Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wilda Bayuningsih
Abstrak :
Skripsi ini berfokus pada bousouzoku dalam masyarakat Jepang yang merupakan suatu istilah yang ditujukan untuk orang-orang yang mengendarai kendaraan secara kebut-kebutan dan melanggar rambu-rambu lalu lintas. Anggota dari bousouzoku adalah para pelajar sekolah menengah yang sebagian besar di antaranya adalah mereka yang dikeluarkan dari sekolah (Sato, 1991). Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analistis dengan melihat data kepustakaan yang dianalisis menggunakan teori youth subculture. Youth subculture atau subkultur pemuda merupakan kebudayaan cabang yang memiliki norma khas, yang berbeda dari masyarakat dominan. Dari analisis kepustakaan diperoleh bahwa bousouzoku merupakan orang-orang yang mempunyai ketertarikan sama akan kendaraan bermotor yang kemudian diwujudkan melalui modifikasi kendaran tersebut serta melakukan aktivitas mereka sebagai anggota bousouzoku untuk menunjukkan eksistensi mereka yang membuat mereka digolongkan sebagai suatu bentuk youth subculture.
This thesis focused of bousouzoku in Japanese society which a term that pointed for people who ride vehicle quickly and break the traffic rule. The members of bousouzoku were students of high school that many of them were drop out from the school (Sato, 1991). The method which used in this thesis was descriptive analysis method by seen literature data which analyzed by youth subculture theory. Youth subculture was a branch culture which had a specific norm, that different from dominant culture. From literature analyzed had gotten that bousouzoku were people who had a same interest with vehicle which had showed by vehicle modification and made their activity as a member of bousouzoku for showing their existence that made them had classed as a form of youth subculture.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13936
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmawan Saefullah
Abstrak :
Scholars of Indonesian politics and Islam use the phrase ‘conservative turn’ to explain the increasing religious influence in contemporary Indonesia’s social, political, and cultural life. Although their literature provides insightful explanations about this trend, scholars fail to include subcultural Muslim youths in their analyses. The term ‘subcultural youths’ in this context refers to a diffuse network of young people that share distinctive identities, ideas, and cultural practices associated with underground music subcultures (such as punk, hardcore, hip-hop, metal, and ska) as a way to deal with a sense of marginalisation and/or to oppose mainstream society. In Indonesia in the 1990s, these youths were mostly secular, pluralist, and politically progressive and leftist. Their community welcomed all people from any social background, and religion was considered a personal matter. The social, political, and economic conditions following the fall of the New Order regime (1966-1998) changed the nature of this community. Some of its participants shifted ideologically and organisationally to Islamic conservatism and right-wing Islamism, marked by their support of and involvement in various movements such as the Islamic underground movement and the hijrah movement. This paper attempts to fill a gap within the existing literature on the conservative turn of subcultural youths in Indonesia by introducing the most recent subcultural theory as an analytical framework that can be used to explain the ideological and organisational shift. Studying the conservative turn of subcultural Muslim youths from a perspective that emphasises critical political economy allows this paper to present new insights against conventional wisdom and purely culturalist readings of the conservative turn in Indonesia.
Jakarta: UIII Press, 2022
297 MUS 1:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Atu Karomah
Abstrak :
Jawara merupakan salah satu dari entitas dari masyarakat Banten yang cukup terkenal. Ia dikenal bukan saja karena pengaruh kharismanya yang melewati batas-batas geografis, tetapi juga budaya kekerasan yang melekat padanya. Sehingga ia dikenal sebagai subculture of violence dalam masyarakat Banten. Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertcntu dalam melakukan kekerasan. Mereka pun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok. Kekerasan yang dilakukan jawara pada umumnya dimaknai oleh yang bersangkutan sebagai upaya pembelaan terhadap orang yang dipandang melakukan pelecehan harga diri yang menyebabkan yang bersangkutan merasa malu. Pelecehan terhadap harga diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai pelecehan terhadap kapasitas dan kapabilitas diri dan ini sangat terkait dengan peran dan status sosial di masyarakat. Karena itu pelecehan terhadap harga diri dipahami sebagai pelecehan terhadap peran dan statusnya di masyarakat. Batasan tentang pelecehkan harga diri itu memang tidak tegas karena itu sering dinterpretasikan secara subyektif oleh pelakunya. Sehingga yang menyebabkan kasus pelecehan harga diri itu berbagai macam seperti tuduhan pencurian, gangguan terhadap istri atau pacar, balas dendam atau kekalahan dalani politik desa atau persaingan bisnis. Dalam konteks ini kekerasan yang dilakukan jawara memang sangat terkait denngan "konstruksi maskulinitas" dalam budaya masyarakat. Kekerasan yang dilakukan jawara selain sebagai sarana untuk mempcrtahankan harga diri, kekerasan juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial lebih tinggi sebagai seorang jawara yang disegani dalam lingkungan komunitas mereka. Sehingga mereka biasa menjadi pimpinan jawara (bapak buah) dengan memiliki sejumlah pengikut (anak buah). Bahkan dengan posisi dan status sosial ini mereka pula dapat meraih kedudukan formal dalam lingkungan institusi formal seperti menjadi jaro, kepala desa, bahkan untuk menjadi bupati atau wali kota. Mendapat gelar sebagai seorang jawara yang disegani merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang menyandangnya. Karena dengan gelar tersebut, ia bisa menaikan posisi tawarnya ketika berhubungan dengan pihak lain. Ia bisa mendesakan segala keinginan baik secara halus maupun dengan kekerasan. Oleh karena itu dalam konsep kebudayaan diantaranya mengenai sistem komunikasi, kekerasan yang dilakukan jawara dianggap sebagai sarana untuk mengkomunikasi simbol-simbol tentang sikap dan perilaku pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inna Imaniati
Abstrak :
Sexual needs are among the primary needs of humans to be fulfilled. The rise of lesbian behavior in Correctional Institution "X" is an interesting phenomenon, as lesbianism is regarded as a deviant behavior, especially with regard to religious values and norms. Correctional Institution "X" also prohibits any form of relations among inmates of different sexes, much less between those of the same sex. The research is qualitative and descriptive, with informants including lesbian inmates, non-lesbian inmates and institutional staff members. In the collection of data, the researcher acted as participant, gathering data with direct observation and in-depth interviews. The theory used in the study is the subculture theory of John Irwin and Donald R. Cressey. A subculture is a group of norms, values and beliefs differing from norms, values and beliefs of the dominant culture. A prison subculture is a group of patterns arising in the prison environment, different from the dominant culture. A subculture is a choice in facing prison life, having opposing norms and values. According to Albert K. Cohen, a subculture appears from a feeling of solidarity in a group having norms suitable to group members' requirements. Cohen explains further that deviant behavior includes actions considered in violation of norms and expectations of the society. The research shows that prison affects sexual behavior of inmates. Lesbian behavior can be regarded as a subculture, noting the rise of values, symbols, and norms. Within correctional institutions, lesbian behavior rises due to lack of legal means to obtain fulfillment of sexual needs. If inmates are provided with a legal means to fulfill their sexual needs, it is possible that lesbian behavior would not arise within correctional institutions.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosepine Christina
Abstrak :
Klithih merujuk pada aksi kekerasan di jalanan Yogyakarta pada malam hari. Fenomena ini tidak terbatas pada perilaku iseng remaja, namun telah berubah menjadi subkultur yang kompleks di Yogyakarta. Tugas karya akhir ini membahas bagaimana klithih dilihat masyarakat sebagai perilaku yang bersifat kriminogenik sedangkan klithih dikontestasikan sebagai kegiatan kultural oleh pelaku klithih itu sendiri. Adanya perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari eksistensi konflik budaya. Pengumpulan data diperoleh melalui studi literatur. Pembahasan tulisan ini dibantu dengan perspektif kriminologi budaya dan teori subkultur delinkuen milik Albert Cohen, serta konsep kebudayaan, konfllik budaya dan subkultur. Hasilnya, konflik budaya antara pelaku klithih dengan masyarakat Yogyakarta terjadi karena adanya perbedaan interpretasi terhadap nilai dan norma yang ada. Konflik budaya menjadi akar dari pembentukan wacana yang cenderung negatif terhadap klithih sebagai reactive subculture di masyarakat. ......Klithih refers to violent acts on the streets of Yogyakarta at night. This phenomenon is not limited to juvenile fad behavior, but has turned into a complex subculture in Yogyakarta. This final project discusses how klithih is seen by the community as criminogenic behavior while klithih is contested as a cultural activity by the klithih actors themselves. The existence of these different views cannot be separated from the existence of cultural conflicts. Data collection was obtained through literature study. The discussion of this paper is assisted by the perspective of cultural criminology and delinquent subculture theory by Albert Cohen, also the concept of culture, cultural conflict and subculture. As a result, cultural conflicts between klithih actors and the people of Yogyakarta occur because of different interpretations of existing values and norms. Cultural conflict is the root of the formation of discourse that tends to be negative towards klithih as a reactive subculture in society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Prasetiyo
Abstrak :
ABSTRAK Ultras saat ini menjadi bentuk subkultur suporter sepakbola yang sangat populer. Keberadaan media baru membuat subkultur ultras mampu meresap secara dinamis dan banyak diikuti oleh kaum muda. Melalui kasus Brigata Curva Sud, studi ini akan membahas reproduksi identitas kolektif ultras termasuk peran penting media baru sebagai bagian dari strategi mengokohkan identitas tersebut. Secara umum berbagai kajian-kajian yang ada tentang ultras hingga saat ini cenderung berkutat pada ulasan mengenai kekerasan, politik maupun gerakan sosial. Berbeda dengan kajian-kajian tersebut, penelitian ini justru berupaya menawarkan dimensi kajian lain terhadap subkultur ultras yakni secara spesifik melihat reproduksi identitas yang terjadi serta bagaimana peranan konteks lokal, kaum muda sebagai aktor dan peran penting media baru pada proses tersebut. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan studi dokumen. Penelitian ini menunjukkan bahwa reproduksi identitas subkultur yang didasarkan pada kesesuaian atas konteks lokal dan konteks sosial aktor (kaum muda) dengan didukung peran aktif media baru menyebabkan terjadinya diferensiasi identitas dalam bentuk manifesto nilai dan praktik identitas ultras yang dapat diterima secara luas dan berkelanjutan. 
ABSTRACT Ultras is a form of football supporters subculture that very popular nowadays. The existence of new media make ultras subculture able to penetrate dynamically and turn to be followed by many young people. Through the Brigata Curva Suds case, this study will discuss the reproduction of ultras identity including the important role of new media as part of a strategy to strengthen that identity. In general, various studies on ultras have tended to dwell on reviews of violence, politics and social movements. In contrast to these studies, this study offering another dimension of ultras subculture analysis by looking at the reproduction of identity that occurs and how the local context plays a role, youth as actors and the important role of new media in the process. This study used a descriptive qualitative research method. Data collection in this study was conducted by interview, observation, and documentation. This shows that the reproduction of subcultural identity based on the suitability of the local context and the social context of actors (youth) supported by the active role of new media causes distinctive identity differentiation in the form of ultrass values and practices manifesto that can be widely accepted and be sustainable. 

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T52501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Komang Ayu Pertiwi Pendet
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang pemanfaatan tubuh perempuan pada iklan Jepang. Pemanfaatan tubuh perempuan dalam media bukanlah hal baru, tetapi yang baru dalam fenomena ini adalah memanfaatkan bagian tubuh perempuan sebagai tempat menempelkan iklan. Sebuah biro periklanan di Tokyo Jepang menjadikan bagian tubuh perempuan sebagai tempat pemasangan iklan. Fenomena ini di Jepang disebut zettai ryouiki. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kulitatif dengan langkah-langkah pengumpulan data menggunakan teknik studi kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan menganalisis peran media periklanan menggunakan tubuh perempuan dalam beriklan dan perubahan nilai-nilai yang berlaku bagi perempuan sebagai pelaku zettai ryouiki terhadap fenomena zettai ryouiki. Bagian pertama dari penelitian ini berfokus pada peran media periklanan, Berdasarkan teori biopower dari Foucault bahwa media sebagai salah satu pelaku pemilik kontrol dalam mengontrol atau mengendalikan tubuh perempuan. Bagian kedua dari penelitian ini berfokus pada perubahan nilai-nilai yang berlaku bagi perempuan pelaku zettai ryouiki terhadap fenomena zettai ryouiki. Perempuan menampilkan diri dengan memperlihatkan bagian paha merupakan representasi seksualitas yang diciptakan dan dikonsumsi oleh hasrat keinginan diri sendiri untuk menambah kesan unik dan popularitas.
ABSTRACT
This research examine the problem how the use of female body parts in Japanese advertising. The use of female body parts in media is not new, but what is new with this phenomenon is the use of female body part as advertising. An advertising agency in Tokyo, Japan, has made female body part as an advertising media. This phenomenon in Japan is called zettai ryouiki. This research used research method of data collection through literature study technique. The purpose of this research is to identify, explore, and analyze the role of advertising media using the female body and the changing values that apply to young women related to the phenomenon of zettai ryouiki. The first part of this study focuses on the role of advertising media, based on Foucault's biopower theory where media is one of the owners that control or controlling the female body. The second part of the study focuses on changes in values that apply on women against the phenomenon of zettai ryouiki. Women present themselves by showing the thighs as representation of sexuality created and consumed by the desire of self unique impression and popularity.
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2018
T51014
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Darmansyahputra
Abstrak :
Tulisan ini memaparkan tentang resistensi subkultur straight edge terhadap acara musik yang disponsori oleh produsen rokok. Resistensi yang dibahas di dalam tulisan ini adalah ide resistensi baru yang merupakan perkembangan dari resistensi dari tidak mengkonsumsi rokok. Resistensi yang dilakukan oleh para aktornya tidak hanya berada di dalam tatanan mikro saja, namun juga di dalam tatanan meso dan makro. Mengambil studi kasus straight edge jakarta, tulisan ini berusaha untuk melihat bentuk resistensi yang dilakukan oleh subkultur straight edge Jakarta dalam setiap tatanannya, serta bagaimana lingkungan sekitar subkultur straight edge merespon resistensi yang mereka lakukan. ......This paper explain about straight edge resistance against cigarette company as music show sponshorship. The resistance which explain in this paper is a new resistance idea which is the development of the absence of cigarettes. The resistance performed by the straight edge actors is not only within the micro-oriented, but also in the meso and macro oriented. With Jakarta’s straight edge as a case study, this paper try to analyze the form of resistance conducted by the subculture of the straight edge in Jakarta in every order, and also how the other subculture responding their resistance.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fatahillah Dudayev
Abstrak :
This Is England 2006 adalah sebuah film inggris yang mengungkapkan permasalahan terhadap apayang dipercayai orang banyak mengenai cabang kebudayaan skinhead. Film ini sendiri berceritamengenai anak berumur 12 tahun bernama Shaun yang bergabung ke beberapa kelompok skinhead.Tidak seperti film bertema rasis kebanyakan, This Is England 2006 tidak hanya menampilkan satutipe kelompok. Film ini mempermasalahkan kepercayaan tentang seperti apa skinhead itu denganmerepresentasikan dua kelompok yang berbeda dalam cabang kebudayaan tersebut. Dengan melakukananalisis tekstual dan menggunakan beragam kerangka konsep, makalah penelitian ini bertujuan untukmenjawab pertanyaan terhadap apakah identitas cabang kebudayaan skinhead bersifat tunggal, danbagaimana film tersebut merepresentasikan hal ini. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa tidaksemua anggota skinhead berbagi identitas tunggal yang sama, dimana identitas ini biasanya mendapatpengasosiasian dengan stereotip penampilan fisik, tendensi rasis mereka, dan pandangan merekamengenai politik.
This Is England 2006 is a British film that discloses the problematization of what many believe theskinhead subculture is. The film itself tells the story of 12-year-old Shaun who joins several skinheadgroups. Unlike most racism-themed films, This Is England 2006 does not only shows one kind ofgroup. The film problematizes the belief of what skinhead is by representing two different kinds ofgroups within the subculture. By doing textual analysis, and using various conceptual frameworks, thisresearch paper aims to achieve the answer on whether skinhead subculture rsquo;s identity is singular, andhow the movie represents this. The findings of this research show that not all skinhead members sharethe same singular identity, in which identity commonly associated with stereotypical physicalappearances, their racist tendencies, and their views on politics.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Djioe Let Beng
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah peer-group society orang Italia di West End, Boston pada pertengahan abad ke-20, yang dipaparkan dalam buku The Urban Villagers karya Herbert J. Gans. Tulisan ini juga mengungkapkan bagaimana pola pergaulan mereka sulit dirubah oleh caretakers atau pemerhati kota dalam upaya mendidik West Enders menjadi pelaku-pelaku kebudayaan kota industri Boston. Peer-groups merupakan kelompok-kelompok keluarga Italia yang melakukan pertemuran rutin satu hingga tiga minggu sekali di West End. Pertemuan rutin ini dimotori oleh para pria dewasa yang telah menikah dan memiliki keluarga. Pertemuan ini merupakan sarana melanggengkan hubungan serta kedekatan anak-anak laki-laki Italia disana ketika mereka dewasa. Pergaulan semacam ini dianggap tidak conform dengan pola kebudayaan kota industri seperti Boston. Tesis Gans pada bukunya mengatakan bahwa pergaulan ini merupakan gejala kelas (class phenomenon) den dapat dianggap sebagai sebuah subculture. Penelitian ini melihat gejala tersebut dari sisi yang lain. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa apa yang membentuk kelompok-kelompok peer-group adalah ikatan emosional yang disebut solidaritas. Solidaritas muncul jika ada perasaan senasib dan sama antar pelaku interaksi sosial. Kesamaan nilai-nilai yang dianggap penting merupakan kunci ikatan emosional ini. Individualisme ditekan supaya setiap anggota kelompok mampu secara maksimal conform terhadap nilai-nilai kelompoknya. Nilai-nilai yang sama ini dapat dikenali melalui habitus lokasi West End sendiri. Habitus West End mampu menunjukkan bahwa solidaritas yang terwujud dalam kelompok-kelompok peer-group orang Italia di West End merupakan tanggapan lokalitas terhadap kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat kota Boston kelas menengah sebagai pelaku kebudayaan kota industri dengan orang Italia di West End yang kebanyakan lemah ekonominya. The focus of this research is the peer-group society of the Italians in West End, Boston in the middle of the twentieth century, which is discussed in Herbert J. Gans' book, The Urban Villagers. This book also reveals how difficult it is for the caretakers to change the social habits of the West Enders in the process of the adoption of the Boston urban culture. Peer-groups are groups of the Italian families who gather regularly one to three times a week in West End. The Italian family men promote these routine gatherings. These gatherings are believed to preserve the relation and cohesion among the male teenagers when they grow up. This sociability is considered not to conform to such an urban industrial culture as that of Boston. Gans' thesis is that this sociability is a class phenomenon and can be considered as a subculture. This research tries to look at this phenomenon from a different perspective. In this research it is found that what constitutes those groups is emotional cohesion - that is solidarity. Solidarity occurs if there is a feeling of similar fates among the individuals. The similarity of the significant values is the key to the strong emotional cohesion. Individualism is suppressed so that each member of a group may totally conform to the collective values. Those values can be recognized through West End's habitués. West End's habitués shows that solidarity in a form of peer-groups is the response of locality to the economic inequality between the Boston middle class as the urban industrial culture supporters and the Italian West Enders, who belong to the poor working class.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>