Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nunun Tri Aryanty
"Latar Belakang
Pekerjaan adalah prioritas bagi orang dengan gangguan mental apapun diagnosis atau keparahan penyakitnya. Manajemen kasus vokasional menawarkan dukungan komprehensif untuk reintegrasi ke dalam pekerjaan melalui program intervensi psikosis awal. Tujuan dari laporan kasus berdasarkan bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas manajemen kasus vokasional dalam program kembali bekerja setelah skizofrenia episode pertama.
Metode
Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Google Cendekia dan Cochrane. Kriteria inklusi adalah pekerja dengan skizofrenia, manajemen kasus vokasional/rehabilitasi vokasional, dan program kembali bekerja. Kemudian, mereka dinilai secara kritis menggunakan kriteria studi terapeutik yang relevan oleh Oxford Center for Medicine yang berbasis bukti.
Hasil
Satu tinjauan sistematis terpilih. Studi tersebut menyatakan bahwa intervensi pada penderita skizofrenia episode pertama yang menggabungkan terapi psikiatrik dengan pekerjaan yang didukung pelatihan dan pekerjaan transisi lebih efektif daripada terapi psikiatrik saja dalam mempertahankan pekerjaan yang kompetitif. Dalam analisis subkelompok terapi yang didukung pekerjaan dengan pelatihan keterampilan terkait gejala menunjukkan hasil terbaik (RR dibandingkan dengan terapi psikiatrik saja 3,61, 95% CI 1,03 hingga 12,63, SUCRA 80,3, rerata peringkat 3,2). Perbandingan kualitas hidup menunjukkan perbedaan pengaruhnya tergantung pada skala kualitas hidup.
Kesimpulan dan saran
Mayoritas orang yang menderita psikosis dini melanjutkan aktivitas produktif dengan cepat ketika ditawari manajemen kasus vokasional dalam program intervensi dini selama masa tindak lanjut hingga 5 tahun. Terapi vokasional yang didukung pekerjaan adalah intervensi yang paling efektif untuk orang-orang dengan psikosis dini yang parah dalam hal mempertahankan pekerjaan, berdasarkan analisis perbandingan langsung dan meta-analisis, tanpa meningkatkan risiko kejadian buruk. Dibutuhkan lebih banyak studi tentang mempertahankan pekerjaan yang kompetitif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang apakah biaya dan upaya itu bermanfaat dalam jangka panjang bagi individu dan masyarakat. Penelitian lebih lanjut dengan kualitas yang lebih baik, ukuran sampel lebih banyak dan berbagai hasil, direkomendasikan terutama untuk hasil yang jarang dipelajari.

Background
Work is a priority, even for people with mental disorders whatever the diagnosis or illness severity. Vocational case management offers comprehensive support for reintegration into work within an early psychosis intervention program. The purpose of this evidence based case report was to determine the effectiveness of vocational case management in return to work program after first episode of schizophrenia.
Method
The literature search was conducted through PubMed, Google Scholar and Cochrane. The inclusion criteria were worker with schizophrenia, vocational case management/vocational rehabilitation, and return to work outcome. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result
One systematic review was selected. The study concluded that augmented supported employment, supported employment, prevocational training and transitional employment are more effective than psychiatric care only in maintaining competitive employment in the direct comparison and network meta-analysis. In the subgroup analysis supported employment with symptom-related skills training showed the best results (RR compared to psychiatric care only 3.61, 95% CI 1.03 to 12.63 SUCRA 80.3, mean rank 3.2).
Conclusion and recommendation
The majority of individuals suffering from early psychosis resume productive activity rapidly when offered vocational case management within an early intervention programme during a follow-up period of up to 5 years. Supported employment was the most effective intervention for people with first episode of schizophrenia in terms of maintaining employment. More studies on maintaining competitive employment are needed to get a better understanding of whether the costs and efforts are worthwhile in the long term for both the individual and society.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mawar Kusuma Darina
"Penelitian ini mengeksplorasi implementasi kebijakan return-to-work (RTW) di Indonesia setelah pelonggaran pembatasan COVID-19. Penelitian ini berfokus pada perspektif karyawan yang telah beradaptasi dan terbiasa dengan pengaturan kerja fleksibel (FWA) selama situasi pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif narasi kebijakan RTW dari sudut pandang karyawan. Pendekatan kualitatif interpretivisme digunakan melalui proses wawancara mendalam semi-terstruktur dengan 17 partisipan yang dipilih dari berbagai profesi dan perusahaan. Analisis tematik digunakan untuk menganalisis data yang terkumpul. Hasil temuan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan RTW bagi karyawan di antaranya dimaknai sebagai: (1) Tidak memiliki ruang Alternatif; (2) Hilangnya autonomi kerja, (3) Produktivitas tidak lebih baik, dan (4) Hilangnya motivasi kerja. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memperkaya kajian literatur tentang proses kembali bekerja dalam organisasi yang menekankan pentingnya monitoring dan evaluasi kebijakan RTW bagi manajemen, serta memastikan selarasnya kepentingan organisasi dan karyawan. Selain itu, penelitian ini berkontribusi pada keberlanjutan penelitian RTW yang memberikan wawasan tentang transisi ke pengaturan kerja baru di kondisi kembali kerja pasca pandemi.

This study explores the implementation of return-to-work (RTW) policies in Indonesia following the easing of COVID-19 restrictions. It focuses on the perspective of employees who had adapted to flexible working arrangements (FWA) during the pandemic situations. The research aims to provide an Alternatif narrative on the RTW policy from the employees' perspective. A qualitative interpretivism approach was employed, utilizing semi-structured in-depth interviews with 17 participants that selected from various professions and companies. Thematic analysis was employed to analyze the gathered data. The findings indicate that the implementation of the RTW policy such as (1) Lacks viable Alternatif workspace options, (2) Diminishes employees' autonomy in their work, (3) Fails to enhance overall work productivity, and (4) Negatively affects work motivation. This study contributes to the existing body of knowledge by emphasizing the importance of monitoring and evaluating RTW policies, ensuring they align with the interests of both organizations and employees. Furthermore, it contributes to existing research by providing insights into the transition to new work arrangements in the post-pandemic transition period."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Suryani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang menyebabkan kegagalan program Return to Work RTW dari BPJS Ketenagakerjaan, yang didefinisikan sebagai
pekerja yang tidak kembali bekerja di tempat semula atau yang sempat kembali bekerja di tempat semula namun tidak bertahan, pada kasus peserta yang mengalami kecelakaan
kerja yang menyebabkan amputasi tangan, amputasi kaki atau lumpuh kedua kaki. Analisis faktor yang menyebabkan kegagalan didasarkan pada pendekatan biopsikososial yaitu aspek medis, aspek psikologis dan aspek sosial lingkungan kerja. Analisis dilakukan berdasarkan informasi dari perusahaan, peserta dan case manager yang dikumpulkan melalui kuesioner dan in-depth interview pada beberapa kasus yang dianggap gagal dan yang dianggap berhasil. Temuan utama yang relevan untuk perbaikan sistem RTW secara internal i.e., dari dalam BPJS Ketenagakerjaan yaitu bahwa case manager memiliki peran penting yang dapat menentukan keberhasilan program RTW terutama dalam mengupayakan pemenuhan komitmen dari tenaga kerja dan perusahaan terhadap program RTW. Walaupun faktor penyebab kegagalan biopsikososial bukan seluruhnya di bawah kendali BPJS Ketenagakerjaan, hasil indepth interview menunjukkan bahwa peranan Case manager sebagai fasilitator dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan atau menekan kegagalan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah upaya untuk meningkatkan keberhasilan program RTW dapat dimulai dengan memastikan bahwa Case manager telah berupaya maksimal dalam pemenuhan komitmen tenaga kerja dan perusahaan terhadap tujuan program RTW.

This study aims to identify the factors that cause the failure of the BPJS Ketenagakerjaans Return to Work RTW program, which is defined as workers who do not return to their original place of work or who have returned to work at their original place but do not survive, in the case of workers who had a work accident which causes amputation of the hand, amputation of the foot or paralysis of both legs. Analysis of the factors that cause failure is based on biopsychosocial approach, namely medical aspect, psychological aspect and work environment social aspect. The analysis was carried out based on information from companies, workers and case managers collected through questionnaires and in-depth interviews in several cases that were deemed to have failed and which were considered successful. The main finding that is relevant for internal RTW system improvement i.e., from within the BPJS Ketenagakerjaan is that case manager has an important role that can determine the success of the RTW program, especially in seeking to fulfill the commitment of workers and companies towards the RTW program. Although the causes of failure biopsychosocial are not entirely under the control of BPJS Ketenagakerjaan, the results of in-depth interviews show that the role of Case manager as a facilitator can increase the likelihood of success or reduce failure. The conclusion from this research is that efforts to increase the success of the RTW program can be started by ensuring that Case manager has made the best effort in fulfilling the commitment of the worker and the company towards the goals of the RTW program.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T54447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library