Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamida Hayati Faisal
Abstrak :
Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini. ...... Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
Abstrak :
Latar belakang: Kanker nasofaring (KNF) merupakan kanker leher kepala terbanyak di Indonesia (28,4%) dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut. Modalitas pengobatan pada kasus KNF stadium lanjut adalah kemoterapi dan radioterapi. Namun, pada stadium sama, respon terhadap pengobatan memiliki hasil berbeda dikarenakan adanya perbedaan karakteristik biologi molekular. Cyclin D1 adalah protein yang berperan dalam siklus sel. Peningkatan ekspresi cyclin D1 akan mempercepat proliferasi. Penelitian ini ingin mengetaui tingkat ekspresi cyclin D1 terhadap respons kemoterapi. Hal tersebut berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu. Data ekspresi cyclin D1 pada KNF di Indonesia belum ada, sehingga perlu penelitian ekspresi cyclin D1 pada KNF serta hubungannya berdasarkan respons pengobatan. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif dengan subjek merupakan pasien KNF yang berobat di RSCM pada kurun waktu 2015-2018. Gambaran radiologi sebelum dan sesudah pengobatan ditinjau ulang berdasarkan kriteria RECIST. Pewarnaan imunohistokimmia cyclin D1 menggunakan antibodi monoklonal cyclin D1 NovocastraTM dengan teknik pengambilan antigen suhu tinggi dan intensitasnya dinilai dengan H-skor menurut kriteria Allred. Hasil: Terdapat 16 subjek (51,6%) dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 15 subjek (48,4%) dengan ekspresi negatif. Peneliti menemukan bahwa ekspresi cyclin memiliki perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok subjek yang respons (rerata 116,24 ± 57,80) dan tidak respons (rerata 77,97 ± 45,27) terhadap pengobatan (p = 0,048). Simpulan: Penelitian ini menunjukkan ekspresi cyclin D1 yang kuat pada kelompok dengan respons pengobatan yang baik. ......Background: Nasopharyngeal cancer (NPC) is the most type of head and neck cancer in Indonesia (28.4%) and mostly diagnosed at advanced stage. Treatment of this stage is chemotherapy and radiotherapy. However, patients with the same stage of disease had different treatment response probably due to different characteristics of molecular biology. Cyclin D1 is a protein involved in cell cycle, which the overexpression of it will fasten proliferation. Studies regarding the association of cyclin D1 expression and chemotherapy response have shown a different result. In Indonesia, data of cyclin D1 expression of NPC do not yet exist. This study aimed to examine the proportion of cyclin D1 in NPC and its association with treatment response. Methods: A retrospective cohort study was conducted using subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2018. The response of treatment was reviewed based on RECIST criteria. The technique used for cyclin D1 immunohistochemistry staining was antigen retrieval methods, using cyclin D1 NovocastraTM monoclonal antibody and the intensity was assessed based on Allred criteria. Results: Sixteen subjects (51.6%) had positive expression of cyclin D1 and 15 subjects (48.4%) had negative expression. The researchers found that cyclin D1 expression had significant mean differences between groups of subjects who responded (mean ± SD = 116.24 ± 57.80) and did not respond (mean ± SD = 77.97 ± 45.27) to treatment (p = 0.048). Conclusion: This study suggests that higher expression of cyclin D1 is associated with a good treatment response in NPC patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tirawan Sutedja
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui kepatuhan panduan terapi terhadap angka keberhasilan terapi kanker nasofaring. Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap 269 pasien kanker nasofaring yang berobat di RSCM periode Januari 2017-Juli 2018. Analisis bivariate, log regression dan kesintasan hidup Kaplan Meier dilakukan pada 140 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil : Didapatkan 67,1% pasien lelaki, median usia 48 (18-73) tahun, rujukan internal RSCM 52,9% dengan 57,1% dari Departemen THT-KL. Sekitar 49,3% pasien datang dengan stadium IV A (49,3%), tipe histopatologi WHO III (90%), dan mendapatkan kemoradiasi (60,7%). Angka kepatuhan terhadap PPK dari interna dan RSCM adalah 21,6% dan 6,1%. Ketidakpatuhan penggunaan modalitas terapi dan penegakkan diagnosis kerja internal dan eksternal RSCM adalah 6,8%-4,06% dan 13,6%-31,8%. Ketidakpatuhan pemberian jumlah siklus kemoterapi neoajuvan dan ajuvan sebesar 29,27% dan jumlah siklus pada kemoterapi konkuren sebesar 70,71%. Sekitar 2,14% pasien mendapatkan dosis radiasi <70Gy. Durasi waktu dimulainya terapi adalah 92,5 (14-830) hari, dimulainya kemoradiasi paska kemoterapi neoajuvan adalah 146 (SB 10,04) hari, dimulainya kemoterapi ajuvan paska kemoradiasi adalah 121,88 (SB 18,35) hari. Durasi radiasi / kemoradiasi adalah 48 (39-77) hari. Kesintasan hidup satu dan dua tahun pada masing-masing stadium I, II, III, IV A, dan IV B secara berurutan adalah 100%, 85%, 85%, 84%, 87% dan 100%, 85%, 77%, 69%, 46%. Dosis radiasi dan kemoterapi neoajuvan berpengaruh terhadap angka kesintasan hidup pasien (P < 0,01 dan P < 0,03). Kepatuhan terhadap modalitas dan durasi waktu terapi secara statistik tidak bermakna namun memiliki trend perbedaan dalam memperngaruhi kesintasan. Kesintasan hidup satu dan dua tahun pada kelompok yang patuh PPK adalah 94,1% dan 80,5%. Pada kelompok yang tidak patuh PPK, didapatkan 82,6% dan 64,2% (P <0,19) ......Objective: The purpose of this study was to determine adherence to therapeutic guidelines and their effects on the success rates of nasopharyngeal cancer therapy. Methods: A retrospective cohort study was performed to 269 nasopharyngeal cancer patients treated at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) from January 2017 to July 2018. Bivariate analysis, logistic regression and Kaplan-Meier survival analyses were conducted to assess the 140 patients who met the inclusion criteria. Results: In our cohort, approximately 67.1% of male patients, median age was 48 years (18-73 years old ), and RSCM internal referrals were 52.9% with 57.1% from the ENT Department. The majority of patients came with stage IV A (49.3%) with WHO III (90%) histopathological type and chemoradiation was the main modality used (60.7%). The compliance rate for PPK from the RSCM internally was 21.6% and the RSCM external was 6.1%. Non-compliance of the usage of therapeutic modalities and the diagnosis from internal and external referrals of the RSCM is 6.8%-4.06% and 13.6%-31.8%. Non-compliance with the number of cycles of neoadjuvant and adjuvant chemotherapy was 29.27% ​​and the number of cycles in concurrent chemotherapy was 70.71%. About 2.14% of patients get a radiation dose under 70 Gy. Duration of commencement therapy was 92.5 (14-830) days, the commencement of chemoradiation after neoadjuvant chemotherapy was 146 (SD 10.04) days, the commencement of adjuvant chemotherapy after chemoradiation was 121.88 (SD 18.35) days. Radiation / chemoradiation duration is 48 (39-77) days. The survival of one and two years for each stage I, II, III, IV A and IV B sequentially was 100%, 85%, 85%, 84%, 87% and 100%, 85% , 77%, 69%, 46%. In general, radiation doses and neodjuvant chemotherapy affect the survival of patients (P<0,01 and P<0,03). Compliance with modalities and duration of therapy is not statistically significant but has a trend of difference in influencing survival in groups that are obedient and not obedient to PPK. The survival of one and two years in the PPK-compliant group was 94.1% and 80.5%. In the PPK non-adherent group, 82.6% and 64.2% were found (P<0.19)
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Haryoga
Abstrak :
Latar Belakang: Skrining awal dengan pemeriksaan viral load EBV plasma belum menjadi pemeriksaan rutin pada kanker nasofaring. Penelitian ini dikhususkan meneliti peran viral load EBV plasma pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini akan menjadi studi pilot di bidang viral load EBV plasma pada kanker nasofaring, khususnya di Indonesia. Metode: Desain penelitian ini adalah Study Ekploratif, mengeksplorasi hubungan antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan pada kanker nasofaring stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Besar sample diambil berdasarkan rule of thumb, diperkirakan 15 sampel memberikan gambaran yang cukup memadai, mempertimbangkan biaya dan waktu penelitian. Untuk pemeriksaan viral load EBV plasma maupun jaringan tumor dilakukan dengan metode Real Time PCR dengan Kit dan alat PCR milik perusahaan QIAGEN®. Hasil: Ditemukan korelasi lemah-sedang (R= 48,3%) antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan, dengan nilai p = 0,003 yang menyatakan bahwa korelasi ini dapat dipercaya. Tidak ada korelasi antara konsentrasi PD-L1 ELISA, IFN gamma, Limfosit, Neutrofil, maupun Leukosit dengan viral load EBV plasma. Kesimpulan: Semakin tinggi konsentrasi DNA EBV jaringan, semakin tinggi pula konsentrasi viral load EBV plasma, walaupun korelasi lemah-sedang, namun signifikan. Sampel yang sedikit menjadi kelemahan dalam penelitian ini, karena biaya dan waktu yang terbatas. ......Background: Initial screening with plasma EBV viral load has not become a routine examination of nasopharyngeal cancer. This research will be a pilot study in the field of plasma EBV viral load in nasopharyngeal cancer, especially in Indonesia. Method: The design of this study was an Explorative Study. This study explores the relationship between plasma and tissue EBV viral load in locally advanced and advanced stage nasopharyngeal cancer. Large samples are taken based on the rule of thumb, it was estimated that 15 samples would provide an adequate picture. Plasma and tissue DNA EBV PCR examinations were carried out using the Real Time PCR method with the company's QIAGEN® Kit and PCR tool. Results: There is a weak-moderate correlation (R = 48,3%) between plasma EBV viral load and tissue EBV viral load, with a value of p = 0.003 which indicates that this correlation can be trusted. There is no correlation between the concentration of PD-L1 ELISA, IFN gamma, Lymphocytes, Neutrophils, or Leukocytes with plasma EBV viral load. Conclusion: The higher the tissue EBV viral load concentration, the higher the plasma EBV viral load concentration, although this correlation was weak - moderate, but significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Cahyanur
Abstrak :
Kanker nasofaring (KNF) merupakan kanker leher kepala terbanyak di Indonesia (28,4%) dan sebagian besar terdiagnosis pada stadium lanjut. Modalitas pengobatan pada kasus KNF stadium lanjut adalah kemoterapi dan radioterapi. Namun, pada stadium sama, respon terhadap pengobatan memiliki hasil berbeda dikarenakan adanya perbedaan karakteristik biologi molekular. Cyclin D1 adalah protein yang berperan dalam siklus sel. Peningkatan ekspresi cyclin D1 akan mempercepat proliferasi. Penelitian ini ingin mengetaui tingkat ekspresi cyclin D1 terhadap respons kemoterapi. Hal tersebut berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu. Data ekspresi cyclin D1 pada KNF di Indonesia belum ada, sehingga perlu penelitian ekspresi cyclin D1 pada KNF serta hubungannya berdasarkan respons pengobatan. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif dengan subjek merupakan pasien KNF yang berobat di RSCM pada kurun waktu 2015-2018. Gambaran radiologi sebelum dan sesudah pengobatan ditinjau ulang berdasarkan kriteria RECIST. Pewarnaan imunohistokimmia cyclin D1 menggunakan antibodi monoklonal cyclin D1 NovocastraTM dengan teknik pengambilan antigen suhu tinggi dan intensitasnya dinilai dengan H-skor menurut kriteria Allred. Hasil: Terdapat 16 subjek (51,6%) dengan ekspresi cyclin D1 positif dan 15 subjek (48,4%) dengan ekspresi negatif. Peneliti menemukan bahwa ekspresi cyclin memiliki perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok subjek yang respons (rerata 116,24 ± 57,80) dan tidak respons (rerata 77,97 ± 45,27) terhadap pengobatan (p = 0,048). Simpulan: Penelitian ini menunjukkan ekspresi cyclin D1 yang kuat pada kelompok dengan respons pengobatan yang baik. ......Nasopharyngeal cancer (NPC) is the most type of head and neck cancer in Indonesia (28.4%) and mostly diagnosed at advanced stage. Treatment of this stage is chemotherapy and radiotherapy. However, patients with the same stage of disease had different treatment response probably due to different characteristics of molecular biology. Cyclin D1 is a protein involved in cell cycle, which the overexpression of it will fasten proliferation. Studies regarding the association of cyclin D1 expression and chemotherapy response have shown a different result. In Indonesia, data of cyclin D1 expression of NPC do not yet exist. This study aimed to examine the proportion of cyclin D1 in NPC and its association with treatment response. Methods: A retrospective cohort study was conducted using subjects of NPC patients at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 until 2018. The response of treatment was reviewed based on RECIST criteria. The technique used for cyclin D1 immunohistochemistry staining was antigen retrieval methods, using cyclin D1 NovocastraTM monoclonal antibody and the intensity was assessed based on Allred criteria. Results: Sixteen subjects (51.6%) had positive expression of cyclin D1 and 15 subjects (48.4%) had negative expression. The researchers found that cyclin D1 expression had significant mean differences between groups of subjects who responded (mean ± SD = 116.24 ± 57.80) and did not respond (mean ± SD = 77.97 ± 45.27) to treatment (p = 0.048). Conclusion: This study suggests that higher expression of cyclin D1 is associated with a good treatment response in NPC patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
Abstrak :
Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi. ......Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Rahman
Abstrak :
Latar Belakang. Kesintasan 3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut di Indonesia lebih rendah dibandingkan luar negeri. Prediktor alternatif dari rasio hemoglobin-trombosit (RHT) lebih sederhana, murah, dan stabil nilainya dibanding rasio dari komponen sel leukosit, namun belum ada studi yang meneliti perannya dalam memrediksi mortalitas tiga tahun pasien KNF stadium ini. Tujuan. Mengetahui peran RHT sebelum terapi dalam memrediksi kesintasan tiga tahun pasien KNF stadium lokal lanjut. Metode. Studi kohort retrospektif yang meneliti 289 pasien KNF stadium lokal lanjut yang diterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari 2012 - Oktober 2016. Nilai RHT optimal didapatkan menggunakan receiver operating curve (ROC). Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, di bawah dan di atas titik potong. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia > 60 tahun, stadium, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR). Hasil. Nilai titik potong RHT optimal adalah 0,362 (AUC 0,6228, interval kepercayaan (IK) 95% : 0,56-0,69, sensitivitas 61,27%, spesifisitas 60,34%). 48,44% pasien memiliki nilai RHT <0,362 dan memiliki mortalitas tiga tahun lebih besar dibandingkan kelompok lainnya (50%vs31,54%). RHT < 0,362 secara signifikan memrediksi kesintasan tiga tahun (p = 0,003; HR 1,75; IK 95% 1,2-2,55). Pada analisis multivariat, RHT < 0,362 sebelum terapi merupakan faktor independen dalam memrediksi kesintasan tiga tahun pada pasien KNF stadium lokal lanjut (adjusted HR 1,82; IK 95% 1,25-2,65). Simpulan. RHT < 0,362 sebelum terapi dapat memrediksi kesintasan tiga tahun pasien KNF stadium lokal lanjut. ......Background. The 3-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer (NPC) patients in Indonesia is lower than in foreign countries. Alternative predictors from the hemoglobin-platelet ratio (HPR) as single variable are easier, cheaper, and stable in value than the ratio of leukocyte cell components, but there are no study conducted to know its potential in predicting three-year survival in locally advanced nasopharyngeal cancer. Objective. To determine the role of pre-treatment hemoglobin to platelet ratio in predicting three-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer patients. Method. Retrospective cohort study that examined 289 locally advanced NPC patients who underwent therapy at the National Government General Hospital-Cipto Mangunkusumo from January 2012 to October 2016. HPR cut-off was determined using ROC, and then subjects were divided into two groups according to its HPR value. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients and cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR). Results. The optimal cut-off for HPR was 0,362 (AUC 0,6228, 95% CI: 0,56-0,69, sensitivity 61,27%, specificity 60,34%). Patients with HPR < 0,362 occurred in 48, 44% and had higher three-year mortality (50% vs. 31, 54%). HPR <0.362 significantly predicted the three years of survival (p = 0,003; HR 1, 75; CI 95% 1, 2-2, 55). In multivariate analysis, it was concluded that pre-treatment HPR < 0,362 was an independent factor in predicting three-year survival in locally advanced NPC patients (adjusted HR 1, 82; CI 95% 1, 25-2, 65). Conclusion. Pre-treatment HPR < 0, 362 could predict the three-year survival of locally advanced nasopharyngeal cancer patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Milania Djamal
Abstrak :
Latar Belakang Kanker nasofaring menduduki peringkat keempat kanker terbanyak di Indonesia. Di antara gejala-gejalanya, sakit kepala sering dilaporkan dan terkadang menjadi satu- satunya keluhan. Opioid telah lama menjadi pendekatan utama untuk mengatasi nyeri kanker neuropatik; namun efektivitasnya sering kali dianggap kurang optimal. Akibatnya, obat-obatan tambahan, termasuk Gabapentin, sering kali diintegrasikan ke dalam rejimen pengobatan untuk meningkatkan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemanjuran terapi opioid saja dan terapi kombinasi dalam pengobatan nyeri kanker. Metode Sebuah studi kohort retrospektif dilakukan dengan meninjau rekam medis dari dua rumah sakit di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini mencakup sampel 139 pasien yang didiagnosis menderita kanker nasofaring. Ekstraksi data meliputi demografi pasien, resep opioid awal dan akhir, intensitas nyeri awal dan akhir yang dinilai dengan Numerical Rating Scale (NRS), jenis kanker nasofaring, dan peresepan gabapentin. Hasil Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata penurunan NRS. Pasien dalam kelompok terapi kombinasi, termasuk gabapentin sebagai bahan pembantu, mengalami penurunan rata-rata skor Numerical Rating Scale (NRS) sebesar 2,141, sedangkan pasien pada kelompok opioid saja mengalami penurunan rata-rata skor NRS sebesar 0,894. Kesimpulan Studi ini menyoroti penurunan signifikan secara statistik pada rata-rata skor NRS, yang menegaskan potensi kemanjuran gabapentin sebagai bahan tambahan opioid dalam mengurangi nyeri kanker di antara pasien kanker nasofaring. ......Introduction Nasopharyngeal cancer ranks as the fourth most prevalent cancer in Indonesia. Among its symptoms, headaches are frequently reported and, at times, can be the sole complaint. Opioids have long been the primary approach to managing neuropathic cancer pain; nonetheless, their effectiveness is often considered suboptimal. As a result, adjuvant medications, including Gabapentin, are frequently integrated into treatment regimens to augment pain management. This study aims to compare the efficacy of opioid-only and combination therapy in the treatment of cancer pain. Method A retrospective cohort study was undertaken by reviewing medical records from two hospitals in Jakarta, Indonesia. The study encompassed a sample of 139 patients diagnosed with nasopharyngeal cancer. Data extraction included patient demographics, initial and final opioid prescriptions, initial and final pain intensity assessed by the Numerical Rating Scale (NRS), type of nasopharyngeal cancer, and the prescription of gabapentin. Results Statistical analysis demonstrated a significant difference in mean NRS reduction. Patients in the combination therapy group, including gabapentin as an adjuvant, experienced a mean reduction of 2.141 in Numerical Rating Scale (NRS) scores, while those in the opioid-only group had a mean reduction of 0.894 in NRS scores. Conclusion The study highlighted the statistically significant reduction in mean NRS scores, affirming the potential efficacy of gabapentin as an adjuvant to opioids in alleviating cancer pain among nasopharyngeal cancer patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Yulia Dimitri
Abstrak :
ABSTRAK
Kasus kanker nasofaring memiliki banyak organ at risk diantaranya adalah parotid kanan, parotid kiri, mata kanan, mata kiri dan trakea.Teknik penyinaran yang dapat menekan dosis yang diterima organ at risk adalah volumetric modulation arc therapy VMAT . Dalam penelitian ini bertujuan untuk melakukan verifikasi dosis organ at risk pada kasus kanker nasofaring KNF menggunakan planning VMAT dengan teknik single arc dan double arc berdasarkan data klinis. Verifikasi ini dilakukan dengan menggunakan TLD rod dan film gafchromic EBT3 yang diletakkan pada pasien sesuai dengan letak organ at risk yang akan dievaluasi. Terdapat 5 organ at risk yang dievaluasi pada kasus kanker nasofaring diantaranya parotid kanan, parotid kiri, mata kanan, mata kiri dan trakea.Evaluasi yang dilakukan diantaranya perbandingan dosis antar teknik, deviasi pengukuran dosis menggunakan TLD rod dan film gafchromic EBT3 dengan TPS Treatment Planning System . Perbandingan pengukuran dosis rata-rata menggunakan film gafchromic, TLD rod dan TPS dapat dilihat bahwa nilai yang mendekati TPS adalah film gafchromic dengan nilai diferensiasi adalah 0,171 . Hasil pengukuran dosis menggunakan film gafchromic berdasarkan data CT rando dapat disimpulkan bahwa teknik VMAT double arc dengan kolimator dapat membuat organ at risk menjadi lebih aman karena dengan penggunaan kolimator dapat meminimalisasi kebocoran efek tongue and groove. Hasil statistik menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 didapat bahwa nilai uji korelasi antara 3 teknik double arc DA , double arc dengan kolimator DAC dan single arc SA menunjukkan korelasi kuat dan signifikan pada keseluruhan organ at risk kecuali parotis kiri pada teknik DA-DAC sedangkan pada teknik DAC-SA menunjukkan korelasi kuat dan tidak signifikan untuk keseluruhan organ at risk. Untuk uji hipotesa dapat disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata distribusi dosis antara 3 teknik yang berbeda pada stadium 4 pada film gafchromic adalah signifikan.
ABSTRACT
The cases of nasopharyngeal cancer have many organs at risk including right parotid, left parotid, right eye, left eye and trachea. The irradiation technique that can suppress the dose received by the organ at risk is volumetric modulation arc therapy VMAT . This research aims to verify dose in the organs at risk in cases of nasopharyngeal cancer NPC using VMAT planning with single arc and double arc techniques based on clinical data. The verification is performed by using TLD rod and gafchromic EBT3 films placed on the patient according to the location of the organs at risk which will be evaluated. There are 5 organs at risk evaluated in the cases of nasopharyngeal cancer such as right parotid, left parotid, right eye, left eye and trachea. The evaluation includes the ratio of dose between techniques, deviation of dose measurement using TLD rod and gafchromic EBT3 films with TPS Treatment Planning System . The measurement ratio of mean dose using gafchromic film, TLD rod and TPS shows that the values close to TPS is gafchromic film detector which its differentiation value is 0.171 . The result of dose measurement using gafchromic film based on the data of CT rando can be concluded that double arc VMAT technique with collimator can reduce the dose in the organ at risk. The statistical result using SPSS 16.0 shows that the correlation test value between 3 techniques such as double arc DA , double arc with collimator DAC and single arc SA shows strong and significant correlation in the whole organ at rialexcept left parotid in the DA DAC technique while in the DAC SA technique shows strong and insignificant correlation in the whole organ at risk. For hypothesis test, it can be concluded that the difference in themean dose distribution between 3 different techniques at stage 4 in gafchromic film is significant.
2017
T47609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ucip Sucipto
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Pengobatan KNF mempunyai bebera pa metode pengobatan salah satu diantaranya adalah dengan kemoradiasi. Kemoradiasi merupakan pemberian kemoterapi yang diberikan secara besama-sama dengan radioterapi. Tujuan penelitian ini untuk menggali pengalaman pasien KNF setelah menjalani kemoradiasi. Metode penelitian dengan desaian kualitatif pendekatan studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan sebelas partisipan. Pengambilan data mengguakan wawancara mendalam, analisis data menggunakan Colaizzi. Tiga tema teridentifikasi pada penelitian ini yaitu xerostomia adalah keluhan fisik utama partisipan, penurunan interaksi sosial, dan adanya support system yang adekuat dari keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifik.asi secara dini gejala xerostomia akibat efek samping kemoradiasi sehingga pasien dapat beradaptasi dengan respon yang adaptif.
ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer is a tumor of the head and neck with a complex cause. treatment has several methods of treatment one of them is by chemoradiation. Chemoradiation is a given of chemotherapy given jointly with radiotherapy. The purpose of this study was to explore the experience of head and neck patients who has underwentchemoradiation. Research method with qualitative design of phenomenology study approach. The study involved eleven participants. Data collection use in-depth interviews, data analysis using Colaizzi. Three themes identified in this study are xerostomia arc the main physical complaints of participants, decreased social interaction, and adequate support system from the family. The results of this study are expected to identify early symptoms of xerostomia due to the side effects of chernoradiation so that patients can adapt to adaptive responses.
2017
T48300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>