Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soesilowati S.R.
"Diabetic neuropathy is a complication of diabetes mellitus that is often overlooked, since there are often no subjective complaints during initial stages, and sensory deficit is often only found after objective examination.
Diabetic neuropathy is defined by the San Antonio Concensus of 1988 as "clinical or subclinical neural disturbance that occurs in diabetes mellitus, with no signs of other peripheral neuropathy. Neuropathy may manifest on the somatic, peripheral, as well as autonomicic nervous systems."
The incidence rate of diabetic neuropathy is reported to be 10-90%. Such high variation is due to differences in the diagnostic criteria or method to establish the diagnosis.
Reports of peripheral neuropathy from various hospitals in Indonesia are as follows: Cipto Mangunkusumo Hospital / Jakarta (1989) 68.16%, Hasan Sadikin Hospital (1989) 12.2%, Dr. Sutomo Hospital / Surabaya (1990) 52.21%, Dr. Pirngadi Hospital / Medan (1996) 18.05%, Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital / Ujung Pandang (1997) 57.81%. Asril Bahar, Jakarta (1985), reported an incidence rate for parasympathetic autonomicic neuropathy of 11.9%, while Harsinen Sanusi, Ujung Pandang (1989) reported an incidence rate of 66.7%.
"
2003
AMIN-XXXV-1-JanMarc2003-27
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Winnugroho Wiratman
"Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala
neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi.
Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi
kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang
mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan
cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai
kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak
menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan
neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan
dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Februari hingga Mei 2013.
Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19
subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian
berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51
subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati
secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik
80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47%
mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami
demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN
Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang
mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien
mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik
merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat
kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total
yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada
pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin

Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy.
Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic
process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of
nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This
study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received
chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with
cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as
kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause
peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders
previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical
examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted
using a cross-sectional design. The data was collected between February and May
2013.
Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female
subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60
years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had
neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There
were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32%
had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had
the experience of pure demyelination. There is a statistically significant
relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each
p <0,05).
Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC
patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who
experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical
neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all
factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin
chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Lazuardi
"Analisis Implementasi Asuhan Keperawatan dengan Pendekatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan dan Intervensi Hipnosis pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Gangguan Pola Tidur di Ruang Rawat Inap Lantai 6 Utara Gedung Teratai RSUP Fatmawati rdquo;Angka kejadian diabetes melitus meningkat setiap tahunnya. Neuropatik merupakan komplikasi tersering diabetes melitus yang ditandai dengan adanya nyeri yang memburuk pada malam hari sehingga menyebabkan masalah gangguan tidur. Intervensi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan tidur adalah terapi hipnosis. Hipnosis adalah proses membimbing klien untuk relaks. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada pasien DM dengan gangguan pola tidur akibat nyeri neuropati dengan intervensi Hipnosis. Intervensi ini diterapkan selama 3 hari dengan durasi 20 menit. Hasil evaluasi didapatkan adanya peningkatan kualitas tidur. Oleh karena itu intervensi hipnosis ini sangat direkomendasikan untuk diterapkan di pelayanan keperawatan. Kata Kunci : Diabetes mellitus, neuropati, tidur, hipnosis

Analysis of Urban Health Clinical Nursing Practice on Type 2 Diabetes Mellitus Patient Who Experience sleep patterns Disruption through Hipnosis Intervention in 6th North Floor Fatmawati Central General Hospital rdquo The incidence of diabetes mellitus is always increasing every year. Neuropathic is a common complication of diabetes mellitus that characterized by pain which worsened at night and causing sleep problems. One of the interventions that can be used to treat sleep disorders is hypnosis therapy. Hypnosis is the guiding processthat help client to relax. This paper aims to provide an overview of nursing care in diabetic patients with sleep disorders due to neuropathy pain with hypnosis intervention. This intervention is applied for 3 days and the duration of interventionis 20 minutes. The result shows a good improvements in the sleep quality of the patient. Therefore hypnosis therapy intervention is highly recommended to be applied in nursing services. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilsa Hunaifi
"Background: World Health Organization (WHO) estimates the incidence of type 2 diabetes in Indonesia would increase to 21.3 million in 2030. Diabetes has a chronic complications, including peripheral neuropathy. The degree of neuropathy was assessed through the Neuropathy Disability Score (NDS). In contrast, haemoglobin A1c is glycated haemoglobin used to monitor the glucose levels of diabetic patients in the last 2 or 3 months. The relationship between HbA1c and diabetic neuropathy carried out by electrodiagnosis showed that HbA1c and age were the main predictors of diabetic neuropathy. However, electrodiagnosis is still considered costly. Research is needed to determine the relationship between HbA1c and NDS to reduce morbidity. This study aims to determine the relationship between the severity of diabetic neuropathy as measured by NDS with HbA1c level in type 2 Diabetes. Methods: this cross-sectional study involved correlation analysis.. The collected data were analyzed with the Spearman correlation test. Results: approximately 56 diabetic patients were involved in this study. Patients were recruited from the internal medicine outpatient ward from the West Nusa Tenggara General Hospital. The mean age was 59.55 (SD 9.48) with 57.1% female; the median duration of diabetes was 5.5 years. The median NDS score is 7.5 and the median HbA1c value is 8.65. Spearman correlation analysis shows a correlation coefficient of 0.487 with a value of p = 0.000. Conclusion: there is a relationship between HbA1c level and the severity of diabetic neuropathy in Type 2 DM."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2021
610 UI-IJIM 53:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Julie Dewi Barliana
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Leber's hereditary optic neuropathy (LHON) adalah suatu penyakit yang diturunkan secara maternal dengan gejala klinis berupa gangguan penglihatan sentral akibat atrofi saraf optik dan gangguan irama jantung. Lesi genetik terbanyak yang mendasari LHON adalah mutasi noktah DNA mitokondria pada G11778A. Mutasi ini menyebabkan perubahan asam. amino arginin menjadi histidin pada gen ND4 yang merupakan sub unit kompleks 1 rantai pernapasan. Adanya perbedaan latar belakang genetik lain berupa perbedaan haplotipe yang spesifik terhadap etnik tertentu diduga akan meningkatkan ekspresi dan patogenisitas mutasi primer. Tujuan penelitian adalah: (1) untuk melihat apakah kebutaan akibat LHON selalu diikuti oleh kelainan jantung; (2) mengetahui kelainan jantung yang terdapat pada LHON mutasi G11778A; (3) untuk melihat apakah terdapat latar belakang genetik yang sama untuk kebutaan dan kelainan jantung pada LHON. Pendekatan yang dilakukan adalah: (1) melakukan pemeriksaan klinis mata pada keluarga penderita atrofi papil saraf optik bilateral yang memiliki riwayat keluarga gangguan penglihatan; (2) melakukan pemeriksaan EKG; (3) menentukan tipe mutasi DNA mitokondria dengan metoda PCR (Polymerise chain reaction)-RFLP (Restriction fragment length polymorphism); (4) studi latar belakang genetik mitokondria dengan haplotipe menggunakan metoda PCRRFLP.
Hasil dan Kesimpulan: Di antara 22 penderita LHON mutasi G11778A dengan klinis penurunan tajam penglihatan 45,4% (10/22) disertai dengan kelainan irama jantung. Kelainan irama jantung yang ditemukan berupa gangguan hantaran dan kelainan otot jantung. Agaknya kebutaan pada LHON tidak selalu diikuti dengan kelainan irama jantung. Berdasarkan analisis haplotipe, keluarga LHON Sunda termasuk dalam haplogrup B*, Jawa B-M, Betawi dan Cina termasuk haplogrup M; namun tidak ditemukan perbedaan manifestasi klinis yang bermakna di antara haplogrup tersebut. Malta masih harus dipikirkan adanya keterlibatan DNA inti yang memegang peranan besar dalam proses metabolisme sel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T1063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Indira Sari
"Tujuan: Menganalisis efek pemberian sitikolin terhadap kerusakan sel ganglion tikus pada Etambutol Optik Neuropati (EON).
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba tikus. Lima belas ekor tikus Wistar dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok etambutol (B), kelompok etambutol dan sitikolin (C). Kelompok B dan C diberikan perlakuan selama 30 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menilai densitas sel ganglion retina, dan imunohistokimia untuk menilai ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion retina tikus dengan intoksikasi etambutol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin lebih tipis dibandingkan yang tidak mendapatkan sitikolin (p=0,005), peningkatan ketebalan lapisan sel ganglion ini karena pembentukan vakuola pada sitoplasma sel ganglion. Tikus dengan sitikolin didapatkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi (p=0,001), dan ekspresi caspase-3 yang lebih rendah (p=0,02) dibandingkan tikus yang tidak mendapatkan sitikolin.
Simpulan: Sitikolin memberikan efek proteksi terhadap sel ganglion retina dengan EON, dinilai dari morfologi sel ganglion dan ekspresi caspase-3 dan bcl-2.

Objective: To analyze the effects of citicoline administration on rat ganglion cell damage in Ethambutol Optic Neuropathy (EON).
Method: This study was an experimental study with rat experiments. Fifteen Wistar rats were divided into three groups, the non-treatment group (A), the ethambutol group (B), the ethambutol and citicoline group (C). Group B and C were given treatment for 30 days, then histopathological examination was performed to assess retinal ganglion cell density, and immunohistochemistry to assess bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: retinal ganglion cell density of rat with ethambutol intoxication that received citicoline were higher than those who did not get citicoline (p = 0.001). The rat ganglion layer that received citicoline was thinner than those who did not get citicoline (p = 0.005), the increase in thickness of the ganglion cell layer was due to the formation of vacuoles in the cytoplasm of ganglion cells. Rat with citicoline obtained higher bcl-2 ganglion expression (p = 0.001), and lower caspase-3 expression (p = 0.02) than rat that did not get citicoline.
Conclusions: Citicoline have a protective effect on retinal ganglion cells with EON, judged by the morphology of ganglion cells and caspase-3 and bcl-2 expressions.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Arty Laksmita
"Tujuan: Mengevaluasi efek pemberian sitikolin dalam menekan kerusakan retina tikus dengan intoksikasi metanol.
Metode: Lima belas ekor tikus Sprague-Dawley dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan (A), kelompok metanol yang diobservasi di hari ke-3 (B1) dan ke-7 (B2), serta kelompok metanol dan sitikolin yang diobservasi di hari ke-3 (C1) dan ke-7 (C2). Tikus pada kelompok perlakuan (B dan C) ditempatkan pada inhalation chamber berisi gas N2 O:O2 selama eksperimen, dilanjutkan dengan pemberian metanol via oral gavage dengan dosis inisial 3,2 gr/kg dan dosis tambahan 1,6 gr/kg. Tikus kelompok C mendapat sitikolin via oral gavage dengan dosis 1 gr/kg setiap 24 jam. Enukleasi dilakukan pada akhir eksperimen. Pada preparat retina dilakukan pemeriksaan histopatologi fotoreseptor dan sel ganglion retina, serta imunohistokimia ekspresi bcl-2 dan caspase-3.
Hasil: Densitas sel ganglion tikus terintoksikasi metanol yang mendapat sitikolin lebih tinggi dibandingkan yang tidak mendapat sitikolin di hari ke-3 dan ke-7 (p<0,001). Lapisan ganglion tikus yang mendapat sitikolin tidak setebal lapisan ganglion tikus yang tidak mendapat sitikolin, menandakan edema yang lebih ringan. Tikus dengan sitikolin menunjukkan ekspresi bcl-2 ganglion yang lebih tinggi, serta caspase-3 yang lebih rendah dibandingkan tikus tanpa sitikolin.<
Kesimpulan: Pemberian sitikolin memiliki efek dalam menekan kerusakan lapisan ganglion retina tikus dengan intoksikasi metanol.

Aims: To evaluate effect of citicoline administration in suppressing retinal damage due to methanol intoxication.
Methods: Fifteen Sprague-Dawley rats were divided into five groups including normal group (A), groups with methanol only, observed on day-3 (B1) and day-7 (B2), and groups with methanol and citicoline, observed on day-3 (C1) and day-7 (C2). Rats in group B and C were placed in an inhalation chamber filled with N2 O:O 2 during the experiment, then methanol was administered via oral gavage. Citicoline 1 gr/kg every 24 hours was administered via oral gavage for group C. Enucleation was done and rats retina were prepared for histopathology and immunohistochemistry examination to evaluate photoreceptor morphology, retinal ganglion cell (RGC) density, bcl-2 and caspase-3 expression.
Result: RGC density of citicoline-treated intoxicated rats was higher than no-citicoline intoxicated rats, either on day-3 (p<0.001) or day-7 (p<0.001). Ganglion layer thickness of citicoline-treated intoxicated rats was thinner than no-citicoline intoxicated rats, which means citicoline-treated rats had milder ganglion layer edema. Citicoline-treated rats showed higher bcl-2 and lower caspase-3 expression than no-citicoline rats. No differences was found in photoreceptor findings among groups.
Conclusion: Citicoline administration showed effect in suppressing rat’s retinal ganglion layer damage in methanol intoxication.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Adriansyah
"Latar Belakang : Neuropati perifer merupakan manifestasi ekstraartikular pada Artritis Reumatoid AR yang sudah lama diketahui dan ditemukan pada sekitar 50-57,4 pasien AR dengan patogenesis yang belum jelas hingga saat ini. Nerve Growth Factor NGF, yang dilaporkan berhubungan dengan kejadian neuropati perifer pada pasien Diabetes Mellitus ditemukan dengan kadar yang lebih tinggi pada pasien AR dibandingkan orang normal. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian yang bertujuan mengetahui hubungan antara kadar NGF dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR.
Tujuan : Untuk mengetahui rata-rata kadar NGF darah dan ada tidaknya hubungan antara kadar NGF dengan kejadian Neuropati Perifer pada pasien AR.
Metode : Penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien AR rawat jalan di poli reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dilakukan dalam kurun waktu Juli 2015-Maret 2016. Pemeriksaan laboratorium dan fisiologi yang dilakukan adalah NGF dan Elektromiografi-Kecepatan Hantar Saraf EMG-KHS. Subjek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan ada atau tidaknya neuropati perifer. Analisis bivariat kemudian dilakukan untuk melihat hubungan antara NGF dengan neuropati perifer diantara 2 kelompok. Data sekunder berupa usia, jenis kelamin, Laju Endap darah LED, C-Reactive Protein CRP, Disease Activity Score DAS 28 LED dan DAS 28 CRP didapat dari rekam medis sebagai data karakteristik dasar pasien.
Hasil : Sebanyak 132 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini dan didapatkan neuropati perifer sebanyak 45,5 60 orang selama Juli 2015-Maret 2016. Median kadar NGF pada pasien AR adalah 4,11 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Median NGF pasien AR dengan neuropati perifer adalah 4,11 pg/mL 1,1-20,83 pg/mL, sementara median NGF pada pasien AR tanpa neuropati adalah 3,89 pg/mL 0,0-24,5 pg/mL. Jenis neuropati yang ditemukan pada pasien AR adalah polineuropati 29 subyek/21,97, mononeuropati multipleks 20 subyek/15,15 dan Carpal Tunnel Syndrome 15 subyek/11,36. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara kadar NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pada pasien AR p=0,716.
Simpulan : Kadar NGF serum pasien AR didapatkan median sebesar 4 pg/mL dengan median NGF serum pada kelompok neuropati perifer 4,11 pg/mL dan kelompok tanpa neuropati 3,89 pg/mL. Tidak terdapat hubungan antara NGF serum dengan kejadian neuropati perifer pasien AR.

Background : Peripheral neuropathy is an extra articular manifestations in Rheumatoid Arthritis RA, which has been known and is found in approximately 50 to 57.4 of patients with RA with an unclear pathogenesis until now. In DM type 2 patients, Nerve Growth Factor NGF is associated with peripheral neuropathy. NGF level is also reported to be higher among RA patients than that of among healthy subjects. The correlation between NGF level and peripheral neuropathy among RA has not been concluded yet.
Aim : To find out the mean levels of NGF blood serum and the relationship between the NGF serum levels and Peripheral Neuropathy among patients with RA.
Methods : A cross sectional study using consecutive sampling method including patient of rheumatology clinic at Cipto Mangunkusumo hospital was performed between July 2015 to March 2016. The laboratory and physiology measurement incude NGF level and Electromyography Nerve Conduction Velocities EMG NCV were examined to the subjects. Patients were classified into 2 groups based on the diagnosis of Peripheral Neuropathy PN PN positive and PN negative. Bivariate analysis were done to investigate the relationship between NGF and PN among groups. Secondary data such as age, sex, Erythrocyte Sedimentation Rate ESR, CRP, Disease Activity Score DAS 28 ESR and CRP obtained from their medical record as a basic characteristic data of patients.
Results : Among 132 subjects, PN was found in 60 subjects 45,5. The median level of NGF in RA patients was 4.11 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. The median NGF level of RA patients with peripheral neuropathy was 4.11 pg mL 1.1 to 20.83 pg mL, while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL 0.0 to 24.5 pg mL. Types of neuropathy among patients with AR were polyneuropathy 29 subjects 21.97, mononeuropathy multiplex 20 subjects 15.15 and Carpal Tunnel Syndrome 15 subjects 11.36. In this study we found no association between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA p 0.716.
Conclusion : The median of NGF serum level among RA patients was 4 pg mL. The median of NGF serum level among peripheral neuropathy group was 4.11 pg mL while the median of NGF level in RA patients without neuropathy was 3.89 pg mL. There was no relationship between NGF serum level and peripheral neuropathy among patients with RA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Anggraini
"ABSTRAK
Deformitas kaki dapat menyebabkan perubahan mobilitas sendi, luas kontak kaki ke permukaan, kemampuan neuromuskular untuk menstabilkan kaki serta mempertahankan posisi berdiri tegak. Perubahan ini akan berdampak pada penurunan fungsi ekstremitas bawah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui hubungan deformitas kaki dengan fungsi ekstremitas bawah pada pasien neuropati diabetik. Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan studi cross-sectional dengan jumlah sampel 105 orang responden yang mengalami neuropati diabetik dengan deformitas kaki. Analisis data menggunakan Chi Square, Anova, dan regresi logistik etiologik. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara deformitas kaki dengan fungsi ekstremitas bawah p = 0,000, OR = 10,857 . Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi perawat dalam melakukan pengkajian keperawatan untuk memprediksi penurunan fungsi ekstremitas bawah pada pasien neuropati diabetik dengan deformitas kaki sehingga bisa mencegah terjadinya resiko cedera atau jatuh pada pasien.

ABSTRACT
Foot deformity can cause various of changes in joint mobility, extent of foot contact to the surface, neuromuscular ability to stabilize the legs and maintain an upright standing position. These changes will have an impact on lower limb function. The purpose of this study was to determine the correlation of foot deformities with the lower extremity functions in diabetic neuropathy patients. The design of this study was a quantitative research with a cross sectional study approach with sample size of 105 respondents who has foot deformity with diabetic neuropathy. Data were analysed using a Chi Square, Anova, and etiologic logistic regression. The results showed a significant correlation between foot deformities with lower extremity function p 0,000, OR 10,857 . This study is expected to be used as a reference for nurses in conducting nursing assessments to predict lower extremity function in diabetic neuropathy patients with foot deformities in order to prevent the risk of injuries or falls in patients."
2017
T48515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>