Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ashari Rahmadi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Performativitas Gender yang terdapat pada manga JoJo no Kimyou na Bouken : Steel Ball Run. Teori Performativitas Gender digunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk performa yang terjadi pada gender karakterkarakter yang ada pada manga ini. Hasil dari artikel ini akan menjelaskan bentuk Performativitas Gender yang terjadi pada beberapa karakter Manga JoJo no Kimyou na Bouken : Steel Ball Run.
ABSTRACT
This study discusses the Gender Performativity found in the JoJo no Kimyou na Bouken manga : Steel Ball Run. The Gender Performativity Theory is used to explain the forms of performance that occur in the characters of the gender in this manga. The results of this article will explain the form of Gender Performativity that occurs in some of JoJo no Kimyou na Bouken s Manga characters: Steel Ball Run.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Fitriana Hutami Putri
Abstrak :
Meskipun individu transgender telah berjuang agar diterima dalam masyarakat, kini mereka lebih terlihat di dalam budaya populer terutama dalam film. Boys Don rsquo;t Cry 1999 merupakan film Hollywood yang menampilkan peran transgender sebagai pemeran utama. Tujuan dari penelitian ini ialah menganalisa peran transgender, Brandon Teena, dalam menunjukkan transgender yang secara perlahan terinternalisasi melalui interaksi dan hubungan dengan karakter lainnya. Sebagai tambahan, analisis ini dibuat untuk menemukan cara mereka membentuk dan menunjukkan diri mereka sendiri sebagai transgender dan hubungan kekuasaan antara pasangan transgender dan non-transgender. Analisis ini menggunakan perspektif Kara DeMilio pada transgender mengenai perilaku seksual. Artikel ini menjelaskan bahwa film ini menunjukkan performativitas transgender dan hubungan kekuasaan antara karakter satu sama lain, khususnya Brandon.
Although transgender individuals have been struggling to be accepted in society, they are now more visible in popular culture especially movies. Boys Don rsquo;t Cry 1999 movie is Hollywood movie which has transgender individual as their main character. The purpose of this study is to analyze the transgender character, Brandon Teena, in performing transgender which is slowly internalized through the interaction and relation with the other characters. In addition, this analysis is created to find the way how she construct and perform herself as transgender and the power relation between transgender and their non-transgender partner. The analysis operates within Kara DeMilio perspective on transgender about sexual behavior. The article find that the movie shows the transgender performativy and also power relation between the characters, especially for Brandon.
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ajeng Ayu Amala Maharani
Abstrak :
Maskulinitas hegemonis mencerminkan dominasi sosial melalui maskulinitas, seringkali diasosiasikan dengan olahraga sebagai penyalurnya. Hal ini menjadi menarik ketika kita melihat olahraga seperti cheerleading yang didominasi oleh perempuan, bahkan digambarkan sebagai emphasized femininity. Cheerleading hari ini sudah bukan lagi konsep rok pendek dan penyorak di pinggir lapangan, kini cheerleading menjadi sebuah olahraga kompetisi ekstrem yang juga diikuti sebagian laki-laki. Maka dari itu, tulisan ini mengeksplorasi identitas gender melalui bentuk-bentuk maskulinitas hegemonis dalam olahraga cheerleading yang didominasi perempuan, serta performativity dari cheerleader laki-laki. Melalui studi pustaka, ditemukan bahwa bentuk maskulinitas sebagai dominasi sosial terbagi menjadi dua yaitu ortodoks dan inklusif. Terakhir, performativity yang ditemukan adalah dalam bentuk skill tertentu, unggahan media sosial yang dipilah, dan attitude yang dijaga sebagai cheerleader. ......Hegemonic masculinity reflects social domination through masculinity, often associated with sport as the channel for it. This becomes interesting when we investigate a female-dominated sport like cheerleading, even described as emphasized femininity. Cheerleading today is not just short skirts cheering on the sideline anymore, now cheerleading is an extreme competitive sport that also participated by some men. Thus, this article explores gender identity through constructions of hegemonic masculinity in cheerleading as a female-dominated sport, and performativity of male cheerleaders, through literature study. Through literature study, it is found that masculinity as a form of social domination is divided into two groups which are orthodox and inclusive. Lastly, the performativity is found in the form of certain skills, sorted social media post, and maintained attitude as cheerleader.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Isaura Putri Maharani
Abstrak :
Androgini di Indonesia masih terbilang tabu karena tampilannya yang tidak sesuai dengan ideologi gender yang berlaku. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa gaya androgini tidak sesuai dengan konstruksi maskulinitas dan feminitas di Indonesia, sehingga fenomena androgini di Indonesia masih terbilang baru dan dianggap tabu. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana ekspresi androgini ditampilkan oleh kaum muda di Jakarta. Penelitian ini berargumen bahwa androgini dimaknai sebagai gender neutral, yaitu tampilan maskulin atau feminim dengan ekspresi yang tidak terlihat condong ke arah maskulinitas dan feminitas tersebut. Temuan penelitian ini adalah ekspresi gender androgini ditampilkan melalui gaya hidup, kosmetik, dan perilaku. Selain itu ekspresi gender juga ditampilkan secara berlawanan dengan stereotip identitas gendernya untuk menciptakan penampilan yang netral (gender neutral) dan sesuai dengan makna dari penampilan androgini. Dalam prosesnya androgini laki-laki mengalami tekanan sosial berupa perundungan dan pengucilan yang disebabkan oleh ideologi gender yang tertanam di masyarakat, sementara androgini perempuan tidak mendapatkan masalah secara sosial mengenai penampilannya. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam. ......Androgyny in Indonesia is still classified as taboo because it is not in accordance with the prevailing gender ideology. Previous studies show that androgyny is not suitable with masculinity and femininity construction in Indonesia, so that androgynous phenomena are still fairly new and considered taboo. Therefore this study wanted to see how androgynous responses were presented by young people in Jakarta. This study shows that androgyny is interpreted as gender neutral, a masculine or feminine appearance with expressions that do not look more in masculine or feminine. The findings of this study is androgyny is expressed through lifestyle, cosmetics, and behavior. In addition, gender expression also fully opposes the stereotype of gender identity to create a neutral appearance and in accordance with the meaning of androgynous appearance. Male androgyny had social pressure into abuse and exclusion caused by gender ideologies involving the community, while female androgyny do not get social problems regarding their making. This study uses qualitative methods by collecting data through in-depth interviews.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Devonia Alfansi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menggarisbawahi bagaimana perempuan dapat mengarahkan karir mereka di industri teknologi yang selalu bergerak, tidak dapat diprediksi, dan bergerak cepat dengan performing gender. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tech adalah industri yang dominasi laki-laki dan terobsesi dengan maskulinitas, menjadikannya lingkungan yang diskriminatif bagi perempuan. Namun, kurangnya penelitian menyelidiki bagaimana perempuan menavigasi karir mereka dalam lingkungan yang dinamis. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi kesenjangan dari penelitian sebelumnya dengan melihat bagaimana perempuan bernavigasi di lingkungan teknologi yang bergerak cepat, tidak dapat diprediksi, dan dinamis karena pendekatannya yang gesit, obsesi terhadap skala, pertumbuhan, orientasi keuntungan, dan ketidakstabilan akibat PHK. Studi ini mewawancarai delapan perempuan dari dua perusahaan OTA dengan tiga peran: product manager, designer, dan engineer. Dalam lingkungan teknologi yang selalu berubah ini, perempuan harus mengatasi fluks sosial dan ketidakpastian ini serta menilai dan menyusun strategi untuk maju dalam karier mereka. Dengan metode penelitian kualitatif, penelitian ini berpendapat bahwa perempuan secara sosial mengarahkan karir mereka di bidang teknologi dengan melakukan gender bertahan dan berkembang dalam lingkungan yang dinamis. Dengan demikian, perempuan melakukan feminitas dan maskulinitas. Mereka beralih di antara karakteristik gender biner untuk memainkan performativitas mereka.


This research aims to underscore how women can navigate their careers in the ever-moving, unpredictable, fast-paced tech industry by performing gender. Previous research showed that tech is an industry of male domination and its obsession with masculinity, making it a discriminatory environment for women. However, a lack of research investigated how women navigate their careers in a dynamic environment. Therefore, this research wants to fill the gap of previous research by looking at how women navigate in a fast-paced, unpredictable, dynamic environment in tech because of its agile approach, obsessions with scale, growth, profit orientation, and instability due to layoffs. This study interviewed eight women from two OTA companies across three roles: product managers, designers, and engineers. In this ever-changing tech environment, women must overcome this social flux and uncertainty and assess and strategize to advance in their careers. With the qualitative research method, this study argues that women socially navigate their careers in tech by performing gender survive and thrive in a dynamic environment. In so doing, women perform femininity and masculinity. They switch between the binary gender characteristic to play their performativity.

Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiyah Haniifah Oktaviani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion di kalangan laki-laki melalui gender performativity. Studi-studi sebelumnya mengatakan bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki merupakan salah satu bentuk dalam ekspresi gender melalui fashion telah mengalami redefinisi maskulinitas. Namun, peneliti melihat bahwa studi-studi sebelumnya tidak membahas bagaimana proses terbentuknya redefinisi maskulinitas melalui penggunaan genderless fashion yang digunakan sehari-hari di kalangan laki-laki. Dengan menggunakan konsep gender performativity dan identitas gender oleh Butler sebagai pisau analisis dari penelitian ini. Peneliti berargumen bahwa laki-laki menggunakan genderless fashion yang dilakukan secara terus menerus sebagai cara mereka untuk menunjukkan identitas gender mereka. Selain itu, penelitian ini berargumen bahwa penggunaan genderless fashion pada laki-laki menunjukkan redefinisi maskulinitas yang berbeda dengan masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mampu menegosiasikan makna maskulinitas modern, yaitu laki-laki yang peduli dengan penampilan diri melalui genderless fashion. Data pada penelitian ini diperoleh dengan pendekatan kualitatif denganstudi fenomenologi yang menggambarkan pengalaman individu dari suatu fenomena. Sumber data dari studi ini adalah wawancara mendalam dengan laki-laki pengguna genderless fashion yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari sebagai identitas diri. ......This study aims to to describe the redefinition of masculinity through the genderless fashion among men through gender performativity. Previous studies say that the use of genderless fashion among men is a form of gender expression through fashion that has experienced a redefinition of masculinity. However, researchers see that previous studies did not discuss the process of redefinition of masculinity through genderless fashion in daily use among men. By using Butler's concepts of gender performativity and gender identity as analytical tools for this research. Researchers argue that men use genderless fashion continuously to show their gender identity. In addition, this research argues that the use of genderless fashion among men shows a redefinition of masculinity that is different from Indonesian society which is ultimately able to negotiate the meaning of modern masculinity, namely men who care about their own appearance through genderless fashion. The data in this research was obtained using a qualitative approach with a phenomenological study which describes individual experiences of a phenomenon. The data source for this study is in-depth interviews with men who wear genderless fashion in their daily activities.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Ulfah Apriyadin
Abstrak :
ABSTRAK
Wonder Woman 2017 adalah film superhero yang diangkat dari karakter DC Comics yang menceritakan karakter Wonder Woman yang pergi ke dunia manusia bersama Kapten Steve Trevor, agen khusus Amerika, untuk menyelamatkan dunia dari Ares. Banyak penelitian yang telah menganalisa karakter Wonder Woman menggunakan studi feminis, namun tidak banyak yang berfokus pada karakter Steve Trevor. Dengan menggunakan teori dari Raewyn Connell tentang maskulinitas dan jender performativitas dari Judith Butler, artikel ini akan membahas karakter maskulinitas dari Steve Trevor dan tindakannya yang mematahkan dominasi hegemoni maskulinitas melalui analisis tekstual dan karakter. Artikel ini memperlihatkan bahwa walaupun karakter Steve Trevor menggambarkan beberapa karakter dari hegemoni maskulinitas, namun beberapa tindakannya justru bertolak belakang dominasi maskulinitas.
ABSTRACT
Wonder Woman 2017 is a superhero movie based on the character from DC Comics, which tells about the character Wonder Woman going to human world with Captain Steve Trevor, the US special agent, in order to save the world from Ares. Many studies have researched the character Wonder Woman using feminist studies, yet not many focused on the character Steve Trevor. By using Raewyn Connell rsquo s framework of masculinity and Judith Butler rsquo s gender performativity, this paper will discuss the character Steve Trevor 39 s masculine attributes and actions that break the domination of hegemonic masculinity through textual and character analysis. This article argues that although the character Steve Trevor showcases some of characteristics of hegemonic masculinity, some of his actions are shown to break the dominant masculinity.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Long Meilin
Abstrak :
Penelitian ini membahas konstruksi gender non-normatif dalam film Indonesia Kucumbu Tubuh Indahku (2018), dengan menggunakan teori performativity gender Judith Butler, sementara menganalisis hubungan sistem patriarki dan norma heteroseksual terhadap konstruksi gender di Indonesia. Hasil penelitian ini adalah: film ini membangunkan tiga jenis gender, yaitu lelaki heteroseksual yang maskulin, perempuan heteroseksual yang feminin (dengan sedikit petunjuk yang tidak langsung tentang homoseksual/lesbian), lelaki homoseksual yang ekspresi gendernya cair. Perempuan dalam film Kucumbu Tubuh Indahku utamanya ada dua macam. Semacam adalah perempuan rumah tangga yang sesuai persyaratan patriarkal, yang lain adalah yang aktif dalam politik, ambisius dan penuh perhitungan, melihat meningkatkan posisi keluarga sebagai tugasnya, dan memiliki orientasi seksual yang berubah-ubah. Konstruksi gender untuk lelaki heteroseksual dalam film ini utamanya hanya satu macam, yaitu lelaki sebagai pemimpin keluarga yang sesuai persyaratan patriarkal, mengelola istri dan laki-laki muda. Konstruksi gender untuk lelaki homoseksual adalah identitas gendernya di luar biner gender, dan tidak memenuhi persyaratan norma heteroseksual, sebagai objek seksual melayani laki-laki heteroseksual yang sebagai subjek seksual, dan menginternalisasi logika budaya patriarki dan norma heteroseksual sebagai nilai- nilainya sendiri. ......This article examines the construction of non-normative gender in the Indonesian film Memories of My Body (2018), using Judith Butler's theory of gender performativity, while analyzing the relationship of the patriarchal system and heterosexual norms to gender construction in Indonesia. The results of this study are: this film awakens three types of gender, namely masculine heterosexual men, feminine heterosexual women (with a few indirect hints of lesbianism), homosexual men whose gender expression is fluid. There are mainly two kinds of women in the film, some are household women who conform to patriarchal requirements, others are politically active, ambitious and calculating, see improving the family's position as their duty, and have variable sexual orientations. The gender construction for heterosexual men in this film is mainly of only one kind, namely men as family leaders who comply with patriarchal requirements, managing wives and young men. Gender construction for homosexual men is his gender identity outside of the gender binary, and not meeting the requirements of heterosexual norms, as sexual objects serving heterosexual men, and internalizing the logic of patriarchal culture and heterosexual norms as his own values. 
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Anindya
Abstrak :
Penelitian ini berawal dari keresahan peneliti atas pembagian gender maskulin dan feminin yang membuat laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal menjadi pihak yang harus tunduk dengan tatanan sosial dan budaya masyarakat. Laki-laki, mengalami krisis identitas terkait posisinya secara personal dan komunal di dalam masyarakat dan karakter androgini menjadi pilihan dalam menunjukkan identitasnya. Identitas gender androgini dapat dilihat melalui gender performativity dan fashion. Untuk itu, penelitian ini menggunakan fenomenologi dalam melihat pengalaman laki-laki androgini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, androgini merupakan identitas gender dan juga androgini secara psikologis merupakan bentuk kecerdasan emosi; kedua, keluarga yang konvensional dan lingkungan yang sex-type memunculkan identitas gender androgini; ketiga, media cenderung mengkomodifikasi androgini salah satunya melalui fashion; dan keempat, setiap individu memiliki keunikan dalam mengekspresikan fashion dan gender performativity. ......This research come from researcher restless thought about masculine and feminine binary. This gender binary somehow makes men and women as part of the society have to adjust themselves to social and cultural norms. Men gets identity crisis on their personal and communal life, therefore they create androgini identity gender. Androgini identity gender can be seen on gender performativity and fashion. This research use phenomenology to observe androgyny men life experience. The result shows, first, androgyny is emotional intellectual that is related to psychological character development; second, conventional family and sex-type environment create androgynous person; third, media shows androgyny on fashion as commodity; and fourth, every human being has her/his own uniqueness on fashion and gender pervormativity; one of their appearance shows androgynous characteristics.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Nabeela Anindhita Ariny Roboth
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kompleksitas identitas gender melalui lensa karakter Yuu Arima dalam manga Boy Meets Maria. Peneliti menerapkan teori performativitas gender yang dikemukakan oleh Judith Butler untuk memahami isu identitas gender pada karakter Yuu Arima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas gender pada karakter Yuu Arima bersifat cair, tergantung konteks, tidak tetap. Yuu Arima dapat dibaca sebagai gambaran dari keberagaman dan kompleksitas identitas gender. Perjalanan Arima dalam menemukan identitasnya tidak hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, tetapi juga merupakan eksplorasi pribadi yang membebaskannya dari konsepsi-konsepsi baku tentang gender. ......This research aims to describe the complexity of gender identity through the lens of the character Yuu Arima in the manga Boy Meets Maria. The researcher applies the theory of gender performativity proposed by Judith Butler to understand the issue of gender identity in the character Yuu Arima. The research results indicate that the gender identity of the character Yuu Arima is fluid, dependent on the context, not fixed. Yuu Arima can be read as an illustration of the diversity and complexity of gender identity. Arima's journey in finding his identity is not only to fulfill social expectations, but is also a personal exploration that frees him from standard conceptions of gender.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library