Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atika Sari
Abstrak :
Penatalaksanaan serangan asma akut yang direkomendasikan saat ini adalah inhalasi berulang bronkodilator agonis B2 dan tambahan steroid sistemik pada pasien yang tidak respons terhadap terapi bronkodilator. Steroid sistemik pada asma akut telah terbukti dapat menurunkan angka rawat inap dibandingkan pemberian bronkodilator raja dan secara bermakna dapat menurunkan angka serangan ulang serta meningkatkan faal paru setelah serangan akut. Dalam kepustakaan dikatakan bahwa terapi jangka pendek steroid sistemik cukup aman tetapi berpotensi untuk terjadi efek samping obat terutama pada pasien dengan serangan ulang. Di lain pihak, pengobatan sistemik secara intravena tidak selalu mudah diberikan. Tujuan utama penanganan serangan asma adalah perbaikan segera gejala dengan mengurangi obstruksi jalan napas karena kecepatan dan besar perbaikan pengobatan awal menentukan pengobatan selanjutnya dan prognosis penyakit Bronkodilator agonis B2 dengan cara nebulisasi telah luas digunakan. Beberapa keuntungan nebulisasi adalah mudah digunakan terutama pada pasien asma anak, serangan asma berat, gangguan koordinasi tangan (pada pemakaian MDI) dan nebulizer dapat menampung sejumlah obat dengan dosis besar. Sementara itu pemberian melalui nebulisasi merupakan cara yang biasa digunakan untuk memperoleh reaksi segera. Lebih dari 10 tahun penggunaan obat-obat secara nebulisasi telah mengalami peningkatan, pengobatan secara inhalasi pada penyakit saluran napas lebih potensial daripada pemberian secara oral atau intravena yaitu dengan dosis obat lebih kecil, efek samping sistemik minimal dan obat segera berada pada set target atau daerah infamasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salmarezka Dewiputri
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan tesis ini adalah membandingkan pemberian metilprednisolon oral dengan plasebo terhadap insiden dan derajat membran epiretina pasca vitrektomi pars plana pada ablasio retina regmatogen. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Empatpuluh enam mata yang memenuhi kriteria inklusi dirandomisasi untuk mendapatkan metilprednisolon oral atau plasebo. Keluaran primer adalah insiden dan derajat membran epiretina yang dinilai pada 4 minggu dan 8 minggu pasca vitrektomi dengan menggunakan spectral domain Optical Coherence Tomography. Empat minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 58,8 % pada kelompok plasebo. Delapan minggu pasca vitrektomi didapatkan insiden membran epiretina 47,6 % pada kelompok metilprednisolon dan 56,2 % pada kelompok plasebo. Empat minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 60 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 40 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo didapatkan 60 % derajat 0; 10 % derajat 1; dan 30 % derajat 2. Delapan minggu pasca vitrektomi pada kelompok metilprednisolon didapatkan 40 % derajat 0; 0 % derajat 1; dan 60 % derajat 2, sementara pada kelompok plasebo 55,6 % derajat 0; 11,1 % derajat 1; dan 33,3 % derajat 2. Simpulan penelitian ini adalah insiden dan derajat membran epiretina antara kedua kelompok baik pada 4 minggu ataupun 8 minggu tidak berbeda bermakna secara statistik. Insiden membran epiretina pada kelompok metilprednisolon cenderung lebih rendah daripada kelompok plasebo.
ABSTRACT The purpose of this study was to compare oral methylprednisolone and placebo toward the incidence and severity of epiretinal membrane post pars plana vitrectomy in rhegmatogenous retinal detachment. The study design was double-blind randomized controlled clinical trial. Fourty-six subjects who met inclusion criteria were randomized to receive oral methylprednisolone and placebo within 14 days. Primary output was incidence and severity of epiretinal membrane, measured by spectral domain Optical Coherence Tomography at 4 and 8 weeks post vitrectomy. Four weeks after vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 58,8 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. Eight weeks post vitrectomy incidence of epiretinal membrane were 47,6 % and 56,2 % in methylprednisolone group and placebo group, respectively. At 4 weeks the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 60%, 0%, 40% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, in placebo group were 60%, 10%, 30% in grade 0, 1, and 2 respectively. Eight weeks postvitrectomy the grade of epiretinal membrane in methylprednisolone group were 40%, 0 %, 60% in grade 0, 1, and 2 respectively. Meanwhile, at placebo group were 55,6 %, 11,1 %, and 33,3 % in grade 0, 1, and 2 respectively. In conclusion, there were no significant differences in incidence and severity of epiretinal membrane at 4 and 8 weeks among 2 groups (p> 0.05). Oral methylprednisolone had a tendency to lower the incidence of epiretinal membrane compared to placebo.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Muharrami
Abstrak :
Latar Belakang: Defek septum intraventrikel merupakan salah satu penyakit jantung bawaan yang paling sering ditemukan di Indonesia dengan angka kejadian 3,6-6,5 per 1000 kelahiran hidup atau sekitar 20%-30% dari penyakit jantung bawaan. Sebanyak 32% dari kasus memerlukan dilakukannya operasi penutupan defek septum intraventrikel. Pada operasi penutupan defek septum intraventrikel diperlukan penggunaan mesin pintas jantung-paru atau cardiopulmonary bypass (CPB) yang secara teoritis dihubungkan dengan inflamasi akibat penglepasan mediator proinflamasi yang dapat mengakibatkan kerusakan miokard. Hal ini menyebabkan praktisi dalam tim pembedahan jantung menggunakan strategi untuk mengatasi, antara lain dengan penggunaan steroid. Data dan uji klinis mengenai masalah tersebut masih terus dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek deksametason 1mg/kg (max 15 mg) dibandingkan metilprednisolon 30 mg/kg (max 500 mg) dalam mencegah penurunan kontraktilitas miokard dan peningkatan kadar troponin I pascabedah penutupan defek septum intraventrikel. Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal pada 36 pasien anak yang menjalani operasi penutupan defek septum intraventrikel antara bulan Januari 2019 hingga April 2019, yang dialokasikan ke dalam kelompok metilprednisolon (kelompok standar) atau kelompok deksametason. Pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai kontraktilitas miokard (fraksi ejeksi, fraksi pemendekan, peak E velocity, peak A velocity dan rasio E/A) dilakukan 1 hari sebelum operasi dan 8 jam pasca-CPB sedangkan pemeriksaan sampel darah untuk menilai kadar troponin I dilakukan pada awal induksi dan 8 jam pasca-CPB. Pemeriksaan troponin I dilakukan dengan metode ELISA. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai. Hasil: 36 pasien yang menjalani operasi VSD yang memenuhi kriteria penerimaan, 35 pasien dianalisis karena 1 pasien kelompok deksametason meninggal sebelum 8 jam pasca-CPB. Karakteristik demografi, data kontraktilitas miokard dan kadar troponin I praoperatif dan pascaoperatif seimbang pada kedua kelompok. Kontraktilitas miokard pada kelompok metilprednisolon dan deksametason turun bermakna pada 8 jam pasca-CPB. Kadar troponin I 8 jam pascabedah pada kelompok metilprednisolon naik bermakna sedangkan kadar troponin I pada kelompok deksametason berbeda naik tidak bermakna. Simpulan: Deksametason dapat digunakan dalam upaya mencegah inflamasi sistemik akibat operasi jantung terbuka. Ketersediaan deksametason cukup baik di seluruh Indonesia dan lebih ekonomis dibandingkan metilprednisolon. ......Background: Ventricular septal defect is one of the most common congenital heart disease found in Indonesia with an incidence of 3.6-6.5 per 1000 live births or around 20% -30% of congenital heart disease. 32% of cases require ventricular septal defect closure surgery. Surgical closure of the ventricular septal defect requires the use of a heart-lung bypass machine or cardiopulmonary bypass (CPB) which is theoretically associated with inflammation due to the release of proinflammatory mediators which can result in myocardial damage. This caused practitioners in the heart surgery team to use strategies to overcome, including the use of steroids. Data and clinical trials regarding these problems are still ongoing. The aim of this study was to determine the effect of dexamethasone 1mg/kg (max 15mg) versus methylprednisolone 30mg/kg (max 500mg) in preventing a decrease in myocardial contractility and an increase in troponin I levels after surgical closure of ventricular septal defects. Methods: A single randomized clinical trial study was conducted in 36 pediatric patients undergoing ventricular septal defect surgery between January 2019 until April 2019, which were allocated into the methylprednisolone group (standard group) or dexamethasone group. Echocardiography (baseline) was carried out 1 day before surgery and 8 hours post-CPB to assess myocardial contractility (ejection fraction, shortening fraction, peak E velocity, peak A velocity and E/A ratio). Blood serum examination to assess troponin I levels was done at the beginning of induction and 8 hours post-CPB. Troponin I examination was carried out by the ELISA method. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical test. Results: 36 patients who undergoing VSD surgery who met the admission criteria, 35 patients were analyzed because 1 patient of the dexamethasone group died before 8 hours post-CPB. Demographic characteristics, myocardial contractility data and preoperative-postoperative troponin I levels were balanced in both groups. Myocardial contractility in the methylprednisolone and dexamethasone groups dropped significantly at 8 hours post-CPB. Troponin I levels 8 hours after surgery in the methylprednisolone group increased significantly but troponin I levels in the dexamethasone group increased no significant. Conclusion: Dexamethasone can be used in an effort to prevent systemic inflammation due to open heart surgery. The availability of dexamethasone is quite good throughout Indonesia and is more economical than methylprednisolone.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ridho Nur Hidayah
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Terbentuknya jaringan fibrosis pada saraf perifer masih menjadi suatu tantangan di bidang orthopaedi terutama dengan eksplorasi saraf. Penggunaan metylprednisolon telah banyak digunakan untuk mengurangi risiko edema jaringan lunak pasca operasi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian irigasi metylprednisolon asetate terhadap pencegahan perlengketan saraf pada jaringan sekitarnya dan pembentukan jaringan parut epineuralMetode: Dua puluh tikus putih Sprague Dawley jantan yang memenuhi kriteria sampel dibagi ke dalam dua kelompok. Pada seluruh sampel dilakukan perangsangan pembentukan jaringan parut pada saraf skiatika paha kanan menggunakan nylon brush. Kelompok perlakuan diberikan irigasi metylprednisolon asetat 0.1cc; Depomedrol , dan sisanya kontrol. Setelah 4 minggu, tikus dikorbankan, dilakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis untuk melakukan perhitungan luas area fibrosis dengan software ImageJ intensifier dan angka Index Fibrotik dengan alat pengukur mikrometer setelah sebelumnya dilakukan pembuatan sedian histologi dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin dan Masson rsquo;s Trichrome.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol pada skor Petersen p.
ABSTRACT
Introduction The formation of fibrotic tissue in peripheral nerves is remains a challenge. Methylprednisolone was believed to inhibit fibrotic formation, although its still controversial. This research is intended to prove that the irrigation of methylprednisolone acetate can prevent nerve adhesion on surrounding tissues and the formation of epineural scar.Methods Twenty male Sprague Dawley rats were divided into two groups. Treatment group was irrigated intralesionally with methylprednisolone 0.1cc Depomedrol , and the rest as control. In all samples we performed abrasion injury to stimulate fibrotic formation using nylon brush. The samples were sacrificed after 4 weeks, Peterson score was used to assess macroscopically, and area of fibrotic was measured microscopically. Area of fibrosis was calculated using ImageJ intensifier and fibrotic index number with the micrometer measurement tool after histologic preparation with Haematoxylin Eosin and Masson 39 s Trichrome.Result There was a significant difference between treatment and control group on Petersen score p
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Srimayona
Abstrak :
Osteoartritis (OA) menjadi penyakit sendi paling umum dan salah satu penyebab utama disabilitas. Prevalensi OA meningkat dengan bertambahnya usia. Angka kejadian kasus OA di Indonesia yaitu 5% pada individu berusia 61 tahun. Prevalensi OA secara global menurut WHO pada populasi >60 tahun mencapai 9,6% pada laki-laki dan 18% pada perempuan (IRA, 2020). Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Salah satu standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah pelayanan farmasi klinik, yang salah satu parameternya yaitu Pelayanan dan Pengkajian Resep serta Dispensing sediaan farmasi (Kemenkes RI, 2016). Pengkajian dan pelayanan resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Tugas khusus ini bertujuan agar calon apoteker memahami pelaksanaan pengkajian resep di Apotek Roxy Pondok Labu. Kajian dilakukan dengan metode observasional dengan rancangan penelitian deskriptif yang bersifat prospektif. Pengambilan data dilakukan secara prospektif di Apotek Roxy Pondok Labu pada tanggal 01 – 20 November 2021 terhadap resep osteoartritis. Pengkajian resep dilakukan terhadap aspek administratif, kesesuaian farmasetis dan keseuaian klinis. Berdasarkan hasil pengkajian resep, diperoleh bahwa dari ketiga resep, permasalahan yang paling sering muncul adalah aspek administratif. Tidak terdapat permasalahan pada analisis kesesuaian farmasetis dan klinis. ......Osteoarthritis (OA) is the most common disease and one of the leading causes of disability. The prevalence of OA increases with age. The incidence of OA cases in Indonesia is 5% in individuals aged 61 years. The prevalence of OA globally according to WHO in a population > 60 years is 9.6% in men and 18% in women (IRA, 2020). Clinical pharmaceutical care by pharmacist has standard parameters used as guidelines in providing pharmaceutical services. One of the parameter is prescription screening and dispensing pharmaceutical preparation (Kemenkes RI, 2016). Prescription screening include administration, pharmaceutical suitability and clinical considerations. This report aims to ensure the implementation of clinical pharmaceutical care parameter at Apotek Roxy Pondok Labu. The study was conducted using the observational method by prospective descriptive study. Data collection was carried out prospectively at the Roxy Pharmacy Pondok Labu on 01-20 November 2021 for osteoarthritis prescriptions. Review of prescriptions is to assess the administrative aspects, pharmaceutical suitability and clinical suitability. Based on the review of prescription the most common problems ocured on administrative aspects. Both the pharmaceutical suitability and clinical analysis of all the prescription met the requirement.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library