Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vengky Tanuwijono
Abstrak :
Latar belakang dan cara penelitian : Kontrasepsi implan merupakan salah satu metoda dalam pemakaian kontrasepsi, walaupun relative masih baru namun akseptabilitasnya cukup tinggi. MPA sebagai bahan kontrasepsi telah lama digunakan dan terbukti aman, efektif, jangka panjang dan reversibel serta dapat digunakan oleh wanita setelah melahirkan dan menyusui. Namun, MPA baik dalam bentuk oral maupun injeksi, masa kerjanya masih relatif singkat. Dengan mengubah metoda pemberiannya, sebagai contoh: dalam bentuk implan subdermal, masa kerjanya dapat diperpanjang. Untuk itu dilakukan penelitian implan MPA subdermal. Penelitian ini merupakan studi awal untuk meneliti efek implan MPA pada hewan Macaca fascicularis dengan mengamati beberapa parameter klinik yaitu: pola perdarahan haid, berat badan dan gambaran sitologik usap vaginanya. Empat ekor dari Macaca tersebut ditanamkan implan MPA subdermal di bagian tengkuk dengan berbagai kadar: 15,5 - 28,8 - 47,4 dan 50,7 mg MPA, dan satu ekor sisanya diperlakukan sebagai kontrol. Data yang diperoleh akan diuji dengan uji-T data berpasangan. Hasil dan kesnnpulan : Hasil penelitian memperlihatkan. bahwa selama perlakuan (penanaman implan MPA) tidak terjadi perdarahan haid, yang menandakan kemungkinan terjadi atrofi endometrium. Tidak ditemukan kenaikan berat badan pada Macaca fascicularis yang ditanamkan implan MPA, justru terjadi penurunan berat badan, yang mungkin disebabkan oleh pendeknya masa pemantauan dan pengaruh stress perlakuan pada binatang percobaan (p < 0,05). Gambaran sitologik usap vagina menunjukkan penurunan jumlah sel piknotik selama perlakuan karena pengaruh estrogen yang menurun, yang menandakan bahwa mungkin akibat perkembangan folikel yang terganggu (p<0,05).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T9348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarore, Jennifer Jeromiah
Abstrak :
Macaca fascicularis merupakan primata yang sering digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian, sehingga kondisi fisiologisnya harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap hasil penelitian, terutama penelitian tentang pertumbuhan. Standarisasi berat badan dan morfometri membantu penelitian tentang pertumbuhan, namun standarisasi tersebut memerlukan sampel yang banyak agar hasil tidak bias. Penangkaran milik PT Indo Biomedical, Jonggol memiliki banyak M. fascicularis dan belum memiliki standar data morfometri dan berat badan, sehingga dapat dilakukan penelitian penentuan standar data berat badan dan morfometri di penangkaran tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan standar data karakter morfometri dan berat badan M. fascicularis. Jumlah hewan yang digunakan sebanyak 698 ekor dengan rincian 175 ekor bayi, 248 ekor infan, 209 ekor juvenil, dan 66 ekor pra-dewasa. Parameter yang diukur yakni berat badan, tinggi duduk, panjang ekor, panjang lengan atas, panjang lengan bawah, panjang paha, dan panjang betis. Hasil pengolahan data dengan metode Analisis Komponen Utama (AKU) menunjukkan bahwa individu bayi dan infan M. fascicularis memiliki parameter standar terbaik lengan bawah, sedangkan individu juvenil dan pra-dewasa memiliki parameter standar terbaik lengan atas. Hasil uji-T terhadap rerata data morfometri dan berat badan M. fascicularis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan morfologi yang nyata antara individu jantan dan betina M. fascicularis pada kelompok umur pra-dewasa. ......Macaca fascicularis is a kind of primate that often used as animal model in research, therefore, physiological condition must be considered because the influence of the result of research. Standardization of weight and morphometry assist research on growth, but these standards require that many samples that the results are not biased. Captive owned by PT Indo Biomedical, Jonggol has a lot of M. fascicularis and did not yet had data standard morphometry and weight, therefore it can be done research determination standardization of weight and morphometry in there. The purpose of this study was to get a M. fascicularis basic standard characteristics of morphometrics and body weight. The number of animals observed were 698 consisting of 175 babies, 248 infants, 209 juveniles, and 66 sub-adults. The parameters were included body weight, body length, tail length, upper arm length, forearm length, thigh length, and calf length. The Principal Component Analysis (PCA) showed that the individu of M. fascicularis of the babies and the infants age-group had the best forearm length parameter measurement standard, while the juveniles and the sub-adults age-group of M. fascicularis had the best upper arm length as their best parameter measurement standard. The result of processing data used T-test of mean of morphometrics and body weight indicated there was real significance of morphological differences between male and female individuals of M. fascicularis sub-adult age groups.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1605
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Haryadi
Abstrak :
Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi karena pencabutan sering ditemui dan celah yang ditinggalkan karena pencabutan memberikan dampak buruk secara estetika. Sebagai rehabilitasi, digunakan gigi tiruan imediat (GTI) lepasan yang dipasang segera setelah pencabutan. Namun belum diketahui apakah penggunaan GTI lepasan mempengaruhi resorpsi residual ridge (RRR). Tujuan: Menganalisis pengaruh pemasangan gigi tiruan imediat terhadap RRR pasca pencabutan. Metode: Pada 3 ekor Macaca fascicularis, dilakukan pencabutan gigi premolar 1 dan molar 1 kiri dan kanan. Segera setelah pencabutan, dipasang GTI lepasan pada sisi kiri rahang Macaca fascicularis. Pengukuran posisi residual ridge dari sisi rahang Macaca fascicularis yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan menggunakan radiograf dental pada sesaat setelah pencabutan (0 bulan) dan 2 bulan pasca pencabutan. Selisihnya diukur sebagai RRR. Hasil: Ditemukan perbedaan posisi residual ridge (p<0,05) antara yang diukur pada 0 dan 2 bulan paska pencabutan pada sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dan yang tidak dipasang GTI lepasan. Namun tidak ditemukan perbedaan RRR (p>0,05) antara sisi rahang yang dipasang GTI lepasan dengan sisi rahang yang tidak dipasang GTI lepasan. ......Introduction: Extraction caused tooth loss cases was often found in daily practice and gap left after extraction causes a bad effect on tooth esthetic. As a rehabilitation, a removable immediate denture (RID) was used immediately after extraction. But it was still not know if using RID does have an effect to residual ridge resorption. Purpose: To analyze the effect of using RID on residual ridge resorption after extraction. Method:The first premolars and first molars on both left and right side of 3 Macaca fascicularis were extracted. Soon after the extraction RID was placed on the left side of the arch of Macaca fascicularis. Residual ridge position was measured using the dental radiograph for bothside where ID was worn and where RID was not worn immediately after the extraction (0 month) and at 2 months after the extraction. Residual ridge position difference between 0 and 2 months after extraction was measured as the residual ridge resorption. Result: Significant difference (p<0,05) residual ridge position was observed between measurement done 0 month and 2 months after extraction, for both the side where RID was worn and side where RID was not worn. But no significant difference (p>0,05) was reported for residual ridge resorption measured between the side where RID was worn and side where RID was not worn.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvian Dumingan
Abstrak :
Sekretom stem cell dapat menjadi pilihan sebagai terapi adjuvan stroke karena efek neuroprotektif dan neuroregeneratifnya. Efek ini muncul karena faktor parakrin seperti Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) dan Stromal-Cell Derived Factor-1 (SDF-1) yang dapat diinduksi dengan prekondisi hipoksia. Selama ini model uji produk terapi baru untuk stroke belum dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya yang mendekati terapi stroke di manusia. Sekretom dari umbilical cord M. fascicularis yang ketersediaannya berlimpah sebagai limbah pembiakan hewan uji vaksin PT Bio Farma, diharapkan dapat menjadi model uji yang baik karena memiliki kemiripan secara genetik dengan manusia. Penelitian ini melakukan optimasi prekondisi hipoksia pada Umbilical Cord MSC (UCMSC) Macaca fascicularis. Isolasi dan kultur UCMSC dilakukan pada medium MEM dengan suplementasi 20% FBS. Karakterisasi fenotipik dilakukan dengan flow-cytometry sementara karakterisasi diferensiasi menggunakan kit kemudian diamati secara mikroskopis. Prekondisi hipoksia 1%, 3% dan 5% dikerjakan dalam inkubator dua gas. Konsentrasi BDNF dan SDF-1 dipantau menggunakan metode ELISA. UCMSC Macaca fascicularis telah berhasil dikultur dan dikarakterisasi dalam hal fenotip dan diferensiasi. Prekondisi hipoksia mampu menginduksi sekresi BDNF hingga 264 pg/mL dan SDF-1 hingga 666 pg/mL. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan profil prekondisi hipoksia dengan oksigen 3% dapat menginduksi sekresi BDNF dan SDF-1 yang paling optimal, dibandingkan dengan hipoksia 1% dan 5%. ......Stem cell secretome may offer a promising option as adjuvant therapy for stroke due to its neuroprotective and neuroregenerative effects. These benefits are attributed to paracrine factors like Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF) and Stromal-Cell Derived Factor-1 (SDF-1), which can be enhanced through hypoxic preconditioning. Current testing models for stroke therapies often fail to accurately replicate human stroke conditions. The secretome from the umbilical cord of Macaca fascicularis, a by-product of vaccine test animal breeding at PT Bio Farma, is considered a viable model due to its genetic similarity to humans. This research aims to optimize hypoxia preconditioning in Umbilical Cord MSC (UCMSC) from Macaca fascicularis. UCMSC were isolated and cultured in MEM medium with 20% FBS, and characterized phenotypically by flow cytometry while differentiation characterization using kits was then observed microscopically. Hypoxia preconditioning at 1%, 3%, and 5% oxygen levels was conducted in a two-gas incubator. BDNF and SDF-1 concentrations were measured by ELISA. Results showed that UCMSC could be successfully cultured and characterized, with 3% oxygen hypoxia preconditioning inducing the highest levels of BDNF (264 pg/mL) and SDF-1 (666 pg/mL), compared to 1% and 5% oxygen levels.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezal
Abstrak :
Obyektif: Bunyi frekuensi rendah intensitas tinggi (FRIT) merupakan inovasi stimulasi auditorik yang menggunakan gelombang sinusoidal dengan frekuensi di bawah 100 Hz dan intensitas 110–140 dB SPL untuk memperoleh respons tubuh khususnya otak. Pajanan diberikan dalam kondisi tidur sedasi untuk memperoleh efek yang optimal. Respons dihasilkan akibat resonansi gelombang pajanan dengan irama otak. Kepastian keamanan pajanan ditentukan oleh emisi otoakustik (OAE). Desain studi: Penelitan ini adalah tahap pendahuluan dengan uji coba pada hewan. Metode: Penelitian dilakukan dengan dua tahap, yakni pembuatan instrumen dan eksperimen pada hewan coba. Instrumen stimulasi bunyi terdiri dari generator sinyal yang dibuat khusus, penguat sinyal analog, dan headphones. Eksperimen menggunakan dua monyet (M1 dan M2) jantan dewasa di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor pada waktu yang tidak bersamaan. Masing-masing terdiri dari 3 kali pertemuan untuk adaptasi intrumentasi dan anestesi, kemudian 1 kali pertemuan untuk pajanan bunyi. M1 diberikan sedasi ketamin dan pajanan bunyi 80 atau 40 Hz dengan intensitas 110–140 dB, sedangkan M2 diberikan sedasi propofol dan pajanan bunyi 10 Hz dengan intensitas 110–120 dB. Pengukuran OAE dilakukan setelah peningkatan pajanan per 10 dB SPL. Analisis sinyal dikerjakan secara offline dengan segmen elektroensefalografi (EEG) selama 2 menit. Hasil: Sedasi ketamin menghasilkan daya pita beta rendah EEG yang dominan, sedangkan propofol menghasilkan daya pita delta yang tertinggi. Pajanan bunyi FRIT 80 dan 40 Hz memberikan respons yang bermakna pada nilai spektral EEG dibandingkan tanpa pajanan. Pajanan 10 Hz meskipun tidak bermakna secara statistik, namun memberikan gambaran asimetri alfa frontal pada intensitas 120 dB. Intensitas optimal dicapai pada frekuensi 80 Hz adalah 125 dB SPL, pada frekuensi 40 Hz adalah 130 dB SPL, dan pada frekuensi 10 Hz adalah 120 dB SPL. Perbedaan intensitas berpengaruh pada perubahan nilai spektral EEG. Pajanan bunyi HILF berpengaruh pada nilai OAE, namun tidak mengganggu fungsi pendengaran. Simpulan: Peningkatan daya pita beta EEG diharapkan memperbaiki performa sensorimotorik, sedangkan asimetri alfa frontal EEG meningkatkan motivasi. Pajanan bunyi frekuensi rendah meskipun diberikan dalam intensitas tinggi tidak merusak koklea, justru terjadi hal sebaliknya yang sangat menarik untuk dielaborasi lebih lanjut. ......Objective: High-intensity low-frequency sound (HILF) is a novel auditory stimulation that utilizes sinusoidal waves with frequencies below 100 Hz and intensities of 110–140 dB SPL to elicit a response from the body, particularly the brain. To achieve the best effect, exposure is given while sedated. Resonance between the exposure wave and the rhythm of the brain generates the response. Otoacoustic emission (OAE) is used to ensure exposure safety. Study Design: This is a preliminary study using animal testing. Methods: The study was divided into two stages: instrument development and animal testing. The sound stimulation device includes a custom-made signal generator, an analog signal amplifier, and headphones. Experiments with two adult male cynomolgus monkeys (M1 and M2) conducted at different times at the Center for Primate Animal Studies, Bogor Agricultural Institute. Each comprised of three meetings for instrumentation and anesthetic adaption, followed by one meeting for sound exposure. M1 was sedated with ketamine and exposed to 80 or 40 Hz sounds with an intensity of 110–140 dB, whereas M2 was sedated with propofol and exposed to 10 Hz sounds with an intensity of 110–120 dB. The intensity increase step is 5 dB. OAE measurements were taken following a 10 dB SPL increase in exposure. Two-minute segments of electroencephalography (EEG) signals were analyzed offline. Results: Ketamine sedation provided the most dominant low beta band EEG, whilst propofol produced the most delta band power. Exposure to 80 and 40 Hz FRIT sound resulted in a significant change in EEG spectral values in comparison to no exposure. Despite the fact that the 10 Hz exposure was not statistically significant, it produced a 120 dB appearance of alpha frontal asymmetry. At a frequency of 80 Hz, the optimal intensity is 125 dB SPL, at a frequency of 40 Hz it is 130 dB SPL, and at a frequency of 10 Hz it is 120 dB SPL. Changes in EEG spectral value are influenced by differences in intensity. Exposure to HILF sound has an effect on OAE values but does not impair hearing function. Conclusion: Increasing the power of the EEG beta band is expected to improve sensorimotor performance, whereas increasing the power of the EEG alpha band promotes motivation. Exposure to low-frequency sound, even at high intensity, does not harm the cochlea; on the contrary, the opposite occurs, which deserves further investigation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Nuraini
Abstrak :
Faktor penyebab kurangnya keikutsertaan pria dalam kontrasepsi antara lain adalah kurangnya pilihan jenis kontrasepsi pria yang memenuhi persyaratan. Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas bahan alam untuk alternatif alat kontrasepsi pria, yaitu dengan penyuntikan ekstrak biji papaya (Carica papaya L.) varietas Cibinong pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis L.). Penelitian dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor dengan jumlah sampel 8 monyet, dibagi dalam 3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol. Penyuntikan ekstrak biji papaya secara intramuskular dilakukan selama 21 hari dengan dosis 40 mg/monyet, 80 mg/monyet, dan 120 mg/monyet. Analisis data kualitas spermatozoa (motilitas, viabilitas, bentuk) sebelum, setelah intervensi, dan pemulihan dilakukan menggunakan uji Cochran, sedangkan untuk data konsentrasi spermatozoa dan kadar hormon testosteron dianalisis menggunakan uji Friedman. Hasil menunjukkan terjadi penurunan motilitas, viabilitas, dan bentuk spermatozoa setelah penyuntikan ekstrak biji papaya dan meningkat ke arah normal pada tahap pemulihan (p = 0,05). Hasil ini didukung dengan terjadinya aglutinasi semen. Penyuntikan ekstrak biji papaya secara intramuskular yang paling efektif adalah dosis 40 mg/monyet/hari yang dapat menurunkan motilitas spermatozoa dari 87,5% menjadi 40% dan menurunkan kadar hormon testosteron dari 2,35 ng/mL menjadi 1,83 ng/mL. Meskipun menurun, kadar hormon testosteron tersebut masih dikategorikan baik.
Lack of contraceptive choices which meet the requirements is one of the contributing factors to less participation of man in contraceptive use. This research aimed to study the effectiveness of natural material for alternative male contraception, by injecting papaya seed extract with Cibinong variety (Carica papaya L.) to long tail monkey (Macaca fascicularis L). The research was conducted at Primates Study Center, Institute of Agriculture, Bogor. Total samples of this research were 8 monkeys, with three intervention groups and one control group. Papaya seed extract was injected via intramuscular in 21 days, with dose for each group were 40 mg/monkey, 80 mg/monkey, and 120 mg/monkey. Data analysis of spermatozoa quality (motility, viability, morfology) was done by using Cochran test before and after intervention stages, and during recovery stage. Meanwhile, data aalysis of spermatozoa concentration and testosterone hormone level was done by using Friedman test. Result of this reseach demonstrated reduction of motility, viability, and morfology of spermatozoa after inejction of papaya seed extract and increase to normal level at recovery stage (p ≤ 0.05). These results was supported with cement aglutination. The most effective dose was at 40 mg/monkey/day, with reduction of spermatozoa motility from 87.5 % to 40%, and reduction of testosterone level from 2.35 ng/mL to 1.83 ng/mL. Even though spermatozoa motility and testosterone hormone level reduced, but its conditions were still in good condition category.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library