Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 39 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olla Varalintya Yochanan
Abstrak :
Generasi milenial Indonesia (usia antara 21 hingga 35 tahun) memiliki karakter yang berbeda dengan generasi lainnya. Oleh karena itu, pengembang memandang perlu adanya sebuah konsep penawaran produk hunian terbaru dan dapat menjawab segala kebutuhan mereka, yang sebelumnya belum mampu terpenuhi. Hal ini dipandang sebagai sebuah kesempatan menguntungkan bagi para pengembang untuk menciptakan sebuah tipe properti baru yang sesuai dengan karakter milenial. Konsep hunian co-living merupakan penawaran tepat yang bertujuan untuk memenuhi keinginan milenial. Akan tetapi, isu ketidakseimbangan antara harga unit co-living dengan daya beli milenial Indonesia menjadi sebuah permasalahan. Sehingga pengembang perlu menciptakan beberapa strategi untuk mewujudkan co-living yang menguntungkan dan dapat memfasilitasi kebutuhan milenial Indonesia. Tantangan bagi para developer adalah bagaimana cara menciptakan dan menjual sebuah proyek co-living yang layak dan berkualitas kepada mereka yang membutuhkan fasilitas hunian yang lebih baik lagi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. Hasil riset menunjukan bahwa disamping price (harga) sebagai purchasing determinant factor, milenial Indonesia juga mementingkan experience (pengalaman) dan utility (ketersediaan fasilitas yang fungsional). Mereka juga lebih tertarik dengan tipe hunian exciting yang sesuai dengan lifestyle milenial. Oleh karena itu, pengembang dapat mengurangi resiko kerugian atau kegagalan dalam mengembagkan proyek co-living dengan strategi branding kuat sebagai transformative co-living space, tidak memfokuskan pemasukan hanya dari penjualan unit saja, namun juga melalui penjualan co-working space, virtual office, dan area komersil. Sedangkan strategi terakhir adalah dengan pengembangan diberbagai area (urban, suburban, rural). ......Today’s Indonesian millennials (age between 21 to 35 years) possess distinct characteristics which differ them from the other generations. Thus, the current offered housing in the market that fulfils the older generation does not fully satisfy the millennials. This was rather seen as a profitable opportunity by the developers to create a new type of living arrangement that is made to suit the millennials. Thus, living arrangements such as co-living begin to expand and target to fulfil millennials’ desires. However, with the imbalance between co-living space prices and millennials’ purchasing power, developers need to create strategies to create a profitable and facilitating co-living development for Indonesian millennials. The challenge lies in how to create and sell a feasible and high quality co-living project to those who have extra needs but are rather financially unstable. The preliminary results show that Indonesian millennials put an importance on experience and utility (availability of the functional facilities) beside price as a purchasing determinant factor. They are also interested in a more exciting type of dwelling that is up to their lifestyle’s pace. Thus, developers can lessen the risks of their co-living project’s financial loss through strong branding as a transformative co-living space, de-emphasizing focus on unit sales through additional income sources from co-working space, virtual office, and commercial space, and developing in various areas (urban, suburban, rural).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Hana Maria
Abstrak :
Penelitian ini memverifikasi pemahaman generasi milennials akan identitas perusahaan (corporate identity) PT NET Mediatama Indonesia. Dengan menggunakan Teori Dinamika Identitas milik Hatch & Schultz, penelitian ini ingin melihat gap yang muncul pada Visi, Budaya, Citra (Vision, Culture, Image- disingkat VCI) dari generasi kerja baru, millennials. Penelitian ini menemukan bahwa identitas perusahaan harus disampaikan langsung oleh pemimpin tertinggi perusahaan melalui komunikasi internal, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalah pahaman antar generasi. Selain itu temuan lain dari penelitian ini adalah mengenai gap VCI yang terjadi lebih dominan ketika menyinggung tentang budaya organisasi yang disebabkan oleh perbedaan persepsi dan gaya komunikasi yang melibatkan millennials. Selain itu ditemukan juga gap VCI yang berhubungan dengan birokrasi, komitmen untuk tetap konsisten pada visi, dan kualitas konten media yang tidak berbanding lurus dengan keuntungan pada bisnis media. ......This study verifies the understanding of the Millennials generation of PT NET Mediatama Indonesia's corporate identity. By using Hatch & Schultz's Theory of Identity Dynamics, this study wants to see gaps that arise in Vision, Culture, Image (VCI) of new generation of work, millennials. This study found that corporate identity must be conveyed directly by the highest leaders of the company through internal communication, this is done to avoid misunderstandings between generations. In addition, another finding from this study is that the VCI gap that occurs is more dominant when referring to organizational culture caused by different perceptions and communication styles involving millennials. Besides that, it was also found that VCI gaps related to bureaucracy, commitment to remain consistent with the vision, and the quality of media content that is not directly proportional to the profits in the media business.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Fahmi Priyatna
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsep, pengukuran, dan determinan millennials berada pada kelas menengah, dengan studi kasus Indonesia. Penelitian ini menggunakan model logit dan menetapkan objek penelitian pada level rumah tangga di tiga kohort generasi yang berbeda, yaitu rumah tangga yang dikepalai oleh Millenials, Gen X, dan Baby Boomer. Dengan melakukan komparasi determinan pada kohort generasi yang berbeda, maka penelitian ini dapat memastikan estimasi yang tepat sesuai karakteristik masing-masing generasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentu utama rumah tangga millennials berada pada kelas menengah adalah: (i) pendidikan (setidaknya lulus pendidikan sekolah menengah atas), (ii) pekerjaan (memiliki pekerjaan penuh waktu, bekerja pada sektor sekunder atau tersier, serta memiliki status sebagai wirausahawan atau karyawan formal), dan (iii) memiliki akses terhadap fasilitas dan layanan (akses terhadap sanitasi, akses terhadap internet, dan akses terhadap keuangan). Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan determinan kelas menengah antara rumah tangga millennials dengan generasi pendahulunya yang dibahas lebih lanjut pada paper ini.
This study aims to examine the concepts, measurements, and determinants of millennials in the middle class, a case study of Indonesia. This study uses a logit model and sets the object of research at the household level in three different generation cohorts, namely households headed by Millenials, Gen X, and Baby Boomers. By comparing the determinants of different generations, this study can ensure the precise estimatation that match the unique characteristics of each generation. The results show that the main determinants of millennials households in the middle class are: (i) education (at least graduating from high school), (ii) employment (having a full-time job, working in the secondary or tertiary sector, having an entrepreneur or a formal employee status), and (iii) having the access to amenities and services (access to sanitation, access to internet, and access to finance). The estimation results also show that there are several differences in the determinants of staying in the middle class between millennials households and their predecessors which are discussed further in this paper.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T53777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olla Varalintya Yochanan
Abstrak :
Generasi milenial Indonesia (usia antara 21 hingga 35 tahun) memiliki karakter yang berbeda dengan generasi lainnya. Oleh karena itu, pengembang memandang perlu adanya sebuah konsep penawaran produk hunian terbaru dan dapat menjawab segala kebutuhan mereka, yang sebelumnya belum mampu terpenuhi. Hal ini dipandang sebagai sebuah kesempatan menguntungkan bagi para pengembang untuk menciptakan sebuah tipe properti baru yang sesuai dengan karakter milenial. Konsep hunian co-living merupakan penawaran tepat yang bertujuan untuk memenuhi keinginan milenial. Akan tetapi, isu ketidakseimbangan antara harga unit co-living dengan daya beli milenial Indonesia menjadi sebuah permasalahan. Sehingga pengembang perlu menciptakan beberapa strategi untuk mewujudkan co-living yang menguntungkan dan dapat memfasilitasi kebutuhan milenial Indonesia. Tantangan bagi para developer adalah bagaimana cara menciptakan dan menjual sebuah proyek co-living yang layak dan berkualitas kepada mereka yang membutuhkan fasilitas hunian yang lebih baik lagi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. Hasil riset menunjukan bahwa disamping price (harga) sebagai purchasing determinant factor, milenial Indonesia juga mementingkan experience (pengalaman) dan utility (ketersediaan fasilitas yang fungsional). Mereka juga lebih tertarik dengan tipe hunian exciting yang sesuai dengan lifestyle milenial. Oleh karena itu, pengembang dapat mengurangi resiko kerugian atau kegagalan dalam mengembagkan proyek co-living dengan strategi branding kuat sebagai transformative co-living space, tidak memfokuskan pemasukan hanya dari penjualan unit saja, namun juga melalui penjualan co-working space, virtual office, dan area komersil. Sedangkan strategi terakhir adalah dengan pengembangan diberbagai area (urban, suburban, rural). ......Today’s Indonesian millennials (age between 21 to 35 years) possess distinct characteristics which differ them from the other generations. Thus, the current offered housing in the market that fulfils the older generation does not fully satisfy the millennials. This was rather seen as a profitable opportunity by the developers to create a new type of living arrangement that is made to suit the millennials. Thus, living arrangements such as co-living begin to expand and target to fulfil millennials’ desires. However, with the imbalance between co-living space prices and millennials’ purchasing power, developers need to create strategies to create a profitable and facilitating co-living development for Indonesian millennials. The challenge lies in how to create and sell a feasible and high quality co-living project to those who have extra needs but are rather financially unstable. The preliminary results show that Indonesian millennials put an importance on experience and utility (availability of the functional facilities) beside price as a purchasing determinant factor. They are also interested in a more exciting type of dwelling that is up to their lifestyle’s pace. Thus, developers can lessen the risks of their co-living project’s financial loss through strong branding as a transformative co-living space, de-emphasizing focus on unit sales through additional income sources from co-working space, virtual office, and commercial space, and developing in various areas (urban, suburban, rural).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Almira Fawnia
Abstrak :
Studi yang mempelajari karakteristik unik dari generasi milenial hingga saat ini masih relevan, kontekstual, dan menarik untuk dilakukan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh semakin besarnya jumlah generasi milenial yang mulai menempati posisi strategis pada berbagai perusahaan di pasar global. Penelitian empiris ini berfokus dalam pengaruh dari tingkat kepuasan terhadap gaji kepada kepuasan karir dengan menggunakan eksplorasi work-family enrichment (WFE) dan komitmen karyawan sebagai variabel mediasi pada generasi milenial di Indonesia. Survei daring dilakukan di dalam rentang waktu 1 bulan, sehingga menghasilkan respon yang berasal dari 238 partisipan. Data yang diperoleh diharapkan memperoleh informasi tentang latar belakang sosial ekonomi, lama bekerja, hingga persepsi atas kepuasan gaji serta kepuasan karir tiap individu. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SEM-AMOS, dan dihasilkan temuan bahwa tingkat kepuasan terhadap gaji secara signifikan mempengaruhi tingkat kepuasan terhadap karir, melalui peran mediasi dari work-family enrichment dan komitmen karyawan generasi milenial terhadap organisasinya. Diskusi, implikasi manajerial, dan saran bagi penelitian selanjutnya diberikan pada akhir laporan akhir ini. ......The study of millennial generations is still relevant, contextual, and interesting to do. This is motivated by the increasing number of millenials that occupied on a strategic position in various companies in the global market. This empirical research determines to see the effect of salary satisfaction on career satisfaction with work-family enrichment (WFE) and employee commitment as a mediating variables for millennial generation in Indonesia. The survey was carried out within a period of 1 month, resulting in responses from 238 respondents. The data obtained are expected to give information about socioeconomic background, length of work, and the perception of salary satisfaction and career satisfaction of each individual. The data were processed with the SEM-AMOS software and finding results indicate that there is a significant role of work-family enrichment and employee commitment as a mediator on the relationship between salary satisfaction and career satisfaction. Discussions, managerial implications, and suggestions for further research are given at the end of this final report.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Permana Erawaty
Abstrak :
Tesis ini membahas kasus perpindahan suara dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 dan 2019 yang merupakan pertandingan ulang antara Jokowi dengan Prabowo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana perubahan suara para milenial urban pelajar pendidikan tinggi sebagai unit analisis, serta untuk mengetahui apakah media sosial berkontribusi dalam pengambilan keputusan tersebut. Menggunakan pendekatan Columbia dan Michigan dalam model sosial psikologis, kebaharuan yang disajikan adalah adanya perubahan konsep komunikasi massa yang telah bergabung dengan komunikasi interpersonal dalam konsep mass selfcommunication. Penelitian dilakukan secara kualitatif dalam paradigma post-positivism dengan metode holistic single-case study. Analisis dilakukan dengan teknik analisis pattern-matching logic dengan logika pencocokan pola model sosial dan psikologis. Hasil penelitian menunjukkan variabel sosial yang berkontribusi adalah agama dan etnis dari pemilih dan keluarga pemilih. Terkait dengan variabel psikologi, penelitian ini menunjukkan tidak adanya identifikasi partai, yang ada adalah evaluasi kandidat dan orientasi isu. Preferensi isu yang diinginkan adalah isu Hak Asasi Manusia dan Isu Perempuan. Kinerja petahana dipandang baik dalam infrastruktur dan buruk dalam manajemen manusia serta anggaran. Penantang memiliki koherensi identitas yang berbeda dengan kontestasi Pilpres 2014. Meme politik menjadi gerbang diskusi dalam kelompok sosial serta pencarian lebih lanjut dalam mengetahui identitas kandidat. Kemampuan kandidat dalam debat sangat berkontribusi dalam proses penetapan keputusan pemilih. Millenial swing voters tidak melakukan mass self-communication jika itu terkait dengan politik karena tidak ingin identitas politik mereka diketahui pengguna media berita daring dan media sosial. ...... This thesis discussed about voting in the 2014 and 2019 Presidential Elections which was a rematch between Jokowi and Prabowo. The purpose of this study is to explain swing voters in college urban students millennial generation as unit of analysis, as well to find out whether social media contributes to their swing decisions. By using Columbia and Michigan in the socio psychological model, the novelty presented was a change in the concept of mass communication that had been joined interpersonal communication in the concept of mass communication. The study was conducted qualitatively in the post-positivism paradigm with a single holistic case study method. The analysis had been done by matching the pattern of logic with matching pattern of social and psychological logic. The results showed the social variables that contributed were religion and ethnicity of the voters and the voters' families. Related to psychological variables, this study shows there was no parties identification, but instead an assessment of candidates and discussion of problems. The preference issues that desired by millennial swing voters was Human Rights and Women's Issues. The incumbent's performance had been seen as good in infrastructure but poor in human management and budget. The challenger had a different identity coherence than on the last contestation in 2014. Political memes lead to discussions in social groups as well as further findings of a candidate's identity. The ability of candidates in debates greatly contributes to the process of determining election decisions. Millennial swing voters did not engage in mass self-communication if it related to politics because they did not want their political identity to be known by press and on social media.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riffal Ruchiandrean
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji politik identitas dengan 3 pendekatan, yaitu Primordialisme (karakteristik personal, dan latar belakang politik), Konstruktivisme (citra diri, dan kredibilitas), dan Instrumentalisme (manajemen kampanye) terhadap peluang kemenangan pada pilpres 2019. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan kuesioner sebagai instrument untuk penghimpunan data dan pengolahan data menggunakan anaisis regresi logistik. Data terdiri dari 300 responden millennials yang memiliki media sosial dan juga menggunakan hak pilihnya pada pilpres 2019. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positif yang signifikan secara parsial citra diri, kredibilitas, dan manajemen kampanye terhadap peluang kemenangan. Sedangkan terdapat pengaruh negative yang signifikan secara parsial latar belakang politik terhadap peluang kemenangan. Tidak ada pengaruh yang signifikan karakteristik personal dengan peluang kemenangan. Terdapat 7 skenario dan 4 strategi yang paling unggul untuk digunakan sebagai rekomendasi strategi pemenangan untuk target pemilih millennials dan memiliki sosial media. Strategi terkuat adalah menggunakan gabungan strategi politik identitas konstruktivisme dan instrumentalisme dengan nilai peluang kemenengan sebesar 0.92.
This study aims to examine identity politics with 3 approaches, namely Primordialism (personal characteristics, and political background), Constructivism (self-image, and credibility), and Instrumentalism (campaign management) on the chances of victory in the 2019 presidential election. This research method uses the method of Quantitative questionnaire as an instrument for data collection and data processing using logistic regression analysis. The data consisted of 300 millennials respondents who owned social media and also used their right to vote in the 2019 presidential election. The results show that there was a significant positive effect partially on self-image, credibility, and campaign management chances of victory. While there is a significant negative influence partially on political background chances of victory. There is no significant influence of personal characteristics with the chance of victory. There are 7 scenarios and 4 of the most superior strategies to be used as a winning strategy recommendation for millennials and social media voters. by combining constructivism and instrumentalism strategies will be the best strategy with a winning opportunity value of 0.92.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athifah Chairunnisah
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji bagaimana pemaknaan sukses pemuda modern di Indonesia, khususnya Generasi Milenial, diproduksi melalui tren hustle culture di media sosial. Media sosial memiliki peran yang penting dalam memengaruhi aspirasi dan gaya hidup pemuda di era modern. Tren hustle culture dipilih sebagai fokus penelitian karena merepresentasikan pandangan yang kuat mengenai kerja keras, ambisi, dan produktivitas yang sering dipromosikan oleh pemuda-pemuda ini sebagai gaya hidup mereka. Penelitian ini mengumpulkan data melalui konten-konten teks, gambar, maupun multimedia, yang berkenaan dengan hustle culture atau gaya hidup pemuda urban modern di Indonesia di Instagram, Twitter, dan TikTok serta wawancara bersama 6 responden dari Generasi Milenial. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan pendekatan Ethnography Content Analysis (ECA) sembari terus berefleksi terhadap berbagai konsep teori mengenai pemuda, kota, media sosial, dan hustle culture. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren ini merepresentasikan citra dan gaya hidup pemuda modern-urban yang modern, produktif, dan inspiratif sebagai gambaran kesuksesan yang diimajinasikan. Dengan begitu, citra yang sukses di media sosial telah menjadi kesuksesan itu sendiri. Penelitian ini menawarkan perspektif baru yang relevan dalam pemetaan pemahaman sukses pemuda Indonesia di era modern, khususnya dengan mempertimbangkan praktik media sosial dalam kehidupan sehari-hari. ......This study examines how the notion of success among modern Indonesian youth, particularly the millennial generation, is constructed through the hustle culture trend on social media. With social media playing a significant role in shaping the aspirations and lifestyles of young individuals, the study centers on the hustle culture trend due to its strong promotion of values such as hard work, ambition, and productivity as integral to their way of life. Data was collected from various platforms including Instagram, Twitter, and TikTok, comprising textual, visual, and multimedia content related to hustle culture and the modern urban youth lifestyle in Indonesia. Additionally, interviews were conducted with six millennial respondents. The collected data is analyzed using the Ethnography Content Analysis (ECA) approach while reflecting on various theoretical concepts regarding youth, urban, social media, and hustle culture. The findings demonstrate that the hustle culture trend constructs an idealized image and lifestyle of modern urban youth, portraying them as modern, productive, and inspirational, thereby equating the social media image of success with actual success. This research provides a fresh perspective on understanding success among Indonesian youth in the modern era, specifically by examining the influence of social media practices in their daily lives.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophian Fikri
Abstrak :
Film-induced tourism telah menjadi fenomena yang berkembang dalam industri pariwisata dalam beberapa dekade terakhir, di mana para wisatawan cenderung mengunjungi suatu destinasi yang ditampilkan dalam sebuah film. Ada banyak penelitian yang telah dikembangkan untuk meneliti fenomena ini, namun, hingga saat ini belum ada penelitian akademis yang menyelidiki mengenai pengaruh film-pull motives, yang terdiri dari place, personality dan performance, terhadap behavioural intention dari generasi Millennials. Karena generasi Millennials cenderung berperilaku berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya karena karakteristik khas mereka, maka, konseptual analisis mengenai film-pull motives diperkenalkan untuk menyelidiki faktor – faktor dari film yang memotivasi behavioural intention dari generasi Millennial. Selain itu, efek moderasi dari film-pull motives juga diteliti terhadap hubungan antara destination image, perceived value dan behavioural intention dari generasi Millennials. Penelitian ini kemudian menggunakan film 'Ada Apa Dengan Cinta 2' karena keberhasilannya di box office Indonesia pada tahun 2016. Sampel sebanyak 234 responden diperoleh melalui kuesioner online. Hipotesis kemudian diuji dengan menggunakan analisis regresi dan uji t. Analisis bootstrap kemudian diterapkan untuk menyelidiki efek mediasi dari variabel perantara, yakni perceived value. Hasil empiris mengungkapkan bahwa place memiliki pengaruh yang paling tinggi terhadap behavioural intention dari generasi Millennials. Selain itu, juga ditemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dan positif dari destination image terhadap behavioural intention dari generasi Millennials. Selain itu, perceived value dapat memediasi sebagian hubungan antara destination image dengan Millennials’ behavioural intention. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bagi orang – orang yang memiliki film-pull motives yang kuat, terdapat efek mediasi dari perceived value, namun untuk orang – orang yang memiliki film-pull motives rendah, tidak terdapat efek mediasi dari perceived value. Implikasi teoritis dan manajerial juga disajikan berdasarkan temuan. ...... Film-induced tourism has been a growing phenomenon in the tourism industry in recent decades, where the tourists tend to visit the particular destination as featured in a film. There have been extensive studies being developed to address this phenomenon, however there is a lack of academic investigation on the film’s pull motivational factor, which is consisted of place, personality, and performance, towards Millennials’ intention to travel. As Millennials tend to behave differently compared to the other cohorts due to their distinctive characteristics, thus, a conceptual analysis of film-pull motives was employed to understanding the role of film attributes in motivating Millennials’ behavioural intention. Also, the moderating effect of film-pull motives was also assessed towards the relationship between destination image, perceived value, and Millennials’ behavioural intention. This study used ‘Ada Apa Dengan Cinta 2’ movie due to its success at Indonesia box office in 2016 to understand its effect on film tourism in Yogyakarta. A sample of 234 respondents was obtained through online questionnaires. The hypothesis was tested with the use of regression analysis and Welch t-Test. Bootstrapping analysis then employed to investigate the mediation effect of the mediation variable. The empirical result indicated that place attributes of Yogyakarta as depicted in the movie played major role in motivating Millennials’ behavioural intention. Also, it was found that a positive influence from destination image towards the Millennials’ behavioural intention while perceived value mediated partially the relationship between destination image and Millennials’ behavioural intention. While being compared between the strong motivated Millennials and weak motivated Millennials, it was found that perceived value mediated partially the relationship between destination image and behavioural intention; and for the weak motivated Millennials, the mediating effect of perceived value was not established. The theoretical and managerial implications are also drawn subsequently from the findings.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>