Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanief Rachmanu Kautsar
"ABSTRAK
Shame dan Identitas moral berperan memotivasi perilaku moral individu. Sebagai bagian dari identitas diri, identitas moral diduga dipengaruhi oleh shame, tetapi belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa hubungan antara shame dan identitas moral. Variabel shame diukur dengan alat ukur Test of self-Conscious Affect-3 dari Tangney & Dearing, tahun 2002, yang telah diadaptasi ke konteks budaya Indonesia, sedangkan variabel identitas moral diukur dengan alat ukur Moral Identity Questionnaire dari Black & Reynolds tahun 2016, yang juga telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Partisipan penelitian merupakan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, berjumlah 520 orang partisipan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara shame dan identitas moral, (r=0,149; p<0,01). Penelaahan lebih lanjut terkait hasil tersebut kemudian dilakukan.

ABSTRAK
Individual moral behavior is motivated by shame and moral identity. As a part of self-identity, moral identity is assumed to be influenced by shame, but there is no research proving the assumption. This study aims to evaluate the relation between shame and moral identity. Test of Self-Conscious Affect-3 from Tangney & Dearing (2002) used to measure shame and Moral Identity Questionnaire from Black & Reynolds (2016) used to measure moral identity has been adapted to Bahasa Indonesia. The participants of the study were 520 students from different regions in Indonesia. The result showed small but significant relation between shame and moral identity (r=0,149; p<0,01). Further implications were discussed.
"
Lengkap +
2016
S63699
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Amelda
"Emosi moral (malu dan bersalah) berperan penting dalam mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan norma moral. Kepribadian terdiri dari seperangkat trait, yaitu kecenderungan tingkah laku, pola pikir, dan perasaan yang menetap, serta dapat membedakan individu dengan individu lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lima trait kepribadian menurut Five-Factor Model dan emosi moral (malu dan bersalah) pada orang Jawa, khususnya mahasiswa (N=165). Emosi malu dan bersalah diukur dengan menggunakan GASP (Cohen dkk, 2011).
Hasilnya menunjukkan bahwa openess to experience dan conscientiousness hanya berkorelasi dengan emosi bersalah, neuroticism hanya berkorelasi dengan emosi malu, agreeableness dan extraversion berkorelasi dengan kedua emosi moral (malu dan bersalah). Lebih lanjut, isin dipahami sebagai rasa malu dan bersalah pada orang Jawa. Ketika merasa malu atau bersalah, respon yang ditunjukkan oleh orang Jawa adalah perilaku reparatif, evaluasi perilaku negatif, evaluasi diri negatif, dan perilaku menarik diri.

Moral emotions (shame and guilt) plays an important role in driving behavior to conform to moral norms. Personality consists of a set of trait, a pattern of relatively permanent behavior tendency, thought, and feelings, and could distinguish individuals with other individuals. This study aims to investigate the relationship between the trait personality according to the Five-Factor Model and moral emotions (shame and guilt) in Javanese students (N = 165). Shame and guilt proneness were measured using GASP (Cohen et al, 2011).
The results show that the openess to experience and conscientiousness merely correlated with emotions of guilt, neuroticism only correlated with emotion shame, whereas agreeableness and extraversion correlated with both moral emotions (shame and guilt). Furthermore, isin understood as shame and guilt in Javanese. When feeling shame or guilt, the response shown by the Javanese is reparative behavior, evaluation of negative behavior, negative self-evaluation, and withdrawn behavior.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isharen Gina Namira
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana residivis dan mantan narapidana non-residivis. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara guilt proneness dengan perilaku residivisme, namun tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dengan perilaku residivisme. Oleh karena adanya perbedaan budaya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini ingin melihat perbandingan shame proneness dan guilt proneness pada narapidana di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memberikan alat ukur TOSCA-SD dalam Bahasa Indonesia kepada 39 narapidana residivis dan 30 mantan narapidana non-residivis. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara shame proneness dan guilt proneness dengan tindak residivisme. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku residivisme dipengaruhi oleh banyak faktor lain di luar emosi malu dan bersalah.

This research aims to compare shame proneness and guilt proneness among recidivist inmates and non-recidivist ex-inmates. The previous research shows that there is a relation between guilt proneness and recidivism, however there is no relation between shame proneness and recidivism. Due to cultural differences with previous research, this research aimed to compare shame and guilt proneness in Indonesian inmates. The research is done by assigning 39 recidivist inmates and 30 non-recidivist ex-inmates to fill in TOSCA-SD questionnaire in Bahasa Indonesia. The result of this research shows that there is no significant relation between shame and guilt proneness with recidivism. This result shows that there is another factor other than shame and guilt which affect recidivism."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S61924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Rachmadi
"Berbagai studi menemukan bahwa stres menjadi pengalaman tidak menyenangkan yang tidak dapat terelakkan selama menjalani pendidikan profesi psikologi klinis. Adanya perbedaan kurikulum antara mahasiswa program profesi psikologi klinis dengan program profesi dan magister lainnya membuat mahasiswa ini memiliki beban yang cenderung lebih banyak. Agar pengalaman stres yang dialami oleh mahasiswa tidak menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan, program ini menyediakan pembimbing (supervisor) dalam pelaksanaan praktik profesi yang dilaksanakan. Hubungan antara mahasiswa dan pembimbing ini dikenal sebagai supervisory working alliance (SWA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prediktor pembentuk SWA, yaitu shame proneness dan regulasi emosi pada mahasiswa profesi psikologi klinis di Indonesia yang sedang/sudah menjalani PKPP. Studi ini dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis multiple regression, di mana dari 108 partisipan ditemukan bahwa shame proneness dan regulasi emosi menjadi prediktor kualitas SWA. Semakin tinggi shame proneness maka akan semakin negatif persepsi SWA mahasiswa, sementara itu semakin baik kemampuan regulasi emosi yang dimiliki oleh mahasiwa, maka semakin positif SWA yang dipersepsikan mahasiswa terhadap pembimbingnya

Various studies have found that stress becomes an inevitable unpleasant experience during the training of clinical psychologist. Due to the difference in curriculum between clinical psychologist trainees and other professional and master programs, these students tend to have more responsibilities. To minimize the negative impact due to stress experienced by these students, this program provides supervisors during their professional practice. The relationship between students and supervisors is known as a supervisory working alliance (SWA). This study aims to determine the predictors of SWA, including shame proneness and emotion regulation in clinical psychologist trainees in Indonesia who are currently doing / have been practicing professionally. This study was conducted using a quantitative approach with multiple regression analysis. Among the 108 participants, it is found that shame proneness and emotion regulation are predicting of the quality of SWA. The higher the shame proneness, the more negative the students' perceptions of SWA will be, meanwhile the better the ability to regulate emotions possessed by students, the more positive SWA will be perceived by students towards their supervisors. This suggests that in order to have a positive SWA, clinical psychologist trainees need to manage their shame proneness and the regulation emotions."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detricia Tedjawidjaja
"Tahap perkembangan remaja seringkali ditandai dengan peningkatan kecemasan sosial. Meskipun Social Anxiety Disorder (SAD) merupakan gangguan yang umum terjadi pada remaja, SAD cenderung sulit untuk diidentifikasi. Faktor budaya diduga berpengaruh terhadap batasan antara tingkat kecemasan sosial yang normal dan patologis. Penelitian ini menggunakan explanatory sequential design (kuantitatif-kualitatif) untuk (1) menguji pengaruh self-construal terhadap kecemasan sosial melalui peran mediasi emosi malu pada remaja etnis Jawa dan (2) menjelaskan penghayatan kecemasan sosial remaja etnis Jawa yang dibandingkan dengan gejala SAD dalam DSM-5. Dalam penelitian kuantitatif, pengukuran terhadap kecemasan sosial, self-construal, dan emosi malu melibatkan 37 remaja berusia 14-17 tahun dengan kedua orang tua beretnis Jawa dan berdomisili di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil uji mediasi menggunakan causal steps approach menunjukkan bahwa emosi malu tidak berperan dalam hubungan antara self-construal dengan kecemasan sosial. Selain itu, independent construal secara signifikan berpengaruh negatif dan emosi malu berpengaruh positif terhadap tingkat kecemasan sosial. Selanjutnya, empat partisipan dengan kecemasan sosial yang tinggi berdasarkan pengukuran pada penelitian kuantitatif diikutsertakan dalam wawancara mendalam tentang gejala kecemasan sosial yang mereka alami. Hasil dari inductive analysis menunjukkan bahwa tingginya kecemasan sosial tidak selalu mengarah pada penegakan diagnosis SAD. Norma dalam budaya Jawa yang cenderung menerima gejala kecemasan sosial menyebabkan dampak negatif tidak muncul terhadap fungsi sehari-hari remaja. Implikasi dari hasil penelitian ini menekankan pada pentingnya mempertimbangkan konteks budaya remaja dalam menegakkan diagnosis SAD.

Adolescence is often marked by increased social anxiety. Even though Social Anxiety Disorder (SAD) is one of the most common disorders among adolescents, SAD is likely to be difficult to recognize. Cultural factors may influence the boundary between the normal and pathological level of social anxiety to be ambiguous. Using an explanatory sequential design (quantitative-qualitative), the aims of this study were to (1) examine whether self-construal influence social anxiety through mediating role of and (2) explore the meaning and experience of social anxiety symptoms among Javanese adolescents by comparing them with SAD symptoms in DSM-5. For quantitative study, measurement of social anxiety, self-construal, and shame involved 37 adolescents aged 14-17 year-old with both parents are Javanese and settle in DI Yogyakarta, Central Java, and East Java Province. The result of mediation analysis using causal steps approach indicated that there is no mediation effect of shame in the relationship between self-construal and social anxiety. In addition, only independent construal have a negative effect and shame have a positive effect significantly on social anxiety intensity. Furthermore, four participants with high social anxiety based on measurement in the quantitative study were joined an in-depth interview about their social anxiety symptoms. Results of the inductive analysis indicated that high social anxiety does not necessarily lead to the diagnosis of SAD. Norms in Javanese culture that tends to tolerate social anxiety symptoms causes no negative impact on adolescents' functions of daily life. The findings suggest that considering adolescent cultural context is essential for diagnosing SAD."
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Adrianus Eliasta, 1966-
"Dilema antara guilt (rasa bersalah) dan shameful (rasa malu) sudah lama menjadi topik menarik di bidang psikologi sosial. Dilema tersebut antara lain muncul dalam pembahasan mengenai kontrol sosial, perilaku sendiri, nilai moral individual, tingkat standar moral, pengaruh lintas budaya serta dalam situasi pendidikan. Diperkirakan pula, salah satu yang lebih berperanan, entah itu aspek guilt atau aspek shameful, akan mempengaruhi pada cara bagaimana memodifikasi perilaku seseorang.
Studi ini menelaah mengenai kecenderungan di sekolah-sekolah menengah umum dalam memodifikasi perilaku siswa yang telah menampilkan perilaku atau tindakan yang dianggap sebagai salah, jahat, tidak tertib atau menyimpang dari norma sosial yang ada. Apakah kalangan guru di sekolah-sekolah tersebut menampilkan kecenderungan mengeksploitasi penghukuman (punishment) atau melakukan tindakan penciptaan rasa malu (shaming) siswa dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan siswa tersebut?
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa metode penghukuman ternyata merupakan satu-satunya cara memodifikasi perilaku yang diterapkan. Dan, temuan lain, diyakini bahwa dengan diberikan hukuman itulah lalu kemudian muncul rasa malu. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia perihal beroperasinya guilt dan shameful.

Such dilemma between guilt and shameful has been an interesting topic in the field of social psychology since few times ago. That dilemma persists when discussing social control, self-control, individual moral values, moral standard, cross-cultural influence as well as education-related setting. It is predicted, the one which is more influential, whether guilt aspect or shameful aspect, will one way or another influence the way somebody?s behavior can be modified.
This study investigates such tendency which prevails in public schools especially performed by pupils when treating their student?s misconduct. Research question forwarded is whether they exploit punishment or to create shaming feeling towards students who have made nuisances in school.
The result shows method of punishment has been the only way of modifying behavior which is regarded deviant. Other finding, it is believed that, having given such punishment, shameful feeling will follow. This finding is in association with the character of Indonesian society toward the way guilt and shamefull operate."
Lengkap +
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Adrianus Eliasta, 1966-
"Dilema antara guilt (rasa bersalah) dan shameful (rasa malu) sudah lama menjadi topik menarik di bidang psikologi
sosial. Dilema tersebut antara lain muncul dalam pembahasan mengenai kontrol sosial, perilaku sendiri, nilai moral
individual, tingkat standar moral, pengaruh lintas budaya serta dalam situasi pendidikan. Diperkirakan pula, salah satu
yang lebih berperanan, entah itu aspek guilt atau aspek shameful, akan mempengaruhi pada cara bagaimana
memodifikasi perilaku seseorang. Studi ini menelaah mengenai kecenderungan di sekolah-sekolah menengah umum
dalam memodifikasi perilaku siswa yang telah menampilkan perilaku atau tindakan yang dianggap sebagai salah, jahat,
tidak tertib atau menyimpang dari norma sosial yang ada. Apakah kalangan guru di sekolah-sekolah tersebut
menampilkan kecenderungan mengeksploitasi penghukuman (punishment) atau melakukan tindakan penciptaan rasa
malu (shaming) siswa dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan siswa tersebut? Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa metode penghukuman ternyata merupakan satu-satunya cara memodifikasi perilaku yang diterapkan. Dan,
temuan lain, diyakini bahwa dengan diberikan hukuman itulah lalu kemudian muncul rasa malu. Temuan ini
nampaknya bersesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia perihal beroperasinya guilt dan shameful.
Such dilemma between guilt and shameful has been an interesting topic in the field of social psychology since few
times ago. That dilemma persists when discussing social control, self-control, individual moral values, moral standard,
cross-cultural influence as well as education-related setting. It is predicted, the one which is more influential, whether
guilt aspect or shameful aspect, will one way or another influence the way somebody’s behavior can be modified. This
study investigates such tendency which prevails in public schools especially performed by pupils when treating their
student’s misconduct. Research question forwarded is whether they exploit punishment or to create shaming feeling
towards students who have made nuisances in school. The result shows method of punishment has been the only way of
modifying behavior which is regarded deviant. Other finding, it is believed that, having given such punishment,
shameful feeling will follow. This finding is in association with the character of Indonesian society toward the way guilt
and shamefull operate."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Linda Dinartika
"Membentuk dan membina hubungan romantis adalah tugas perkembangan dewasa muda. Salah satu faktor pendorongnya adalah relationship contingency of self-worth (RCSW). Berdasarkan studi Sanchez dan Kwang (2007), RCSW dapat mengakibatkan body shame. Oleh karenanya, penting ditemukan suatu aspek diri yang dapat mengurangi dampak buruk dari RCSW yakni self-efficacy dalam hubungan romantis (SEHR). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi prediksi RCSW dan SEHR terhadap body shame, serta mengidentifikasi ada atau tidaknya peran SEHR sebagai moderator dari RCSW dengan body shame. Pengukuran self-report dilakukan pada 186 orang berusia 21-40 tahun di Jabodetabek. Dengan menggunakan teknik statistik regresi didapati bahwa RCSW dapat memprediksi body shame secara positif dan SEHR mampu memprediksi body shame secara negatif. Namun, tidak ada peran moderasi dari SEHR pada hubungan RCSW dengan body shame.

Developing and maintaining a romantic relationship is a young adulthood’s development task. Relationship contingency of self-worth has known as one of its factor. Grounded on Sanchez and Kwang’s (2007) study, RCSW could cause body shame. Hence, it was important to find a self-aspect which could lessen RCSW’s negative impact, that was self-efficacy in romantic relationship (SERR). This study examined to identify RSCW and SERR predictions toward body shame, also identified SERR’s presence as the moderator of RCSW and body shame. A self-report measurement was done to 186 individuals aged 21-40 years old in Jabodetabek. By using regression techniques, it was found that RCSW could predict body shame positively and SERR could predict body shame negatively. Yet there was no moderation effect of SERR on RCSW and body shame relationship.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Septiana
"Penelitian ini berawal dari film-film bertema subkultur yang merepresentasikan kekerasan. Terdapat berbagai film yang merepresentasikan kekerasan termasuk yang diginukan pada penelitian ini, Film “Harakiri: Death of a Samurai” dan “Badik Titipan Ayah” mengangkat tema budaya suatu kelompok masyarakat yaitu Jepang dan Bugis-Makassar. Penelitian ini menggunakan metodologi Movie Analysisis dan Critical Discourse Analysis untuk menganalisis keterkaitan unsur kekerasan yang mengangkat tema budaya dalam film. Analsisnya menggunakan konsep dan teori seperti Subkultur, Budaya Malu, Kekerasan, Harakiri, Siri’, Maskulinitas, Mise en scene dan Sinematik, serta Cultural Criminology untuk menjelaskan adanya representasi budaya terkait kekerasan dan budaya malu pada masing-masing film. Dengan menggunakan kedua film bertema budaya ini, dapat diketahui bahwa masing-masing memiliki tujuan berkaitan dengan situasi sosial politik. Kekerasan pada kedua film ini dimaknai sebagai cara dalam menjaga kehormatan. Film “Harakiri: Death of a Samurai” dan “Badik Titipan Ayah” ini memberikan pesan damai untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

This research began with films with the theme of subculture that represent violence. There are various films that represented violence, including those used in this research, “Harakiri: Death of a Samurai” and “Badik Titipan Ayah” highlight the culture of a community group, such as Japan and Bugis-Makassar. This research used Movie Analysisis and Critical Discourse Analysis methodology to analyse relation of element of violence that highlight cultural theme in film. The Analyse used concepts and theory such as Subculture, Shame Culture, Violence, Harakiri, Siri’, Masculinity, Mise en scene and cinematic, also Cultural Criminology to explained the existence of representation of culture that related to violence and shame culture in the films. By using these two cultural themed films, it can be seen that each has a goal related to the socio-political situation. The violence in these films is intended as a way to maintain honor. Films “Harakiri: Death of a Samurai” and “Badik Titipan Ayah” gave message of peace so as not to take actions that can harm oneself and others."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narisa Nurazizah
"Tiap masyarakat tentunya berbeda-beda dalam mengonstruksi seksualitas mereka dan hal tersebut tercermin pada norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Saya berusaha menjelaskan hubungan antara konstruksi masyarakat Mekarwaru tentang seksualitas perempuan dalam titik ini pengawasan dan pengaturan seksualitas kepada perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi, metode life-history, observasi partisipan, dan wawancara mendalam dengan melibatkan tidak hanya para perempuan sebagai subjek yang diawasi dan diatur, tapi juga orang tua, aparat desa, remaja Karang Taruna, serta masyarakat sekitar yang saya kategorikan menjadi gossipers sebagai bentuk triangulasi. Berdasarkan hasil penelitian saya, ada dua hal yang menjadi alat untuk mengontrol seksualitas perempuan Mekarwaru, yakni pertalian rasa malu (kinship of shame) dan gosip. Rasa malu nyatanya tak dapat muncul begitu saja, tetapi diaktifkan menggunakan gosip. Tulisan ini juga ingin menunjukan bahwa aliran kekuasaan tidak melulu secara top-down ataupun bottom-up, tapi juga horizontal. Hal ini tercermin dari pelaksanaan apel malam serta bekerjanya pertalian rasa malu [kinship of shame] dan gosip sebagai praktik village biopower untuk mewujudkan performative regulation.

Each community constructs their ows sexuality, which could be reflected in their social norms that they carries and applies. Through this writing, I explained the connections between the social construction in the village of Mekarwaru regarding their women’s sexuality with the surveillance and sexuality regulation for women. I use ethnographic approach, life-history methods paired with participant observation and in-depth interview to not only the women as the subject that are being watched and regulated, but also their parents, village apparatus, Remaja Karang Taruna, and the community members that I categorizes as ‘the gossiper’ as a form of triangulation. My research shows that there’s two things that plays the role as a ‘tool’ to control Mekarwaru’s women’s sexuality, that are kinship of shame and gossip. The shame aspect could not stand by itself without the active role of gossip. Through this writing, I would also like to show that power flow is not as stagnant as ‘top-down’ or ‘down-top’, but could also be horizontal, which proven through the ’apel malam’ activity, and the work of kinship of shame with gossip as a practice of village biopower to manifest the performative regulation."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>