Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nico Reza
Abstrak :
Diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia terdapat 1.1 juta orang usia muda berada dalam risiko gangguan pendengaran terkait pajanan bising dari kegiatan hiburan, termasuk bermain drum. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah bergumam dapat melindungi telinga pada penabuh drum sehingga tidak didapatkan atau lebih sedikit perubahan nilai signal-to-noise ratio SNR , dibandingkan dengan penabuh drum yang tidak bergumam pada saat bermain drum. Penelitian dengan disain pre-post eksperimental dilakukan di komunitas penabuh drum di Depok, Jawa Barat dari bulan November 2017 sampai bulan Mei 2018.Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemberian APD berupa earplug, dan memberikan intervensi bermain drum dengan cara bergumam pada satu kelompok. Analisis data dengan program statistik SPSS Statistics 20.0. Sebanyak sepuluh subyek penabuh drum, terdiri dari empat orang pada kelompok kontrol dan enam orang pada kelompok intervensi, dilakukan analisis untuk mengukur SNR signal to noise ratio sebelum dan sesudah pajanan bising dengan bermain drum pada kedua kelompok tersebut. Didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna perubahan SNR sebelum dan sesudah pajanan di kedua telinga pada kedua kelompok tersebut. Intervensi bergumam untuk membangkitkan refleks Stapedius belum terbukti dapat memberikan perlindungan pendengaran pada subyek penelitian. Pemakaian APD berupa earplug tanpa / disertai dengan bergumam, diperkirakan dapat melindungi pendengaran dari penurunan SNR.
World Health Organization estimated about 1.1 million young adults are in risk of hearing impairment due to music entertainment. Drummer as well as others percussion musician have risk of hearing impairment.This study is to identificate if humming can prevent or make smaller signal to noise ratio SNR degradation on drummer compare to the drummer who does not hum while drumming. Pre Post Experimental was conducted to a Drummer Community in Depok, West Java from November 2017 until May 2018 using consecutive sampling. All subjects underwent interview, physical examination, using earplug to the both group and humming intervention for one of the groups. Analysis was done using SPSS Statistics 20.0. Ten subjects are included in this research consist of four peoples in control group and six peoples in intervention group, signal to noise ratio SNR was measured before and after noise exposure with drumming on both groups. The result was there is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant association of SNR on both groups in before and after exposure. There is no significant difference of SNR after exposure in both groups.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Panangian Christopher
Abstrak :
Dalam aplikasi IoT, penggunaan sistem komunikasi LoRa di bawah air masih jarang digunakan. Berdasarkan jurnal Link quality of LoRa for Internet of Underwater Things, penelitian sistem komunikasi LoRa di bawah air dilakukan dengan kedua modul LoRa diletakkan di bawah air dengan jarak kedalaman 25—140 cm. Pada penelitian ini, penulis akan melakukan pengujian sistem komunikasi LoRa di bawah air pada tiga jenis air, yaitu air kolam renang, air laut, dan air danau dengan kedalaman 10 cm dan jarak antar dua modul LoRa sejauh 2 m, 5 m, dan 8 m. Parameter yang akan diukur pada penelitian ini adalah RSSI dan SNR. Percobaan di bawah air kolam renang berhasil mencapai jangkauan hingga 8 m, percobaan di bawah air laut berhasil mencapai jangkauan hingga 5 m, sedangkan percobaan di bawah air laut berhasil mencapai jangkauan hingga 2 m. Berdasarkan hasil pengujian, nilai kekeruhan air memengaruhi jangkauan transmisi sinyal LoRa. Nilai RSSI dan SNR ketika di bawah air selalu mengalami fluktuasi. Nilai RSSI di bawah air yang paling baik adalah nilai RSSI ketika di bawah air kolam renang, sedangkan nilai RSSI di bawah air yang paling buruk ketika di bawah air laut. Nilai SNR di bawah air yang paling baik adalah nilai SNR ketika di bawah air kolam renang, sedangkan nilai SNR di bawah air yang paling buruk nilai SNR ketika di bawah air laut. ......In IoT application, LoRa communication system use for underwater is still rarely used. Based on Link quality of LoRa for Internet of Underwater Things journal, the underwater LoRa research was carried out with both LoRa modules placed under water with a depth of 25—140 cm. On this research, we will test the LoRa communication system in underwater on three different types of water, swimming pool water, sea water, and lake water with a depth of 10 cm and distances between the LoRa modules of 2 m, 5 m, and 8 m. The parameters to be measured are RSSI and SNR. The experiments under the swimming pool water manages to reach a range up to 8 m. The experiments under the sea water manages to reach a range up to 5 m. The experiments under the lake water manages to reach a range up to 2 m. Based on the testing results, the water turbidity level affects the LoRa signal transmission coverage. The RSSI and the SNR value always fluctuating under water. The best underwater RSSI value is the RSSI value under the swimming pool water, while the worst underwater RSSI value is the RSSI value under the sea water. The best underwater SNR value is the SNR value under the swimming pool water, while the worst underwater SNR value is the SNR value under the sea water.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Widyastuti
Abstrak :
[ABSTRAK
Dosimeter film Radiochromic XR-RV3 merupakan salah satu tipe dosimeter yang dapat digunakan untuk mengukur dosis pasien pada prosedur kateterisasi jantung dengan fluoroskopi sebagai pemandu. Namun, perlu dipastikan pengaruh keberadaan film Radiochromic XR-RV3 terhadap kualitas citra. Penelitian ini menggunakan fantom Kat Ped sebagai representasi jantung dewasa dan membandingkan secara kuantitatif kualitas citra fantom yang dieksposi dengan menggunakan film dan tanpa menggunakan film GafChromic XR-RV3. Kuantitasi kualitas citra yang digunakan sebagai pembanding adalah Signal to noise ratio (SNR) dan resolusi kontras tinggi. Signal to noise ratio (SNR) yang diperoleh dianalisa menggunakan statistik t-test dengan confidence level 95%. Hasil analisa menunjukkan tidak terdapat perbedaan SNR yang signifikan dengan menggunakan film dan tanpa menggunakan film pada mode fluoroskopi low dose, normal dose dan high dose dengan diskrepansi SNR <10%. Pada mode cine 15 fps low dan 15 fps normal, terdapat kenaikan SNR dengan menggunakan film dengan diskrepansi <13% sedangkan pada mode cine 15 fps boost dan 25 fps coronary tidak terdapat perbedaan signifikan SNR dengan diskrepansi rerata < 7%. Pada high contrast analisa t-test untuk kedua mode fluoroscopy dan Cine tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan hasil non rejected pada confidence level 95%. ABSTRACT
Radiochromic XR-RV3 film dosimeter is a type of dosimeter that can be used to measure patient dose on cardiac catheterization procedure with fluoroscopy as a guide. However, it is necessary to ensure the effect of Radiochromic XR-RV3 film to image quality. This study used a Kat Ped phantom as a representation of the adult heart and quantitatively compare the image quality by using a phantom that exposed with film and without using film GafChromic XR-RV3. Quantitation of image quality used for comparison is the signal to noise ratio (SNR) and high contrast resolution. Signal to noise ratio (SNR) obtained statistically analyzed using t-test with 95% confidence level. The analysis results showed no significant difference in SNR using film and without using film on a low dose mode, the normal dose, and high dose flouroscopy with SNR discrepancy <10%. In the cine mode of 15 fps low and 15 fps normal, there is an increased SNR by using film with discrepancy <13%, while in the cine mode of 15 fps boost and 25 fps coronary there are no significant differences with mean SNR discrepancy <7%. At high contrast t-test analysis for both Fluoroscopy and Cine mode, result showed no significant difference with the results of non-rejected at the 95 % confidence level., Radiochromic XR-RV3 film dosimeter is a type of dosimeter that can be used to measure patient dose on cardiac catheterization procedure with fluoroscopy as a guide. However, it is necessary to ensure the effect of Radiochromic XR-RV3 film to image quality. This study used a Kat Ped phantom as a representation of the adult heart and quantitatively compare the image quality by using a phantom that exposed with film and without using film GafChromic XR-RV3. Quantitation of image quality used for comparison is the signal to noise ratio (SNR) and high contrast resolution. Signal to noise ratio (SNR) obtained statistically analyzed using t-test with 95% confidence level. The analysis results showed no significant difference in SNR using film and without using film on a low dose mode, the normal dose, and high dose flouroscopy with SNR discrepancy <10%. In the cine mode of 15 fps low and 15 fps normal, there is an increased SNR by using film with discrepancy <13%, while in the cine mode of 15 fps boost and 25 fps coronary there are no significant differences with mean SNR discrepancy <7%. At high contrast t-test analysis for both Fluoroscopy and Cine mode, result showed no significant difference with the results of non-rejected at the 95 % confidence level.]
Universitas Indonesia, 2015
S62229
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sesanti Hayuning Tyas
Abstrak :
ABSTRAK Terapi oksigen hiperbarik (TOH) telah direkomendasikan sebagai terapi adjuvan dari terapi utama steroid pada tuli mendadak, dengan mekanisme peningkatan oksigenasi jaringan dan penekanan inflamasi dan edema akibat iskemia. Belum didapatkan penelitian tentang perbandingan ambang perfrekuensi dan signal to noise ratio (SNR) antara terapi steroid metil prednisolon (MP) dibanding kombinasi MP dan TOH pada tuli mendadak. Penelitian uji klinis acak tersamar tunggal ini dilakukan di Poliklinik Neurotologi Departemen THT-KL FKUI/RSCM dan Unit Hiperbarik RSAL Mintohardjo pada bulan Juni-Desember 2013, melibatkan 20 subjek tuli mendadak, dengan 10 subjek kelompok terapi MP dan 10 subjek kelompok terapi MP dan TOH. Analisis dilakukan pada pemeriksaan audiometri nada murni pada 9 frekuensi dan Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) pada 5 frekuensi, pada awal terapi dan hari ke-15. Penelitian ini tidak mendapatkan perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok, didapatkan kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi yang lebih besar pada frekuensi 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 dan 16000 Hz pada kelompok MP dan TOH, dan perubahan SNR yang lebih besar pada frekuensi 12000 Hz pada kelompok MP dan TOH. Tidak didapatkannya perbedaan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang bermakna, dimungkinkan karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan. Penelitian juga membatasi analisis hingga terapi hari ke-15, sedangkan subjek tuli mendadak di Poli Neurotologi THT-KL RSCM sedianya dilanjutkan evaluasi hingga hari ke-90 (3 bulan). Penelitian lebih lanjut dengan besar subjek yang sesuai serta waktu evaluasi yang lebih lama, diharapkan dapat lebih menganalisis kecenderungan perubahan ambang perfrekuensi dan SNR yang lebih besar pada kelompok MP dan TOH.
ABSTRACT Hyperbaric oxygen therapy (HBOT) has been recommended as an adjuvant therapy of primary steroid therapy in sudden deafness, the mechanism by increasing of tissue oxygenation and suppression of inflammation and edema due to ischemia. Differences in frequency threshold and signal to noise ratio changes between methyl prednisolone (MP) therapy with MP and HBOT on sudden deafness, has not been obtained. This single-blind randomized clinical trial study was conducted at the Neurotology clinic of CMH ENT Department and Hyperbaric Unit of Mintohardjo Navy Hospital in June-December, 2013, involving 20 sudden deafness subjects, with 10 subjects in MP therapy group and 10 subjects in MP and HBOT group. Analysis was performed on pure tone audiometric examination at 9 frequencies and Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) at 5 frequencies, at the start of therapy and day 15. This study does not get the statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups, it was found that the tendency of changes in frequency threshold was greater in frequencies 1000, 2000, 4000, 10000, 12000 and 16000 Hz in the MP and HBOT group, and the change in SNR was greater in frequency of 12000 Hz in the MP and HBOT group. The statistically significant difference in frequency threshold and SNR changes between the two groups does not obtained, possible because this study is preliminary research. The study also restrict the analysis to the 15th day of therapy, while the subject of sudden deafness in Neurotology Clinic of CMH ENT Department originally continued evaluation until the 90th day (3 months). Further studies with larger appropriate subject and a longer evaluation period, is expected to further analyze trends and greater changes in frequency threshold and SNR in the MP and HBOT gorup.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Setyo Arifin
Abstrak :
Salah satu bagian dari proses pengambilan keputusan pada Jaringan Sensor Nirkabel (JSN) adalah pengiriman hipotesis dari sensor ke Pusat Informasi Gabungan (PIG). Konsumsi daya yang besar pada proses transmisi akan mengurangi waktu hidup sensor. Untuk mengatasi tantangan ini, penulis mengusulkan sebuah skenario transmisi on-off pada tiap sensor. Transmisi on ketika hipotesis sebelumnya tidak sama dengan hipotesis sekarang. Sebaliknya, transmisi off (tidak melakukan pengiriman) ketika hipotesis sebelumnya sama dengan hipotesis sekarang. Pengambilan keputusan di PIG menggunakan aturan Max-Log. Keunggulan aturan Max-Log adalah mempunyai probabilitas deteksi yang baik diseluruh nilai SNR dengan Pd0 0.84 pada Eb/E0 25 dB. Penelitian ini menghasilkan rumusan matematis aturan Max-Log yang menggabungkan dengan skenarion On-Off dalam rangka menghemat konsumsi daya. Pada hasil simulasi diperoleh selisih konsumsi daya sebesar 1,5 watt setelah observasi ke-10.
One of the process decision making in wireless sensor network (WSN) is transmit hypothesis to fusion center. Having consumes high power on transmitting, it can reduce sensors life time. To solve this problem, author propose new scenario its called on-off transmission. Transmission on when sensor has different hypothesis than before. Contrary, transmission off when sensor has same hypothesis than before. To make decision in fusion center, author use Max-Log fusion rules. The advantages of Max-Log fusion rule, it has good performace in all SNR value with Pd0 0.84 at Eb/E0 25 dB. The output of this research is mathematical approaches for Max-Log fusion rule combine with on-off scenario transmission. By simulation, Max-Log On-Off save energy consuming better than pure Max-Log with margin value 1,5 watt for 10 period observations.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
T31389
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus. ...... Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus. ......Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Riski Setiadi
Abstrak :
Mendapatkan citra kualitas tinggi dengan dosis pasien yang rendah merupakan suatu tujuan sekaligus tantangan dalam pemeriksaan radiologi diagnostik. Penelitian ini dilakukan menggunakan fantom in house yang dibuat dan didesain berdasarkan pengukuran ketebalan 116 pasien anak usia 0-15 tahun sebagai acuan ketebalan toraks, abdomen dan kepala. Citra fantom diambil dari berbagai faktor ekposi dalam rentang 45-60 kVp dan 4-12.5 mAs untuk toraks, 50-81 kVp dan 8-25 mAs untuk abdomen, serta 44-60 kVp dan 7.1-16 mAs untuk kepala. Optimasi ditentukan dengan menggunakan parameter figure of merit FOM yang merupakan rasio antara kuadrat dari signal-to-noise rasio SNR dengan dosis permukaan kulit ESD. Hasilnya diperoleh kondisi eksposi optimum pada fantom toraks sebesar 45-56 kVp dengan 4-5 mAs untuk anak usia 0-5 tahun, 45-60 kVp dengan 5-6.3 mAs untuk anak usia 5-10 tahun dan 45-60 kVp dengan 6.3-8 mAs untuk usia 10-15 tahun. Untuk fantom abdomen diperoleh kondisi optimum sebesar 50-53 kVp dengan 8 mAs untuk 0-3 tahun, 60-66 kVp dengan 12.5-16 mAs untuk usia 3-5 tahun, dan 63-70 kVp dengan 12.5-16 mAs untuk usia 5-15 tahun. Hasil optimasi untuk fantom kepala diperoleh 47-50 kVp dengan 8 mAs untuk usia 0-5 tahun, 50-56 kVp dengan 8 mAs untuk usia 5-15 tahun. Disamping itu diperoleh juga nilai Backscatter Factor BSF untuk fantom toraks sebesar 1.274-1.435 pada rentang 45-60 kVp, abdomen sebesar 1.274-1.395 pada rentang 50-81 kVp, dan kepala sebesar 1.110-1.586 pada rentang 44-60 kVp. ......Obtaining high image quality with low dose i.e. optimization remains a challenge in the practice of diagnostic radiology procedures, especially in pediatric cases. This research was carried out as an attempt to address the issue using an in house phantom designed based on the geometry in terms of thoracic, abdomen and cranial thickness of 116 pediatric patients 0 to 15 years . Images of the phantom were obtained from varied factors of tube potentials ranging from 45 60 kVp with 4 12.5 mAs for thoracic, 50 81 kVp with 8 25 mAs for abdomen, and 44 60 kVp with 7.1 16 mAs for cranial. Figure of Merit FOM was employed as optimization parameter, being a ratio of squared signal to noise ratio SNR and entrance surface dose ESD calculated and measured, respectively, for each exposure. The result demonstrated that the optimum exposure parameter on thoracic phantom ranged from 45 56 kVp with 4 5 mAs 0 5 years, 45 60 kVp with 5 6.3 mAs 5 10 years, and 45 60 kVp with 6.3 8 mAs 10 15 years. For abdomen examination with grid, optimized parameters were at the ranges of 50 53 kVp with 8 mAs 0 3 years, 60 66 kVp with 12.5 16 mAs 3 5 years , and 63 70 kVp with 12.5 16 mAs 5 15 years. For cranial examinations, the optimum parameter combination was obtained at the ranges of 47 50 kVp with 8 mAs 0 5 years , and 63 70 kVp with 12.5 16 mAs 5 15 years. This work also obtained that the backscatter factors for thoracic phantom were 1.274 1.435 at 45 60 kVp, 1.274 1.395 at 50 81 kVp for abdomen phantom, and 1.110 1.586 at 44 60 kVp for cranial phantom.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T47944
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Sunny
Abstrak :
Latar belakang: MRCP merupakan teknik pencitraan tidak invasif untuk mengevaluasi anatomi dan mendeteksi kelainan sistem bilier. Cairan di saluran bilier akan memperlihatkan sinyal yang tinggi pada MRCP. Salah satu keterbatasan pemeriksaan MRCP ialah cairan di saluran gastrointestinal juga memberikan sinyal tinggi yang dapat mengganggu evaluasi saluran bilier. Sari buah nanas dapat menjadi kontras oral negatif untuk menurunkan sinyal di gastrointestinal. Belum terdapat penelitian penggunaan sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP di Indonesia dan belum terdapat penelitian yang menilai visualisasi cabang-cabang duktus intrahepatikus setelah pemberian sari buah nanas. Tujuan: Mengukur perbedaan SNR gaster dan duodenum serta perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sesudah pemberian sari buah nanas pada pemeriksaan MRCP. Metode: Dilakukan pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas pada subjek penelitian. Mengukur perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum serta mengukur perubahan tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Perbedaan rerata SNR gaster dan duodenum dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan perubahan tingkat visualisasi dianalisis dengan uji McNemar untuk menilai diskordans. Hasil: Didapatkan 25 subjek penelitian yang menjalani pemeriksaan MRCP sebelum dan sesudah pemberian sari buah nanas. Terdapat penurunan bermakna SNR gaster dan duodenum setelah pemberian sari buah nanas, 127,1 (18,7-1194,6) menjadi 42.2 (4,2-377,1) untuk gaster dan 64,1 (3,8-613.4) menjadi 44,6 (6,5-310,3) untuk duodenum (p < 0,05). Terdapat perubahan bermakna tingkat visualisasi duktus bilier intrahepatikus (p < 0,05, diskordans >50%) dengan peningkatan tingkat visualisasi duktus intrahepatikus kanan segmen anterior pada 66% pengamatan, duktus intrahepatikus kanan segmen posterior pada 58% pengamatan, dan 70% pengamatan untuk duktus intrahepatikus kiri. Simpulan: Pemberian sari buah nanas dapat menurunkan sinyal gaster dan duodenum pada pemeriksaan MRCP dan mempengaruhi tingkat visualisasi cabang-cabang duktus bilier intrahepatikus.
Background: MRCP is a non-invasive imaging technique for evaluating anatomy and detecting abnormalities of the biliary system. Fluid in biliary tract will show high signal on MRCP. One of the limitations of MRCP is high signal in gastrointestinal fluid which can interfere biliary tract evaluation. Pineapple juice as negative oral contrast can reduce signal in gastrointestinal tract. There have been no studies on the use of pineapple juice for MRCP in Indonesia, and no studies assessed the visualization of intrahepatic ductal branches after administration of pineapple juice. Objective: Measuring difference in gastric and duodenal SNR and changes of visualization of intrahepatic biliary ductal branches after administration of pineapple juice on MRCP. Methods: MRCP before and after administration of pineapple juice were performed on subjects. Gastric and duodenal SNR mean difference were measured, and analysis were done with Wilcoxon test. Level of visualization of intrahepatic biliary ductal branches were also measured and analysed with McNemar test for discordances. Results: There were 25 subjects underwent MRCP. Gastric and duodenal SNR were statistically decreased after administration of pineapple juice, 127.1 (18.7-1194.6) vs 42.2 (4.2-377.1) and 64.1 (3.8-613.4) vs 44.6 (6.5-310.3) respectively (p <0.05). Statistically significant difference was observed in visualization of intrahepatic ductal branches (p<0,05), discordance >50%) with increase in visualization of right duct anterior segment in 66% observation, right duct posterior segment in 58% observation, and 70% observation in left intrahepatic bile duct. Conclusion: Use of pineapple juice as negative oral contrast significantly reduce gastric and duodenal signal in MRCP also affect visualization of the intrahepatic biliary duct branches.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Setyo Arifin
Abstrak :
Salah satu bagian dari proses pengambilan keputusan pada Jaringan Sensor Nirkabel (JSN) adalah pengiriman hipotesis dari sensor ke Pusat Informasi Gabungan (PIG). Konsumsi daya yang besar pada proses transmisi akan mengurangi waktu hidup sensor. Untuk mengatasi tantangan ini, penulis mengusulkan sebuah skenario transmisi on-off pada tiap sensor. Transmisi on ketika hipotesis sebelumnya tidak sama dengan hipotesis sekarang. Sebaliknya, transmisi off (tidak melakukan pengiriman) ketika hipotesis sebelumnya sama dengan hipotesis sekarang. Pengambilan keputusan di PIG menggunakan aturan Max-Log. Keunggulan aturan Max-Log adalah mempunyai probabilitas deteksi yang baik diseluruh nilai SNR dengan Pd0 0.84 pada Eb/E0 25 dB. Penelitian ini menghasilkan rumusan matematis aturan Max-Log yang menggabungkan dengan skenarion On-Off dalam rangka menghemat konsumsi daya. Pada hasil simulasi diperoleh selisih konsumsi daya sebesar 1,5 watt setelah observasi ke-10. ......One of the process decision making in wireless sensor network (WSN) is transmit hypothesis to fusion center. Having consumes high power on transmitting, it can reduce sensors life time. To solve this problem, author propose new scenario its called on-off transmission. Transmission on when sensor has different hypothesis than before. Contrary, transmission off when sensor has same hypothesis than before. To make decision in fusion center, author use Max-Log fusion rules. The advantages of Max-Log fusion rule, it has good performace in all SNR value with Pd0 0.84 at Eb/E0 25 dB. The output of this research is mathematical approaches for Max-Log fusion rule combine with on-off scenario transmission. By simulation, Max-Log On-Off save energy consuming better than pure Max-Log with margin value 1,5 watt for 10 period observations.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T40971
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>