Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lintuuran, Rivo Mario Warouw
"Latar Belakang: Belum ada hubungan konsisten antara kadar seng dalam serum dengan gangguan fungsi eksekutif pada anak dengan GPPH. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan rerata kadar seng dalam serum pada anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, tanpa gangguan fungsi eksekutif and anak non GPPH, dan korelasi antara kadar seng dalam serum dengan fungsi eksekutif pada anak GPPH.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong-lintang dengan kontrol. Sembilan puluh anak dari dua Sekolah Dasar di Jakarta diambil secara acak sebagai subjek penelitian yang dibagi dalam 30 anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, 30 anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif, dan 30 anak non GPPH. Kadar seng dalam serum diperiksa dengan metode Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrophotometry. Fungsi eksekutif didapatkan melalui pemeriksaan BRIEF versi bahasa Indonesia. Analisis data menggunakan SPPS for Windows versi 20.
Hasil: Dari seluruh subjek penelitian, 75% mengalami defisiensi seng. Ditemukan 60% anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif memiliki kadar seng tidak normal. Rerata serum seng pada anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif adalah 59.40 g/dL, pada anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif adalah 55.36 g/dL, dan pada anak non GPPH adalah 52.93 g/dL. Tidak ada perbedaan bermakna pada rerata serum seng antara tiga kelompok (p = 0.119). Korelasi antara kadar seng pada anak GPPH dengan fungsi eksekutif adalah r=0.128.
Kesimpulan: Kadar seng dalam serum tidak berhubungan secara langsung dengan gangguan fungsi eksekutif, namun diduga berhubungan dengan gejala klinis GPPH. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jelas hubungan antara seng dalam serum dengan fungsi eksekutif pada anak dengan GPPH.

Background: It was assumed that there might be association between serum zinc level and executive function in children with ADHD. This study aimed to identify mean differences between serum zinc in ADHD children with executive dysfunction, without executive dysfunction, and non ADHD children, and to find correlation between serum zinc level and executive function in children with ADHD.
Method: This was a cross-sectional study with control group. Ninety children from two elementary schools in Jakarta were randomly selected as research subjects. They were categorized into ADHD children with executive dysfunction (n=30), ADHD children without executive dysfunction (n=30), and non ADHD children (n=30). Serum zinc was analyzed using Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrophotometry method. Executive function was examined using BRIEF-Indonesian version. Data was analyzed using SPSS 20 for Windows.
Result: Seventy five percent of research subjects experinced zinc deficiency. Meanwhile, 60% of children with ADHD suffered from zinc deficiency. There was no significant difference in mean serum zinc between ADHD children with executive dysfunction, without executive dysfunction, and non ADHD children (59.40 g/dL vs. 55.36 g/dL vs. 52.93 g/dL, p=0.119). The coefficient correlation between serum zinc level and executive function in ADHD children was 0,128.
Conclusion: Serum zinc level might not associate directly with executive dysfunction, however it might link with clinical symptoms of ADHD. Further study needs to be done in order to obtain a more clear understanding of serum zinc and executive function in children with ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Mayangsari
"[ABSTRAK
Pendahuluan: Gangguan cemas dan depresi merupakan global burden of disease.
Prevalensi gangguan cemas dan depresi untuk penduduk Indonesia sebesar 11,6%,
di DKI Jakarta sebesar 14,1% dengan angka tertinggi ada di Jakarta Pusat sebesar
23,0%. Meskipun angkanya besar, namun banyak orang dengan gangguan cemas
dan depresi mengalami kesenjangan pengobatan (treatment gap) yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mendalam tentang ungkapan stres (idiom of distress) untuk gejala cemas dan
depresi juga tentang perilaku mencari pertolongan terkait dengan ungkapan stres
tersebut pada pasien yang datang berobat ke layanan kesehatan primer.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan wawancara mendalam
pada responden yang telah diketahui mengalami gejala cemas dan depresi melalui
penapisan dengan menggunakan instrumen Self-Reporting Questionnaire (SRQ).
Penelitian dilakukan di Puskesmas Gambir dan waktu pelaksanaan pada bulan
September 2013 sampai Juli 2014.
Hasil: Data penelitian diperoleh dari tiga orang responden yang ketiganya
tergolong dalam initial somatizer dengan keluhan somatik multipel. Ungkapan
yang diberikan berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia, peribahasa, bahasa asing
(Belanda, Inggris). Ketiganya juga diketahui memiliki stresor biologis, psikologis,
sosial-ekonomi, dan agama/ budaya. Seluruh responden memilih untuk meminta
pertolongan ke fasilitas kesehatan, namun tidak pernah mengungkapkan keluhan
terkait perasaannya dan tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan.
Pembahasan: Keluhan somatik multipel mungkin merupakan suatu bentuk
ungkapan stres terkait gejala cemas dan depresi yang lebih dapat diterima secara
sosial. Ungkapan stres ini juga dipengaruhi oleh bahasa atau kebudayaan
seseorang. Pola perilaku mencari dipengaruhi keluhan fisiknya sehingga mencari
pertolongan medis dan tidak pernah mengakses ke layanan kesehatan jiwa.

ABSTRACT
Introduction: Anxiety and depression disorders are the global burden of disease.
The prevalence of anxiety and depression disorders of Indonesia's population is
11.6%. In Jakarta it is 14.1% and the highest rate in Central Jakarta is amounted to
23.0%. Although it is high prevalence, many people with anxiety and depression
disorders have treatment gap caused by various factors. This study aims to gain a
deeper understanding of the idiom of distress for anxiety and depression?s
symptom, also for help-seeking behavior related to the idiom of distress on
patients who come for a treatment to primary health care.
Method: This study is a qualitative with in-depth interviews in respondents who
have been known to have symptoms of anxiety and depression through a
screening using the instruments of Self-Reporting Questionnaire (SRQ). The
study was conducted at the Gambir Primary Health Care from September 2013
until July 2014.
Result: The data was obtained from three respondents who were classified in the
initial somatizer with multiple somatic complaints. The phrase is given in the
form of the local language, Indonesian, proverbs, and foreign languages (Dutch,
English). All three respondents are known to have biological stressors,
psychological, socio-economic, and religious/ cultural. All respondents chose to
ask for help at a health facility, but never revealed their feelings and health
personnel never asked about their feelings.
Discussion: Multiple somatic complaints may constitute the idiom of distress
related to the symptoms of anxiety and depression that is socially more
acceptable. The idiom of distress is also influenced by the personal language or
the culture. The help-seeking behavior is influenced by the physical complaints to
seek medical help and not to have an access to the mental health services., Introduction: Anxiety and depression disorders are the global burden of disease.
The prevalence of anxiety and depression disorders of Indonesia's population is
11.6%. In Jakarta it is 14.1% and the highest rate in Central Jakarta is amounted to
23.0%. Although it is high prevalence, many people with anxiety and depression
disorders have treatment gap caused by various factors. This study aims to gain a
deeper understanding of the idiom of distress for anxiety and depression’s
symptom, also for help-seeking behavior related to the idiom of distress on
patients who come for a treatment to primary health care.
Method: This study is a qualitative with in-depth interviews in respondents who
have been known to have symptoms of anxiety and depression through a
screening using the instruments of Self-Reporting Questionnaire (SRQ). The
study was conducted at the Gambir Primary Health Care from September 2013
until July 2014.
Result: The data was obtained from three respondents who were classified in the
initial somatizer with multiple somatic complaints. The phrase is given in the
form of the local language, Indonesian, proverbs, and foreign languages (Dutch,
English). All three respondents are known to have biological stressors,
psychological, socio-economic, and religious/ cultural. All respondents chose to
ask for help at a health facility, but never revealed their feelings and health
personnel never asked about their feelings.
Discussion: Multiple somatic complaints may constitute the idiom of distress
related to the symptoms of anxiety and depression that is socially more
acceptable. The idiom of distress is also influenced by the personal language or
the culture. The help-seeking behavior is influenced by the physical complaints to
seek medical help and not to have an access to the mental health services.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arundhati Nugrahaning Aji
"ABSTRAK
Adanya anak dengan skizofrenia dapat mempengaruhi sistem relasi keluarga, termasuk relasi orangtua terhadap anak mereka. Tujuan: untuk melihat pengaruh adanya anak dengan skizofrenia terhadap pola relasi orangtua dan untuk mendapatkan gambaran pola relasi orangtua yang mempunyai anak dengan skizofrenia. Metode: penelitian ini merupakan studi kasus kontrol. Pola relasi orangtua diukur menggunakan Family Adaptability and Cohesion Evalution Scale (FACES) IV. Hasil: sebesar 73,33% keluarga yang memiliki anak dengan skizofrenia mempunyai pola relasi orangtua yang sehat dan 26,67% mempunyai relasi orangtua yang tidak sehat, baik menurut ayah maupun menurut ibu. Keluarga yang memiliki anak dengan skizofrenia memiliki pola relasi orangtua yang tidak sehat sebesar 6,65 kali dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak dengan skizofrenia (p < 0,05, 95% CI = 2,428 – 18,213). Kesimpulan: adanya anak dengan skizofrenia memberikan pengaruh terhadap pola relasi orangtua.

ABSTRACT
Children with schizophrenia can affect family relation system, including parental relationship
towards their children. Purpose: To evaluate the impact of children with schizophrenia to
parental relationship pattern and acquire description of relationship pattern of parents having
children with schizophrenia. Method: This research is a case control study. Parental
relationship pattern is measured usingFamily Adaptability and Cohesion Evalution
Scale (FACES) IV. Result: 73,33% of families of children with schizophrenia have a healthy
parental relationship pattern, and 26,67% have an unhealthy relationship according to the
fathers and the mothers. Families of children with schizophrenia have an unhealthy pattern of
parental relationship 6,65 times compare to families having no children with schizophrenia
(p < 0,05, 95% CI = 2,428 – 18,213). Conclusion: Children with schizophrenia in the family
have an impact towards parental relationship pattern."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Vindalia Dian Sari Helfardi
"Satpam dengan kerja gilir berisiko mengalami insomnia.Penelitian Didi Purwanto (2005) pada pekerja pabrik semen Citeureup?Bogor,didapatkan prevalensi insomnia sebesar 48,1% pada pekerja gilir dan prevalensi tersebut hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan pekerja non gilir.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi insomnia dan faktor?faktor yang meningkatkan risiko kejadian insomnia pada satpam dengan kerja gilir di PT.X.
Desain penelitian menggunakan cross sectional yang melibatkan 107 satpam dengan kerja gilir.Pengambilan data menggunakan beberapa kuesioner, diantaranya kuesioner Sleep Hygiene Index, kuesioner Stress Diagnostic Survey, kuesioner Insomnia Rating Scale-KSPBJ, serta wawancara menggunakan instrumen MINI.
Prevalensi insomnia pada satpam dengan kerja gilir di PT.X adalah 81,9%.Hasil penelitian menunjukkan sikap higiene tidur buruk meningkatkan risiko terjadinya insomnia hampir 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sikap higiene tidur baik (OR=9,820, 95%CI=1,185?81,413).Usia lebih tua, masa kerja lebih lama, pola kerja gilir iregular dan stres kerja sedang-tinggi tidak terbukti meningkatkan risiko kejadian insomnia pada satpam dengan kerja gilir (p>0,05).
Saran bagi satpam yang menjalani kerja gilir adalah dapat menerapkan sikap higiene tidur dengan baik.Bagi manajemen PT.X, disarankan penyuluhan berkala setiap tiga bulan sekali mengenai gangguan kesehatan akibat kerja gilir terutama insomnia dan evaluasi kesehatan pada satpam yang mengalami insomnia setiap satu hingga tiga bulan sekali.

Security squad who undergo shift work,are at risk for insomnia.Study at cement factory Citeureup-Bogor,2005 by Didi Purwanto found the prevalence of insomnia on shift workers is 48,1% and this prevalence is almost two times higher than non-shift workers.The aim of this research are to know prevalence of insomnia and to determine factors that increase the risk of insomnia on security squad with shift work at PT. X.
Design of research is cross sectional which involved 107 squad of security unit with shift work.Retrieving data used several questionnaires,including Sleep Hygiene Index questionnaire,Stress Diagnostic Survey questionnaire and Insomnia Rating Scale-KSPBJ questionnaire,as well as interview were conducted using MINI instrument.
The prevalence of insomnia on security squad with shift work at PT.X is 81.9%.The result is poor sleep hygiene behavior increases the risk of insomnia is almost 10 times higher than good sleep hygiene behavior (OR=9.820, 95%CI=1.185-81.413).Elder age,longer working lives,pattern of irregular shift work,and medium-high work stresses are not determine to increase the risk of insomnia on security squad with shift work (p> 0.05).
Suggest to security squad who undergo shift work should implement sleep hygiene behavior well.For PT.X management,counseling about the health problems caused by shift work,especially insomnia is recommended regularly every three months and taking health evaluation at security squad who have insomnia every one to three months.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Feri Ikhwan
"Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita setelah kanker payudara namun menjadi penyebab kematian terbanyak pada wanita yang menderita kanker. Pada penderita kanker serviks gangguan psikiatri dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dari gangguan psikiatri yang terjadi pada penderita kanker serviks, depresi merupakan gangguan yang paling sering dijumpai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.
Metode: Penelitian ini berbentuk studi potong lintang dengan jumlah subjek 232 orang yang merupakan pasien kanker serviks uteri yang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) pada bulan November sampai Desember 2012. Seluruh subjek penelitian diminta untuk mengisi lembar kuesioner yang berisi identitas dan data sosio-demografi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian depresi menggunakan Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10) dan untuk menilai derajat beratnya depresi dengan instrumen Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Hasil: Dari hasil analisis bivariat pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara stadium klinis kanker serviks uteri (p <0,001), umur (p = 0,005), dan lamanya diagnosis kanker serviks uteri ditegakkan (p <0,001) dengan derajat beratnya depresi yang terjadi, dan dari analisis multivariat didapatkan lamanya diagnosis merupakan variabel yang menjadi faktor dominan yang berhubungan secara statistik bermakna terhadap semua tingkatan depresi.
Kesimpulan: Penelitian ini menjawab hipotesis penelitian dimana terdapat hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.

Cervical cancer is the second most types of cancer in women after the breast cancer, but it is the most frequent cause of cancer mortality in women. Patients with cervical cancer can occur psychiatric disorders due to various causes. Depression is the most common psychiatric disorder in cervical cancer patients. This study aims to determine the relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
Methods: This study was cross-sectional studies form 232 cervical cancer patients who went to the National Center Public Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) in November to December 2012. The whole subjects of the study were asked to fill out a questionnaire that contains the identity and socio-demographic data. The instrument used for the assessment of depression using the Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (ICD-10 MINI) and to assess the degree of severity of depression by the instrument Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Results: From the results of the bivariate analysis in this study found a significant association between clinical stage of cervical cancer (p <0.001), age (p = 0.005), and duration of cervical cancer diagnosis is established (p <0.001) with the degree of severity of depression that occurs, and from the multivariate analysis found that the length of diagnosis is a dominant factor which is statistically significant related to all levels of depression.
Conclusion: This study answers the research hypothesis that there is a relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winna Angela
"Latar belakang dan tujuan Sebagai pekelja yang sangat berperan dalam operasional pelayanan transportasi kereta api, masinis dan asisten masinis harus selalu dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental agar dapat menjamin keselamatan penumpang dan masyaralcat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stres kelja yang dialami masinis dan asisten masinis dengan suspek gangguan mental emosional. Met ode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan 105 orang responden yang dipilih secara konsekutif. Pengukuran stres kelja menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress (SDS) dan kuesioner penilaian terhadap lingkungan kelja. Pengukuran suspek gangguan mental emosional dengan menggunakan kuesioner Symptom Check Lut 90(SCL90). Hasil dan kesimpulan Masinis dan asisten masinis yang mengalami suspek gangguan mental emosional adalah 16,2 %. Faktor-faktor yang berhubungan bermakna dengan suspek gangguan mental emosional adalah stres kerja (OR.adj.=3,73; 95% CI=l,36 - 10,22), lama kerja (OR.adj=4,93; 95% CI=l,56- 15,59), dan kebiasaan rekreasi (OR.adj=4,92; 95% CI=l,68 - 14,35). Tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna suspek gangguan mental emosional pada masinis dan asisten masinis. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi stres kerja dengan memperbaiki lingkungan kerja di lokomotif.

Background and purpose As workers who are instrumental in the operation of railway transport services, locomotive driver and assistant driver should always be in good health both physically and mentally in order to ensure the safety of passengers and the surrounding communities. The purpose of this study was to determine the association of work stress with suspected mental emotional disorders among locomotive driver and assistant driver. Metbod This study used a cross-sectional design with I 05 respondents selected at consecutive. Job stress was measured using Stress Diagnostic Survey (SDS) questionnaire and a questionnaire assessment of the work environment Suspected mental emotional disorders was measured using the Symptom Check List 90 (SCL90). Results and conclusions Prevalence of suspected mental emotional disorder among locomotive driver and assistant driver was 16.2%. Factors associated with suspected mental emotional disorder are work stress (OR.adj=3,7; 95% CI = 1,36 to 10,22), working hour (OR.adj= 4.93; 95% CI= 1,56- 15,59), and recreational habits (OR.adj=4,92; 95% CI=1,68 to 14,35). There were no significant differences in the suspected emotional mental disorders among locomotif driver and assistant driver.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiana Dewi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penilaian kebutuhan orang dengan skizofrenia adalah tugas penting bagi semua pihak yang terkait sehingga dapat mengurangi hendaya dalam penurunan fungsi baik fisik, psikologis atau sosial.Tujuan: Mengetahui gambaran kebutuhan hidup orang dengan skizofrenia menurut dirinya dan caregiver. Metode:Masing-masing sembilan puluh orang dengan skizofrenia yang berobat jalan dan caregivernya di poliklinik psikiatri RSCM, dengan consecutive sampling, dengan menggunakan instrumen CANSAS, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) dan Global Assessment Fungtioning (GAF).Hasil :Dari 22 butir pertanyaan CANSAS rata-rata kebutuhan yang dilaporkanorang dengan skizofrenia adalah 9 kebutuhan, sedangkan caregivernya 12 kebutuhan.Reratadari Global Assessment Fungtioning (GAF) adalah 40-50, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) adalah2-3. Baik orang dengan skizofrenia maupun caregivernya menilai adanya masalah pada kebutuhan fisik yang lebih tinggi dibanding kebutuhan lainnya. Kesimpulan : Dalam menilai kebutuhan hidup orang dengan skizofrenia ternyata tidak hanya fokus pada kebutuhan pada gejala psikotiknya saja, tetapi kebutuhan fisik juga dinilai penting baik bagi orang dengan skizofrenianya maupun caregiver.

ABSTRACT
Background: Assessment of the needs of people with schizophrenia is an important task for all stakeholders so that they can reduce the impairment in physical, psychological or social function.AimAssessing the the needs of people living with schizophrenia based on themselves and the caregivers, and to obtain the differences between those assessment.Method:Ninety people with schizophrenia and ninety of their caregivers in RSCM outpatient clinic, using consecutive sampling. Instruments used by researcherduring the interview for people with schizophrenia and their caregivers are CANSAS, Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) and Global Assessment Fungtioning (GAF).Result: Using CANSAS instrument, the mean total of needs reportedfor people with schizophrenia and their caregivers reported 9 and 12, respectively. The mean of Global Assessment Functioning (GAF) was range of 40-50, and Clinical Global Impression-Severity (CGI-S) was 2-3. Both people with schizophrenia and their caregivers assessed the problem of need on physical health higher than other needs.Conclusion: Assessment of the needs of people with schizophrenia was not only focused on the needs of the psychotic symptoms, but also physical needs which were considered important both for people with schizophrenia and their caregivers."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library