Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Andriani Fabrian
"Menjadi precariat bukan selalu menjadi pilihan yang merugikan pekerjanya. Jika seorang pekerja yang telah memilih untuk bekerja dengan sistem precarious dapat menekuni profesinya dengan strategi yang baik, ia dapat mendapat kepuasan kerja dan materi yang lebih tinggi dibandingkan pekerja salariat. Musisi adalah salah satu di antaranya. Musisi dalam penelitian ini ditujukan kepada musisi yang bermain di cafe. Mereka bekerja di sejumlah cafe dan sering kali berpindah tempat kerja dalam waktu yang relatif singkat. Mereka memilih untuk menjadi musisi, bukan dengan perasaan terpaksa. Mereka memahami bagaimana musisi harus bekerja, menikmati sistem precarious (rentan), dan bersedia menerima konsekuensi dari sistem kerja tersebut. Hal ini berkontradiksi dari argumentasi Standing (2011) yang menyatakan sistem kerja precarious sebagai suatu masalah bagi pekerja dalam masyarakat industri karena tidak jelasnya status pekerja, stabilitas upah dan waktu bekerja. Penelitian ini dilakukan dengan mempelajari sistem kerja precarious dari pemahaman suatu band sebagai informan kunci. Band yang diteliti, The Romantics (pseudonym), adalah salah satu band senior yang sukses tampil di sejumlah cafe dan venue ternama di wilayah Jabodetabek. Mereka memainkan genre pop ballad. Penelitian ini mencoba untuk memahami apa yang diperhitungkan oleh informan musisi dalam bekerja, motivasi mereka untuk berkarir sebagai musisi serta kontradiksi dari bekerja sebagai precariat. Mereka membuktikan dengan menjadi precariat mereka sebaliknya diuntungkan dari segi pendapatan serta jam kerja, dan yang terpenting mereka dapat merasakan kepuasan saat mereka bekerja. Terdapat nilai-nilai dalam hidup dan bekerja yang mereka yakini dan mendorong mereka untuk tetap berprofesi sebagai musisi, meskipun keputusan mereka mengharuskan mereka untuk senantiasa menjadi aktif dan siap menghadapi rintangan dalam profesi dan hidupnya. Nilai-nilai ini juga membuat mereka berpikir secara praktikal dalam melihat dan menjalani profesi mereka.

Becoming a precariat is not necessarily an unfortunate decision that disadvantages the workers. If someone who has chosen to work within the precarious system manages to work using the strategies that fit to the working condition, he or she will achieve a higher level of satisfaction in the work place and a higher amount of income comparing to the salariats. Taking one case study, this system renders vantages to musicians. Musicians in this study refers to the musicians who perform in cafes. Their profession requires them to play in several cafes and often time to move from a cafe to another due to the relatively short contracts. They were the ones who decide themselves to be musicians, not making the decision by being forced to. They understood how musicians have to work, took delight in working within the precarious system, and were willing to take the consequences caused by the system. This contradicts Standing's argument (2011) that states how the precarious employment system becomes problematic to the workers in industrial society due to the ambiguity of their employment status, the instability of income and the unclear distinction between the working time and the leisure time. The study was conducted by learning the precarious employment system from the perspective of a band whose members became the key informants of this study. The band, called The Romantics (pseudonym), is one of the well-known senior bands that performs in notable cafes and venues located in Jabodetabek district. They play pop ballad. This study attempts to understand the concerns of the informants in working, their motivation to work as musicians and the contradictions in working as precariat. They proved that by becoming precariat they were able to gain advantages for their income, their leisure time and more importantly, their feeling of contentment in doing their work. There are values that they keep which motivate them to pursue their career as musicians, even though the their decision demands them to constantly be active and be prepared in facing obstacles in their career and their lives. These values, in turn, affect them to think and to act practically in seeing and doing their profession."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T41478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Laras Pratitis
"ABSTRAK
Studi mengenai Video Blog Vlog sebelumnya cenderung melihat komersialisasi Vlog sebagai imbas dari budaya partisipatif dan interaksi penonton dengan pembuat video blog Vlogger . Berbeda dengan studi sebelumnya, studi ini melihat komersialisasi vlog berdampak pada terlibatnya pekerja imaterial di dalam rantai produksi. Argumentasi tulisan ini yakni komersialisasi Vlog memunculkan kelompok pekerja imaterial, yakni kelompok pekerja vlogger dan kelompok non-vlogger. Kedua kelompok pekerja tersebut memiliki relasi yang timpang, dengan kelompok pekerja non-vlogger berada pada posisi yang lebih rentan. Keadaan tersebut terjadi akibat timpangnya relasi masing ndash; masing kelompok pekerja vlogger dan non-vlogger terhadap korporasi. Oleh karena itu, bentuk kerentanan terhadap kedua kelompok pekerja tersebut cenderung berbeda. Melalui metode kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder, artikel ini menemukan bahwa relasi yang timpang antara pekerja non-vlogger dengan korporasi menyebabkan kondisi ketiadaan : perlindungan terhadap pemberhentian kerja, naiknya pendapatan, pembatasan jam kerja, menambah keterampilan, kesempatan untuk berserikat, serta perlindungan terhadap pendapatan melalui ketidakjelasan kontrak kerja.

ABSTRACT
Recent studies about Video Blog Vlog analyze commercialization Vlog as an impact of participatory culture and relation between audience and the creator of Vlog. Contrast with the previous studies, this study will analyze commercialization vlog has consequences to the involvement of non conventional workers on the supply chain. This paper argues that the commercialization Vlog emerge non conventional workers, vlogger worker group and non vlogger worker group. Each group has an unequal relation, but non vlogger worker group having a most unequal relation. This situation happens because unequal relation on each group vlogger and non vlogger to corporation. Therefore, forms of susceptibility between them are different. Through qualitative methods with in depth interviews, observation, and secondary data, This paper found that the unequal relation between non vlogger and corporate leads to a state of absence protection of work stoppages, rising incomes, limiting working hours, adding skills, opportunities for association, and protection of income through job contract obscurity."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa ‘Ul Jannah
"Precariat di industri kreatif merupakan kelompok yang digadang-gadang sebagai penggerak ekonomi namun memiliki ketidakamanan pekerjaan dan rentan menghadapi eksploitasi yang berkedok fleksibilitas. Kerentanan yang mereka alami meluas pada kehidupan mereka, salah satunya keamanan bermukim. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa aspirasi merumah precariat di industri kreatif di Indonesia khususnya pada kelas ekonomi pendapatan rendah hingga menengah atas. Menggunakan etnografi studi kasus yang dilengkapi dengan teknik wawancara mendalam dan observasi langsung, penelitian ini mengeksplorasi delapan informan yang merupakan pekerja di industri kreatif Indonesia yang terdiri dari lima laki-laki dan tiga perempuan. Untuk menjelaskan precariat di industri kreatif Indonesia, peneliti menggunakan tiga dimensi precariat menurut oleh Guy Standing, yaitu: dimensi hubungan produksi, dimensi hubungan distribusi, dan dimensi hubungan dengan pemerintah. Selain itu, penelitian ini juga mendalami bagaimana cara merumah precariat di industri kreatif Indonesia dan kondisi mereka di konteks sistem perumahan di Indonesia. Temuan dari penelitian ini adalah aspirasi merumah bagi precariat di industri kreatif di Indonesia ada tiga: tetap tinggal bersama orang tua; memiliki rumah baru; dan aspirasi merumah yang didorong oleh rencana karir dan pendidikan di masa depan. Penelitian ini juga menyoroti kondisi dilematis yang dihadapi precariat di industri kreatif ketika mereka mengikuti program rumah subsidi.

Precariat in the creative industry is a group that is glorified to drive the economy but has job insecurity and is vulnerable to exploitation under the guise of flexibility. The precariousness that they experienced extend to their lives, one of which is housing security. This research aims to understand what are housing aspirations of  precariat in the creative industry in Indonesia especially in the lower income to upper middle income economic classes. Using ethnographic case studies equipped with in-depth interview techniques and direct observation, this research explores eight informants who are workers in the Indonesian creative industry, consisting of five men and three women. To explain the precariat in Indonesia's creative industries, researchers use three dimensions of the precariat according to Guy Standing, namely: the dimension of production relations, the dimension of distribution relations, and the dimension of relations with the government. Apart from that, this research also explores how to house the precariat in Indonesia's creative industries and their conditions in the context of the housing system in Indonesia. The findings from this research are that there are three aspirations for living at home for the precariat in the creative industries in Indonesia: remaining with their parents; have a new house; and housing aspirations driven by future career and educational plans. This research also highlights the dilemma faced by them when they participate in the subsidized housing program."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega An Nisa Widyasani
"ABSTRAK
Kehidupan para pekerja menjadi hal yang tidak basi diulas sejak berabad-abad lamanya. Suara-suara mereka pun kerap terdengar di berbagai media, baik pekerja swasta maupun pekerja negeri, salah satunya para pekerja dengan status honorer yang terbagi-bagi menajdi beberapa bagian, khususnya kategori 2 (K-2). Skripsi ini menyajikan pembahasan mengenai para pekerja honorer K-2 di bidang pendidikan yang berada di Kabupaten Minang Jaya. Berjalannya roda pendidikan di negara ini tidak luput dari kerja para pekerja honorer K-2 dengan berbagai bidang, yang dalam skripsi ini ialah para guru, pekerja administrasi, dan pekerja keamanan sekolah. Tidak ada kejelasan awal mula eksistensi para pekerja honorer ini, khususnya di Kabupaten Minang Jaya, akan tetapi mereka ada hingga hari ini dan selalu menjadi salah satu persoalan yang tidak kunjung usai hingga di kancah nasional. Mereka mengalami berbagai insekuritas sebagai pekerja, atau yang disebut Standing sebagai pekerja prekariat. Selain itu dampak yang mereka bawa bagi khalayak luas dan hasil yang mereka terima menjadi suatu problem sosial tersendiri atau yang disebut Graeber dengan istilah shit jobs. Merekapun membentuk suatu ikatan untuk memadukan suara di dalam Forum Honorer K-2 Minang Jaya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Yosshika
"Karakteristik yang terbentuk dalam hubungan kemitraan membuat pengemudi ojek online memiliki ciri khas sebagai bagian dari kelompok kelas pekerja rentan, atau biasa disebut dengan prekariat. Melalui studi etnografi dan pendekatan fenomenologi, penelitian ini menemukan bahwa sumber kerentanan utama dipicu oleh implementasi perjanjian kemitraan dan pemberlakuan sistem gamifikasi kerja. Belum lagi pandemi Covid-19 menjadi konteks yang memperburuk sisi kerentanan dalam sistem kerja ojek online. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung ke beberapa pangkalan dan tempat tinggal informan, serta wawancara mendalam baik secara tatap muka langsung maupun media online yang bertujuan untuk menggali interpretasi individu pengemudi dalam menghadapi situasi yang dialaminya. Terungkap bahwa pemaknaan individu pengemudi turut berpengaruh namun tidak terbatas pada tataran kognitif, tetapi sampai pada level praktik sosial dalam keseharian. Strategi adaptasi kemudian muncul sebagai respon pengemudi ojek online untuk bertahan hingga keluar dari kesulitan pada permainan gamifikasi yang diciptakan oleh perusahaan. Sekaligus sebagai langkah untuk menyesuaikan diri dan meminimalisasi dampak dari pandemi Covid-19 yang sedang terjadi. Strategi yang muncul dalam menghadapi kerentanan dalam hubungan kemitraan dan sistem gamifikasi kerja antara lain: penentuan area operasi, pemanfaatan sistem dalam aplikasi, dan penetapan target harian. Sementara strategi untuk beradaptasi pada konteks Pandemi Covid-19 yaitu: penyesuaian jam operasi, irit/penghematan, dan penerapan protokol kesehatan.

The characteristics that are formed in partnership relation make ojek online drivers have the characteristics of being part of a vulnerable working-class group, or commonly referred as precariat. Through ethnographic studies and phenomenological approaches, this research founds that the main source of vulnerability is triggered by the implementation of partnership agreement and the gamification of work systems. Moreover, the Covid-19 pandemic has become a context that aggravate the vulnerability side of the ojek online working system. Data collection was carried out by direct observation to several bases and informants' residences, then face-to-face in-depth interviews or through online media that aimed to explore the driver’s individual interpretations in dealing with the situations they must faced. It is revealed that the individual meaning of the driver also influences but is not limited to the cognitive level, but also reaches the level of social practice in daily life. The adaptation strategy then emerged as the response of ojek online drivers to survive or got out from the difficulties of the gamification game created by the company. As well as a step to adapt and minimize the impact of the Covid-19 pandemic. Strategies that appear in dealing with vulnerabilities of partnership relation and gamification of work systems include: determining the area of ​​operation, utilizing the system in applications, and setting daily targets. Meanwhile, the strategies to adapt to the context of the Covid-19 pandemic are: adjusting operating time, saving money, and implementing health protocols.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Wulandari
"Pekerja Precariat Dalam Kapitalisasi Industri Televisi Kasus: Penonton Bayaran Pada Program Musik Televisi Hadirnya profesi penonton bayaran dengan status pekerja kontrak atau outsourcing merupakan sebuah konsekuensi dari adanya proses kapitalisasi di industri televisi. Tesis ini ditelah menggunakan kerangka pemikiran Guy Standing, yang intinya bahwa terdapat kelas precariat di lingkup ketenaga kerjaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan desain deskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa, penonton bayaran adalah pekerja yang digolongkan sebagai kaum precariat, dan mengalami tekanan secara struktural dan sosial. Kapitalisasi yang terjadi dalam industri televisi telah menciptakan struktur menekan sehingga menyebabkan penonton bayaran berada pada lapisan bawah dan menempatkan mereka pada posisi rentan. Tekanan yang mereka hadapi, berasal dari struktur relasi saling menekan pihak-pihak dalam proses produksi program musik di televisi. Akibatnya penonton bayaran menjadi rentan dalam kehidupan sosial.

Precariat Workers in Capitalization of Television Industry Case Paid attendees on The Music Program Appearances of paid attendees with contract worker status or outsourcing in television industry is a consequence from capitalization nowadays. This outsourcing system creates suppression structures into its practice so that put outsourcing labors into lower level and keep them more depressed. In this study, paid attendees have status as lower level worker which called as precariat. Correlation pattern of paid attendees in music program production system with capitalization of television industry put their in unstable position. This thesis researched by Guy Standing theory within qualitative and descriptive methods. In results show that paid attendees is categorized as precariat group and sustain a structural and social oppression, which is come from relation between structure of suppressing parties in television music program. As a result paid attendees become unstable in social environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T48122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Purwanti
"Tugas Karya Akhir ini merupakan sebuah narasi dan refleksi dari pengalaman yang saya rasakan selama menjalankan dua peran sebagai mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia dan dan sebagai agent Contact Center 162 PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) yang dituntut untuk dapat cepat beradaptasi menerapkan budaya pelayanan yang berkembang dengan berbagai kondisi dan menerima stigma mengenai pekerja contact center menggunakan sudut pandang antropologis. Penulisan Tugas Karya Akhir ini menggunakan pendekatan otoetnografi, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk memahami pengalaman budaya tertentu melalui naratif diri dan pengalaman personal. Proses adaptasi menerapkan budaya pelayanan melewati berbagai tahapan, seperti masa training dan masa tandem. Pada realitanya, bekerja menjadi agent contact center tidak semudah yang dibayangkan. Banyak faktor yang menghambat para agent untuk menjalankan tugasnya dengan tetap menerapkan budaya pelayanan. Sebagai upaya untuk mengatur bagaimana agent contact center berperilaku dan menjalankan tugasnya, terdapat usaha yang dilakukan dari Perusahaan, yaitu melakukan penilaian periodik dan pelatihan tambahan. Pembahasan mengenai pekerjaan agent contact center jugamembawa pada sebuah pembahasan mengenai stigma yang melekat pada pekerjaan agent contact center itu sendiri, serta adanya pandanganmengenai status saya sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Lebih lanjut lagi, tulisan ini akan menjelaskan mengenai kerentanan-kerentanan yang dialami seorang agent contact center di lingkungan kerjanya.

This Paper presents a narrative and reflective account of my dual roles as a Social Anthropology student at the University of Indonesia and as a Contact Center 162 agent for PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero). In these capacities, I have been tasked with swiftly adapting to theevolving service culture, accommodating diverse conditions, and confronting the stigma associated with contact center workers, all from ananthropological perspective. The writing of this Final Academic Paper employs an autoethnographic approach, which seeks to comprehendspecific cultural experiences through self-narratives and personal encounters. The process of implementing a service culture encompassesseveral stages, including the training period and the tandem period. The reality of working as a contact center agent proves to be morechallenging than anticipated, with numerous"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library