Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hughes, Graham R.V., editor
"The book is an up-to-date introduction to the disease and includes high quality colour photographs and evidence-based guidelines for diagnosing, treating and managing Lupus in primary care."
London: [, Springer Healthcare], 2012
e20410763
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Rahma Hidayati
"[ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan media kontras pada pemeriksaan radiologi dengan kondisi pasien mengalami insufisiensi fungsi ginjal dapat menyebabkan resiko terjadinya CIN pada kontras iodine dan NSF pada kontras paramagnetik. Oleh karena itu, penilaian fungsi ginjal penting dilakukan sebelum pemeriksaan radiologi kontras. Permasalahannya untuk menilai fungsi ginjal dengan baku emas sulit dilakukan sehingga digunakan formula MDRD dan CKD-EPI untuk menghitung eGFR. Faktor ras menjadi salah satu variabel dalam formula penghitungan eGFR, belum ada untuk populasi Indonesia yang termasuk ras Melanesia dan Malayan-Mongoloid. Tujuan: Menilai apakah terdapat korelasi antara pengukuran eGFR metode MDRD dan CKD-EPI dengan pengukuran GFR 99mTc-DTPA metode Gates pada pasien CKD. Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pasien yang menjalani pemeriksaan skintigrafi renal di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta pemeriksaan kreatinin serum bulan Februari 2012-Januari 2015. Data kasar dinilai ulang GFR skintigrafi renal menggunakan metode Gates dari pesawat Siemens Symbia T2 dan dihitung nilai eGFR menggunakan formula MDRD dan CKD-EPI. Analisa data dilakukan untuk mendapatkan nilai korelasi eGFR formula MDRD dan CKD-EPI dengan GFR skintigrafi renal sebagai baku emas. Hasil: Jumlah subjek penelitian 47 orang, dengan hasil terdapat korelasi positif, kekuatan korelasi baik antara nilai eGFR MDRD dengan GFR skintigrafi renal dengan persamaan:nilai GFR skintigrafi renal=16,60+0,70xnilai eGFR MDRD. Terdapat korelasi positif, kekuatan korelasi baik antara nilai eGFR CKD-EPI dengan GFR skintigrafi renal dengan persamaan:nilai GFR skintigrafi renal=12,74+0,78xnilai eGFR CKD-EPI; nilai GFR dalam ml/menit/1,73m2. Kesimpulan : Formula persamaan eGFR MDRD dan CKD-EPI dapat digunakan dalam klinis untuk memperkirakan nilai GFR skintigrafi renal.

ABSTRACT
Background: The use of contrast media for radiology examination in patients with renal function insufficiency can lead to the risk of CIN (Contrast Induced Nephropathy) on contrast iodine and NSF (Nephrogenic Systemic Fibrosis) on paramagnetic contrast. Therefore, assessment of renal function is important to be done prior to contrast radiology. The problem is assessing renal function with a gold standard, clinically difficult, therefor using MDRD and CKD-EPI formula to calculate eGFR. Factors race became one of the variables in the formula calculating eGFR, yet for Indonesian population included in the Melanesian and Malayan-Mongoloid race.Objective. To evaluate correlation value between eGFR measurement using MDRD and CKD-EPI methods with GFR Gates methods using 99mTc-DTPA in patients with CKD.Method: Cross sectional research using secondary data of patients who underwent renal scintigraphy in Cipto Mangunkusumo and serum creatinine examination in February 2012 to January 2015. The raw data then reassessed GFR renal scintigraphy using the Gates of Siemens Symbia T2 machine and eGFR values calculated using the formula MDRD and CKD-EPI. Data analysis was used to obtain a correlation value formula MDRD eGFR and CKD-EPI with GFR renal scintigraphy as the gold standard. Result: Total subject is 47 people. There is a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR using this approach:renal scintigraphy GFR value=16,60+0,70xMDRD eGFR value. There is also a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR value using this approach:renal scintigraphy GFR value=12,74+0,78xCKD=EPI eGFR value. Conclusion : Formula equation MDRD and CKD-EPI eGFR can be used clinically to estimate renal scintigraphy GFR, Background: The use of contrast media for radiology examination in patients with renal function insufficiency can lead to the risk of CIN (Contrast Induced Nephropathy) on contrast iodine and NSF (Nephrogenic Systemic Fibrosis) on paramagnetic contrast. Therefore, assessment of renal function is important to be done prior to contrast radiology. The problem is assessing renal function with a gold standard, clinically difficult, therefor using MDRD and CKD-EPI formula to calculate eGFR. Factors race became one of the variables in the formula calculating eGFR, yet for Indonesian population included in the Melanesian and Malayan-Mongoloid race.Objective. To evaluate correlation value between eGFR measurement using MDRD and CKD-EPI methods with GFR Gates methods using 99mTc-DTPA in patients with CKD.Method: Cross sectional research using secondary data of patients who underwent renal scintigraphy in Cipto Mangunkusumo and serum creatinine examination in February 2012 to January 2015. The raw data then reassessed GFR renal scintigraphy using the Gates of Siemens Symbia T2 machine and eGFR values calculated using the formula MDRD and CKD-EPI. Data analysis was used to obtain a correlation value formula MDRD eGFR and CKD-EPI with GFR renal scintigraphy as the gold standard. Result: Total subject is 47 people. There is a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR using this approach:renal scintigraphy GFR value=16,60+0,70xMDRD eGFR value. There is also a positive correlation with good correlation value between MDRD eGFR value and renal scintigraphy GFR value using this approach:renal scintigraphy GFR value=12,74+0,78xCKD=EPI eGFR value. Conclusion : Formula equation MDRD and CKD-EPI eGFR can be used clinically to estimate renal scintigraphy GFR]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2019
616.772 DIA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adzkia Muftia Khairul Islam
"Pengukuran risiko menjadi salah satu pertimbangan utama sistem keuangan dalam membuat keputusan. Setelah krisis yang terjadi pada tahun 2008, muncul konsep baru terkait dengan regulasi keuangan seperti risiko sistemik. Masalah utama bagi para regulator disebut dengan Systemically Important Financial Institutions atau SIFIs. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif penggunaan Component Expected Shortfall (CES) sebagai salah satu ukuran risiko untuk mengukur risiko sistemik di industri Perbankan Indonesia. Penelitian ini menggunakan data time-series harga saham penutupan harian dari 33 Bank yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 1 Januari 2015-31 Desember 2019. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bank BUKU 4 dan Bank Umum Persero, yang merupakan Bank Sistemik, menempati peringkat 10 teratas dengan nilai CES tertinggi dan memberikan kontribusi lebih besar terhadap terjadinya risiko sistemik di Perbankan Indonesia. Metode pengukuran dengan menggunakan CES dapat memberikan hasil yang sama dengan yang dilakukan Perbankan di Indonesia saat ini. Hal ini dibuktikan dengan bahwa Bank yang memiliki hasil pengukuran CES tertinggi sama dengan Bank yang dikenakan Capital Surcharge oleh OJK. Hasil pengukuran CES lebih mudah untuk menginterpretasikan seberapa besar kontribusi Bank terhadap terjadinya risiko sistemik di Perbankan Indonesia dengan menggunakan %CES tersebut.

Measuring risk has become one of the financial systems key consideration in making a decision. After the crisis in 2008, a new approach was formed in financial regulation such as systemic risk. The main problem for Regulators is called Systemically Important Financial Institution or SIFIs. This study aims to propose Component Expected Shortfall (CES) as a measurement of systemic risk in Indonesia Banking Industry. This study uses time-series data of daily closing stock price of 33 Banks listed in Indonesian Stock Exchange (IDX) from 1st January 2015 until 31st December 2019 to measure systemic risk by analyzing two measurement methods: Marginal Expected Shortfall (MES) and Component Expected Shortfall (CES). The analysis study shows that BUKU 4 Banks and State-owned Banks, which are systemic Banks, has the 10 of the highest CES value and therefore having more contribution to the systemic risk in Indonesian Banking. The measurement method using CES can provide the same result as that of Indonesian Banking today. This study is in line with OJK policy of Capital Surcharge which are imposed on those 10 Banks. The CES measurement result is easier to interpret the estimated amount of systemic risk in Indonesian Banking using the %CES."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsanil Husna
"Systemic lupus erythematosus (SLE) as a chronic autoimmune disease with multi-organ involvement often occurs in women of childbearing age. We report a case of active SLE in a-23 year old woman who presented with multi-organ involvement, including pericardia! effusion, severe anemia that caused congestive heart failure, and kidney involvement. ANA and ami ds DNA were positive. The patient was treated with intravenous digoxin followed by a daily dose of oral digoxin, ROmg/day of furosemide, 600 ml packed red cell transfusion, and !.5 mg/kg bodyweight/day of prednisan. The patient was discharged in good condition on the I5'h day of hospitalization."
2002
AMIN-XXXIV-3-JuliSep2002-107
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yublina Septiani
"Salah satu penyakit tidak menular yang mengancam masyarakat perkotaan adalah systemic lupus erythematosus. Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun dimana sistem imun memproduksi autoantibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada organ yang diserang. Penyakit ini dapat menimbulkan masalah psikososial ketidakberdayaan karena systemic lupus erythematosus tidak dapat disembuhkan dan bersifat periodik. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan ketidakberdayaan pada klien yang mengalami systemic lupus erythematosus. Evaluasi hasil implementasi menunjukkan berkurangnya tanda dan gejala ketidakberdayaan yang dialami klien.
Systemic lupus erythematosus is one of non-communicable disease that threaten urban communities. Systemic lupus erythematosus is autoimune disease where immune system produces autoantibodies that attack it own body tissues and cause damage to the organ. This disease can evoke psychosocial problem that is powerlessness because systemic lupus erythematosus can not be cured and periodic. The purpose of this Paper is to describe nursing care of powerlessness in patient with systemic lupus erythematosus. Evaluation of the results of implementation shows that there is a slight decrease in the signs and symptoms of powerlessness that occured on the client. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Pranoto
"Latar Belakang: Periodontitis merupakan penyakit paling umum keenam dalam skala global dan diperkirakan sebanyak 743 juta orang mengalaminya. Periodontitis diketahui memiliki hubungan dengan penyakit sistemik, antara lain: penyakit kardiovaskular; penyakit pernapasan; penyakit endokrin; penyakit muskuloskeletal; penyakit neurologi; dan penyakit gastrointestinal. Hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik memiliki relevansi pengembangan ilmu pengetahuan untuk diterapkan dalam perawatan klinis. Analisis bibliometrik bertujuan untuk mengolah literatur yang telah dipublikasikan berdasarkan: kata kunci; jumlah dan bentuk publikasi; negara dan institusi yang mempublikasikan; pengaruh penulis serta jurnal berdasarkan jumlah publikasi dan sitasi.
Tujuan: Mendapatkan data kuantitatif mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik dalam 10 tahun terakhir (1 Januari 2013-November 2022).
Metode: Data bibliografi publikasi mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik diambil dari situs Scopus. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak sebagai berikut: VOSViewer; OpenRefine; Scopus; dan TableauPublic.
Hasil: Kata kunci yang ditemukan terdiri dari kelompok manusia, penyakit periodontal, penyakit sistemik terkait, dan faktor risiko penyakit. Jumlah publikasi terbanyak ditemukan pada tahun 2021. Bentuk publikasi terbanyak adalah artikel. Negara dengan kontribusi terbesar dalam publikasi dan sitasi adalah Amerika Serikat. Indonesia belum termasuk dalam peringkat 10 besar jumlah publikasi maupun sitasi. Jumlah publikasi terbanyak oleh penulis berbeda-beda pada setiap kategori penyakit sistemik. Jurnal yang berkontribusi dalam publikasi didominasi oleh jurnal berbasis periodontologi. Kesimpulan: Penelitian ini menemukan publikasi terkait hubungan antara periodontitis dengan penyakit sistemik meningkat secara signifikan dalam 10 tahun terakhir. Publikasi mengenai hubungan antara periodontitis dengan penyakit pernapasan dan gastrointestinal adalah topik yang perlu dikembangkan di masa depan.

Background: Periodontitis is the sixth most common disease on a global scale and is estimated that as many as 743 million people experience it. Periodontitis is known to have a relationship with systemic diseases including cardiovascular disease, respiratory disease, endocrine disease, musculoskeletal disease, neurological disease, and gastrointestinal disease. The relationship between periodontitis and systemic diseases has relevance for scientific development to be applied in clinical care. The bibliometric analysis aims to process published literature based on: keywords; amounts and forms of publication; country and institution of publication; the influence of authors and journals based on the number of publications and citations.
Objective: To obtain quantitative data regarding the relationship between periodontitis and systemic diseases in the last 10 years (1 January 2013-November 2022).
Method: Bibliographic data from publications regarding the relationship between periodontitis and systemic disease were downloaded from the Scopus website. Data analysis was carried out using the following software: VOSViewer; OpenRefine; Scopus; and TableauPublic.
Results: The keywords found consisted of human-related groups, periodontal disease, related systemic diseases, and disease risk factors. The highest number of publications was found in 2021. The form of publication used the most was articles. The country with the largest contribution to publications and websites is the United States. Indonesia is not yet included in the top 10 rankings for the number of publications and citations. The highest number of publications by authors varies in each systemic disease category. Journals that contribute to publications are dominated by periodontology-based journals. Conclusion: This study found a significant increase in publications regarding the association between periodontitis and systemic disease in the last 10 years. Publication regarding the relationship between periodontitis and respiratory and gastrointestinal diseases is a topic that needs to be developed in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Rahayu Sari
"Pandemi Covid-19 telah mendisrupsi aktivitas global di semua sector. Sebagai upaya menekan penyebaran virus, pembatasan aktivitas berdampak pada merosotnya aktivitas ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas akibat keterbatasan kreditor, perbankan dapat meningkatkan non-core liabilities dari perbankan yang tidak leluasa menyalurkan kredit karena menurunnya permintaan kredit. Aktivitas ini meningkatkan interkonektivitas perbankan yang berasal dari neraca. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tren interkonektivitas perbankan selama pandemi Covid-19 dan pengaruhnya terhadap kontribusi risiko sistemik setiap individual bank di Indonesia. Penelitian ini menggunakan the generalized method-of-moments (GMM) estimator yang dikembangkan untuk dynamic models of panel data. Hasil penelitian menunjukkan adanya tren peningkatan interkonektivitas selama pandemi dan mendapatkan pengaruh positif dan signifikan interkonektivitas terhadap kontribusi risiko sistemik setiap individual bank pada periode sebelum pandemi Covid-19, sementara selama pandemi didapatkan pengaruh yang negatif. Temuan ini menyiratkan bahwa pengaruh interkonektivitas terhadap kontribusi risiko sistemik setiap individual bank bervariasi waktu dan ukuran bank memainkan peran penting dalam menentukan kontribusi risiko sistemik setiap individual bank.

The Covid-19 pandemic has disrupted global activity in all sectors. In an effort to minimize the the spread of the virus, restrictions on activities have led to a decline in economic activity. This has led some banks to meet their funding needs by increasing non-core liabilities. At the same time, other banking groups may no longer have the flexibility to extend credit due to less credit demand. This activity may increase banking interconnectedness from the balance sheet. This study aims to describes the trend of banking interconnectedness during the Covid-19 pandemic and its impact on the systemic risk contribution of the Indonesian banking industry. This study used the generalized method-of-moments (GMM) estimator developed for dynamic models of panel data. This study found an increasing trend in bank interconnectedness during the Covid-19 pandemic. In addition, this study also discovered a positive effect of bank interconnectedness on systemic risk contributions in the period before the Covid-19 pandemic, while a negative effect on systemic risk contributions was found during the pandemic. These findings imply that the effect of interconnectedness on the banking systemic risk contribution varies over time and the size of the bank plays an important role in determining the contribution of systemic risk."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarso Brotosoetarno
"ABSTRAK
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen. Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis dan ditopang oleh diagnosis laboratorium. Pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid kurang dapat menyokong diagnosis kliniknya. Walaupun menurut literatur pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Pada sebagian besar kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada darah tepi masih dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit kurang dapat menyokong diagnosis klinis demam tifoid.
Sejak ditemukannya uji serologi Widal lebih kurang 80 tahun yang lalu, uji ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dan masih luas dipergunakan di negara-negara yang sedang berkembang. Uji serologi ini didasarkan atas pemeriksaan adanya antibody dalam serum penderita akibat infeksi oleh kuman Salmonella. Tetapi akhir-akhir ini kegunaan uji serologi Widal masih banyak diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji Widal, antara lain : keadaan gizi penderita, nengobatan dengan antibiotika, pernah mendapat vaksinasi Typhus Paratyphus A-Paratyphus B ( TAB ) atau infeksi sebelumnya, saat pengambilan darah, dan sebagainya.
Dalam upaya untuk meningkatken perawatan penderita tersangka demam tifoid diperlukan suatu hasil pemeriksaan laboratorium sedini mungkin, untuk menyokong penegakkan diagno sis klinisnya. Adapun jenis pemeriksaan laboratorium yang dapat lebih menyokong diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan kuman Salmonella dengan cara mengisolasikannya dari darah, urin, tinja atau cairan badan lainnya. Frekuensi dapat ditemukannya kuman dari darah, urin, tinja ataupun cairan badan lainnya berhubungan dengan patogenesis penyakit. Pada permulaan penyakit lebih mudah ditemukan kuman dalam darah, baru pada stadium selanjutnya dalam tinja, kemudian dalam urin?
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>