Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988
612.313 LUD t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Farida
"The smoking habit has been associated with a variety of deleterious changes in the mouth including periodontal tissue. Several studies indicate a relationship between smoking and periodontal disease, including loss of alveolar bone, periodontal attachment as well as periodontal pocket formation. Subjects with a high standard of oral hygiene have been found to have greater bone loss in smokers than non smokers. Generally accepted, periodontal treatment procedures are less efficient in smokers. This holds true for surgical as well as nonsurgical therapy. Therefore, it is concluded that tobacco smoking is associated with an increased risk for destructive periodontal disease. This study is to investigate the effect of smoking on the oral immune response in subjects with periodontal disease by measuring the concentration of IgA in saliva from smokers and non smokers with turbi timer.
The results were compared and analyzed by ANOVA. The investigation showed that the level of IgA in saliva from smokers with severe periodontitis (x=39.30 IU/ml) as well as mild periodontitis (x= 84.86 IU/ml) were lower than non-smokers (severe periodontitis x= 51.67 IU/ml; mild periodontitis x=95.41 IU/ml). Furthermore, smokers with gingivitis (x123.76 IU/ml) and healthy gingiva (x=71.55 IU/ml) also had lower IgA levels in saliva compared with the non-smokers (gingivitis, x=145.11 IU/ml; healthy gingiva x=75.19 IU/ml). In conclusion , the investigation showed that all smokers especially smokers with periodontal disease had lower intra oral immune response compared with the non-smokers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1997
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Herlia Nur Istindiah
"Cancer detection medium such as serum & biopsy often make patient uncooperative due to lack of safety, convenience & economic. This condition causes cancer to be detected at late stadium & causes death. This paper discusses the role of saliva as cancer detection medium of choice. Some tumor markers have been identified in saliva such as c-erbB-2, CA 15-3, p53 & CA 125. Each corresponds to certain type of cancer. These tumor markers are protein, thus the use of saliva to detect cancer can utilize protein analysis technique such as ELISA. ELISA can be used for early detection & monitoring of the effectiveness of breast cancer treatment by showing the expression of c-erbB-2 & CA 15-3 in saliva. Saliva has high potential as cancer detection medium & cancer treatment monitor, especially breast cancer. Further various researches are needed for different tumor marker with other protein analysis technique."
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2003
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Abdullah
"ABSTRAK
Antipirin sangat luas penggunaannya sebagai bahan dalam penelitian-penelitian klinik, karena banyak hal yang menguntungkan dari antipirin, penggunaan nya untuk keperluan monitoring sangat tepat. Dalam penelitian ini dilakukan kadar antipirin dalam plasma dan saliva pada 6 sukarelawan sehat, setelah diberikan dosis tunggal antipirin 18mg/kg secara oral, sebelumnya sukarelawan tersebut dipuasakan selama 8-12 jam. Pengambilan sampel plasma dan saliva dilakukan pada waktu yang bersamaan, +3, +5, +8 dan +26 jam setelah pemberian obat."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1980
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuke Rustan
"Penelitian mengenai black stain pada permukaan email gigi masih jarang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membedakan kuantitas Actinomyces di saliva anak dengan dan tanpa black stain pada permukaan email gigi. Subyek dipilih dari anak usia 4-11 tahun dengan dan tanpa black stain. Sampel saliva diambil dengan menginstruksi kepada subyek untuk meludah ke dalam container steril dan dimasukkan ke dalam plastik steril yang mengandung Oxoid Anaerob Gas pack untuk menjaga kondisi anaerob. Di laboratorium dilakukan pengenceran berseri dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah mengandung Actinomyces Isolate Agar. Cawan petri dimasukkan ke dalam anaerob jar dan diinkubasi. Hasil biakan di cawan petri, dilakukan lagi pemeriksaan pewarnaan gram, lalu dihitung dengan metode colony forming unit. Hasil penghitungan dilakukan analisa dengan uji-t dua kelompok tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p ≤ 0.05 dan disimpulkan bahwa kuantitas Actinomyces di saliva anak dengan dan tanpa black stain di permukaan email gigi berbeda tidak bermakna.

Studies about black stain at the surface of tooth enamel is infrequently did. The aim of this study is to differentiate the quantity of Actinomyces on saliva of children with and without black stain at the surface of tooth enamel. Subject is chosen from children aged 4-11 years old with and without black stain. Saliva taken by instructing subject to expectorate into a steryl container and inserted into a steryl plastic with Oxoid anaerob Gas pack to keep the anaerob condition when transported to laboratorium. In Laboratory, serial dilution was done and sample was inserted into a plate which contains Difco Actinomyces Isolate agar. Put the plate into an anareob jar and incubated in incubator. From the plate, subculture identification was did to identify the morphology of Actinomyces. The colony of Actinomyces on the plate was count with colony counter using the colony forming unit method. The result was analyzed with t-test two group unpaired with p ≤ 0.05 and concluded that the quantity of Actinomyces on children?s saliva with and without black stain of the enamel surface is differ unmeaningful."
Depok: Program Spesialis Universitas Indonesia, 2012
T31183
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatullah Irfani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Beta Defensin-1 saliva merupakan salah satu peptida anti mikroba yang mempunyai peranan penting dalam pertahanan imun bawaan terhadap serangan mikroba oral. Aktifitas merokok dapat menyebabkan perubahan profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut yang dapat mempengaruhi kadar Beta Defensin-1 saliva. Penelitian sebelumnya mengenai kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dengan periodontitis kronis dan belum ada penelitian mengenai penilaian kadar Beta Defensin-1 pada perokok dikaitkan dengan profil merokok dan profil kesehatan rongga mulut.
Tujuan: Mengetahui profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut serta pengaruhnya terhadap perubahan kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dan bukan perokok, dikaitkan dengan profil merokok partisipan, yang terdiri dari jenis rokok, durasi merokok, dan frekuensi merokok serta kondisi kesehatan rongga mulut.
Metode: Sebanyak 68 partisipan, yang dibagi menjadi 2 kelompok: 44 (64,7%) perokok dan 24(35,5%) bukan perokok. Data dikumpulkan dari anamnesis, status klinis (gigi, mukosa rongga mulut, dan saliva), dan pemeriksaan laboratorium. Sampel saliva non-stimulasi dengan metode pengumpulan spitting dan disimpan pada -80°C. Analisis kadar Beta defensin-1 dengan menggunakan kit Beta Defensin-1 (Elabscience®, USA), dengan uji ELISA.
Hasil Penelitian: Kadar Beta Defensin-1 saliva perokok dibandingkan dengan pada bukan perokok secara statistik terdapat perbedaan signifikan (p< 0,05). Profil merokok (jenis, durasi dan frekuensi) tidak mempengaruhi kadar Beta Defensin-1, namun kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok jenis kretek cenderung lebih tinggi dibanding perokok non-kretek. Keberadaan lesi rongga mulut tidak berpengaruh terhadap kadar Beta Defensin-1 saliva. Profil saliva pada perokok khususnya pH lebih rendah dan berbeda secara statistik dibandingkan dengan bukan perokok (p< 0,05). Laju Alir Saliva pada perokok lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Nilai OHIS dan DMF-T pada kelompok bukan perokok cenderung lebih baik dibandingkan dengan perokok.
Kesimpulan: Aktifitas merokok berpengaruh terhadap peningkatan kadar Beta Defensin-1 saliva. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar Beta Defensin-1 antara perokok dan bukan perokok. Peningkatan kadar Beta Defensin-1 cenderung terjadi pada rongga mulut yang terdapat lesi. Perokok lebih rentan mengalami karies dan penurunan pH saliva dibandingkan dengan bukan perokok. Profil kesehatan bukan perokok lebih baik jika dibandingkan dengan perokok.

ABSTRACT
Background: Salivary Human Beta Defensin-1 (SHBD-1) is one of the anti-microbial peptides that has an important role in innate immune defense against oral microbial attacks. Smoking activity can cause changes in saliva profile and health profile of the oral cavity that can affect levels of SHBD-1. The previous studies were focused on SHBD-1 levels in smokers with chronic periodontitis, but there are no studies to assess the SHBD-1 levels in smokers and associated with smoking profiles and oral health profile.
Objective: To compare the salivary profile and health profile of the oral cavity and its effect on changes in SHBD-1 levels in smokers and nonsmokers. The alteration of SHBD-1 levels was associated with smoking profiles of the participants, which consist of the type of cigarette, duration of smoking, and frequency of smoking and oral health conditions.
Methods: A total of 68 participants were divided into 2 groups: 44 (64.7%) smokers and 24 (35.5%) non-smokers. Data were collected from interviews, clinical examination (teeth, oral mucosa, and saliva), and laboratory examination. The unstimulated salivary flow rate was collected by spitting method and stored at -80 ° C. SHBD-1 level was analyzed by ELISA test using Human Beta Defensin-1 kit (Elabscience®, USA).
Results: The smoker's SHBD-1 levels was compared with non-smokers, and there were statistically significant (p <0.05). The smoking profile (type, duration and frequency) did not affect the SHBD-1 levels, but the SHBD-1 levels in kretek smokers tended to be higher than non-clove cigarette smokers. The presence of oral lesions did not affect the SHBD-1 levels. The saliva profile in smokers typically in lower pH was statistically different with nonsmokers (p <0.05). Salivary Flow Rate (SFR) for smokers is higher than for nonsmokers. OHIS and DMF-T indexes in nonsmokers tend to be better than smokers.
Conclusion: Smoking effected the increasing levels of SHBD-1. There were significant differences in SHBD-1 levels between smokers and nonsmokers. Increasing SHBD-1 levels tend to occur in the oral cavity with lesions. Smokers are prone to have caries and the decrease of salivary pH compared to nonsmokers. The health profile of non-smokers is better than smokers."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jesslyn Christabella
"Latar Belakang: Sebanyak 149,2 juta anak di dunia mengalami kejadian stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh kembang anak yang diakibatkan oleh kurangnya gizi di seribu hari pertama anak. Berbagai penyebab mampu mempengaruhi kejadian stunting dan salah satunya adalah status gizi yang kurang. Zink yang termasuk dalam mikronutrien diyakini memiliki kaitan dengan kejadian stunting. Kadar zink yang rendah kerap kali dihubungkan dengan gagalnya pertumbuhan linear anak. Tujuan: Mengevaluasi perbedaan kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun pada kelompok anak stunting dan non stunting dan mengevaluasi hubungan antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun dan status stunting dan non stunting. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian laboratorik dengan menggunakan 86 sampel saliva anak usia 6 – 8 tahun yang mengalami stunting dan non stunting di NTT. Sampel saliva subjek diuji dengan QuantichromTM Zinc Assay Kit dan dibaca menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 425 nm. Selanjutnya, data diolah menggunakan SPSS. Hasil: Kadar zink pada saliva anak stunting usia 6 – 8 tahun di NTT sebesar 0,096 ppm dan pada saliva anak non stunting sebesar 0,105 ppm. Selanjutnya, didapatkan nilai korelasi r sebesar 0,657 dan p< 0,05 antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun di NTT dan status stunting. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara kadar zink pada saliva anak usia 6 – 8 tahun pada kelompok anak stunting dan non stunting. Selain itu, terdapat korelasi antara kadar zink dan status stunting dan non stunting pada saliva anak usia 6 – 8 tahun.

Background: As many as 149.2 million children worldwide experience stunting. Stunting is a condition of failure in child growth and development caused by a lack of nutrition in the child's first thousand days. Various causes can influence the incidence of stunting and one of them is poor nutritional status. Zinc, which is a micronutrient, is believed to have a connection with stunting. Low zinc levels are often associated with the failure of children's linear growth. Objectives: To evaluate differences in zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups and to evaluate the relationship between zinc levels in the saliva of children aged 6 – 8 years and stunting and non-stunting status. Methods: This study was a laboratory study using 86 saliva samples of children aged 6 – 8 years who were stunted and non-stunted in NTT. The subject's salivary samples were tested with the QuantichromTM Zinc Assay Kit and read using a microplate reader at a wavelength of 425 nm. Furthermore, the data is processed using SPSS. Results: The zinc level in the saliva of stunted children aged 6-8 years in NTT was 0.096 ppm and 0.105 ppm in the saliva of non-stunted children. Furthermore, a correlation value of 0.657 and p < 0.05 was obtained between zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in NTT and stunting status. Conclusion: There is a significant difference between zinc levels in the saliva of children aged 6-8 years in the stunting and non-stunting groups. In addition, there is a correlation between zinc levels and stunting and non-stunting status in the saliva of children aged 6-8 years"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Surya
"Latar Belakang. Coronavirus Disease-19 (COVID-19) sampai sekarang masih menjadi ancaman kesehatan global. Baku emas diagnosis COVID-19 adalah pemeriksaan RT-PCR dari sampel usap nasofaring. Pengambilan sampel dengan cara ini memiliki kekurangan seperti rasa tidak nyaman pada pasien, risiko perdarahan, dan risiko paparan pada tenaga medis. Saliva merupakan salah satu alternatif sampel yang bisa digunakan untuk tujuan ini. Tujuan. Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi RTPCR saliva. Metode. Penelitian potong lintang pasien dewasa suspek COVID-19 pada April-Juni 2021 di instalasi gawat darurat rumah sakit Siloam Lippo Village. Pasien yang memenuhi syarat dan menyatakan setuju dilakukan pemeriksaan RT-PCR dari sampel usap nasofaring dan saliva. RTPCR dikerjakan dengan menilai gen N dan gen ORF1AB menggunakan alat Rotorgen QPlex-5Plus dengan batas positif CT Value < 40. Hasil. Sebanyak 126 pasien suspek COVID-19 yang eligible ikut penelitian selama periode studi. Enam pasien menolak mengikuti penelitian. Analisis akhir dikerjakan pada 120 pasien dengan proporsi laki-laki 42,5% dan median usia 50 tahun. Hasil RT-PCR positif ditemukan pada 69 (57,5%) sampel saliva dan 75 (62,5%) sampel usap nasofaring. Sensitivitas uji RT-PCR COVID19 dari sampel saliva adalah 86,67% (95% CI 76,84- 93,42), spesifisitasnya 91,11% (95% CI 78,78- 97,52). Nilai NDP yang didapat adalah 94,20% (95% CI 86,39-97,65) dan nilai NDN yang didapat 80,39% (95% CI 69,57-88,03). Akurasi yang didapat adalah 88,33% (95% CI 81,2093,47). Rerata CT value RT-PCR dari sampel saliva lebih tinggi dibandingkan sampel nasofaring, baik pada gen N (mean saliva 26,22 vs nasofaring 22,18; p= 0,01) maupun ORF1AB (mean saliva 26,39 vs nasofaring 23,24; p= 0,01). Simpulan. Saliva yang diambil dengan metode drooling merupakan sampel yang akurat untuk pemeriksaan RT-PCR COVID-19.

Background. Coronavirus Disease-19 (COVID-19) is still a global health problem. Diagnostic gold standard for COVID-19 is RT-PCR of the nasopharyngeal swab specimen. However, this method has several issues such as patient’s discomfort, risk of bleeding, and risk of exposure to examiner. Saliva is a viable alternative sample for this examination. Aim. To find out the sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and accuracy of saliva RT-PCR. Method. Crossectional study in adult patient with suspect ofCOVID-19 during April-June 2021 in emergency unit Lippo Village Hospital. Eligible and agreed patient are examined with RT-PCR from nasopharyngeal swab and saliva. RT-PCR was done by targeting gene N and ORF1AB using Rotorgen QPlex-5-Plus with CT value cut off 40. Result. A total of 126 suspected COVID-19 cases were admitted to ER during study period. Six patients were disagree to join. Final analysis was carried out on 120 patients (42.5% male, media age 60). Positive RT-PCR was found in 69 (57.5%) saliva specimens and 75 (62.5%) nasopharyngeal specimens. Sensitivity of saliva specimens was 86.67% (95% CI 76.84- 93.42), with specificity of 91.11% (95% CI 78.78-97.52). NDP of saliva was 94.20% (95% CI 86.39-97.65) with NDN of 80.39% (95% CI 69.57-88.03). Saliva’s accuracy was 88.33% (95% CI 81.20-93.47). Mean CT value of saliva specimens was higher than nasopharyngeal specimens in both gene N (mean saliva 26.22 vs nasopharyngeal 22.18; p= 0.01) and ORF1AB (mean saliva 26.39 vs nasopharyngeal 23.24; p= 0.01). Conclusion. Saliva collected with drooling method is an accurate sample for COVID-19 RT-PCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Natalia Hardjakusumah
"Kunjungan ke dokter gigi dapat menyebabkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat menjadi sumber rasa cemas atau takut pada semua tingkat usia khususnya pada anak. Salah satu cara untuk menurunkan kecemasan tersebut adalah dengan memberikan video training mengenai perawatan gigi yang merupakan modifikasi manajemen perilaku modeling. Indikator dalam mengukur kecemasan anak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar alpha amylase dan kalsium saliva. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan tingkat kecemasan anak usia 7 tahun. Desain penelitian ini adalah analitik cross-sectional. Sebanyak 23 anak usia 7 tahun diberikan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan dinilai tingkat kecemasan sebelum dan sesudah video training menggunakan indikator kadar alpha amylase dan kalsium saliva. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan video training 'Berkunjung ke Dokter Gigi' dan penurunan tingkat kecemasan anak usia 7 tahun berdasarkan kadar alpha amylase dan kalsium saliva. (p=0,001).

A visit to the dentist can cause discomfort. This can be a source of anxiety or fear at all age levels, especially in children. One way to reduce the anxiety in dental care is to provide video training, which is a modification of modeling behavior management. Indicators in measuring anxiety in this study are the level of salivary alpha amylase and salivary calcium. The purpose is to analyze the correlations of video training 'Visit to the Dentist' and level of anxiety in children aged 7 years old. The study design is analytic cross-sectional. A total of 23 children aged 7 years old given video training "Visit to the Dentist" and assessed the level of anxiety before and after watching the video training using indicators of levels of salivary alpha amylase and salivary calcium. The result is that there is a correlations of video training 'Visit to the Dentist' and reduced level of anxiety in children aged 7 years old based on the levels of salivary alpha amylase and salivary calcium (p=0,001)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingetiarani Yukiko Hermawan
"ABSTRAK
Early Childhood Caries ECC merupakan penyakit infeksi kronis pada gigi anak-anak usia 3 ndash; 5 tahun, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah saliva. Saliva memiliki viskositas dan komponen salah satunya adalah protein yang berperan penting dalam mempertahankan rongga mulut dari patogen penyebab ECC. Tujuan: Menganalisis profil protein dan viskositas saliva pada pasien ECC dan bebas karies. Metode: Viskositas saliva dinilai secara visual dan profil protein saliva dianalisis menggunakan metode SDS PAGE. Hasil: Ditemukan 5 profil protein dengan gambaran yang paling jelas dengan berat molekul 15 kDa, 25 kDa, 60 kDa, 65 kDa dan 95 kDa pada pasien ECC dengan frekuensi kemunculan secara berurutan sebesar 8, 3, 16, 6, 2 dan pada bebas karies sebesar 14, 5, 16, 16, 9. Viskositas saliva pada pasien ECC tinggi dan pada bebas karies rendah. Kesimpulan: Pada pasien ECC ditemukan frekuensi kemunculan profil protein 15 kDa, 25 kDa, 65 kDa dan 95 kDa yang lebih sedikit dibandingkan dengan bebas karies. Sedangkan profil protein 60 kDa ditemukan frekuensi kemunculan yang sama pada pasien ECC dan bebas karies. Viskositas pada pasien ECC lebih tinggi dibandingkan dengan bebas karies. Latar Belakang: Early Childhood Caries ECC merupakan penyakit infeksi kronis pada gigi anak-anak usia 3 ndash; 5 tahun, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah saliva. Saliva memiliki viskositas dan komponen salah satunya adalah protein yang berperan penting dalam mempertahankan rongga mulut dari patogen penyebab ECC. Tujuan: Menganalisis profil protein dan viskositas saliva pada pasien ECC dan bebas karies. Metode: Viskositas saliva dinilai secara visual dan profil protein saliva dianalisis menggunakan metode SDS PAGE. Hasil: Ditemukan 5 profil protein dengan gambaran yang paling jelas dengan berat molekul 15 kDa, 25 kDa, 60 kDa, 65 kDa dan 95 kDa pada pasien ECC dengan frekuensi kemunculan secara berurutan sebesar 8, 3, 16, 6, 2 dan pada bebas karies sebesar 14, 5, 16, 16, 9. Viskositas saliva pada pasien ECC tinggi dan pada bebas karies rendah. Kesimpulan: Pada pasien ECC ditemukan frekuensi kemunculan profil protein 15 kDa, 25 kDa, 65 kDa dan 95 kDa yang lebih sedikit dibandingkan dengan bebas karies. Sedangkan profil protein 60 kDa ditemukan frekuensi kemunculan yang sama pada pasien ECC dan bebas karies. Viskositas pada pasien ECC lebih tinggi dibandingkan dengan bebas karies.

ABSTRACT
Early Childhood Caries ECC is a chronic infection disease of dental on children with 3 ndash 5 years old, that are caused by many factors, one of which is saliva. Saliva has viscosity, and component specifically protein, that play an important role in maintaining oral cavity from pathogen causing ECC. Objective To analyze protein profile and salivary viscosity from ECC and caries free subjects. Method Salivary viscosity was assessed visually and salivary protein profile were analyzed using SDS PAGE. Result 5 most prominent protein profiles with molecular mass 15 kDa, 25 kDa, 60 kDa, 65 kDa and 95 kDa were found in ECC patient with frequency of occurrences in order 8, 3, 16, 6, 2 and in caries free subject 14, 5, 16, 16, 9. Salivary viscosity on ECC patient was high and on caries free patient was low. Conclussion On ECC patient, frequency of occurrences of salivary protein profile 15 kDa, 25 kDa, 65 kDa and 95 kDa were found less than on caries free subject. Meanwhile, protein profile 60 kDa has the same frequency of occurrence on ECC and caries free subject. Viscosity on ECC patient was higher than caries free subject. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>