Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widayatri S.U.
Abstrak :
Setiap anak, baik anak normal maupun terbelakang mental, semuanya memiliki hak yang sama. Dalam Konvensi Hak-hak Anak (dalam Unicef, 1990) juga disebutkan bahwa setiap negara harus memperhatikan hak-hak setiap anak tanpa diskriminasi. Orang tua sebagai pengasuh utama anak memiliki tanggung jawab utama memberikan pengasuhan yang semaksimal mungkin bagi anak terbelakang mental. Salah satu jenis keterbelakangan mental yang cukup banyak menimbulkan masalah dalam pengasuhan adalah down's syndrome. Menumt Harris & McHale (dalam Atkinson, Chisholm, Dickens,Goldberg, Scott, Blackwell, Tarn, 1995) kehadiran anak down's syndrome dapat memberikan masalah pengasuhan yang cukup besar bagi orang tua. Hall dan Hill (1996) menjelaskan bahwa down's syndrome mempakan salah satu abnormalitas yang sebagian besar disebabkan oleh adanya penambahan jumlah kromosom pada kromosom ke-21. Agar pengasuhan bagi anak down's syndrome dapat diberikan semaksimal mungkin, ibu tentunya tidak dapat melakukan tugas tersebut seorang diri. la memerlukan dukungan untuk menjalankan tugas pengasuhan ini. Tetapi terayata dalam kenyataannya individu-individu yang ada di sekitar ibu tidak hanya menyumbangkan dukungan tetapi juga dapat menimbulkan stres. Belle (dalam Cochran dkk, 1990:9) menyatakan bahwa seseorang tidak hanya akan menerima dukungan tetapi juga akan mempunyai resiko memperoleh stres dari lingkungannya. Cochran (dalam Cochran dkk, 1990) menggunakan istilah jaringan sosial untuk menjelaskan tentang individu-individu yang berperan sebagai sumber dukungan dan sumber stres ini. Dalam penelitian ini ingin digali mengenai jaringan sosial baik sebagai sumber dukungan maupun sebagai sumber stres bagi ibu yang memiliki anak down's syndrome. Mengingat kemungkinan banyaknya anggota jaringan sosial yang dimiliki ibu maka penelitian akan dibatasi pada individu-individu yang mempengaruhi kehidupan ibu dalam 6 bulan terakhir ini, dan minimal berhubungan 1 kali sebulan dengan ibu dari anak down's syndrome. Sumber dukungan dari jaringan sosial yang ingin dilihat dibagi ke dalam dukungan instrumental, emosional, informasi, dan companionship. Sedangkan sumber stres yang ingin dilihat dibagi ke dalam tekanan, fhistasi, konflik, dan kecemasan. Tetapi karena dalam hidup sehari-hari sangat sulit memisahkan antara masing-masing pembagian ini (Atwater, 1983) maka dalam interpretasi peneliti cenderung tidak secara pasti membagi sumber stres ke dalam empat bagian tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam (in depth interview) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap empat ibu yang memiliki anak down's syndrome Pemilihan subyek dilakukan dengan pendekatan purposif dimana sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Dari penelitian ditemukan bahwa dukungan instrumental yang diberikan kepada keempat subyek dalam penelitian ini lebih banyak diberikan oleh anggota keluarga. Bantuan yang diberikan meliputi bantuan dalam mengeijakan tugas rumah tangga; mengurus anak down's syndrome, mengantar, menunggu atau menjemput anak down's syndrome di sekolah; menjaga anak down's syndrome bila subyek tidak ada di rumah; dan bantuan keuangan. Walaupun demikian jenis bantuan yang diberikan pada masing-masing subyek berbeda-beda. Dukungan emosional diberikan oleh suami, teman-teman yang juga memiliki anak tuna grahita. Tetangga yang mengerti kondisi anak down's syndrome menjadi dukungan emosional pula bagi subyek. Dukungan informasi diperoleh dari guru, dokter, teman, dan suami. Dukungan companionship diperoleh dari suami dan anak. Sedangkan sumber stres dari jaringan sosial subyek meliputi dua subyek merasakan kurangnya dukungan dalam mengawasi anak down's syndromenydi. Kurangnya dukungan sangat dirasakan oleh satu subyek yang kebetulan juga bekerja, ketika secara bersamaan subyek harus melakukan tugas rumah tangga, bersiap-siap untuk mengajar, sekaligus harus mengawasi anaknya yang juga hiperaktif. Satu subyek merasa kesal karena anak-anaknya kurang membantunya dalam mengawasi anaknya yang down's syndrome. Sering subyek merasa kelelahan harus menjaga dan mengawasi anaknya supaya tidak keluar rumah. Selain itu subyek juga mengatakan bahwa aktifitas mengajar ngaji juga terhambat karena harus menunggu salah satu anaknya pulang supaya ada yang menjaga anaknya yang down's syndrome. Rasa fhistasi akibat tidak menemukan orang yang dapat diajak bercerita dan berkeluh kesah karena suami yang sibuk bekerja dan anak-anak yang sibuk bekerja dan kuliah kadang-kadang dirasakan oleh satu subyek. Omongan saudara dan anggota keluarga yang menyakitkan juga menjadi sumber stres bagi tiga subyek. Selain itu dua subyek kadang-kadang juga merasa sedih dan prustasi atas ucapan teman-teman yang berhubungan dengan anaknya yang down's syndrome. Dua subyek yang sudah memasuki akhir usia middle adulthood juga merasakan kecemasan yang berhubungan dengan siapa yang akan mengasuh anak down's syndrome bila subyek sudah tidak ada.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
C. Hirania Wiryasti
Abstrak :
Stroke adalah penyakit kronis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya. Sebagai akibatnya penderita stroke akan mengalami sties. Untuk dapat menangani stresnya, penderita stroke membutuhkan dukungan sosial. Efektifitas dukungan sosial dalam membantu penanganan stres penderita stroke dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial. Penelitian dilakukan untuk menemukan hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dan kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke (N=39). Ada tujuh tipe dukungan, yaitu: Keterikatan. Integrasi Sosial, Penghargaan. Hubungan yang Dapat Diandalkan, Bimbingan, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Instrumental. Selanjutnya, ada tiga kategori sumber dukungan: Pasangan Hidup, Keluarga, dan Non-Keluarga. Untuk mendapat gambaran yang lebih mendalam, maka hendak diketahui pula hubungan antara persepsi terhadap tiap tipe dukungan dan kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan dengan stres pada penderita stroke. Pengambilan data dilakukan dengan Kuesioner Stres Pada Penderita Stroke* Modifikasi Social Provisions Scale, dan Kuesioner Kepuasan Terhadap Sumber Dukungan Sosial. Proses face validity dilakukan terhadap ketiga alat tersebut dengan menggunakan experl judgment. Selanjutnya, terhadap dua alat pertama juga telah dilakukan uji reliabilitas dengan metode koefisien alpha Cronbach pada program SPSS 10.01. Uji signifikansi dilakukan dengan metode korelasi producl-inomenl Pearson pada program SPSS 10.01. Hasil perhitungan menunjukkan, hipotesa adanya hubungan antara persepsi terhadap tipe dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke diterima, dan hipotesa adanya hubungan antara kepuasan terhadap sumber dukungan sosial dengan stres pada penderita stroke tidak diterima. Selanjutnya, persepsi terhadap tipe dukungan yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke adalah Integrasi Sosial, Kesempatan Untuk Mengasuh, dan Bimbingan. Sedangkan, kepuasan terhadap tiap kategori sumber dukungan tidak ada yang berhubungan dengan stres pada penderita stroke. Kesimpulannya, tidak semua tipe dukungan dapat membantu penanganan stres penderita stroke. Hal ini tergantung pada kebutuhan masing-masing penderita. Selanjutnya, merasa puas terhadap sumber dukungan ternyata tidak mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan oleh penderita stroke. Peneliti menyarankan, agar lingkungan sosial memahami dengan baik kebutuhan dari penderita stroke yang menerima dukungan darinya. Terakhir, untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan perbaikan alat dan metodologi penelitian.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Ngadiran
Abstrak :
Halusinasi adalah gangguan persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua panca indera dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh atau baik, Halusinasi dapat berupa halusinasi dengar, lihat, cium, raba dan kecap. Keberadaan klien halusinasi dengan prilakunya yang cukup beragam di dalam keluarga menimbulkan stressor tersendiri bagi setiap anggota keluarganya karena keluarga merupakan suatu sistem dan akan menimbulkan masalah atau beban bagi keluarganya. Tujuan penelitian ini adalah menguraikan secara mendalam pengalaman keluarga tentang beban dan sumber dukungan keluarga serta makna dalam merawat anggota keluarganya yang mengalami halusinasi. Desain penelitian metoda kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini di lakukan pada keluarga yang anggota keluarganya mengalami halusinasi yang pernah di rawat atau sedang di rawat di rumah sakit Jiwa Cimahi Propinsi Jawa Barat dengan tehnik pengambilan partisipan secara purposive sampling yaitu tujuh partisipan. Kriteria inklusi partisipan dalam penelitian ini adalah keluarga yang anggota keluarganya mengalami halusinasi dan sebagai care giver, mampu berkomunikasi dengan baik dengan baik, tinggal satu rumah dengan klien halusinasi. Pengumpulan data di lakukan dengan cara tehnik wawancara mendalam ( indept interview ) dan menggunakan catatan lapangan ( field note ). Hasil wawancara mendalam di dan catatan lapangan di analisis menggunakan metoda colaizzi dengan enam tahapan analisis. Dalam penelitian ini teridentifikasi delapan tema sebagai hasil penelitian yaitu beban psikologis, beban financial, masalah dalam fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan social, dukungan keluarga, perhatian tanpa pamrih, kecewa terhadap pemberi dukungan, takdir. Rekomendasi penelitian untuk keperawatan jiwa yaitu perawat akan lebih meningkatkan kompetensi dalam melakukan pengkajian terhadap kebutuhan keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi sehingga akan semakin tepat dalam memberikan intervensi kepada keluarga terutama untuk meningkatkan kemampuan dan meminimalkan beban yang di rasakan keluarga.
Hallucination is sensory perceptions disorder without external stimulus that could involves all five senses, in which occurs during the individual's full awareness. Hallucination appears in such types, depends on the sense attacked, heard, seen, smelled, touch, or taste. The presence of client with hallucinations by various behaviors in family raises its own stressor for each member of the family, because family is like a system and this situation will cause a problem or burden to the family. The purpose of this study is to get in-depth description of family experiences about their burden and family support resource, as well as the principle purpose of caring their family member with hallucination. The design used in the research is Qualitative method with phenomenology approach. The objects are seven families with its member who had experienced hallucinations treatment or being treated in Psychiatric Hospital in Cimahi, West Java Province; techniques of sampling using purposive sampling. The inclusion criteria of participants in this research are family member with hallucination, families experience as care giver, is able to communicate well, living under the same roof with client. The data collected by depth-interviewed technique and using field note. The result was analyzed in six steps analysis by Colaizzi method. In this research, eight themes identified as the result; these are psychological burden, financial burden, the burden of health services accessibility, social support, family support, require a sincere support, disappointed by care giver, and destiny. The recommendations of this research for Psychiatric Nursing is that nurses will be more in depth assessment based on family needs, in caring for clients with hallucinations, so the interventions planned for the family will be more precise, especially to minimize the burden felt by the family.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T28413
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Etania Ranu Andhika
Abstrak :
Gizi buruk merupakan penyebab utama stunting, gangguan fungsi kognitif, prestasi sekolah yang rendah, masalah perilaku, dan kematian pada anak. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif / Exclusive Breastfeeding (EBF) selama enam bulan pertama untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Namun, berdasarkan Survei Kesehatan Demografi Indonesia tahun 2017, angka EBF hanya 38% untuk anak di bawah enam bulan. Angka ini jauh di bawah target yang ditetapkan oleh WHO dan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada 2030, yaitu sebesar 70%. Penelitian ini akan memberikan gambaran terbaru tentang capaian EBF di Indonesia, terutama mengenai pentingnya dukungan harian yang diterima ibu menyusui dalam memengaruhi keputusannya untuk menyelesaikan EBF selama 6 bulan. Dukungan praktis memungkinkan ibu untuk fokus pada menyusui, baik secara langsung maupun tidak. Dengan membantu ibu melakukan pekerjaan rumah atau merawat bayi (termasuk memberikan ASI perah untuk menjamin kelangsungan konsumsi ASI selama ibu tidak di rumah), kehadiran aktor pendukung dalam rumah tangga diyakini menjadi faktor penting dalam keberhasilan EBF. Penelitian ini akan mengungkap hubungan antara sumber dukungan (baik nenek dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, ayah, dan pekerja rumah tangga) dengan pilihan pemberian ASI eksklusif yang dilakukan oleh sang ibu. Selain itu, penelitian ini akan menjadi penelitian pertama yang mengungkapkan apakah ada pengaruh yang berbeda antara nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu dalam mempengaruhi EBF di Indonesia. Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana faktor- faktor lainnya (pekerjaan ibu, status ekonomi, paritas, tingkat pendidikan orang tua, usia orang tua, jenis tempat tinggal keluarga, dan jenis kelamin bayi) mempengaruhi perilaku pemberian ASI eksklusif. Dengan memanfaatkan data individu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019 dan 2020, regresi probit menunjukkan bahwa sumber dukungan di rumah tangga tidak secara signifikan mempengaruhi keberhasilan EBF. Sebaliknya, karakteristik ibu menjadi faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan EBF. Ibu yang tidak bekerja, berasal dari status ekonomi yang lebih rendah, pendidikan yang lebih tinggi dan tinggal di daerah perkotaan lebih mungkin untuk menyelesaikan EBF dibandingkan mereka yang tidak. Memiliki bayi perempuan dan suami yang lebih berpendidikan juga secara positif berhubungan dengan keputusan menyusui eksklusif. Karena kehadiran aktor pendukung tidak secara signifikan mempengaruhi keputusan ibu untuk melanjutkan atau menghentikan EBF, aktor utama menyusui tetap ibu menyusui itu sendiri. Oleh karena itu, untuk meningkatkan angka capaian EBF, ibu menyusui harus didukung dalam menghadapi tantangan yang mereka hadapi, terutama di tempat kerja. ......Malnutrition is the primary cause of stunting, impaired cognitive function, low school achievement, behavioral problems, and deaths of children under five years old. World Health Organization (WHO) recommends exclusive breastfeeding (EBF) for the first six months to prevent malnutrition from happening in children's early life. However, EBF coverage in Indonesia is still suboptimal. Based on the Indonesia Demography Health Survey in 2017, the EBF rate is only 38% for children below six months. This figure is far below the target EBF rate WHO and United Nations Children's Fund (UNICEF) set in 2030 at 70%. This research will provide the latest insight into EBF completion for children between 6 and 23 months in Indonesia, especially regarding the importance of daily support on impacting the mother's decision to complete EBF. The practical support may enable the mother to focus on breastfeeding, whether directly or indirectly. By helping the mother do housework or taking care of the baby (including giving the expressed breastmilk to secure the breastmilk consumption continuation while the mother is not at home), the sources of support are believed to be critical factors in EBF success. The research will uncover the relationship between the sources of support (both maternal and paternal grandmothers, the father, and the domestic worker) and the exclusive breastfeeding choices made by the mother. Also, it will be the first study that reveals whether there is a different effect of paternal and maternal grandmother cohabitation in influencing EBF in Indonesia. Moreover, this study explores how modifying factors (mother’s employment, economic status, parity, parents’ education level, parents’ age, type of residential area that the family lives in, and the gender of the baby) affect exclusive breastfeeding behavior. Using the latest individual-level data from the 2019 and 2020 National Socio-Economic Survey (SUSENAS), probit regression suggests that support sources in the households are not significantly affecting EBF completeness in this country. In contrast, maternal characteristics become the most decisive factor influencing EBF behavior. Non-working mothers from lower economic status and higher-level education in urban areas are more likely to complete EBF than those who are not. Also, having female infants and a more educated husband are positively associated with exclusive breastfeeding decisions a mother would make. Since the presence of supporting actors does not significantly affect the mother's decision to continue or discontinue EBF, the main actor of breastfeeding is still the breastfeeding mother herself. Therefore, to improve the EBF rate, breastfeeding mothers must be supported in the challenges they face, especially in the workplace.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library