Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Tarnama Kevin
"Personal Guarantee (Penjamin Pribadi) merupakan bentuk jaminan yang diberikan oleh individu (pihak ketiga) untuk menjamin kewajiban pembayaran utang Debitor utama kepada Kreditor. Namun, ketika Debitor utama tidak dapat lagi membayar utangnya tersebut, maka Personal Guarantee lah yang bertanggung jawab.
Berdasarkan Pasal 1832 KUHPerdata, penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor dikarenakan penjamin telah melepaskan hak istimewanya dengan menyatakan ketersediaannya tanggung renteng dengan debitur utama untuk melunasi utangnya. Penjamin mempunyai tanggung jawab untuk melunasi utang debitur tanpa perlu menunggu debitur lalai atau berhenti melaksanakan kewajibannya.
Secara tidak langsung, penjamin telah mengambil peran sebagai debitor dan karenanya penjamin dapat diklasifikasikan sebagai debitor serta konsekuensinya adalah penjamin dapat dipailitkan dengan adanya putusan pengadilan. Namun, untuk dapat dipailitkan penjamin tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana Pasal 2 ayat 1 UUK, penjamin harus memiliki kreditur lain yang minimal 1 utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil dari analisis ini mengatakan bahwa Personal Guarantee dapat bertanggung jawab terhadap hutang Debitor selama syarat-syaratnya terpenuhi.

Personal Guarantee is a form of guarantee provided by an individual (third party) to guarantee the main debtor's debt payment obligations to creditors. However, when the main Debtor can no longer pay the debt, then the Personal Guarantee is responsible.
Under Article 1832 of the Civil Code, a guarantor can be classified as a debtor because the guarantor has relinquished his privileges by stating his availability to be jointly and severally responsible with the main debtor to pay off his debts. The guarantor has the responsibility to pay off the debtor's debt without the need to wait for the debtor to default or stop carrying out his obligations.
Indirectly, the guarantor has taken on the role of a debtor and therefore the guarantor can be classified as a debtor and the consequence is that the guarantor can go bankrupt with a court decision. However, in order to be bankrupt, the guarantor must meet the requirements as stated in Article 2 paragraph 1 of the UUK, the guarantor must have another creditor whose at least 1 debt has matured and can be collected.
This analysis was carried out using normative juridical methods. The results of this analysis say that the Personal Guarantee can be responsible for the Debtor's debts as long as the conditions are met.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Ghaisani Sya'bina
"Perikatan sebagai seorang personal guarantee atau penanggung utang (borgtocht) meletakkan diri pada kedudukan yang cukup berisiko. Pada dasarnya, seseorang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam kapasitasnya sebagai personal guarantee. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, seorang personal guarantee berkewajiban untuk melakukan pelunasan atas utang seorang debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Namun, dalam melaksanakan perikatannya, seorang personal guarantee diberikan hak istimewa oleh Pasal 1831 KUHPerdata berupa hak untuk menuntut penyitaan dan penjualan harta kekayaan debitur utama terlebih dahulu sebelum harta kekayaannya dieksekusi. Tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang tersebut tidak menutup kemungkinan bagi personal guarantee untuk dimintai pertanggungjawaban di muka Pengadilan. Bahkan, Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai pelepasan hak istimewa personal guarantee mengindikasikan adanya kemungkinan personal guarantee dijatuhkan pailit atas utang debitur utama, baik bersamaan maupun tanpa dipailitkannya debitur utama. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan personal guarantee dalam ruang lingkup kepailitan. Oleh karena itu, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran pertanggungjawaban personal guarantee dalam kepailitan. Tulisan ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban jaminan perorangan (personal guarantee) dalam kepailitan dengan dikaitkan pada Putusan Nomor 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/ PN.Niaga.Jkt.Pst.. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan perbandingan dengan yurisprudensi yang bertolak belakang dengan putusan tersebut, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 922 K/Pdt/1995. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data sekunder.

Agreement as a personal guarantee (borgtocht) places oneself in a quite risky position. Essentially, an individual bears a significant amount of liability in their capacity as a personal guarantee. As regulated in Article 1820 of the Civil Code, a personal guarantee is obligated to pay off the debts of a debtor who fails to pay their debts. However, in carrying out the agreement, a personal guarantee is given a privilege based on Article 1831 of the Civil Code in the form of the right to demand seizure and sale of the principal’s assets first before executing the personal guarantee’s assets. The liability that is given by the law does not preclude the possibility for personal guarantees to be held accountable before the Court. In fact, Article 1832 paragraph (1) of the Civil Code which regulates the relinquishment of personal guarantee’s privilege indicated the possibility of personal guarantee being declared bankrupt for the principal’s debt, either with or without the principal being declared bankrupt as well. Unfortunately, statutory regulations do not explicitly regulate the legal standing of personal guarantee within the scope of bankruptcy. Therefore, in practice, there are still different interpretations of personal guarantee’s liability in bankruptcy. This article analyzes personal guarantee’s  liability in bankruptcy by reviewing Decision No. 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN.NIAGA.Jkt.Pst.. Apart from that, this article also presents a comparison to a jurisprudence that is contrary to the decision, namely Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 922 K/Pdt/1995. This article is written using a normative juridical research method and supported by secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi
"Kredit merupakan perjanjian pokok yang tidak serta merta diberikan oleh bank. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang menerangkan bahwa pemberian kredit harus dengan analisa sebagai bentuk pengamanan bank atas dana bank yang dikeluarkan salah satunya harus adanya jaminan yang disebut dengan jaminan umum. Hal tesebut tidak cukup aman bagi bank untuk memberikan dana bank dengan hanya jaminan umum. Maka akan dimintakan jaminan tambahan yang berupa jaminan perorangan (borgtoch) yang disebut dengan perjanjian tambahan.
Hal yang menjadi pembahasan peneliti adalah praktek jaminan peorangan sebagai salah satu bentuk pengikat jaminan kredit pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan hambatan serta cara penyelesaian hambatan-hambatan atas penggunaan jaminan perorangan pada jaminan kredit. Berdasarkan hasil penelitian bahwa jaminan peroangan yang merupakan jaminan tambahan atas perjanjian kredit sebagai bentuk keyakinan dari kreditur. Hambatan yang dirasakan oleh kreditur adalah sulit mendapat daftar harta kekayaan penanggung, eksekusi terhadap harta kekayaan penanggung dan debitur yang memakan waktu lama.

Credit was the main agreement all of a sudden was not given by the bank. However, credit in accordance with. Regulations Number 10 in 1998 the explanation of the article 8 articles (1) must with the analysis as the form of the security of the bank on the bank's fund that was spent by one of them must the existence of the guarantee that was mentioned with the public's guarantee. The matter was not safe enough for the bank to give the bank's fund with only of the public guarantees. Then will be requested the additional guarantee that took the form of the personal guarantee (borgtoch) that was mentioned with the additional agreement.
The matter that became the researcher's discussions was the practice of the personal guarantee as one of the forms of the fastener of the credit guarantee to PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk and the obstacle as well as the method of the resolution of obstacles on the use of the personal guarantee in the credit guarantee. Based on the results of research that the personal guarantees is the additional guarantee of a credit agreement as a form of confidence the bank against the debtor. The obstacle that was felt by lender was to be difficult to receive the list of the wealth of the guarantor's wealth, the execution towards the wealth and the debtor of the guarantor's wealth that took up a lot of time
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60274
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Ridky Johannes Sitorus
"ABSTRAK Surety bond sebagai salah satu produk asuransi yang diterbitkan perusahaan asuransi umum selaku surety secara konsep hukum merupakan suatu perjanjian pertanggungan borgtocht yang diberikan oleh surety tanpa mewajibakan adanya jaminan kebendaan. Dalam surety bond, surety menjamin pelaksanaan kewajiban principal kepada obligee. Sebagai konsekuensi dari borghtocht, maka perusahaan asuransi umum selaku surety memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi recovery atas klaim yang telah dibayarkan kepada obligee yang mana hak tersebut telah diperjanjikan dalam suatu Indemnity Agreement yang dibuat oleh principal. Saat usaha surety bond semakin berkembang, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan ldquo;UU No. 1/2016 rdquo; dalam rangka memperkuat dasar hukum atas peraturan tentang penjaminan yang komprehensif sehingga menjadi rujukan dalam menyelenggarakan penjaminan. Dalam UU No. 1/2016 pemerintah juga memberikan kewenangan kepada perusahaan penjamin untuk menyelenggarakan usaha surety bond, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan perusahaan asuransi umum yang telah lebih dahulu menyelenggarakan usaha surety bond setelah diundangkan UU No. 1/2016. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya ada ketidakpastian hukum pada surety untuk mendapatkan ganti rugi recovery dari principal yang pada dasarnya disebabkan karena tidak adanya jaminan kebendaan yang dapat dieksekusi oleh surety dalam tahapan recovery. Sebagai solusi, maka sebelum menerbitkan surety bond, surety mensyaratkan adanya personal guarantee yang menjamin pelaksanaan kewajiban principal membayar ganti rugi kepada surety. Setelah diundangkan UU No. 1/2016, pada faktanya tidak menghapuskan kewenangan perusahaan asuransi umum dalam menyelenggarakan usaha surety bond. Perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan usaha surety bond sesuai peraturan dalam perasuransian.Kata Kunci : Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Penjaminan.
ABSTRACT As one of insurance product that issued by general insurance company as surety, surety bond has legal concept as a guarantee agreement borgtocht given by a surety without requiring collateral object. In surety bond, surety guarantees the performance of principal rsquo s obligations to the obligee. As a consequence of borgtocht, a general insurance company as a surety reserves the right to get a recovery of a claim that has been paid to a obligee and such right have been contracted in an Indemnity Agreement made by the principal. In accordance with the report of Indonesian General Insurance Association AAUI , surety bond production has increased in several years due to the high demand of a guarantee. However, amid the development, the Government issued Law No. 1 of 2016 regarding Guarantee Law No. 1 2016 in order to strengthen the legal basis for a comprehensive guarantee regulation, thus it becomes a reference in conducting the guarantee business. In Law No. 1 2016 the government authorizes the guarantor company to conduct surety bond business, this further raises question about the authority of general insurance company that have previously conducted surety bond business after promulgation of Law No. 1 2016. This research is descriptive by using normative juridical method. The results show that in the implementation there is legal uncertainty on surety to obtain compensation recovery from the principal. The uncertainty is basically caused by the absence of material assurance that can be executed by surety in the recovery phase. As a solution to the problem before issuing surety bond, surety requires a personal guarantee that guarantees the implementation of principal obligation to pay compensation to surety. This at least increases legal certainty for surety to obtain compensation from the principal. After enactment of Law No. 1 2016, this law does not eliminate the authority of general insurance company in conducting surety bond business. However, general insurance company still reserves the right to conduct surety bond business in accordance with the regulations in the insurance and with due regard to the provisions of Law No. 1 2016.Keywords Surety Bond, Recovery, Indemnity Agreement, Personal Guarantee, Guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Chairany Ermansyah
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas mengenai Pertanggungjawaban Perusahaan Induk kepada Bank selaku pemberi pinjaman kepada anak perusahannya dalam memenuhi kewajibannya sesuai aturan hukum pertanggungjawaban perdata yang berlaku. Pertanggungjawaban perusahaan induk ini timbul akibat adanya penerbitan Letter of Undertaking yang dilakukan oleh perusahaan induk guna menjamin pinjaman tersebut. Dalam hal perolehan kredit yang diterima oleh perusahaan-perusahaan yang membutuhkan modal baik untuk tujuan pembiayaan modal kerja ataupun untuk anak perusahaan seringkali dalam prakteknya Bank meminta jaminan tambahan dari Perusahaan Induk dimana jaminan ini bersifat accessoir dan didasari pada asas-asas dalam hukum perjanjian, baik dalam bentuk Corporate Guarantee untuk selanjutnya disebut sebagai ldquo;CG rdquo; ataupun Letter of Undertaking untuk selanjutnya disebut sebagai ldquo;LoU rdquo; ataupun jaminan lainnya. Pemberian LoU oleh perusahaan induk kepada anak perusahaannya sampai saat ini dinilai efektif oleh para kreditur, hal ini disebabkan karena ketika sebuah perusahaan induk memberikan jaminan personal LoU kepada kreditur maka secara sah dan secara moral perusahaan induk tersebut memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dalam LoU tersebut. Yang mana hal ini berkaitan dengan Liability perusahaan induk yang tertuang dalam LoU tersebut dan Responsibility perusahaan induk untuk menjamin pelunasan hutang anak perusahaannya.

ABSTRACT
This writing discusses the Responsibility of the Parent Company to the Bank as a lender to its subsidiary in fulfilling its obligations under the applicable civil liability law. This parent company 39 s liability arises from the issuance of a Letter of Undertaking by the parent company to secure the loan. In the case of the acquisition of credits received by companies that require capital either for the purpose of working capital financing or for subsidiaries often in practice the Bank requests additional assurance from the Parent Company where this guarantee is an accessoir and is based on the principles of the treaty law, both in form of Corporate Guarantee hereinafter referred as CG or Letter of Undertaking hereinafter referred as LoU or other guarantees. Loan granting by the parent company to its subsidiaries is currently considered effective by the creditors, this is because when a parent company provides personal LoU guarantee to the creditor then legally and morally the parent company has an obligation to implement what has been agreed in LoU. Which is related to the Liability of the parent company contained in the LoU and the Responsibility of the parent company to ensure the repayment of its subsidiary debt."
2018
T50604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Audy Vania Putri
"Tulisan ini menganalisis bagaimana efektivitas jaminan perorangan dalam mendukung pemenuhan hak-hak kreditur dalam penyelesaian kredit macet di bank. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian non doktrinal. Pemahaman mengenai peran jaminan perorangan dalam konteks penyelesaian kredit macet sangat penting untuk mengoptimalkan proses dan hasil akhir penyelesaian kredit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaminan perorangan memegang peranan penting dalam pemenuhan hak-hak kreditur dalam penyelesaian kredit wanprestasi. Analisis efektivitas jaminan perorangan meliputi evaluasi terhadap proses pendaftaran agunan, prosedur penilaian nilai agunan, dan mekanisme penyelesaian kredit. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas jaminan perorangan meliputi aspek legal, operasional, dan manajerial. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pihak-pihak terkait, termasuk lembaga perbankan, untuk memperbaiki kebijakan dan praktik terkait penyelesaian kredit dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak kreditur.

This paper analyzes how the effectiveness of personal guarantees in supporting the fulfillment of creditor rights in resolving defaulted loans at banks. This paper is prepared using a non-doctrinal research method. Understanding the role of personal guarantees in the context of defaulted credit settlement is essential to optimize the process and final results of credit settlement. The results show that personal guarantees play an important role in the fulfillment of creditor rights in defaulted credit settlements. The analysis of the effectiveness of personal guarantees includes an evaluation of the collateral registration process, collateral value assessment procedures, and credit settlement mechanisms. Factors affecting the effectiveness of personal guarantees involve legal, operational, and managerial aspects. The findings are expected to serve as a basis for relevant parties, including banking institutions, to improve policies and practices related to credit settlement in order to enhance the protection of creditor rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Rahmawati Noor
"Penelitian dalam tesis ini mengangkat sebuah kasus dengan permasalahan adanya keterangan palsu yang terdapat dalam akta Perjanjian Pengakuan Hutang dan akta Personal Guarantee yang dibuat oleh Notaris. Dimana dengan adanya keterangan palsu tersebut membuat pihak pemberi hutang dapat dirugikan karena sampai saat ini belum adanya pembayaran terhadap utang yang dilakukan. Penelitian ini menganalisis permasalahan pada keabsahan akta yang terdapat dalam akta-akta tersebut dan tanggung jawab notaris terhadap adanya perbuatan notaris yang melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data adalah dengan cara studi dokumen terhadap data sekunder. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang menghasilkan hasil penelitian deskriptif analitis. Kemudian hasil dari penelitian ini adalah meskipun Akta Perjanjian Pengakuan Hutang dan Akta Personal Guarantee tersebut merupakan akta autentik dengan kekuatan pembuktian yang sempurna, tetapi dapat dibatalkan oleh Pengadilan karena tidak memenuhi aspek formil dan melanggar syarat keabsahan perjanjian karena memasukkan keterangan palsu. Akibat hukumnya akta-aktanya adalah menjadi akta dibawah tangan yang hanya berlaku bagi para pihak dan Notaris dapat dijatuhi sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

The research in this thesis raises a case with the problem of the existence of false information contained in the Deed of Credit Recognition Agreement and Personal Guarantee deed made by a Notary. Where with the existence of false statements that make the creditor can be harmed because until now there has been no payment of the debt made. This study analyzes the problems with the validity of the deeds contained in these deeds and the notary's responsibility for notarial acts that violate Article 16 paragraph (1) letter a of Law Number 30 Year 2004 jo. Law Number 2 of 2014 concerning Position of Notary Public. The research method used in this study is normative juridical research and using descriptive analytical type of research. Data collection technique is by studying documents on secondary data. The approach used is a qualitative approach that produces descriptive analytical research results. Then the result of this research is that although the Deed of Recognition Agreement and Personal Guarantee Deed is an authentic deed with perfect proof power, it can be canceled by the Court because it does not fulfill the formal aspects and violates the terms of the validity of the agreement because it includes false information. The legal consequence of the deeds is that they become underhanded deeds that only apply to the parties and Notaries can be subjected to administrative sanctions in the form of written warnings as contained in Article 16 paragraph (11) of Law Number 2 of 2014 concerning Notary Position."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Letezia Sihol Cynthia
"Bank memiliki banyak fungsi, salah satu fungsinya adalah sebagai penyalur dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana, yaitu dengan cara pemberian kredit. Di mana calon debitur harus memenuhi beberapa persyaratan untuk memberikan keyakinan kepada bank atas kemampuan pembayaran kredit oleh debitur. Apabila bank kurang mendapat keyakinan akan kemampuan calon debitur, bank akan meminta calon debitur untuk memberikan jaminan yang dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Dalam hal jaminan yang diberikan berupa jaminan perorangan, maka bank akan memiliki dua atau lebih debitur yang dapat ditagih untuk pelunasan kredit tersebut sehingga bank akan merasa lebih aman. Pada kenyataannya, saat melakukan eksekusi kepada debitur dan penanggungnya, tidak selalu pihak bank mendapatkan pemenuhan pembayaran kredit tersebut. Seringkali penanggung tidak mau membayar atau ada kondisi yang mengakibatkan kreditur tidak dapat lagi melakukan penagihan kepada penanggung yaitu dalam hal penanggung dinyatakan tidak cakap lagi sebelum debitur wanprestasi. Dalam kasus Deutsche Bank AG vs PT Tripanca Group (dalam pailit), Deutsche Bank AG (Kreditur) tidak bisa melakukan penagihan kepada PT Tripanca Group (Penanggung dari PT Cideng Makmur Pratama (Debitur) (dalam pailit)) karena kurator Penanggung tidak mau memasukkan Deutsche Bank AG ke dalam daftar krediturnya dengan alasan akan terjadi penagihan ganda, dan hakim membenarkan kurator melalui putusannya. Dalam hal ini putusan hakim benar tetapi pertimbangannya tidak tepat. Seharusnya putusan hakim didasarkan kepada fakta bahwa Penanggung telah dipailitkan terlebih dahulu sehingga tidak cakap untuk bertindak sebagai penanggung. Ketidakcakapan ini yang akan mengesampingkan fakta bahwa Penanggung dan Debitur telah sepakat untuk tanggung renteng dan Penanggung telah melepaskan hak-haknya sebagai penanggung sehingga seharusnya dalam hal penanggung tidak dipailitkan terlebih dahulu, Deutsche Bank AG dapat melakukan penagihan kepada keduanya. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan bentuk penelitian kepustakaan dan melakukan pendekatan analitis. Hasil penelitian ini berupa analisis mengenai bagaimana pengaturan tentang garantor dan bagaimana bank dapat mendapatkan perlindungan serta kepastian pemenuhan pembayaran kredit oleh nasabah debitur maupun garantornya dalam hal nasabah debitur tidak mampu membayar seluruh utangnya.
Bank has various functions, one of its functions is distributing fund from people who has excess of fund to people who in needs of fund by granting credit. The prospective debtor should fulfill some requirements to convince the bank of the ability of the prospective debtor to pay the debt. If the bank did not really sure with the ability of the prospective debtor, then the bank will ask a security or guarantee from the prospective debtor, either it is a property guarantee or a personal guarantee. If the debtor has a personal guarantee, the bank will get a sense of security because there are two or more debtors to be billed for the fulfillment of the credit payment. In fact, when the bank conducts the execution of the credit to the debtor and its guarantor, it seems like the bank did not always get the fulfillment of the credit payment. It is often that the guarantor refuses to pay the debt or there is certain condition which causes the creditor could not conduct the billing to the guarantor which the condition is the guarantor is deemed as an incapable person before the debtor is deemed as default. In the case between Deutsche Bank AG vs PT Tripanca Group (in bankruptcy), Deutsche Bank AG (Creditor) could not perform the billing to PT Tripanca Group (Guarantor from PT Cideng Makmur Pratama (Debtor) (in bankruptcy)) because the curator of the Guarantor did not want to put Deutsche Bank AG in the creditor list of the Guarantor by saying there will be double billing, and the judge in his verdict justify the curator?s argument. In this case the verdict of the judges was right but the consideration was incorrect. The verdict shall be based on the fact that the Guarantor has been stated as bankrupt; therefore the Guarantor is incapable to act as a guarantor. This incapability will set aside the fact that the Guarantor and the Debtor have agreed to have a jointly and severally liability, and the Guarantor has waived its rights as a guarantor, therefore if the Guarantor was not deemed as bankrupt, then Deutsche Bank AG should be able to perform the billing to the Debtor and the Guarantor. This research is a normative legal research using literature research and analytic approach. The result of this research is an analysis regarding how the regulation of the guarantor and how could the bank get a protection and certainty of the fulfillment of the credit payment from either the debtor or the guarantor in a matter of the debtor is not able to pay his debt."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S27
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurlailatul Qodriyah
"

Produk murabahah pada perbankan syariah digunakan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam menggunakan produk tersebut sebagai bagian dari fasilitas pembiayaan, akan dimintakan suatu jaminan. Jaminan kebendaan atau jaminan perorangan yang dikenal dalaam perbankan syariah Indonesia, dapat digunakan sebagai jaminan akad murabahah. Namun, sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya mengetahui pengaturan mengenai jaminan, terlebih jaminan dalam Islam seperti rahn dan kafalah yang jarang digunakan dalam praktik perbankan syariah, sehingga tidak jarang jaminan tersebut menjadi sengketa antara pihak yang terlibat. Penelitian ini meninjau bagaimana pengaturan jaminan perorangan dalam murabahah pada perbankan syariah di Indonesia, serta membahas bagaimana pertanggungjawaban Notaris dan/atau PPAT berkenaan dengan Akta Murabahah dan Akta Jaminan yang dibuatnya. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptifanalitis yang menggunakan studi kasus pada Putusan Pengadilan Agama Malang Nomor 0689/Pdt.G/2017/PA.Mlg. Hasil penelitian menyatakan bahwa dalam murabahah dibolehkan adanya suatu jaminan sebagaimana dinyatakan dalam KHES dan Fatwa DSN-MUI tentang murabahah. Namun, belum terdapat pengaturan secara khusus tentang jaminan perorangan dalam akad murabahah, sehingga dalam praktik yang banyak digunakan adalah jaminan yang dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Dalam kasus ini, baik Notaris maupun PPAT tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban karena tanggungjawab Notaris atau PPAT hanya sebatas keabsahan secara formil.

Kata kunci: Jaminan perorangan, Kafalah, Keterangan Palsu, Murabahah, Rahn


Murabaha is an Islamic banking product used by Indonesian people to fulfill their needs. It is common practice when using those banking products as part of a financing tool, they will be requested to provide a guarantee. Material guarantee or personal guarantee known in Islamic Banking in Indonesia, can be utilized as collateral in murabaha contract. However, most people have not realized the importance of understanding the regulations on collateral, most of all in Islamic banking such as rahn and kafalah which is rarley used in practice. As a result, it is common to have the collateral disputed between the parties involved. This study reviews how personal guarantee in murabaha is regulated in Islamic banking in Indonesia, and discusses the responsibilities of the Notary and/or PPAT in regards with the Deed of Murabaha and Deed of Guarantee made. This study uses a normative juridical approach with a descriptive-analytical type of research, and takes the case study of Malang Religion Court Decision Number 0689/Pdt.G/2017/PA.Mlg. The results of the study states that in murabaha, collateral is permitted as stated in KHES and Fatwa DSN-MUI concerning murabaha. However, there is yet to be a regulation specifically on personal guarantee in murabaha contract, therefore the most commonly practiced are the guarantees in Indonesian private law. In this case, both Notary and PPAT cannot be held liable because the responsibility of a Notary or PPAT is only limited to formal legitimacy.

Keywords: False Statement, Kafalah, Murabaha, Personal guarantee, Rahn

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farsya Zahrayanti
"Dalam pembangunan infrastruktur, aspek pembiayaan berperan penting untuk memastikan kelancaran pembangunan dan beroperasinya fasilitas tersebut. Hal ini terutama jika proyek tersebut dibangun untuk kepentingan publik. Kereta Cepat Jakarta Bandung merupakan fasilitas transportasi publik yang dibangun oleh pemerintah pada tahun 2016 dan beroperasi pada tahun 2023. Dalam proses pembangunannya, terdapat banyak kendala dimulai dari permasalahan sosial hingga finansial. Permasalahan finansial timbul dimana awalnya pembangunan proyek ini dibangun menggunakan skema business-to-business dengan BUMN China, hingga pada akhirnya menjadi skema KPBU dengan adanya pemberian penjaminan pemerintah. Hal ini ditimbulkan oleh besarnya cost overrun yang dialami oleh PT KCIC sebagai pelaksana proyek tersebut. Penjaminan pemerintah diberikan pada tahun 2021 berdasarkan Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2023. Dengan adanya penjaminan pemerintah, maka pemerintah muncul sebagai penjamin, dalam teori perdata dikenal sebagai penanggung atau borg. Penanggungan yang juga disebut dengan borgtocht merupakan konsep penanggungan hutang dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk menjamin debitur dalam perjanjian utang-piutang dengan kreditur akan memenuhi kewajibannya. Skema penanggungan ini merupakan perjanjian accessoir yang menimbulkan hak dan kewajiban baru terhadap penanggung dan debitur. Penulisan ini meneliti terkait batasan hak dan kewajiban pemerintah dalam pemberian penjaminan pemerintah terhadap proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung. Prosedur pemberian jaminan tersebut juga akan diteliti dalam penulisan ini.

In infrastructure development, the financing aspect plays an important role in ensuring the facility's smooth construction and operation. This is especially true if the project is built for the public interest. The Jakarta Bandung High Speed Train is a public transportation facility built by the government in 2016 and operating in 2023. In the development process, many obstacles range from social to financial problems. Financial problems arise where this project was initially built using a business-to-business scheme with Chinese SOEs, until finally, it became a PPP scheme with the provision of government guarantees. This was caused by the large cost overrun experienced by PT KCIC as the project implementer. The government guarantee was provided in 2021 based on Presidential Regulation No. 91 of 2023. With the government guarantee, the government appears as a guarantor, in civil theory known as an insurer or borg. Personal guarantee, which is also called borgtocht, is a debt guarantee concept where a third party binds itself to guarantee the debtor in a debt agreement with the creditor will fulfill its obligations. This coverage scheme is an accessoir agreement that creates new rights and obligations for the insurer and debtor. This paper examines the limitations of the rights and obligations of the government in providing government guarantees for the project."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library