metode: Penelitian Dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap I berupa pembuatan modul terapi musik oleh peneliti dan uji validitas isi modul oleh 5 orang ahli musik dan 3 psikiater untuk dinilai I-CVI, S-CVI dan CVR. Tahap II berupa pelaksanaan modul terapi musik. Penelitian berupa studi kuasi eksperimental kepada 15 subjek pasien skizofrenia remisi yang mengikuti terapi musik sebanyak 10 sesi dari bulan Maret 2020 hingga Juli 2020. Subjek dinilai hasil pra dan pasca uji terapi musik untuk melihat perbaikan pengenalan 5 emosi dasar (senang, sedih, marah, takut, tenang) menggunakan uji statistik Mcnemar. Dilakukan juga uji reliabilitas inter-rater untuk pelaksanaan modul.
Hasil: Hasil uji validitas modul terapi musik rekognisi emosi menunjukkan nilai mean I-CVI sebesar 0,98, S-CVI sebesar 0,95, dan CVR 0,97. Pada uji efektivitas modul terapi musik, terdapat perbaikan bermakna dari defisit emosi takut dan marah, dengan peningkatan skor uji pra dan pasca terapi musik dengan nilai p-value < 0.05 pada kategori emosi marah dan takut, namun tidak bermakna pada kategori emosi senang,sedih, dan takut (p-value >0.05) Didapatkan 2 dari 15 subjek drop out. Pada uji reliabilitas inter-rater secara kualitatif, didapatkan keandalan dari modul terapi musik rekognisi emosi dengan aktivitas setiap sesi lebih dari 80% yang sesuai dengan isi modul.
Simpulan: Modul terapi musik rekognisi emosi memiliki validitas isi, reliabilitas, dan juga efektivitas pada rekognisi emosi beberapa emosi dasar pasien skizofrenia remisi terutama rekognisi emosi takut dan marah.

Background: One of the deficit domains of social cognition in schizophrenia patients is emotional recognition. Negative emotional recognition deficits, such as emotional deficits of fear, anger, and sadness already exist in the first episode of schizophrenia. Music as therapy is known to be beneficial for emotional improvement, as well as the emotional experience of patients with schizophrenia. This study will assess the validity and effectiveness of a music therapy module “emotion recognition in improving recognition of basic emotions in patients with schizophrenia.
Methods: The research was conducted in 2 steps, namely step I in the form of creating a music therapy module by the researcher and music therapist and testing the validity of the module content by 5 music experts and 3 psychiatrists to assess I-CVI, S-CVI, and CVR. Step II in the form of implementing the music therapy module. Research in the form of a quasi-experimental study on 15 subjects of schizophrenic remission patients who attended music therapy for 10 sessions from March 2020 to July 2020. Subjects were assessed pre and post music therapy test results to see improvements in recognition of 5 basic emotions (happy, sad, angry, afraid, calm) using the Mcnemar statistical test. Inter-rater reliability tests were also carried out for module implementation.
Results: The results of the validity test of the emotion recognition music therapy module showed a mean I-CVI of 0.98, S-CVI of 0.95, and CVR of 0.97. In the music therapy module effectiveness test, there was a significant improvement in the emotional deficits of fear and anger, with an increase in the pre and post music therapy test scores with a p-value <0.05 in the anger and fear categories, but not significant in the happy, sad, and happy emotions. and fear (p-value> 0.05) Obtained 2 out of 15 subjects dropped out. In the qualitative inter-rater reliability test, the improvement of the emotion recognition music therapy module with the activity of each session was more than 80% according to the module content.
Conclusion: Emotion recognition music therapy module has content validity, reliability, and effectiveness in emotional recognition of some of the basic emotions of remission schizophrenia patients, especially the emotion recognition of fear and anger.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Legoh, Dickson Allan
"Latar Belakang: Banyak penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara disfungsi ereksi (DE) dengan depresi, akan tetapi hubungan kausal tetap tidak jelas. Sulit membatasi mana yang lebih dahulu apakah depresi atau DE. Prevalensi depresi pada laki-laki dengan DE oleh Strand J, dkk mendapatkan angka 14,7% dengan menggunakan DSM IV. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara lama dan derajat DE dengan depresi.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan cross-sectional terhadap 49 sampel DE organik yang datang berobat di Klinik Impotensi Departemen Urologi RSUPN-CM Jakarta pada bulan Januari 2004 sampai Agustus 2004 yang memenuhi kriteria penelitian. Instrumen yang digunakan adalah structure clinical interview for DSM IV Axis I-Disorder (SCID).
Hasil: Dari 49 sampel DE organik sebesar 22,4% sampel mengalami depresi. Proporsi Gangguan Depresi tertinggi ditemukan pada sampel DE organik derajat ringan (62,5%) dan lama sakit DE 2 tahun (30,4%). Pada sampel terdapat hubungan yang bermakna antara DE organik derajat ringan dengan Gangguan Depresi (p 0,020), sementara hubungan antara lama DE organik dengan Gangguan Depresi tidak terbuktikan secara statistik (p 0,208). Hasil analisis regresi logistik didapatkan DE organik derajat ringan merupakan faktor risiko untuk mengalami Gangguan Depresi pada sampel (OR 8,7).
Simpulan: Disfungsi ereksi derajat ringan adalah faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko untuk mengalami gangguan Depresi pada pasien DE organik.

Introduction: A number of trials have reported a correlation between erectile dysfunction and depression; however the causal link has not been clear yet. It's difficult to determine which of these - erectile dysfunction or depression - occurs first. Prevalence of depression in men with erectile dysfunction, assessed by Strand J et al obtained 14.7% by using DSM-IV. The purpose of this trial was to elicit the presence of correlation between the morbid duration and the degree of erectile dysfunction with depression.
Methods: A cross sectional trial on 49 samples who presented to the Clinic of Impotence in the Urological Department of Cipto Mangunkusunzo Hospital in Jakarta from January 2004 until August 2004. The fulfilled the criteria of the trial. The instrument used was Structured Clinical Interview for DSM IV Axis-I Disorder (SCID).
Result: Out of 49 organic erectile dysfunction samples, 22.4% of them were found to have depression. Proportions of the highest Depression Disorder were found in mild organic erectile dysfunction samples (62.5%) and with the morbid duration 52 years (30.4%). In the samples, significant correlation was found between mild organic erectile dysfunction with Depression Disorder (p 0.020) whereas the correlation of the morbid duration of organic erectile dysfunction with Depression Disorder was not statistically obtained (p 0.208). The results of logistic regression analysis revealed that mild organic erectile dysfunction constituted a risk factor for developing Depression Disorder among the sample (OR 8.7).
Conclusion: Mild erectile dysfunction is a factor that has a role in augmenting the risk for developing Depression Disorder in organic erectile dysfunction patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahusilawane, Elvina Katerin
"Latar Belakang. Penyalahgunaan zat merupakan masalah global yang berkembang dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi. Undang undang no 35 tahun 2009 mewajibkan semua penyalahguna zat untuk mengikuti rehabilitasi, namun terdapat perbedaan pendapat terkait efektifitas terapi berdasarkan keinginan untuk mengikuti rehabilitasi. Faktor yang turut berperan dalam keberhasilan rehabilitasi adalah tingkat kesiapan untuk berubah yang terlihat dari motivasinya. Implikasi UU no 35 dapat dilihat melalui perbedaan tingkat motivasi dan hubungannya dengan karakteristik serta mekanisme koping dari individu yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginannya. Metode. Potong lintang melibatkan 100 orang penyalahguna zat yang telah mengikuti rehabilitasi selama periode bulan Juli-September 2014 di Balai Besar Rehabilitasi BNN. Pengukuran tingkat motivasi dengan instrumen University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) dan mekanisme koping diukur dengan instrumen Brief-Coping Orientation to Problem Experienced (Brief-COPE). Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat motivasi antara penyalahguna zat yang mengikuti rehabilitasi secara sukarela dengan yang tidak sukarela setelah mengikuti proses terapi rehabilitasi. Terdapat hubungan antara tingkat motivasi dengan mekanisme koping (nilai p 0.001). Mekanisme koping yang digunakan pada subyek dalam penelitian berupa emotion-focus koping dan skor mekanisme koping yang terbanyak pada tingkat sedang. Simpulan. Tidak terdapat perbedaan tingkat motivasi pada penyalahguna zat yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginan.
Background. Substance abuse is a growing global problem at a fairly high recurrence rate. Indonesia narcotics law no 35 in 2009 requires compulsory treatment for people with drug dependence, nevertheless there are many differences in opinions regarding the effectiveness of therapy based on the willingness to participate. Factors that contribute to the outcomes of rehabilitation s the readiness to change seen by motivation. The implications of the Law No. 35 can be seen through motivational level differences and its relationship with the characteristics and coping mechanisms of substance abusers who have undergone a rehabilitation based on the willingness to be rehabilitated. Method. A crosssectional involving 100 substance abusers who have undergone a rehabilitation program during the period July-September 2014 at BNN rehabilitation center. Motivation level measurement by University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) instrument and coping mechanism by Brief-Coping Orientation to Problems Experienced (Brief-COPE) instrument. Result. There is no significant differences of motivational level between voluntary and compulsary substance abuser. There is a relationship between the level of motivation with coping mechanisms (p-value 0.001). Coping mechanisms used by the subject is emotionfocused coping with the highest score is at moderate level. Conclusion.There is no difference of motivational level among substance abusers who have undergone a rehabilitation program based on the willingness."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasmianto Abadi
"Latar Belakang: Penilaian kepatuhan minum obat adalah hal yang penting dalam tatalaksana pengobatan pasien psikosis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen untuk menilai kepatuhan minum obat pasien psikosis, yaitu MARS versi Bahasa Indonesia dan melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang, diagnosis psikosis ditegakkan dengan SCID (Structured Clinical Interview and Diagnosis DSM IV di Unit Rawat Jalan Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Januari hingga Juli 2017 (N= 100, usia 18 hingga 59 tahun) dengan sampling konsekutif dan sampling sistematik untuk tes ulang (N=35), melakukan penerjemahan yang disesuaikan dengan budaya Indonesia, perjemahan balik, uji validitas isi dan reliabilitas instrumen MARS versi Bahasa Indonesia.
Hasil: Uji validitas isi memperoleh koefisien 0,90 yang menunjukkan bahwa seluruh butir pertanyaan dalam instrumen sesuai dengan teori. Uji validitas konstruksi membuktikan bahwa butir-butir pertanyaan dalam instrumen mewakili konstruksi teoritis dan konseptual. Uji reliabilitas dengan penghitungan koefisien Cronbach's Alpha memperoleh hasil 0,80 dan test-retest 0.798 yang menunjukkan konsistensi internal instrumen adalah baik. Penelitian ini menghasilkan instrumen MARS versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dalam menilai kepatuhan minum obat pasien psikosis.
Diskusi: Belum ada instrumen pembanding kepatuhan minum obat pada pasien psikosis di Indonesia.

Background: -Assessment of medication adherence is an important part of pharmacological treatment of psychotic disorders. This study aims to obtain an instrument to assess medication adherence in psychotic patients, MARS -- -Bahasa Indonesia version, - and to evaluate the validity and reliability of the instrument. -
Methods: This is a cross-sectional study conducted in the Psychiatric Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from January to July 2017. Subjects were recruited through consecutive sampling (N = 100, aged 18-59 years old). Psychotic disorders were diagnosed using SCID (Structured Clinical Interview and Diagnosis DSM-IV). The instrument was translated, adapted to Indonesian culture, and back-translated. Content validity and test- retest reliability (N = 35 using systematic sampling) of MARS -- -Bahasa Indonesia version- were evaluated.
Results-: All items in the instrument are relevant to theory, as evidenced by content validity coefficient of 0,90. Construct validity test showed that the items represent theoretical as well as conceptual construction of medication adherence. Internal consistency reliability -was good, with Cronbach’s alpha of 0,80 and 0,798 in the test--retest evaluation. This study produced a valid and reliable MARS -- -Bahasa Indonesia Version. -
Discussion-: Currently there is no other instrument assessing medication adherence in psychotic patients in Indonesia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi
"

Latar belakang: Proses belajar penting bagi seorang anak dalam perkembangannya. Anak dapat belajar dengan baik bila didukung kondisi yang baik pula. Salah satu faktor pendukung tersebut adalah fungsi memori kerja. Penelitian menunjukkan memori kerja merupakan prediktor kapasitas belajar yang lebih bermakna daripada intelligence quotient (IQ). Bila fungsi ini terganggu, anak dapat mengalami kesulitan belajar. Studi melaporkan gangguan memori kerja banyak ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mendapatkan data proporsi gangguan memori kerja pada anak GPPH dan perbandingan dengan anak tanpa GPPH. Data ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan intervensi selanjutnya.

 

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada bulan Mei 2017 hingga Mei 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode randomized sampling menggunakan program SPSS. Instrumen Mini International Neuropsychiatry Interview KID (M.I.N.I. KID) digunakan untuk membantu menegakkan 24 diagnosis gangguan jiwa anak dan remaja yang terdapat di DSM-IV dan ICD-10 secara komprehensif dan Working Memory Rating Scale (WMRS) dgunakan untuk menentukan ada tidaknya defisit memori kerja pada anak berusia 5-11 tahun dan telah divalidasi dalam Bahasa Indonesia oleh Wiguna, dkk. (2012).

 

Hasil: Proporsi gangguan memori kerja pada kelompok anak dengan GPPH berbeda bermakna dibandingkan kelompok anak tanpa GPPH (44% vs 0%, p<0,05). Pada uji analisis, didapatkan prevalence ratio (PR) sebesar 40,4 (95%CI 2,22 - 738,01), artinya anak dengan GPPH berisiko mengalami gangguan memori kerja 40,4 kali lebih besar dibandingkan anak tanpa GPPH. Rerata WMRS juga menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH dan kelompok subjek tanpa GPPH [50,48 (SB=11,08) vs 30,60 (SB=8,04), p<0,05] namun tidak berbeda bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH yang mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida  dan yang tidak mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida [50,93 (SB=10,25) vs 50,09 (SB=11,26), p=0,85].

 

Simpulan: Gangguan memori kerja lebih banyak ditemukan pada anak dengan GPPH. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian lainnya. Oleh karena itu, pemeriksaan memori kerja pada anak dengan GPPH sebaiknya dilakukan untuk mengantisipasi kesulitan belajar yang mungkin timbul di kemudian. Intervensi tambahan, seperti game therapy dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki gangguan memori kerja yang ditemukan pada anak-anak dengan GPPH.


Background: Learning process is important in child’s development. Children may learn well if supported by good conditions. One of the supporting factors is working memory. Research shows working memory is more meaningful learning capacity’s predictor than intelligence quotient (IQ). If this function is interrupted, children can experience learning difficulties. Studies reporting working memory impairment often found in attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Therefore, this study tried to obtain data on the proportion of working memory impairment in ADHD children and its comparison with healthy children. Results is expected to be the basic data for the development of further interventions.

 

Method: This study was conducted in a cross-sectional design in May 2017 to May 2019. Sampling was done by randomized sampling method using the SPSS program. The Mini International Neuropsychiatry KID Interview Instrument (MINI KID) was used to establish 24 diagnoses of child and adolescent mental disorders comprehensively as in the DSM-IV and ICD-10, and the Working Memory Rating Scale (WMRS) was used to determine the presence or absence of working memory deficits in children aged 5-11 years and have been validated in Indonesian by Wiguna et al. (2012).

 

Results: Proportion of working memory impairments in ADHD group was significantly different compared to group without ADHD (44% vs 0%, p <0.05). Analysis test shows children with ADHD were at risk of experiencing working memory impairment 40.4 times greater than children without ADHD (prevalence ratio 40.4, 95% CI 2.22 - 738.01). The average WMRS scores also showed significant difference between group with ADHD and without ADHD [50.48 (SD = 11.08) vs 30.60 (SD = 8.04), p <0.05]

but not significantly different between who consumed and those who did not consume methylphenidate hydrochloride [50.93 (SD = 10.25) vs 50.09 (SD = 11.26), p = 0.85].

 

Conclusions: Working memory disorders are more common in children with ADHD. This finding is in accordance with the results of other studies. Therefore, examination of working memory in children with ADHD should be done to anticipate learning difficulties that may arise later. Additional interventions, such as game therapy, can be considered to improve working memory impairment found in children with ADHD.

"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldien Noiscelly
"Latar Belakang: Disabilitas fungsi sosial perlu menjadi perhatian dalam tatalaksana orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen yang dapat menilai fungsi sosial dan masalah kesehatan ODGJ, yaitu instrumen Health of the Nation Outcome Scale (HoNOS) versi Bahasa Indonesia serta melakukan uji validitas dan reliabilitas intrumen tersebut.
Metode: Penelitian potong lintang pada 100 pasien gangguan jiwa berat, berusia 18 hingga 59 tahun, di unit rawat inap psikiatri Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi dan Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit, dengan pengambilan subjek penelitian menggunakan metode konsekutif, melakukan penerjemahan disesuaikan dengan budaya Indonesia, penerjemahan balik, uji validitas isi, konstruk dan reliabilitas konsistensi internal, test-retest instrumen HoNOS versi Bahasa Indonesia.
Hasil: Uji validitas isi memperoleh I-CVI sebesar 0,98, S-CVI sebesar 0,83 dan CVR sebesar 0,96. Pada uji validitas konstruk, Exploratory Factor Analysis menghasilkan HoNOS dengan 11 butir yang dikelompokkan pada 4 faktor baru. Confirmatory Factor Analysis mengonfirmasi kecocokan model tersebut, dengan RMSEA 0,00, GFI 0,94, dan CFI 1,00. Uji reliabilitas konsistensi internal menghasilkan nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,175.
Simpulan: HoNOS versi Bahasa Indonesia memiliki validitas yang sangat baik namun dengan reliabilitas yang kurang baik.

Background: Disability of social functioning needs to be attention in the management of people with mental disorders. This study aims to obtain an instrument to assess social function and health problems in people with mental disorders, Health of the Nation Outcome Scale (HoNOS) Indonesian version, and to evaluate the validity and reliability of the instrument. Methods: This is a cross-sectional study on 100 severely mental illness patients, aged 18 to 59 years old, in the psychiatric inpatient unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital and Duren Sawit Hospital. The instrument was translated, adapted to Indonesian culture and back-translated. Content validity, construct validity, internal consistency and test-retest reliability of HoNOS Indonesian version were evaluated. Results: I-CVI is 0.98, S-CVI is 0.83 and CVR is 0.96. Exploratory Factor Analysis modelled HoNOS with 11 items grouped into 4 new factors. Confirmatory Factor Analysis confirms the suitability of the model, with RMSEA 0.00, GFI 0.94, and CFI 1.00. For reliability test, Cronbachs Alpha is 0.175. Conclusion: Indonesian version of HoNOS has very good validity but with poor reliability."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>