Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulisa Fringka
"Penelitian ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik, kemudian akan dilihat apakah konflik ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan stratergi studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Terdapat 12 informan dalam penelitian ini yang dipilih secara purposive dan snow ball. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk resistensi yang dilakukan t hingga tujuan gerakan itu dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, adat dengan legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam melakukan mencapai tujuan resistensi oleh masyarakat. Kemudian berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diidentifikasi bahwa resistensi pada masyarakat Nagari III Koto termasuk kedalam bentuk gerakan sosial.

This research discuss about the resistance in local societies against mining corporation by extractive corporate. This study focus in conflict approach which is seen if it can be a social movement or not. This study uses qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West Sumatera. There are twelve informants selected by purposive and snow ball technique. The result of this research shows us that there are seven variables which being the cause of resistance. Norms and customs? tradition are the most important in determining the forms of resistance. At least there is seven forms of resistance which did by actors in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach the goals of resistance in society. Finally, based on this research, resistance in Nagari III Koto's society included as social movement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Noor Dwiprakoso
"Latar belakang: Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu PJB dengan jumlah kasus terbanyak. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi dengan prevalensi antara 2-10% dari seluruh kasus DSV. Pasien yang datang ke Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK) sudah dengan kondisi hipertensi pulmonal dan usia dewasa. Adanya perubahan pedoman internasional AHA/ESC dalam menentukan kelayakan operasi pada pasien DSV. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan nilai pulmonary artery resistance index (PARI) yang menjadi prediktor keluaran pada pasien yang dilakukan operasi penutupan DSV.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK Indonesia pada dewasa yang telah menjalani operasi tutup defek ventrikel pada periode 2015-2022. Variabel yang dinilai antara lain nilai pulmonary artery resistance index (PARI), lama penggunaan mesin jantung paru, lama penggunaan klem silang aorta, terhadap lama rawat, komplikasi pascaoperasi, dan kematian dini.
Hasil: Terdapat 66 subjek pada penelitian ini. Usia rerata subjek studi ini 22,5 tahun. Pada penelitian ini terdapat peningkatan yang bermakna pada durasi ventilator (p = 0,012) dan lama rawat ICU (p = 0,031) pada kelompok nilai PARI >5 WU dibandingkan dengan kelompok PARI < 5 WU. Keluaran kelompok nilai PARI <5 WU lebih baik dibandingkan kelompok PARI >5 WU dengan mortalitas (0% vs 15,6%, p = 0,02), kejadian aritmia (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), dan krisis hipertensi pulmonal (0% vs 9,4%, p = 0,1)
Simpulan: Terdapat hubungan antara nilai PARI dengan durasi ventilator mekanis dan lama rawat di ICU, namun tidak terdapat hubungan dengan aritmia dan kejadian krisis hipertensi pulmonal pascaoperasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai PARI dan mortalitas dini pascaoperasi penutupan defek septum ventrikel pada dewasa.

Background: Ventricular septal defect (DSV) is one of the most common CHDs. Pulmonary hypertension is one of the complications that can occur with a prevalence of between 2-10% of all DSV cases. Patients who come to Harapan Kita National Heart Center Hospital (RSPJNHK) already have pulmonary hypertension and are adults. There are changes in AHA/ESC international guidelines in determining the feasibility of surgery in DSV patients. It is necessary to conduct research on the relationship between the value of the pulmonary artery resistance index (PARI) which is a predictor of outcome in patients undergoing DSV closure surgery.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in adult patients who had undergone ventricular septal defect closure surgery in the 2015-2022 period. The variable assessed included pulmonary artery resistance index (PARI), duration of cardiopulmonary bypass, duration of aortic cross clamp, on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: There were 66 subjects in this study. The mean age of the subjects was 22.5 years. In this study, there was a significant increase in ventilator duration (p = 0,012) and ICU length of stay (p = 0,031) in the PARI value >5 WU group compared to the PARI <5 WU group. The outcome of the PARI <5 WU group was better than the PARI >5 WU group with mortality (0% vs 15,6%, p = 0,02), arrhythmic events (14,7% vs 15,6 %; p = 0,59), and pulmonary hyperetension crisis (0% vs 9,4%, p = 0,1).
Conclusion: There is an association between PARI and duration of mechanical ventilation and length of ICU stay, but no association with arrhythmias and the incidence of postoperative pulmonary hypertensive crisis. There is a significant association between PARI and early mortality after ventricular septal defect closure surgery in adults.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Rozaliyani
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Sejak awal 90an frekwensi kandidosis sistemik meningkat tajam, mortalitasnya mencapai 40-60%. C. albicans masih menjadi penyebab terbanyak, meskipun dilaporkan terjadinya pergeseran profil infeksi oleh spesies lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan profil infeksi, faktor risiko yang diduga berperan, prevalensi resistensi dan profil sensitivitas resistensi Candida spp yang diisolasi dari darah neonatus dengan dugaan kandidemia terhadap flukonazol dan itrakonazol, serta hubungan antara clinical outcome dengan hasil uji resistensi. Hasil penelitian bermanfaat dalam menentukan panduan pencegahan dan penanganan infeksi. Penelitian ini bersifat cross sectional. Sampel penelitian adalah 68 isolat berbagai spesies Candida dan Trichosporon dan darah 52 neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis di Sub-bagian Perinatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPNCM dan merupakan koleksi Bagian Parasitologi FKUI yang telah diidentifikasi. Uji resistensi dilakukan dengan metode Etest.
Hasil dan kesimpulan:
Prevalensi kandidemia pada neonatus dengan kondisi sepsislberpotensi sepsis dalam penelitian ini mencapai 62,96%. Profit infeksi memperlihatkan C. tropicalis sebagai penyebab terbanyak (48,5%), diikuti T. variabile (19,1%), C. guilliermondii (14,7%), C. albicans (11,8%), C. glabrata (4,4%) dan C. lusitaniae (1,5%). Faktor risiko pasti kandidemia belum dapat dijawab dalam penelitian ini. Faktor risiko yang diduga berperan antara lain kelahiran prematur dan/BBLR, penggunaan kateter intravenalinfus, antibiotik sistemik, underlying diseases, kemungkinan infeksi dari petugas kesehatan dan adanya sumber infeksi dari berbagai peralatan kesehatanlperalatan penunjang lain. Prevalensi resistensi terhadap flukonazol lebih rendah (3,8%) dibandingkan terhadap itrakonazol (9,6%). Secara in vitro sensitivitas Candida spp terhadap flukonazol lebih baik dibandingkan terhadap itrakonazol. Clinical outcome dart hasil pemeriksaan resistensi Candida spp. Tidak menunjukkan hubungan bermakna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyebaran mikroba resisten terhadap pengobatan merupakan tantangan kesehatan masyarakat yang menyeluruh yang akan menurunkan efektivitas obst dsn mengakibatkantingginya angka kesakitan dan kematian serta bertambahnya biaya pengobatan"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tasrifin Tahara
"ABSTRAK
Disertasi ini mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomuwalaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Pada masa Kesultanan Wolio, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi. Distinction ini mengacu pada ciri-ciri yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke sebagai proses produksi stereotipe sebagai strategi kekuasaan. Sebagai kelompok yang pernah berkuasa pada masa Kesultanan Wolio (eksekutif dan legislatif), ingin mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise dengan stereotipe orang Katobengke kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, dan budak (batua) sebagai stereotipe yang bersifat internal. Bahkan pada saat ini, kelompok kaomuwalaka menguasai berusaha kedudukan penting dalam sistem pemerintah (walikota, camat, dan legislatif) serta pranata agama (sara kidina) Mesjid Agung Keraton yang pengangkatan pejabatnya tetap mengacu garis keturunan (kamia). Sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke berusaha melawan definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka. Bentukbentuk perlawanan terhadap kelompok kaomu-walaka berupa perlawanan terhadap sistem pengetahuan orang Wolio, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian yang dilakukan sejak Maret 2008 hingga Oktober 2009 ini merupakan penelitian etnografi yang menekankan kasus-kasus keseharian orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Penelitian ini melingkupi penelitian arsip/pustaka dan penelitian lapangan. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen.
Penelitian dilakukan di Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara dan meluas ke beberapa wilayah seperti Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kota Kendari, Kota Makassar, Kota Bogor, dan Jakarta. Para informan adalah tokoh adat dan tokoh agama masyarakat Buton dan Katobengke dan orang-orang yang memiliki pengalaman memberikan stereotipe bagi orang Katobengke dan orang Katobengke baik pemuda dan beberapa orang perempuan yang berhasil secara ekonomi.
Temuan yang diperoleh adalah bahwa, 1) stratifikasi sosial masyarakat Buton masa kesultanan adalah sistem rank yang mengacu pada peluang untuk memperoleh kekuasaan, privilese, dan prestise sehingga menyebabkan perbedaan antar lapis sosial (kaomu, walaka, papara atau orang Katobengke) Stereotipe direproduksi dalam berbagai kesempatan sebagai strategi mempertahankan posisinya sebagai kelompok sosial lapis atas; 2) Orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah berusaha melawan definisi kelompok kaomu-walaka terhadap meereka sebagai upaya mobilitas status; dan 3) Secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru; kelompok kaomu-walaka berusaha mempertahankan kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial dengan status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik.

ABSTRACT
This dissertation studies how the stereotypes which were reproduced by the kaomu-walaka group foward the Katobengke people as the papara group in different opportunities. In the age of Wolio Sultanate, the groups of kaomu and walaka as the dominant classes made distinction to regard the Katobengke as the low social stratification or the dominated group. This distinction refered to the characteristics which differentiated the kaomu-walaka group from the Katobengke group as stereotyped production process used as the strategic power. As a group which had ever governed in the era of Wolio Sultanate (executive and legislative), would like to defend their power, their priviledge, and their prestige against, the stereotyped Katobengke people whose characteristics internally such as: dirty, smell, eating much, wide feet, and slaves (batua). Even, today the kaomu-walaka group still occeupy the important positions in the governmental system (mayor, camat or head of sub regency administration, and legislative members), and religious institution (sara kidina) of the palace graund mosque (Mesjid Agung Keraton) whose functionaries appointed based on the hereditary position (kamia). As the dominated group or called stereotyped people, the Katobengke try to fight against the definition whic has been given by the kaomu-walaka group. The forms of resistence against the kaomu-walaka group have been done by the Katobengke people such as: resistence against the knowledge system of Wolio people, resistence against the field of education, resistence by using the state/military simbols, resistence through political field as the place of negotiation concerning the statuses/positions of Katobengke people in the Buton social structure. The research was implemented from march 2008 until october 2009. It was the ethnographical investigation emphasizing the daily cases of Katobengke people in the Buton social structure. This research covered the library and archieves studies and field work. The methods were used in data collecting, namely, interview, participant observation, and document analysis.
The places of research were in South East Sulawesi Province, such as Bau-Bau city, Buton regency, North Buton regency, Kendari city, and other cities for example, Makassar, Bogor and Jakarta. The informants interviewed were the adat figures, the religions figures in both Buton and Katobengke society who could give information about the stereotypes of Katobengke people. Besides, the youth, the successful businesmen and women of the Katobengke also were interviewed to gain the information needed in the research.
The data which have been obtained are as follows: 1) the social statification in the age of Buton sultanate was the rank system whis was refered to the possibility to get the power, the priviledge, and prestige, which could result in the different social stratification (kaomu, walaka, and papara or Katobengke). The stereotypes of Katobengke were reproduced in different oppotunities as the strategy to defend the position of high social strata group; 2) the Katobengke group as the low social stratification tries to resist the definition made by the kaomu-walaka group as an effort for the mobilty of status; and 3) Generally speaking, nowadays the change of social structure in Buton society is still looking for a new pattern (model), the kaomu-walaka group has tried to defend its own power, its own priviledge, and its own prestige by rethinking its social world with its traditional status (kamia) in the former sultanate period, while the Katobengke group understands its social world with a new status based on an achiaved status through an element of competition in education, religion, and politics, to occupy a given position in Buton society."
Depok: 2010
D1194
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anik Widajati
"Tujuan
Untuk mengetahui peran resistensi mikroba pada infeksi saluran kemih komplikata yang sembuh setelah diobati dengan siprofloksa sin atau levofloksasin.
Cara kerja
Pada 152 sampel urin dari penderita infeksi saluran kemih komplikata diidentifikasi mikroba dan resistensinya terhadap fluorokuionolon (siprofloksasin atau Ievofloksasin) dan dibandingkan dengan tingkat keberhasilan terapinya secara klinis.
Lokasi
Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta Departemen Mikrobiologi FKUI.
Sampel penelitian
Penderita infeksi saluran kemih komplikata dari Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM dan Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta sejak bulan Juni 2003 sampai bulan September 2004.
Pengobatan
Seratus lima puluh dua penderita ISK komplikata yang mikrobanya positif dibagi 2 secara acak, 76 penderita diberi terapi siprofloksasin, dan 76 diberi terapi levofloksasin.
Hasil Penelitian
Tujuh puluh enam pasien yang mendapat pengobatan dengan levofloksasin disebut kelompok levofloksasin dan 76 pasien yang diberi pengobatan dengan siprofloksasin disebut kelompok siprofloksasin. Rata-rata umur pasien pada kelompok siprofloksasin adalah 41,1 tahun dan pada kelompok levofloksasin adalah 45,3 tahun. Perbandingan pria dan wanita adalah satu banding tiga. Jervis mikroba utama yang diternukan pada penelitian ini adalah 33% Emil dan 20% Klebsiella sp, (66% didominasi oleh Klebsiella pneumonia) dan Staphylococus sejumlah 13%.Angka kesembuhan klinis yang didapat pada kelompok siprofloksasin dan levofloksasin adalah sama yaitu sebesar 77,6% , dengan angka perbaikan masing-masing 13,2% dan 19,7% serta angka kegagalan klinis masing-masing 9,2% dan 2,6%. Tetapi secara statistik kedua nilai tersebut tidak berbeda bennakna. Nilai eradikasi mikroba dari kelompok siprofloksasin 88,2% dan pada kelompok levofloksasin eradikasi sebesar 86,8%. Angka resistensi untuk siprofloksasin berkisar antara 20%-30% sedangkan untuk levofloksa sin berkisar antara 8%-15%. Pada pasien yang sembuh secara klinis dari kelompok siprofloksasin 19,2% kumannya resisters terhadap pengobatannya. Pada kolompok levofloksasin yang sembuh klinis tetapi mikrobanya resisten sebanyak 14,8%. Dari populasi yang mikrobanya resisten terhadap siprofloksasin terjadi kesembuhan klinis 83,3%, sedangkan pada populasi yang mikrobanya resisten terhadap levofloksasin terjadi kesembuhan klinis 88,9%.
Analisis Data
Pada kedua kolompok di ataa dilakukan uji atatistik untuk data nominal xi (2x2) jika tidak ada nilai ekspektasi <5 atau Fisher (2x2) bila ada nilai ekspektasi <5a dan untuk data ordinal digunakan uji 1t oimogorov-Smirnov.
Kesimpulan
Penderita ISK komplikata yang diobati dengan fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin) yang dan secara klinis dinyatakan sembuh temyata 18,6% dan 13,8% bakteri penyebabnya resisten pada pengobatannya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windu Santoso
"ABSTRAK
Perubahan pasti terjadi di sekitar kita dan merupakan? menu wajib? setiap
organisasi dalam menghadapi situasi dinamis dan kompetitif seperti saat ini.
Perubahan dan pemeliharaan proses perubahan sangat dibutuhkan dalam praktik
keperawatan maupun sistem pemberian pelayanan keperawatan. Penelitian ini
menggunakan desain deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional
bertujuan untuk menguji hubungan faktor ?faktor persepsi yang berhubungan
dengan kebutuhan akan perubahan dari perawat di RSUD Sidoarjo Jawa Timur.
Populasi penelitian ini adalah 345 perawat dengan latar belakang pendidikan SPK,
D3, dan S1 Keperawatan.Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 221 perawat
yang diambil secara total populasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan ada
hubungan antar variabel persepsi perawat tentang peran sebagai agen pembaharu
dengan kebutuhan akan perubahan (p=0,0020), persepsi perawat tentang sumbersumber
resistensi dengan kebutuhan akan perubahan (p=0,008), persepsi perawat
tentang faktor pemberhasil perubahan dengan kebutuhan akan perubahan
(p=0,029). Semua variabel potensial confounder usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pengalaman kerja dan posisi tidak berhubungan signifikan dengan
kebutuhan akan perubahan. Hasil analisis multivariat diketahui bahwa variabel
persepsi perawat tentang peran sebagai agen pembaharu merupakan variabel yang
berhubungan paling signifikan dengan kebutuhan akan perubahan (p=0,002).
Penelitian ini merekomendasikan bahwa dalam melakukan perubahan perlu
dilakukan share vision pada semua pimpinan dan staf, baik dalam perencanaan
maupun pelaksanaan perubahan, sehingga berhasil dengan maksimal. Disamping
itu perlunya pengadaan sistem penghargaan baik material maupun non material
(kesempatan mengikuti pendidikan lebih tinggi, kesempatan mengikuti seminar/
pelatihan, pemberian voucer bagi perawat yang melakukan perubahan dalam
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

ABSTRACT
Changes are happened surround us and is percieved as a ?compulsory menu? for
every organization to face dynamic and competitive situation nowdays. The
change and the maintenance of change process are needed in nursing practice and
nursing services. This study used a descriptive correlational with cross sectional
approach. The aim is to examine the relationship between perception factors and
the needs of change among nurses at RSUD Sidoarjo East Java. The population
were 345 staff nurses who were which was graduated from SPK, D3 and S1 of
Nursing. The sample size was 221 staff nurse obtained as a total population. This
research found that there is a correlation between the nurse perception on the role
of reformer agent and the needs of change (p=0,002), the nurse perception on
resistent resources and the needs of change (p=0,008), the nurse perception on
change succes factors and the needs of change (p=0,029). All potential confounder
variable included age, sex, educational level, jobs experience and position are not
significantly influenced the needs of change. A multivariate analysis showed that
the nurse perception on role as a reformer agent represents the most significantly
correlated with needs of change (p=0,002). Further this research recomends that
to conduct a change needs to share the vision to all management and staff, from
planning until implementation of change, therefore it could be optimized the
change process it self. In Addition a reward system is required either material or
non material, such as the opportunity to attend the higher education, to attend the
seminar or training, voucher given to the nurse who implements change in order
to improved the quality of nursing services."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Kehidupan sosial dan budaya pada masa orde baru menyimpan banyak ketidakberesan sosial yang terekam dalam ingatan sejarah politik Indonesia. Sedangkan upaya ekspresi pada masa itu tidak berjalan dengan baik akibat adanya represi pemerintah di berbagai aspek. Proses ekspresi ini dilakukan oleh Koes Plus dalm lirik lagu Tul Jaenak melalui bahasa Jawa dan nilai budaya yang terdapat di dalamnya. Untuk meninjau hal tersebut, penelitian ini menyoroti sejumlah rumusan meliputi :1) Bagaimana teori kritik Habermas menjelaskan proses emansipasi dan pencerahan yang dilakukan Koes Plus melalui  lagu “Tul Jaenak”? (2) Bagaimana resistensi dilakukan melalui lagu “Tul Jaenak” sebagai bentuk emansipasi dan pencerahan? Untuk menjawab rumusan penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses emansipasi dan pencerahan yang dilakukan Koes Plus melalui lagu “Tul Jaenak”, menggunakan teori kritisHabermas dan Resistensi Stuart Hall untuk melengkapi jawaban atas proses analisis yang searah. Sehingga penelitian ini dapat menghasilkan suatu jawaban mengenai sikap Koes Plus terhadap berupa isu ekonomi krisis beras, dan respon Koes Plus dalam realitas sosial melalui satuan lirik lagu “Tul Jaenak.

The social and cultural life of the New Order era contained many social irregularities that were neatly stored in the memory of Indonesian political history. Meanwhile, expression efforts at that time did not go well due to government repression in various aspects. Koes Plus carries out this expression process in the lyrics of the song Tul Jaenak through the Javanese language, and the cultural values ​​contained therein. The research question of this study include 1) How does Habermas' critical theory explain the process of emancipation and enlightenment carried out by Koes Plus through the song "Tul Jaenak"? (2) How is resistance carried out through the song "Tul Jaenak" as a form of emancipation and enlightenment? This study aims to identify the process of emancipation and enlightenment carried out by Koes Plus through the song "Tul Jaenak". This study uses Habermas' critical theory and Stuart Hall's resistance to complete the answer to a unidirectional analysis process. So that this research can produce an answer regarding Koes Plus' attitude towards the economic issue of the rice crisis and Koes Plus's response to social reality through the lyrical unit of the song "Tul Jaenak"."
[Depok;Depok, Depok]: [Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia], 2023
TA-pdf;TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius H. Pudjiadi
"Panduan resusitasi anak umumnya menganjurkan pemberian cairan dalam jumlah besar. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan cairan yang agresif meningkatkan mortalitas. Penelitian pada hewan menunjukkan tekanan vena sentral yang tinggi memicu pelepasan atrial natriuretic peptide ANP , sementara penelitian invitro memperlihatkan ANP meluruhkan glycocalyx endotel vaskular dan meningkatkan permeabilitas endotel. ANP juga memicu vasodilatasi. Hemodilusi berpotensi menurunkan pasokan oksigen tubuh DO2 . Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh resusitasi cairan terhadap kadar ANP serum, peluruhan glycocalyx endotel vaskular, extravascular lung water index ELWI , mean arterial pressure MAP , kadar hemoglobin dan pasokan oksigen. Hewan model renjatan adalah 11 ekor Sus scrofa jantan, usia 6-10 minggu. Renjatan dilakukan dengan metode fixed pressure hemorrhage. Resusitasi pertama dilakukan dengan jumlah cairan sesuai darah yang dikeluarkan resusitasi normovolemik , dilanjutkan dengan 40 mL/kg resusitasi hipervolemik . Pengukuran hemodinamik dilakukan dengan PICCO. Serum ANP dan Syndecan-1, petanda peluruhan glycocalyx, dilakukan dengan teknik ELISA. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan ANP pasca resusitasi normovolemik p = 0,043 , yang kemudian menurun kembali dalam 30 menit. Peluruhan glycocalyx tidak terjadi. Perbedaan ELWI pada 60 menit pasca resusitasi secara statistik bermakna, dengan perbedaan 0,93 mL/kg 95 IK:0,19 -3,62 . Terdapat korelasi kuat antara SVRI dan CI pasca resusitasi hipervolemik r = -0,587 . Tidak ada perbedaan MAP pasca resusitasi normovolemik dan hipervolemik. Kadar hemoglobin pasca resusitasi hipervolemik lebih rendah daripada pasca resusitasi normovolemik p = 0,009 . Pasokan oksigen tubuh pasca resusitasi hipervolemik lebih tinggi daripada pasca resusitasi normovolemik p = 0,012 . Simpulan: Resusitasi cairan pada renjatan akibat perdarahan tidak mengakibatkan peluruhan glycocalyx endotel vaskular. Peningkatan ELWI amat terbatas. SVRI berkorelasi terbalik dengan CI. Tidak ada perbedaan MAP antara resusitasi normovolemik dan hipervolemik. Resusitasi hipervolemik menyebabkan hemodilusi yang diimbangi dengan peningkatan curah jantung.

Many pediatric guidelines recommend liberal fluid resuscitation, but recent studies showed that aggressive fluid resuscitation might increase mortality. Animal studies showed that high central venous pressure induced ANP secretion. Invitro studies showed convincing evidence that ANP induced glycocalyx shedding. ANP also induced vasodilatation through cGMP signal transduction pathways. Hemodilution due to a large amount of resuscitation fluid potentially decreasing oxygen delivery.The objectives of this study were investigating the effect of fluid resuscitation, in the animal model, with special concern on serum ANP, glycocalyx shedding indicate by serum Syndecan-1 , changes in extravascular lung water, systemic vascular resirtance and mean arterial pressure, hemoglobin level and oxygen delivery DO2 . The animal models were 11 male domestic pigs, 6 -10 weeks old. The shock was induced with fixed pressure hemorrhage method. Fluid resuscitation was done in 2 phases. On the first attempt, we replaced total numbers of blood that withdrawn normovolemic resuscitation . On the second attempt, we gave 40 mL/kg resuscitation fluids hypervolemic resuscitation . The hemodynamic measurements were done with PICCO. Serum ANP and Syndecan-1 were measure with ELISA method.We found that serum ANP increased after normovolemic resuscitation p = 0.043 and immediately back to base level in 30 minutes. Glycocalyx shedding did not occur. Extravascular lung water index minimally increased. There was a strong correlation between SVRI and CI at hypervolemic resuscitation r = -0.587 . There was no difference in mean arterial pressure between normovolemic and hypervolemic resuscitation. Hemoglobin level after hypervolemic resuscitation was lower than after normovolemic resuscitation p = 0.009 . Oxygen delivery was higher after hypervolemic resuscitation p = 0.012 .Conclusions: Hypervolemic resuscitation in this hemorrhagic shock model did not induce glycocalyx shedding, extravascular lung water index minimally increased. Systemic vascular resistance index negatively correlated to cardiac index. Fluid resuscitation may induce hemodilution, but oxygen delivery can be compensated by increasing cardiac output.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library