Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuli Astuti
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang meningkatnya kasus tindak pidana dan penyalahgunaan narkotika yang di lapas. Lapas sebagai tempat pemidanaan berfungsi untuk melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pada penelitian ini, peneliti mengamati proses pelaksanaan rehabilitasi dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Khusus Narkotika Klas IIA Jakarta. Selanjutnya dalam upaya menggali informasi yang lengkap tentang topik penelitian ini, maka peneliti melakukan wawancara kepada pihak informan yang dilakukan metode snow ball sampling. Informan yang dijadikan narasumber antara lain narapidana, petugas lapas dan DirjenPas. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Jakarta tidak ada bedanya dengan lapas umum. Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Jakarta hanya melaksanakan rehabilitasi sosial terhadap narapidana, karena keterbatasan sarana prasarana, petugas, program layanan dan biaya. Rehabilitasi narkotika harus dilaksanakaan secara komprehensif melalui beberapa tahapan yaitu rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan pascarehabilitasi. Sebagai lapas yang memiliki kekhususan, Lapas Khusus Narkotika Kelas IIA Jakarta belum mempersiapkan perencanaan untuk ruang perawatan detoksifikasi, asesmen, konseling ,vokasional dan SDM. Hal ini tentunya menghambat proses pemulihan napi dari ketergantungan narkotika, karena dalam menjalankan tugas dan fungsi dalam pembinaan napi narkotika, sarana prasarana dan petugas tidak memiliki kompetensi dibidang tersebut. Dalam penelitian ini diharapkan agar lapas dapat bekerjasama dengan instansi terkait dalam perencanaan mulai dari persiapan sarana prasarana, program, anggaran dan SDM dalam pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap narapidana. ......This report is written based on increase of crime and drug abuse in prisons. The prison as a place of punishment serves to implement improving our inmates, which in the programs expected convict who concerned after returning into their community could be useful citizens in their community. In this study, the researchers observed the process of implementation of rehabilitation and the obstacles faced in the implementation of rehabilitation in Prison as Specially for Narcotic class IIA Jakarta. Furthermore, in an effort to dig up the complete information about the topic of this research, the researchers conducted interviews to the informants by snow ball sampling method. Informants who were made by the speakers were prisoners, prison officers and Director General. For the results of the research, researchers found that a Prison Specially Narcotic class IIA Jakarta it makes no difference to the common prison. The Prison for Narcotic class IIA Jakarta only carry out for social rehabilitation to convict due to limited facilities and infrastructure, officers, service programs and fees. Narcotics rehabilitation must be implemented comprehensively through several phases namely medical rehabilitation, social rehabilitation and post rehabilitation. As a specific prisons, it has not prepared the planning for treatment room detoxification, assessment, counseling, vocational and human resources rooms. This certainly impeded the process restoring process of prisoners from drug dependence, because their duty and function for developing convict narcotic, facilities and infrastructures and officials did not have competence in that field. In this study, it is expected that prisons can be cooperate with related agencies in planning from preparation of infrastructure, programs, budget and human resources in the implementation narcotic to convict.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helmina
Abstrak :
Penelitian ini berjudul "PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN KASUS NARKOBA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA TANGERANG". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis, bahwa pembinaan yang diberikan bagi Anak Didik Kasus Narkoba sudah selayaknya harus dibedakan dengan Anak Didik kasus pidana umum lainnya. Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang dengan metode penelitian kualitatif. Beranjak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang mengemuka adalah : (1) Mengapa metode Therapeutic Community tidak dilaksanakan dalam pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan kasus narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang; (2) Metode Iain apa saja yang dilaksanakan sebagai pengganti metode Therapeutic Community dalam pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan kasus narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut, metoda pengolahan data yang dilakukan mengarah pada metode deskriptif eksplanatory. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama menjalani pidananya Anak Didik Pemasyarakatan Kasus Narkoba tidak mendapatkan pembinaan yang selayaknya harus diberikan pada narapidana penyalahguna narkoba sebagai terapi untuk memutuskan ketergantungannya terhadap narkoba. Sebagai alternatif pengganti maka program psikososial diberikan sebagai treatment bagi Anak Didik kasus narkoba. Memperhatikan hasil penelitian tentang kondisi Lapas Anak maka perlu adanya peningkatan dan penyediaan saranalprasarana serta peningkatan management sumber daya manusia petugas Lapas Anak dengan mengikut sertakan dalam pelatihannpelatihan yang dapat mendukung kinerja petugas di lapangan. ......The title of this research is "THE BUILDING OF JUVENILE WITH DRUGS CASE IN TANGERANG-MALE JUVENILE CORRECTIONAL INSTITUTION". The background in choosing the title is based on the empiric and theoretic research, in which the building for the juvenile with drugs case has been something, must be differentiated with the juvenile with non drugs case. The location of this research is in Tangerang-Male Juvenile Correctional Institution. The method of the research is qualitative research. Base on the background above, the propose problem in this research are (1) Why Therapeutic Community method is not implemented in building the juvenile with drugs case in Tangerang-male juvenile correctional institution; (2) What methods are implemented instead of Therapeutic Community. In figuring out the answers of the research, the writer uses explanatory descriptive method in processing the data. The result of this research shows that during the sentence runs, the juveniles with drugs case do not get the adequate building as what the prisoner with drugs case should get, where it is as kind of therapy to stop the addiction of drugs. The alternative program is used for juvenile treatment for instead is psychosocial program. Seeing the result of this research, especially about the condition of the juvenile correctional institution, it has to improve and supply infrastructures then also improve human resources management especially the staffs in charge by training to support their work.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tejo Harwanto
Abstrak :
The criminal act of drugs abuse, which has been increasing in number nowadays, has threaten the life of all nations in the world including Indonesia due to the transnational distribution of illegal drugs. The establishment of the Class II A Narcotics Penitentiary is a response of the Government, through the Directorate General of Penitentiary, to the Combating Drugs Abuse and Illicit Trade of Narcotics (P4GN) program. This policy is adapted from the people's demand to make changes to the existing system. The rehabilitation of the criminals of narcotics case as a complex problem since they play part not only as drugs dealers, but also drugs addicts. This particular condition makes the rehabilitation of the narcotics prisoners is more complicated than other prisoners. One of the aims of the establishment of the narcotics penitentiary is to cut off the link of illicit drugs trade in Indonesia. Thus, the people who administer the penitentiary are expected to be able to play their part and to run the penitentiary function properly. Every personnel of the penitentiary shall be provided with administrative and technical capability through education and training in order to carry out their main duty and function. They also need motivation to support their creativity and to enhance their performance. The theory applied to study employee performance analysis in its relation to the prisoners' behavior is the employee performance theory by Keith Davis with the formula as follow: Human Performance = Ability + Motivation. One's performance is influenced by ability and motivation. While ability is obtained from education, training and experience, motivation rises from the impulse of humans desire to meet their basic necessities, which is expressed in their behavior. In this research descriptive analytic method is employed. Distributing questionnaires as a means of data collection and doing interviews as the basis of rationality and objectivity of this research conduct a field approach of survey method. A positive correlation coefficient value between ability variable and employee performance is resulted in this research. The ability variable correlation value over employee performance is r = 0.551. This indicates that the relation between working motivation and employee performance is positive. Based on the simple regression analysis, there is a positive and significant influence of ability variable over employee performance variable with a determinant correlation R2 of 0.424 or 0.424 x 100% = 42.4 %. The rest 57.6% is influenced by other variables beyond this research on a significance level of 0.000. It also found that there is a positive and significant influence of motivation variable on employee performance in the Class II A Narcotics Penitentiary with a determinant correlation R2 of 0.303 x 100% = 30.3%. The rest 69.7% is influenced by other variables beyond this research with significance level 0.000. The multiple regression analysis performed shows that ability (X1) and motivation (X2) have consistently a positive and significant relation on employee performance (Y) with a correlation coefficient r2 of 0.673. This analysis also points out an influence of ability (X1) and motivation (X2) on employee performance (Y) with determinant coefficient R2 of 0.453 or 0.453 x 100% = 45.3% while the rest 54.3% is influenced by other variables beyond this research on a significance level of 0.000. It can be concluded that there is a positive and significant relation between ability and motivation and employee performance. The influence perception of ability and motivation on employee performance also appears in the Class II A Narcotics Penitentiary although there is still a 54.7 % of it which is influenced by other variables.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evan Chrisentius
Abstrak :
ABSTRAK
Kebijakan hukum Indonesia saat ini sangat bergantung kepada kebijakan kriminal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mencantumkan aspek hukum pidana. Ketergantungan kepada kebijakan kriminal ini, tidak lagi menempatkan hukum pidana sebagai ultimum remedium sehingga menimbulkan overkriminalisasi. Terlebih lagi kebijakan kriminal ini masih menempatkan sanksi pidana penjara sebagai primadona. Sehingga menyebabkan berbagai permasalahan di dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Berbagai permasalahan ini menyebabkan krisis yang jarang menjadi perhatian akademisi maupun pemerintah. Di beberapa negara telah dikembangkan konsep privatisasi penjara untuk mengatasi krisis di sektor penjara yang terjadi di negara tersebut. Di Indonesia sendiri konsep privatisasi penjara ini merupakan konsep yang baru, sehingga apabila ingin diterapkan perlu dikaji secara mendalam. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah yang dimaksud privatisasi penjara di dalam sistem peradilan pidana, apakah dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan Indonesia saat ini dapat diterapkan privatisasi penjara, dan faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan apabila ingin menerapkan privatisasi penjara di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa yang dimaksud dengan privatisasi penjara adalah keterlibatan pihak privat ke dalam sistem penjara yang selama ini dimonopoli negara, privatisasi penjara ini dapat menggunakan dua bentuk yaitu full privatisasi atau hybrid sistem. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia saat ini telah mencapai tahap krisis, ini ditandai dengan overcrowded, ketidaksesuaian jumlah penghuni Lapas dengan petugas pemasyarakatan dan ketidakmampuan negara dalam mengoptimalkan anggaran. Untuk itu keterlibatan pihak privat dapat menjadi solusi bagi reformasi sistem pemasyarakatan. Untuk menerapkan privatisasi di sistem pemasyarakatan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu tujuan pemidanaan, faktor normatif, dan sumber daya manusia. Di Indonesia ada dua model yang dapat dijadikan alternatif privatisasi Lembaga Pemasyarakatan, yang pertama Public Private Partnership dan yang kedua penjara privat non-profit.
ABSTRACT
Indonesian law policy currently relies heavily on criminal policy. It can be seen from many laws and regulations that include aspects of criminal law. Addiction to this criminal policy, criminal law is no longer placing asultimum remedium causing over criminalitation.Moreover, this criminal policy still puts sanctions imprisonment as a primadona. Thereby, it causes various problems in the Indonesian prison system. These problems led to a crisis that is rarely a concern from academia and government side. Several countries have developed the concept of prison privatization in the sector to address the prison crisis that occurred in the country. In Indonesia the concept of prison privatization is a new concept, so it still needs a depth study to apply it. This study was conducted to answer the question what privatized prisons in the criminal justice system is, whether the condition of Indonesian's prisons privatization can be applied, and what factors should be considered to implement the privatization of prisons in Indonesia. This research was normative. Based on the results, the privatization of prisons is the involvement of private parties in a prison system that has been monopolized by the government; prison privatization is to use two forms of full privatization or hybrid systems. Penitentiary conditions in Indonesia has reached a crisis stage, is characterized by overcrowded, prisons discrepancy with the number of occupants and the inability of the government penitentiary officers in optimizing budgets. The involvement of private parties can be a solution to reform the penal system. There are several factors to be considered to implement privatization in the corrections system; such as the purpose of punishment, normative factors, and human resources. In Indonesia, there are two models which can be used as an alternative privatization of corrections, the first is Public Private Partnership and the second is non-profit private prisons.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anis Dwi Hermawati
Abstrak :
Tesis ini membahas hasil penelitian mengenai fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menghukum, membina dan merehabilitasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan harapan tidak akan mengulanginya lagi, namun kenyataannya kejahatan dan pelanggaran justru terjadi di lapas, terjadinya kejahatan ataupun pelanggaran di lapas tidak terlepas dari sistem pengamanan, dengan pengamanan yang baik tentunya proses pemasyarakatan akan berlangsung dengan baik, dan untuk mencapai tujuan yang di inginkan maka di dalam pelaksanaannya Lapas Klas IIA Salemba menyelenggarakan sekuriti melalui prinsip-prinsip manajemen. Metode penelitian yang di gunakan oleh peneliti adalah metode kualitatif dan metode penulisan menggunakan diskriptif analisis. Lapas Klas IIA Salemba telah menyelenggarakan manajemen sekuriti fisik melalui adanya KPLP, peralatan sekuriti fisik, tetapi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang dalam maupun orang luar masih terjadi, hal ini dikarenakan penyelenggaraan manajemen sekuriti fisik belum optimal, yaitu: terbatasnya atau minimnya jumlah anggota pengamanan yang belum seluruhnya ditunjang oleh kompetensi yang ada pada anggota KPLP; kurangnya sarana dan prasarana yang memadai; banyaknya pelanggaran yang dilakukan baik oleh narapidana maupun petugas tidak mendapatkan tindakan tegas sehingga terkesan terjadi suatu pembiaran terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi; lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh para pejabat Lapas dilingkungan lembaga pemasyarakatan karena tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada dasarnya pengamanan mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan rasa aman, namun pengamanan yang dilakukan di lapas sedikit berbeda, karena pengamanan di ditujukan terhadap orang-orang yang menjalani hukuman dan pembinaan sehingga diterapkan desain lingkungan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan pelanggaran (crime prevention through environmental design) dan membuat situasi menjadi tidak menguntungkan bagi pelaku kejahatan (situational crime prevention), dengan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat mencegah timbulnya kejahatan atau pelanggaran di lingkungan Lapas Klas IIA Salemba.
This thesis discusses the results of research on the function of the Correctional Institution as a place to punish, build and rehabilitate someone who has committed a criminal act, hoping not do it again, but in fact a crime and a violation would occur in prisons, the crime or offense in prison can not be separated from security system, with good security correctional process must be going well, and to achieve the objectives desired in its implementation Klas IIA Salemba Prison organize security through management principles. The research method used a qualitative method and the method of writing using descriptive analysis. Lapas Klas IIA Salemba has held management physical security through their KPLP, equipment physical security, but crimes or offenses committed by insiders and outsiders are still going on, this is due to the implementation of management of physical security is not optimal, namely: limited or inadequate number of security members which has not been entirely supported by the existing competence in KPLP members; lack of adequate facilities and infrastructure; the number of violations committed by both inmates and officers did not get a firm action so impressed occur an omission of the various violations; weak supervision and control system carried out by officials Prison correctional environment because it does not run in accordance with applicable regulations. Basically safeguards have the same goal which is to create a sense of security, but security is conducted in prisons is slightly different, because security in the directed against persons serving sentences and coaching so that the applied design environment to prevent crime and offense (crime prevention through environmental design) and make the situation becomes unprofitable for the perpetrators of crimes (situational crime prevention), with these measures is expected to prevent a crime or offense at Klas IIA Salemba prison environment.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Kartika Belina
Abstrak :

Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembinaan narapidana namun faktanya masih banyak permasalahan umum yang kerap terjadi seperti overcapacity, homoseksualitas, lesbian, pertengkaran antar sesama narapidana dan kerusuhan. Sehingga dibentuklah UU No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan dan dalam Pasal 12 terdapat pengkategorian lapas berdasar usia, gender, masa pidana, kemudian kejahatan yang dilakukan serta kriteria lain yang bertujuan mengurangi masalah yang kerap terjadi di lapas. Maka itu Kementerian Hukum dan HAM telah membentuk Lapas Wanita dan Lapas Anak di Tangerang serta Lapas khusus Lansia di Serang.

Berdasar data Ditjenpas saat ini total napi lansia berjumlah 4.500 orang dan akan terus bertambah sampai dengan tahun 2025 menurut data Menteri Kesehatan. Namun sampai saat ini belum terbentuk pedoman khusus pembinaan untuk narapidana lansia dan masih dalam tahap perbincangan “The Jakarta Rules” dalam Seminar on Treatment Eldery Prisoners beberapa waktu lalu di Jakarta sehingga masih mengacu pada Permenkumham No.32 Th 2018 tentang Perlakuan bagi Tahanan Lanjut Usia. Narapidana lansia lebih rentan dengan berbagai jenis penyakit dan lebih sensitif sehingga membutuhkan perlakuan yang khusus. Maka dari itu penulis bermaksud meneliti sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan kepada narapidana dengan kategori usia lanjut di Lapas Serang.

Metode penelitian yang digunakan studi kasus menggunakan kualitatif deskriptif. Selanjutnya guna mengumpulkan data pihak-pihak terkait seperti Kepala Lapas Serang, petugas Lapas Serang,beberapa narapidana lansia,forum pemerhati pemasyarakatan,observasi dan dokumentasi diwawancarai secara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengacu pada Pasal 3 Permenkumham No 32 Th.2018 perlakuan khusus terhadap napi lansia dilakukan dengan memberikan bantuan akses keadilan, pemulihan dan pengembangan fungsi sosial, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dengan menyediakan dokter spesialis, perlindungan keamanan dan keselamatan juga telah dipenuhi bagi narapidana lanjut usia dengan memenuhi hak-hak mereka berdasarkan UU No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia kemudian blok lansia juga direnovasi serta dilengkapi dengan peralatan seperti televisi.


Criminal cases that are rampant in Indonesia, especially Jakarta from year to year have caused an increase in the number of prisoners living in prisons (prisons) resulting in overcapacity in most Indonesian prisons. This triggers problems that commonly occur in prisons such as homosexuality or lesbians, fights between fellow inmates, riots and less than optimal coaching. In addition, The Department of Ministry and Law Human Rights saw vulnerability of female also child prisoners to form prisons specifically for women and children, such as the Tangerang Class IIA Women's Lapas and Tangerang Children's Special Guidance Center with guidance systems based on Law No.12 of 1995 and Bangkok Rules but in fact residents prison is also mostly inhabited by elderly prisoners (elderly) which currently number 4,500 people. Elderly prisoners are actually more susceptible to various types of diseases as well as their psychological state is more sensitive as parents with prisoners over 60 years old but until now there have not been established prisons and specific guidance for guidance for elderly prisoners.

Therefore in addition to the UU No 12 Th 1995 and Permenkumham No.32 th 2018 which existed some time ago the Directorate General of Corrections of the Departments Human Rights also held seminar discussing about formation of Jakarta Rules which was attended by the Department Law and Human Right as well as representatives of other delegations the formation of international agreements as specific guidelines regarding the general standard of treatment of elderly prisoners whose purpose is to increase protection regulations based on the principles of upholding human rights for elderly prisoners. Therefore, by looking at it is still quite rare to discuss the efforts to provide guidance for prisoners with advanced age, the author intends to examine the extent to which guidance has been carried out to elderly prisoners in Serang Prison as a prison appointed to pilot the treatment of elderly participants at Seminar on Treatment. of Eldery Prisoners.

2019
T52714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryati Eka Putri
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Jiwajennie
Abstrak :
Dalam penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor selama Februari ? Mei 2009 ini, pengabaian terhadap hak atas pelayanan kesehatan terhadap tahanan serta narapidana penderita TBC masih ditemukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbentuk deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa orang informan yang terdiri dari petugas maupun narapidana. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan banyak kendala dalam proses pelayanan kesehatan bagi pasien penderita TBC di LP Bogor. Terlambatnya deteksi terhadap kasus TBC paru, rendahnya kualitas kesehatan penghuni, masalah overkapasitas, belum adanya ruang isolasi khusus bagi pasien penderita TBC paru, serta terbatasnya anggaran menjadi kendala yang dihadapi para petugas kesehatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyakit TBC paru di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogor. Namun yang menjadi hambatan dalam upaya penanggulangan terhadap penyebaran penyakit TBC di lingkungan LP Bogor ternyata bukan hanya disebabkan oleh minimnya fasilitas lapas, namun juga disebabkan karena lemahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki baik oleh penghuni, maupun petugas lapas.
In the research conducted at Bogor Penitentiary Class IIA in February - May 2009, negligence towards the inmates? rights to health care, including inmates suffering from TBC, is still found. This research uses descriptive - qualitative approach. Data is gathered through in-depth interview with inmates and wardens. This research finds a lot of hurdles in health care for inmates suffering from TBC in Bogor Penitentiary. Late detection, low general health level, overcapacity, the absence of special isolation unit, and very limited budget are the obstacles for the administrators. But that?s not all. Another contributing factor is the lack of quality in human resources both for the inmates and the wardens.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Suparno
Abstrak :
Didalam studi ini akan dibahas mengenai Pelaksanaan Pembimbingan Klien Pembebasan Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Tujuan penulisan mengadakan studi ini adalah untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimanakah sebenarnya pelaksanaan pembimbingan yang diiaksanakan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) terhadap klien yang mendapat Pembebasan Bersyarat (PB). Kemudian penulis juga ingin mengetahui faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pembimbingan terhadap Klien Pembebasan Bersyarat (PB). Guna memperoleh gambaran yang senyata tentang pelaksanaan pembimbingan klien PB, penulis melakukan studi literatur. Tehnik yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian bersifat deskriftif, dan pelaksanaannya menggunakan data : Wawancara mendalam terhadap PK, masyarakat dan klien. Pengamatan terlibat di Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Dari hasil penelitian pelaksanaan pembimbingan terhadap klien pembebasan bersyarat tidak berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Ada beberapa faktor kendala dan faktor pendukung kinerja sebagai berikut : Faktor Internal : 1. Kuantitas dan kualitas petugas Bahwa petugas Bapas Kelas I Jakarta Selatan secara kualitas kurangnya pengetahuan/kemampuan petugas menangani klien PB. 2. Sarana dan Prasarana Dalam melaksanakan kegiatan di Balai Pemasyarakatan sarana dan prasarana transportasi yang disediakan untuk mendukung kelancaran tugas sehari-hari, sangat jauh dari mencukupi. 3. Dana Terbatasnya jumlah dana yang ada sehingga pelaksanaan tugas pembimbingan tidak sesuai Faktor Eksternal 1. Masyarakat Pandangan masyarakat terhadap klien pemasyarakatan yang dibina di luar lembaga pada Balai Pemasyarakatan masih bersifat negatif dalam masyarakat masih memandang curiga dan memberi stigma atau cap terhadap kehadiran klien di tengah-tengah masyarakat. 2. Keluarga Klien Pada umumnya orang tidak mampu, rasa rendah diri yang melekat pada diri klien. 3. Instansi Terkait Banyak instansi lain yang belum mengetahui serta mengerti tugas-tugas Balai Pemasyarakatan, dalam hal ini bahwa secara umum pengawasan pada pidana bersyarat belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. 4. Belum adanya undang-undang yang menunjang pelaksanaan tugas Bapas. 5. Persyaratan-persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam usulan pembimbingan klien baik mengenai keadaan lingkungan baik di masyarakat tempat tinggal klien maupun di lembaga dengan adanya juklak maupun juknis tersebut sangat membantu kelancaran tugas pembimbingan.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T7717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aufar Ariq Vargas Varago
Abstrak :
ABSTRAK
Acara Pemeriksaan Singkat yang diatur dalam Pasal 203 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP merupakan salah satu jenis acara pemeriksaan perkara yang pada pelaksanaannya tidak pernah digunakan terhadap perkara tindak pidana narkotika. Namun dalam praktiknya Kejaksaan Negeri Kota Bandung pada akhir tahun 2018 menggunakan acara pemeriksaan singkat terhadap perkara tindak pidana narkotika terhadap perkara diancam dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu penyalahguna narkotika golongan I, yang berupa tanaman ganja. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung No. B-029/A/EJP/03/2019 mengenai Pelimpahan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Penyalahgunaan Narjotka dengan Acara Pemeriksaan Singkat (APS), menjawab pertanyaan terhadap penggunaan acara pemeriksaan perkara dalam Putusan No. 1/Pid.S/2019/PN.BDG yang memberikan vonis terhadap Terpidana penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat yang telah sesuai dengan peraturan yang menjadi landasan pelaksanaan. Dan dengan adanya fakta bahwa terjadi kelebihan kapasitas terhadap Lembaga Pemasyarakatan yang disebabkan oleh adanya Terpidana Narkotika di Indonesia, penggunaan acara pemeriksaan singkat oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara tindak pidana narkotika yang ditujukan kepada penyalaguna narkotika perlu memiliki fokus kepada rehabilitasi sosial dan medis didukung adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai standar pelaksanaan pencegahan dan perawatan sosial dan medis terhadap para penyalahguna narkotika yang juga dapat mengurangi kelebihan kapasitas yang terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan.
ABSTRACT
The Brief Examination Program that regulated in Article 203 of Law No. 8 of 1981 about Criminal Procedure Law or KUHAP is one of the examination case type of which in its implementation has never been used on narcotic crime cases. But in the end of 2018, the Bandung District Prosecutor used brief examination for narcotic criminal case against narcotic abuse that classified as class one, in the forms of cannabis plants which regulated in Article 127 paragraph (1) letter a of Law Number 35 of 2009 about Narcotics. With the issuance of Circular of Attorney General No. B-029 / A / EJP / 03/2019 about the Delegation of Criminal Narcotics Cases and Narcotic Abuses by using Brief Examination (APS), answering the questions regarding the use of case audits in Decision No. 1 / Pid.S/ 2019 / PN.BDG which gives verdicts against convicts of narcotics abuse by using brief examination programs that are in accordance with the regulations that are the basis for implementation. And the fact that there is a overcapacity on Penitentiary Institutions caused by the Narcotics Prisoners in Indonesia, the use of a brief examination by the Public Prosecutor of narcotics crime cases aimed at narcotics abusers needs to have a focus on social and medical rehabilitation supported by regulations that specifically regulating the standards for the implementation of prevention and social and medical care for narcotics abusers who can also reduce the overcapacity that occurs in prisons.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library