Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rezti Wandanuri Putri
"Setiap tahun, ada peningkatan jumlah orang yang didiagnosis dengan autisme, termasuk orang tua mereka. Membesarkan anak dengan autisme adalah tantangan seumur hidup bagi orang tua, dan itu bisa berdampak pada kesejahteraan orang tua. Untuk menjaga kesejahteraan orang tua, mereka dapat memanfaatkan dyadic coping (DC) dengan pasangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi suatu korelasi antara kesejahteraan dan faktor mengatasi diad. Ada 121 orang tua yang berpartisipasi penelitian ini. Kesejahteraan diukur dengan Skala Berkembang dan Skala Positif dan Pengaruh Negatif (Diener et al., 2010), sementara koping diad diukur oleh Diadik Coping Inventory (Bodenmann, 2005). Hasilnya menunjukkan, ada yang positif signifikan hubungan antara faktor kesejahteraan dan DC umum yang berfokus pada emosi, berfokus pada masalah DC umum, juga DC yang mendukung emosi. Ada yang signifikan positif hubungan antara yang berfokus pada masalah mendukung dan mendelegasikan DC dengan psikologis maju.

Every year, there is an increase in the number of people diagnosed with autism, including their parents. Raising children with autism is a lifelong challenge for parents, and it can have an impact on the well-being of parents. To maintain the welfare of parents, they can take advantage of dyadic coping (DC) with their partners. This study aims to evaluate a correlation between well-being and coping factors for dyads. There were 121 parents who participated in this study. Welfare is measured by the Developmental Scale and Positive Scale and Negative Influence (Diener et al., 2010), while dyadic coping is measured by Diadik Coping Inventory (Bodenmann, 2005). The results show, there is a significant positive relationship between welfare factors and general DC that focuses on emotions, focuses on common DC problems, also DCs that support emotions. There is a significant positive relationship between focusing on the problem of supporting and delegating DC with psychologically advanced."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Sulistyowati
"Latar Belakang: Gangguan Spektrum Autisme (GSA) adalah gangguan neurodevelopmental yang terdiri atas gangguan komunikasi, interaksi sosial serta adanya perilaku restriktif dan repetitif. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam kemampuan adaptif anak sehingga menghambat anak dalam melakukan kemampuan dasar aktivitas harian, seperti makan, mandi, melepas dan memakai baju, dan lain-lain. Penggunaan video-modeling merupakan salah satu metode intervensi yang dikembangkan beberapa tahun terakhir untuk melatih kemampuan aktivitas harian pada anak GSA. Nemun demikian, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai penggunaan video-modeling aktivitas mandi pada anak GSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan imitasi sequence aktivitas mandi sebelum dan sesudah pengggunaan video-modeling aktivitas mandi pada anak GSA. Metode: Disain penelitian ini adalah kuasi eksperimental (pre-post test analysis) dengan subjek penelitian adalah anak usia 6-10 tahun yang telah didiagnosis GSA oleh SpA konsultan neurologi anak yang datang ke Klinik Anakku Check My Child (CMC) Kayu Putih, Klinik Anakku BSD Serpong, Pondok Pinang, Depok dan Bekasi, serta Sekolah Anakku Pulomas pada periode April-Juni 2023. Subjek dikumpulkan dengan metode consecutive sampling. Besar sampel yang dibutuhkan untuk power 80%, derajat kemaknaan 5%, effect size 0,6 serta perkiraan drop out 20% adalah 33 subjek. Penelitian diawali dengan pembuatan video-modeling berupa animasi kegiatan mandi serta checklist penilaian kegiatan mandi berdasarkan 20 sequence kegiatan aktivitas mandi pada video tersebut. Pemaparan video dilakukan minimal 1x/hari selama 4 minggu. Subjek dengan frekuensi pemaparan <75% akan dieksklusi dari analisis. Penilaian dilakukan berdasarkan checklist aktivitas mandi dengan memberikan poin 1 untuk setiap sequence aktivitas yang mandi yang dilakukan subjek tanpa adanya instruksi verbal dan prompt motorik. Nilai pre-test adalah hasil penjumlahan penilaian checklist aktivitas mandi sebelum paparan video-modeling, sedangkan nilai post-test diambil setelah proses intervensi selama 4 minggu. Hasil: Dari 35 subjek yang mengikuti awal penelitian, hanya tersisa 29 anak (82,8%) yang menyelesaikan penelitian hingga 4 minggu. Sebagian besar subjek (94,2%) berusia 6-8 tahun dengan perbandingan laki dan perempuan sebesar 5:1. Nilai median kemampuan aktivitas mandi anak GSA sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling adalah 3 (0-10) dan 6(1-17), pada skala 20. Terdapat perbedaan nilai yang bermakna (nilai p< 0,0001) antara perbedaan nilai sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling, dengan nilai median selisih 3 (-4 – 13), pada skala 20. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara nilai imitasi sequence aktivitas mandi pada anak GSA sebelum dan sesudah penggunaan video-modeling. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kemaknaan nilai tersebut secara klinis.

ackground: Autism Spectrum Disorder (ASD) is a range of neurodevelopmental disorders characterized by impaired communication, social interaction and the presence of stereotypic and repetitive behavior. It may affect children's adaptive behaviour which consequently hinder them in carrying out basic daily living skills, such as eating, bathing, grooming, etc. Video-modeling is one of the newest intervention methods for the last decades to train daily living skills among individuals with ASD. However up to now there is scarce evidence for using video-modeling to improve bathing skills in children with ASD. This study aims to evaluate the difference of sequence imitation skills in bathing activity before and after using video-modeling of bathing in children with ASD. Method: The design of this study was a pre-post test analysis. The subjects are children aged 6-10 years who had been diagnosed as GSA by a pediatric neurology consultant and attended the Anakku Clinic Check My Child (CMC) Kayu Putih, Anakku Clinic BSD Serpong, Pondok Pinang, Depok, Bekasi, as well as Anakku Pulomas School within period of April until June 2023. The sampling method was consecutive sampling method. It required total of 33 subjects for 80% power, 5% significance level, 1 point of effect size along with pre-estimated 20% drop out. Firstly, we formulated an animation video-modeling of bathing activity along with its checklist evaluation instrument. The checklist consisted of 20 sequences shown in video-modeling of bathing. Subjects were mandated to watch the video-modeling minimum once a day for duration of 4 weeks. Subjects with the video exposure less than 75% were excluded from the analysis. The evaluation was conducted by adding 1 point for each sequence activity performed by ASD child, without any verbal instructions nor motoric prompts. Pre-test score is the sum of the bathing activity checklist before subject was exposed with the video-modeling, meanwhile the post-test score was taken after 4 weeks intervention period of video-modeling. Result: Among 35 subjects attended in the beginning of the study, only 29 children (82.8%) completed the study for 4 weeks. Most of the subjects (94.2%) were aged 6-8 years with a male and female ratio of 5:1. Median score of ASD childrens’ bathing activity before and after the video-modeling exposure is 3 (0–10) and 6 (1–17), on a scale of 20. The pre- and post-test difference is statistically significant which gives result of 3 point of difference (-4–13), on a scale of 20. Conclusion: There is a statistically significant difference between the sequence imitation skills of bathing activity in ASD children before and after using video-modeling. Further research is needed to determine the clinical significance of this value."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwaningsih
"Latar Belakang: Perilaku abberant sering terdapat pada pasien GSA. Salah satu kuesioner yang bisa digunakan untuk menilai perilaku abberant adalah kuesioner ABC-C 2017. Kuesioner ABC-C 2017 mengukur 5 domain perilaku abberant (iritabilitas, penarikan diri secara sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/ ketidakpatuhan dan pola bicara yang tidak tepat) pada anak dan remaja dengan diagnosis GSA, saat ini belum ada versi Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai kesahihan dan keandalan kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dihitung menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI). Uji keandalan konsistensi internal dihitung menggunakan Cronbach alpha. Penelitian ini juga menilai proporsi perilaku abberant berdasarkan 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI dan S-CVI kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia sebesar 0,917, sehingga kesahihan isi kuesioner ini dinilai baik. Hasil keandalan konsistensi internal baik sampai excellent dengan nilai Cronbach’s alpha untuk masing-masing domain iritabilitas 0,938; penarikan diri secara sosial 0,936; perilaku stereotipik 0,930; hiperaktivitas, ketidakpatuhan 0,949 dan domain pola bicara yang tidak tepat 0,869. Proporsi perilaku abberant berdasarkan penilaian 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM, didapatkan hasil, domain iritabilitas derajat ringan sebesar 70,6%; penarikan diri secara sosial derajat ringan 72,5%; perilaku stereotipik 100% derajat ringan; hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang 47,1%, dan pola bicara yang tidak tepat 100% derajat ringan. Proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin juga didominasi derajat ringan, kecuali domain hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik, proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin anak.
Kesimpulan: Kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia dapat dipakai di Indonesia untuk penelitian selanjutnya, mendeteksi 5 domain perilaku abberant pada pasien GSA dan sebagai modul pendidikan bagi tenaga kesehatan.

Background: Abberant behavior is often found in ASD patients. One of the questionnaires that can be used to assess abusive behavior is the 2017 ABC-C questionnaire. The 2017 ABC-C questionnaire measures 5 domains of abberant behavior (irritability, social withdrawal, stereotypic behavior, hyperactivity/non-compliance and inappropriate speech patterns) in children. and adolescents with a diagnosis of ASD, currently there is no Indonesian version.
Methods: This study used a cross-sectional design to assess the validity and reliability of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire. Content validity was calculated using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI). Internal consistency reliability test was calculated using Cronbach alpha. This study also assessed the proportion of abusive behavior based on the 5 domains of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire, in children and adolescents with ASD at the Children and Adolescent Mental Polyclinic RSCM.
Results: The results of the analysis show that the I-CVI and S-CVI scores of the 2017 ABC-C Indonesian version of the questionnaire are 0.917, so the validity of the contents of this questionnaire is considered good. The results of the reliability of internal consistency are good to excellent with Cronbach's alpha value for each irritability domain 0.938; social withdrawal 0.936; stereotypic behavior 0.930; hyperactivity, non-compliance 0.949 and inappropriate speech pattern domain 0.869. The proportion of abnormal behavior based on the assessment of the 5 domains of the 2017 ABC-C questionnaire in Indonesian version, in children and adolescents with ASD at the Child and Adolescent Mental Polyclinic RSCM, the results obtained, the domain of mild irritability was 70.6%; mild social withdrawal 72.5%; 100% mild stereotypic behavior; moderate degree of hyperactivity/non-compliance is 47.1%, and inappropriate speech is 100% mild. The proportion of abberant behavior based on age and gender was also dominated by mild degrees, except for the moderate degree of hyperactivity/non-compliance domain. There was no statistically significant difference, the proportion of abusive behavior based on the age and sex of the child.
Conclusion: The Indonesian version of the ABC-C 2017 Questionnaire can be used in Indonesia for further research, detecting 5 domains of abnormal behavior in ASD patients and as an education module for health workers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Nasyaa Auraliesa
"Keluarga dengan anak berkebutuhan khusus seperti Gangguan Spektrum Autisme, sering dikaitkan dengan peran keluarga yang besar dalam menjaga tumbuh kembang mereka, termasuk membantu anak berkomunikasi, berinteraksi, serta melakukan aktivitas sehari-hari. Tentunya dalam membantu anak dengan spektrum autisme untuk tumbuh dan berkembang tidaklah mudah, orang tua sebagai pengasuh utama sering dikaitkan dengan kondisi psikologis yang lebih buruk dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang normal. Saudara kandung sebagai anggota keluarga juga mengalami tingkat stress yang tinggi dalam menghadapi aktivitas sehari-hari dan juga menghadapi tekanan lingkungan sosial ketika mereka bersama saudara kandung dengan spektrum autisme. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan keberfungsian keluarga dengan distres psikologis pada saudara kandung dari anak dengan spektrum autisme. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dan menggunaka Teknik nonprobability sampling yang berhasil menyaring 136 partisipan penelitian. Keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device (FAD) yang terdiri dari 60. Sementara distress psikologis diukur dengan General Health Questionnaire (GHQ-12) yang terdiri dari 12 item. Partisipan penelitian ini adalah 136 partisipan dengan rentang usia 18-35. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi dimensi Penyelesaian Masalah, dimensi Komunikasi dimensi Peran, dimensi Responsivitas Afektif,dan dimensi Keberfungsian Keluarga secara Umum berkorelasi negatif secara signifikan dengan  distres psikologis. Sedangkan dimensi Kontrol perilaku tidak berkorelasi dengan Distres Psikologis.

Families with children with special needs, such as Autism Spectrum Disorder, are often associated with a large family role in maintaining their growth and development, including helping children communicate, interact, and perform daily activities. Of course, helping children with the autism spectrum to grow and develop is not easy, parents as primary caregivers are often associated with worse psychological conditions than parents with normal children. Siblings as family members also experience high levels of stress in dealing with daily activities and also face pressure from the social environment when they are with siblings on the autism spectrum. Therefore, this study aimed to examine the relationship between family functioning and psychological distress in siblings of children with autism spectrum. This study used a quantitative design and used a non-probability sampling technique that successfully screened 136 participants. Family functioning was measured by the Family Assessment Device (FAD), which consisted of 60. Meanwhile, psychological distress was measured by the General Health Questionnaire (GHQ-12) which consisted of 12 items. The participants of this study were 136 participants with an age range of 18-35. The results of this study indicate that the dimensions of Problem Solving, Communication dimensions, Role dimensions, Affective Responsiveness dimensions, Affective Involvement dimensions, and Family Functioning dimensions in general have a significant negative correlation with psychological distress. While the behavioral control dimension is not correlated with Psychological Distress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilmah Yanuarti Barmawi
"Latar belakang : Stres kerja ini dilaporkan terjadi secara global dan menempati posisi utama sebagai penyebab stres yang paling sering terjadi di antara penyebab stres lainnya. Pekerjaan sebagai terapis anak autis (Akanaeme et al., 2021)adalah salah satu pekerjaan paling sering meningkatkan stres, karena menghadapi anak autis dengan gangguan tumbuh kembang yang kadang bersifat agresif dan impulsif. Hal ini dapat terjadi juga pada terapis anak autis di Yayasan Tumbuh Kembang Anak Shine Kids Ministry Indonesia Kota Jakarta Selatan . Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada terapis anak autisme di Yayasan Tumbuh Kembang Anak Shine Kids Ministry Indonesia Kota Jakarta Selatan Tahun 2024. Metode : penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan 51,7% terapis anak autis di di Yayasan Tumbuh Kembang Anak Shine Kids Ministry Indonesia mengalami stres kerja berat, sedangkan 48,3% terapis mengalami stres kerja ringan. Berdasarkan hasil uji chi square faktor beban kerja, konflik peran, faktor komunikasi efektif dan faktor konflik keluarga berhubungan secara signifikan dengan stres kerja. Berdasarkan uji regresi logistik multivariat didapatkan hasil faktor yang paling dominan berhubungan terhadap stres kerja adalah faktor konflik keluarga (p-value 0,003) dan faktor konflik peran (p-value 0,012). Kesimpulan : Faktor konflik keluarga dan faktor konflik peran merupakan faktor yang paling dominan berhubungan terhadap stres kerja pada penelitian ini. Diperlukan mitigasi stres kerja dengan meningkatkan pemahaman mekanisme koping stres sebagai strategi pengeloaan stres kerja pada terapis anak autis di Yayasan Tumbuh Kembang Anak Shine Kids Ministry Indonesia Kota Jakarta Selatan.

Background: Occupational stress is reported occur globally and occupies a leading position as the most frequent stressor among other stressors. According to Akanaeme et al (2021), work as a therapist for autistic children is one of the most common jobs that increase stress, because they face autistic children with developmental disorders who are sometimes aggressive and impulsive. This can also happen to autistic child therapists at the Shine Kids Ministry Indonesia Child Development Foundation, South Jakarta City. Objective: To determine the factors associated with work stress in autistic children therapists at the Shine Kids Ministry Indonesia Children's Growth and Development Foundation, South Jakarta City in 2024. Method: quantitative research using cross sectional design. Results: The results showed 51.7% of autistic children therapists at the Shine Kids Ministry Indonesia Foundation experienced severe work stress, while 48.3% of therapists experienced mild work stress. Based on the results of the chi square test, workload factors, role conflict, effective communication factors and family conflict factors are significantly related to work stress. Based on the multivariate logistic regression test, the most dominant factors related to work stress are family conflict factors (p-value 0.003) and role conflict factors (p-value 0.012). Conclusion: Family conflict factors and role conflict factors are the most dominant factors related to work stress in this study. It is necessary to mitigate work stress by increasing understanding of stress coping mechanisms as a strategy for managing work stress in autistic child therapists at the Shine Kids Ministry Indonesia Child Growth and Development Foundation, South Jakarta City. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghianina Yasira Armand
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk memahami dan mengeksplorasi secara mendalam persepsi orang tua terhadap hubungan anak Gangguan Spektrum Autisme (GSA) dengan saudara kandung tipikal, serta upaya mereka dalam mengelola hubungan tersebut. Penelitian ini melibatkan enam partisipan orang tua yang setidaknya memiliki satu anak kandung terdiagnosa GSA dan setidaknya satu anak kandung dengan perkembangan tipikal di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur yang berlangsung selama 60-90 menit untuk menggali pengalaman pribadi dan sudut pandang partisipan mengenai interaksi sehari-hari anak tipikal dengan saudara kandungnya yang memiliki GSA. Analisis tematik digunakan untuk menganalisis temuan wawancara yang mengungkapkan lima tema utama: pengalaman pasca diagnosis saudara kandung, hubungan saudara kandung, dampak kondisi GSA terhadap saudara kandung, dukungan orang tua, dan harapan dan ekspektasi orang tua di masa depan. Hasil dari penelitian ini menghasilkan implikasi klinis yang menekankan pentingnya program intervensi anak GSA yang melibatkan saudara kandung, serta ketersediaan dukungan psikologis untuk saudara kandung dan orang tua dari anak GSA.

The aim of this research is to understand and explore in depth parents' perceptions of the quality of their children's relationships with Autism Spectrum Disorders (ASD) with typical siblings, as well as their efforts in managing these relationships. This research involved six parent participants who had at least one biological child diagnosed with GSA and at least one biological child with typical development in Indonesia. Using a qualitative methodology approach, data was collected through semi-structured interviews lasting 60-90 minutes, exploring participants' personal experiences and perspectives regarding the daily interactions of typical children with their autistic siblings. Thematic analysis was used to analyze the interview findings, revealing five main themes: post-diagnosis experiences, quality of sibling relationships, impact of ASD towards siblings, parental support for siblings, and parental hopes for the future. The results of this study reveal clinical implications that assert the importance of interventions for children with ASD that involve siblings, as well as the availability of psychological support for siblings and parents of children with ASD.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Primaciptadi
"Tesis ini membahas pemanfaatan neurofeedback (NF) pada anak dengan gangguan spektrum autisme (GSA) di Indonesia, yang selama ini pemanfaatannya masih sangat terbatas, karena terdapat aspek yang belum jelas seperti belum adanya panduan atau konsensus terkait kriteria anak GSA yang mendapatkan manfaat dari NF, jumlah sesi latihan yang optimal, jenis protokol latihan yang optimal serta evaluasi yang perlu dilakukan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode delphi. Telah dilakukan penyusunan kuesioner yang didasarkan pada telaah literatur dan diskusi dengan pembimbing penelitian. Kuesioner yang disusun terdiri dari tujuh bagian dan tiga puluh sembilan pertanyaan. Kuesioner dibagikan kepada enam orang psikiater anak dan remaja yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang terkumpul dari kuesioner metode Delphi dianalisis dengan metode kualitatif, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam pemanfaatan NF pada anak GSA perlu memperhatikan karakteristik anak dengan GSA, riwayat kondisi medik dan psikiatrik, kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta tingkat kecerdasan. Selain itu pengaturan ruangan latihan NF, edukasi keluarga, asesmen awal, penyusunan rencana terapi, sesi latihan yang terstruktur dan proses evaluasi yang komprehensif juga perlu diperhatikan untuk optimalisasi hasil tatalaksana NF pada anak GSA. Berdasarkan hasil penelitian, protokol latihan NF pada anak GSA telah berhasil disusun.

This thesis discusses the utilization of neurofeedback (NF) in children with Autism Spectrum Disorder (ASD) in Indonesia, where its application has been very limited. This limitation arises due to unclear aspects such as the absence of guidelines or consensus regarding the criteria for children with ASD who benefit from NF, the optimal number of training sessions, the optimal type of training protocol, and the necessary evaluations. The research employed a qualitative approach using the Delphi method. A questionnaire was developed based on literature reviews and discussions with the research supervisor. The questionnaire consisted of seven sections with thirty-nine questions. It was distributed to six child and adolescent psychiatrists who met the inclusion criteria. Data collected from the Delphi method questionnaire were analyzed qualitatively using data reduction, data display, and conclusion drawing/verification methods. The research findings suggest that the utilization of NF in children with ASD should consider the child's characteristics, medical and psychiatric history, language and communication abilities, as well as intelligence level. Additionally, aspects such as the arrangement of the NF training room, family education, initial assessment, therapy plan development, structured training sessions, and a comprehensive evaluation process need attention to optimize the management outcomes of NF in children with ASD. Based on the research results, a successful NF training protocol for children with ASD has been formulated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
"ABSTRAK
Latar belakang. Gangguan tidur merupakan gangguan penyerta pada anak gangguan spektrum autisme (GSA), yang memiliki prevalens tinggi serta dapat mengakibatkan perilaku negatif terhadap lingkungannya atau perilaku maladaptif eksternalisasi. Gangguan tidur pada anak GSA perlu dideteksi secara dini, karena bila tidak akan menyebabkan keterlambatan terapi dan menyebabkan anak makin berperilaku negatif serta menyebabkan stres pada keluarga.
Tujuan. Mengetahui pola gangguan tidur dan gambaran perilaku maladaptif eksternalisasi pada anak GSA, serta mengetahui perbedaan rerata nilai indeks perilaku maladaptif eksternalisasi (v-scale), pada anak GSA dengan gangguan tidur dan tanpa gangguan tidur.
Metode. Penelitian potong lintang analitik di klinik dan tempat terapi anak berkebutuhan khusus di Jakarta pada bulan Juni-Agustus 2014. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) dan penilaian perilaku maladaptif eksternallisasi dengan kuesioner Vineland-II dilakukan terhadap 40 anak GSA yang dipilih secara konsekutif. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok gangguan tidur (20 anak) dan kelompok tanpa gangguan tidur (20 anak).
Hasil. Rentang usia dalam penelitian ini adalah 3-18 tahun dengan median usia 3,5 tahun. Proporsi terbanyak gangguan tidur pada anak GSA terdapat pada kelompok usia 3-5 tahun (15 dari 20 subjek). Pola gangguan tidur terbanyak pada anak GSA adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (17 dari 20 subjek) diikuti oleh gangguan somnolen berlebihan (8 dari 20 subjek). Nilai median v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi pada anak GSA adalah 18 (rentang 12-22), dan terdapat kecenderungan peningkatan nilai median v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi seiring dengan peningkatan usia pada kedua kelompok. Nilai rerata v-scale perilaku maladaptif eksternalisasi pada kelompok GSA dengan gangguan tidur lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa gangguan tidur (18,8 dan 17,6 secara berurutan, mean difference 1,2; p 0,35 (p ≥ 0,05)).
Simpulan. Proporsi terbanyak gangguan tidur pada anak GSA terdapat pada kelompok usia 3-5 tahun. Pola gangguan tidur terbanyak pada anak GSA adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur diikuti oleh gangguan somnolen berlebihan. Anak GSA dengan gangguan tidur memiliki nilai rerata indeks perilaku maladaptif eksternalisasi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa gangguan tidur, namun tidak bermakna secara klinis dan statistik.

ABSTRACT
Background. Sleep disorders is a comorbidity in Autism Spectrum Disorders (ASD), which has high prevalence and can cause negative behavior toward his surrounding or externalizing maladaptive behavior. Sleep disorders in ASD needs to be early detected, otherwise it will delay the treatment and children will behave more negative and cause the stress in family.
Objectives. To identify sleep patterns and externalizing maladaptive behavior in children with ASD, and to identify the mean difference of index score of externalizing maladaptive behavior of (v-scale) in ASD children with or without sleep disorders.
Methods. This study was analytical cross-sectional performed in the clinic and a therapy for children with special needs in Jakarta, in Juni-August 2014. Sleep disorders were screened using Sleep Disturbance Scale for Children (SDSC) questionnaire and externalizing maladaptive behavior was assessed using Vineland-II questioinnaire in 40 ASD children consecutively. They were divided into two groups, one group of sleep disorders (20 children) and other without sleep disorders (20 children).
Results. Age range in this study was 3-18 years old, with median age of 3.5 years old. The majority of sleep disorders in ASD was in age range 3-5 years (15 of 20 subjetcs). The most frequent sleep disorders in ASD were difficulty in initiating and maintaning sleep (17 of 20 subjetcs), followed by disorder of excessive somnolence (8 of 20 subjetcs). The v-scale median score in ASD was 18 (range 12-22), and there was tendency of increased v-scale median score along with increased age. The mean of v-scale in externalizing maladaptive behavior in ASD with sleep disorders group was higher than without sleep disorders group (18.8 and 17.6 respectively, mean difference 1,2; p 0.35 ((p ≥ 0,05)).
Conclusion. The majority of sleep disorders in ASD was in age range 3-5 years. The most frequent sleep disorders in ASD were difficulty in initiating and maintaning sleep, followed by disorder of excessive somnolence. Autism spectrum disorders children with sleep disorders has higher index externalizing maladaptive behavior mean than without sleep disorders, but was not meaningful clinically and statistically."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanti Sekarputri Pernama
"ABSTRAK
Defisit pada keterampilan sosial merupakan karakteristik utama yang ditemukan pada individu dengan gangguan autisme. Defisit tersebut meliputi berbagai aspek keterampilan, termasuk keterampilan yang paling dasar sekalipun seperti responsivitas sosial. Remaja yang didiagnosa dengan autisme umumnya menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan kelompok usia sebelumnya karena mereka dituntut untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa di sekolah maupun komunitasnya. Meskipun begitu, masih terbatas metode intervensi yang didukung oleh penelitian yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas penerapan behaviorally-based social skill group intervention pada remaja berusia 17-18 tahun dengan gangguan autisme (n=3). Intervensi behaviorally-based social skill group ini merupakan model progresif dari pendekatan applied behavior analysis dan terdiri dari 12 sesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah intervensi berakhir, semua partisipan mengalami peningkatan yang signifikan pada keterampilan responsivitas sosial mereka terhadap insisiasi sosial yang berasal dari orang dewasa (p<0.05), namun ketika inisiasi sosial berasal dari teman sekelompoknya, terdapat satu partisipan yang mengalami peningkatan namun tidak secara signifikan. Hasil yang didapatkan oleh ketiga partisipan ditemukan berhasil bertahan hingga 3 minggu setelah intervensi selesai, bahkan satu patisipan yang awalnya tidak mengalami peningkatan signifikan terlihat mengalami peningkatan pada tahap ini.

ABSTRACT
Deficits in social skills are the main characteristic of individual with autism, including the most basic social skills such as social responsiveness. Adolescents diagnosed with autism face a greater difficulties as they interact with same-aged peers and adults in their schools and communities. However, few empirically based interventions have been design to meet these needs. Therefore, this current study aims to test the effectiveness of a behaviorally-based social skill group intervention in adolescents aged 17-18 years with autism spectrum disorders (n=3). This 12 sessions intervention employed a progressive applied behavior analysis model. The results showed that every participants improved significantly in their social responsiveness (p<0.05) towards teacher's initiation, but their social responsiveness towards friend's initiation did not improve significantly. Despite that, the results were maintained up to 3 weeks after intervention had concluded."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T51699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Martahan Andreas Hariandja
"Penelitian terapi pijat bagi anak dengan GSA yang dilakukan dalam kurun waktu 10 – 15 tahun lebih banyak ditujukan terhadap anak yang telah didiagnosis gangguan spektrum autisme dengan rerata usia anak berada di antara 3 – 6 tahun. Di Indonesia penelitian tentang terapi pijat pada anak dengan risiko gangguan spektrum autisme belum banyak dilakukan dan dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Prevalensi penderita gangguan spektrum autisme di beberapa belahan dunia cenderung meningkat, seperti di Negara Amerika Serikat, Cina dan negara berkembang seperti di Indonesia. Di Indonesia sendiri data dan informasi yang akurat dan lengkap dari penderita gangguan spektrum autisme (GSA) masih kurang, sehingga dikuatirkan banyak anak dengan gejala risiko gangguan spektrum autisme tidak mendapatkan penanganan secara dini.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan modul terapi pijat pada anak risiko gangguan spektrum autisme, mengetahui dan menganalisis modifikasi skor M-CHAT dan mengetahui hasil penerapan TPGSA dalam menurunkan skor M-Chat dan status risiko gangguan spektrum autisme pada anak Usia 18–36 bulan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Desktiptif dengan pendekatan Studi Kasus. Populasi penelitian adalah anak usia 18-36 bulan yang telah mengikuti skrining/pemeriksaan M-CHAT di PKM Pasar Minggu, PKM Cipayung dan PKM Kebon Jeruk. sebanyak 1685 orang dengan angka kejadian anak risiko autisme sebanyak 14 orang (0,8%) dari bulan Mei tahun 2019 sampai dengan Maret 2020. Sampel penelitian sebanyak 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Jumlah anak yang diskrining dalam rangka modifikasi Skor M-CHAT adalah 904 anak yang dianalisis dengan Receiver Operating Characteristic (ROC) untuk memperoleh nilai Cut off Point dan Sensitivitas.
Hasil analisis dengan menggunakan ROC, diperoleh cut off point ≤ 24 dengan sensitivitas 87 % dengan Confidance Interval (CI) 95% dengan ROC area under the curve 0.912. Hasil penelitian dari penerapan terapi pijat diperoleh gambaran terdapat penurunan skor M-Chat dan perubahan status risiko gangguan spektrum autsime yang dimulai pada periode III hari ke 21-30 dan periode IV hari ke 31-40 pemberian terapi pijat.
Kesimpulan penelitian ini adalah hasil analisis ROC pada modifikasi skor M-CHAT dapat digunakan untuk melakukan skrining dan menilai status risiko GSA, penerapan TPGSA dapat menurunkan skor risiko anak GSA dan dapat merubah anak risiko GSA dari risiko tingi menjadi risiko autisme dan normal.

Research on massage therapy for children with ASD that was conducted over a period of 10-15 years was mostly aimed at children who had been diagnosed with autism spectrum disorders with the average age of children being between 3-6 years. In Indonesia, research on massage therapy in children at risk for ASD has not been widely carried out and reported in the form of scientific journal publications.
The prevalence of people with Autism Spectrum Disorders in some parts of the world tends to increase, such as in the United States, China and developing countries such as Indonesia. In Indonesia alone, accurate and complete data and information from people with Autism Spectrum Disorders (ASD) are still lacking, so it is feared that many children with risk symptoms of autism spectrum disorders do not get early treatment.
This study aims to develop a massage therapy modul for children at risk for ASD, find out and analyze the modification of The Modified Check List for Autism in Toddler (M-CHAT) score and determine the results of the application of MTASD in reducing the risk score for ASD in children aged 18-36 months. The type of research used is descriptive research with a case study approach. The study population was children aged 18-36 months who had participated in the M-CHAT screening/examination at the Pasar Minggu Community Health Center (CHC), CHC of Cipayung and CHC of Kebon Jeruk as many as 1685 people with the incidence of children at risk of autism as many as 14 people (0.8%) from May 2019 to March 2020. The research sample was 10 people who met the inclusion criteria. The number of children screened in order to modify the M-CHAT score was 904 children who were analyzed by Receiver Operating Characteristics (ROC) to obtain Cut off Point and Sensitivity values.
The results of the study based on ROC analysis obtained a cut off point ≤ 24 with a sensitivity of 87 % with a Confidance Interval (CI) of 95%, with an ROC area under the curve of 0.912. From the application of MTASD, it was found that a decrease in the M-CHAT score occurred in period III starting from day 30.
The conclusion of this study is that the results of the ROC analysis on the modified M-CHAT score can be used as a score to screen and assess the risk status of ASD, the application of MTASD can reduce the risk score of children with ASD and can change children at risk of ASD from high risk to autism risk and normal.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>