Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolla Chintya Pitaloka
"

Penelitian sebelumnya terhadap lulusan universitas di Indonesia menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara keahlian lulusan dengan yang dibutuhkan industri saat ini dan tertinggal dari negara lainnya, terutama negara ASEAN, dalam kemampuan berinovasi. Kemampuan berinovasi dapat dikembangkan sejak menjadi mahasiswa melalui penentuan variabel yang tepat, sehingga mahasiswa dapat fokus mengembangkan kemampuan diri. Penelitian kuantitatif korelasional dilakukan untuk melihat hubungan antara kemampuan belajar dari pengalaman dengan kemampuan berinovasi. Alat ukur yang digunakan yaitu Innovative Work Behavioral Scale yang dikembangkan oleh Janssen (2000) dan alat ukur Learning Agility Assessment Scale yang dipublikasikan dalam Gravett dan Caldwell (2016). Kedua alat ukur tersebut dimodifikasi untuk menyesuaikan pada kondisi mahasiswa. Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Perguruan Tinggi Universitas Indonesia yang berada di masa studi minimal semester 3 sebanyak 539 orang. Pengujian hipotesis menggunakan teknik analisis statistik Pearson’s Correlation. Didapatkan hasil bahwa learning agility berhubungan positif secara signifikan dengan perilaku kerja inovatif, r(537) = 0,61, p < 0,001. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan oleh universitas dalam mengembangkan program yang dapat membantu mengasah kemampuan learning agility sehingga meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berinovasi.


Previous research has shown that university graduates in Indonesia face significant skill gap and behind from any country, spesifically among ASEAN countries, in term of innovation ability. Innovative ability can be developed for university students with the right variables. Thus, it might help student to focus on their self-development. Quantitative and correlational research conducted to know how learning agility might related to innovative work behavior. Innovative Work Behavioral Scale developed by Janssen (2000) and Learning Agility Assessment Scale, developed and published by Gravett and Caldwell (2016), were used in study. Both scales were adapted and translated so they would fit with the undergraduates’ context. In result, 539 of minimum Second year/3rd semester University Indonesia students were chosen. The statistics analysis technique used for hypothesis testing was Pearson’s Correlation. The result showed that learning agility is positively correlated with the innovative work behavior, r(537) = 0,61, p < 0,001. After this study, the result might be used as one of the references for university to develop program where student could develop their learning agility and become more innovative.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatina Zahra Aurelia
"ABSTRAK
Persaingan antar perusahaan pada masa ini membutuhkan ide inovatif dari karyawannya. Kemampuan inovatif karyawan dapat dilihat sejak individu masih menjadi mahasiswa. Salah satunya dalam bagaimana mahasiswa mempersepsikan kemampuan, potensi, dan peran yang dimilikinya dalam lingkungan belajar, dikenal juga sebagai pemberdayaan pembelajar. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pemberdayaan pembelajar dengan perilaku kerja inovatif pada mahasiswa Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada 539 mahasiswa Universitas Indonesia yang berada di atas semester 3. Penelitian kuantitatif ini menggunakan dua instrumen, yaitu Innovative Work Behavior Scale dari Janssen (2000) dan Learner Empowerment Scale dari Frymier dkk. (1996). Teknik analisis yang digunakan adalah Pearson Correlation, Independent Sample T-Test, dan One-way ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Pemberdayaan Pembelajar dan Perilaku Kerja Inovatif pada mahasiswa. Ketiga dimensi pemberdayaan pembelajar (meaningfulness, competence, impact) juga secara signifikan berhubungan dengan perilaku kerja inovatif, dengan dimensi impact sebagai penentu terkuat. Penelitian lanjutan yang dapat dilakukan adalah mencari faktor yang mampu menjelaskan hubungan kedua variabel ini.

ABSTRACT
Competition between companies nowadays relies on innovations from their employees. Potential of innovative employees could be seen since they were college students. One of the many ways to see their potential is by looking at how they perceive their capabilities, impacts, and meaning in academic settings, also known as learner empowerment. This study aims to look at the relationship between Learner Empowerment and Innovative Work Behavior in University of Indonesia college students. This research was conducted to 539 students from the University of Indonesia who are above freshman year. This quantitative research uses two instruments, the innovative work behavior scale by Janssen (2000) and the learner empowerment scale by Frymier et al. (1996). Analysis techniques used are Pearsons Correlation, Independent Sample T-Test, and One-way ANOVA. Results showed that there's a significant relationship between learner empowerment and innovative work behavior. Also the three dimensions of learner empowerment (meaningfulness, competence, impact) have significant relationships to innovative work behavior, with impact as the strongest determinant. Further research that can be done is to explore factors that explains the relationship between these two variables."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steffira Anjani
"ABSTRAK
Penelitian ini terdiri atas dua studi, studi pertama merupakan penelitian korelasional dan studi kedua merupakan program intervensi. Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui hubungan antara interactional justice dan turnover intentions pada karyawan Divisi X Hotel XYZ, dengan sampel berjumlah 71 orang. Pengukuran variabel menggunakan dua alat ukur yaitu alat ukur interactional justice yang dikembangkan oleh Colquitt (2001) dan alat ukur turnover intentions yang dikembangkan oleh Mobley (1977). Hasil dari penelitian korelasional menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara interactional justice dan turnover intentions (r= -0,27, p<0,01). Berdasarkan hasil tersebut, peneliti melakukan studi kedua untuk menyusun program intervensi berupa pelatihan komunikasi. Pelatihan diberikan kepada 10 atasan (supervisor dan managerial level) yang memiliki bawahan dengan nilai rendah pada skor interactional justice. Program intervensi berupa pelatihan komunikasi dan monitoring dilakukan untuk meningkatkan skor interactional justice yang dimiliki bawahan. Hasil evaluasi level 1 (reaksi) menunjukkan bahwa peserta menilai pelatihan secara keseluruhan sudah baik. Kemudian evaluasi level 2 (pembelajaran) dari program pelatihan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan peserta secara signifikan antara sebelum dan setelah diberikan pelatihan (z= -2,46, p<0,01). Hasil evaluasi level 3 (perilaku) dari program intervensi juga berhasil meningkatkan interactional justice (z=-2,02, p<0,05) dan menurunkan turnover intentions (z=-2,03, p<0,05) dari karyawan. Diskusi dari kedua studi di atas akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.

ABSTRACT
This research consists of two essential studies with the first study is mainly about correlational study and the second study will focus on the intervention program.The correlational study aims to determine the relationship between interactional justice and turnover intentions in Division X Hotel XYZ using 71 employees as the sample. The measurement of variables is using two measuring tools, interactional justice scale from Colquitt (2001) and turnover intentions from Mobley (1977). The results of this correlational study show that there is a significant and negative relationship between interactional justice and turnover intentions (r= -0,27, p<0,01). Based on this result, the second study is conducted to develop an intervention program which focusing on communication training. This intervetion is delivered to 10 leaders (supervisor  and managerial level) from subordinates who scored low on interactional justice score. The purpose of the intervention program (training and monitoring) is carried out to improve interactional justice owned by the subordinates. The result of level 1 evaluation shows that trainees give good rating to the training program. Next, the result of level 2 evaluation shows that the intervention program significantly increases the trainees knowledge between before and after the training is delivered (z= -2,46, p<0,01). Last, the result of level 3 evaluation shows that the intervention program is successfully increases the interactional justice score (z=-2,02, p<0,05) and decreases the turnover intentions (z=-2,03, p<0,05) score of the subordinates. More detail about those two studies will be discussed and presented further in this research.
"
2019
T53984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabiah Firdausiah
"Sekarang ini perusahaan membutuhkan karyawan dengan perilaku kerja inovatif, oleh karenanya sangat penting untuk mempersiapkan karyawan memiliki perilaku ini sejak mereka masih mahasiswa. Penelitian korelasional ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara efikasi diri kreatif dan perilaku kerja inovatif pada mahasiswa. Efikasi diri kreatif diukur dengan alat ukur yang dibuat oleh Tierney dan Farmer (2002). Perilaku kerja inovatif diukur dengan alat ukur yang dikembangkan oleh Janssen (2000) yang kemudian item-itemnya dimodifikasi agar sesuai dengan keadaan responden yaitu mahasiswa. Responden penelitian yang datanya dapat dianalisa berjumlah 539 mahasiswa jenjang sarjana S1 di Universitas Indonesia dan merupakan mahasiswa yang minimal sedang menempuh semester empat. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan menggunakan teknik statistik Pearson Correlation. Ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara efikasi diri kreatif dan perilaku kerja inovatif pada mahasiswa, r(538) = 0,67, p= 0,00 (p < 0,01, one-tailed). Effect size untuk analisis ini dapat dikatakan termasuk large effect karena r> 0,5. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi efikasi diri kreatif mahasiswa, maka semakin tinggi pula perilaku kerja inovatif mereka. Hasil ini dari penelitian ini bisa memberikan manfaat yaitu, menambah literatur tentang perilaku kerja inovatif pada mahasiswa dan memberikan masukan kepada pihak kampus untuk meningkatkan efikasi diri kreatif mahasiwanya agar perilaku kerja inovatifnya bisa meningkat pula, dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan program pelatihan.

Nowadays, companies need employees with innovative work behavior. Therefore, it is very important to prepare employees to have this behavior since they are still in college. This correlational research was then conducted to look at the relationship between creative self-efficacy and innovative work behavior among college students. Creative self-efficacy is measured by a measurement by Tierney and Farmer (2002). Innovative work behavior is measured by a measurement by Janssen (2000), the items were modified to correspond with the condition of college students. The data that can be analyzed were from 539 undergraduate students at Universitas Indonesia and were at least taking their fourth semester. This research is a quantitative study, using the Pearson Correlation statistical technique the researcher found that there is a positive and significant relationship between creative self-efficacy and innovative work behavior among college students, r(538) = 0.67, p= 0.00 (p<0.01, one-tailed). The effect size for this analysis can be included as a large effect, because r> 0.5. Thus, it can be said that the higher the students' creative self-efficacy, the higher their innovative work behavior. These results can provide benefits such as adding literature on innovative work behavior among college students and providing input for the universities to improve the students' creative self-efficacy so that their innovative work behavior can also improve, by joining extracurricular activities and training programs."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syakira Rahma
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara parenting self-efficacy dengan hardiness sebagai respon dari fenomena meningkatknya jumlah ibu tunggal bekerja dan memiliki kanak-kanak madya di Indonesia, agar bisa membantu menghadapi tekanan perannya dengan baik. Parenting self-efficacy adalah persepsi kemampuan dalam pengasuhan yang dimilikinya untuk secara positif mempengaruhi perilaku dan perkembangan anak (Coleman dan Karraker, 2000), sedangkan hardiness adalah variabel kepribadian yang memberikan kemampuan bagi individu untuk bertahan dalam kondisi yang kurang menguntungkan di dalam hidupnya (Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). Penelitian ini dilakukan kepada 78 ibu tunggal bekerja yang memiliki kanak-kanak madya dengan metode kuesioner. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara positif antara parenting self-efficacy dengan hardiness (r = + 0.354; p < 0.01, two tails) yang diukur oleh 36 item Self-efficacy for Parenting Task Index (SEPTI) dan 15 item Dispositional Resilience Scale 15 Revised (DRS-15 R).

The purpose of this study is to see the relationship between parenting self-efficacy and hardiness in respond to the phenomenon of the increasing number of single mother in Indonesia, in order to help them face the pressure of their role. Parenting self-efficacy refers to parents' perceptions of their ability to posi-tively influence the behavior and development of their children (Coleman & Karraker, 2000), while hardiness is a personality variable that functions as a resource to resist the negative consequences of adverse conditions (Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). This correlational research has been done with 78 sample of working single mothers of middle childhood with a quetionaire method. The result shows that there‟s a positive and significant correlation between parenting self-efficacy and hardiness (r = + 0.354; p < 0.01, two tails) that is measured by 36 items of Self-efficacy for Parenting Task Index (SEPTI), and 15 items of Dispositional Resilience Scale 15 Revised (DRS-15 R).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wulan
"Penelitian ini mengkaji hubungan antara iklim kelas belajar aktif dan gaya belajar dengan kreativitas. Iklim kelas belajar aktif adalah kondisi yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif baik intelektual, emosional, maupun fisik dalam belajar. Iklim kelas mencerminkan kondisi psikologis dari lingkungan kelas sebagai tempat pembelajaran, sebagaimana yang dipersepsikan oleh individu di dalamnya. Oleh karena itu, iklim kelas berkenaan dengan suasana belajar yang tercipta, yang banyak ditentukan oleh interaksi antara guru dan siswa.
Gaya belajar adalah kecenderungan siswa dalam mengadaptasi strategi tertentu dalam belajar, melalui proses internalisasi dan konsentrasi hingga menemukan pendekatan yang sesuai dengan tuntutan belajar di kelas atau sekolah, serta tuntutan mata pelajaran. Menurut DePorter dan Hemacki (1992), ada tiga macam gaya belajar, yaitu visual, auditori, dan kinestetik.
Kreativitas adalah kemampuan melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk aptitude maupun non-aptitude, baik karya baru maupun kombinasi hal-hal yang sudah ada, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Kreativitas dalam penelitian ini diukur melalui Tes Kreativitas Figural (TKF) dengan hasil berupa skor CQ (Creativity Quotient).
Penelitian ini merupakan kajian lapangan dengan tipe non-eksperimental korelasional. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive accidental sampling, dengan 34 siswa untuk pengujian item dan 55 siswa untuk pengujian hipotesis, yang berasal dari tiga kelas. Kriteria responden adalah siswa kelas III sekolah dasar dari sekolah dasar yang menerapkan belajar aktif dalam kegiatan pembelajarannya. Data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif, yang diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh siswa, tes kreativitas, dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, iklim kelas belajar aktif memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan kreativitas. Namun, gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik tidak memiliki korelasi dengan kreativitas. Demikian pula, iklim kelas belajar visual dan kinestetik tidak berkorelasi dengan kreativitas. Namun, iklim kelas belajar aktif dan gaya belajar auditori memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan kreativitas ketika dilihat secara bersama-sama.
Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan mempertimbangkan heterogenitas tingkat inteligensi (IQ) siswa serta homogenitas sampel berdasarkan kemampuan akademik siswa melalui nilai rapor. Selain itu, disarankan menggunakan alat ukur gaya belajar yang dapat memberikan hasil identifikasi beserta skor kuantitatifnya, sehingga hasil identifikasi dapat dikonversikan ke dalam angka dengan standar baku. Penelitian selanjutnya juga sebaiknya menggunakan ilustrasi gambar yang lebih baik, memperluas usia subjek penelitian, serta melakukan analisis data variabel gaya berpikir untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklim kelas belajar aktif dapat meningkatkan kreativitas siswa kelas III sekolah dasar. Oleh karena itu, disarankan kepada para pendidik, baik orang tua maupun guru, untuk menyajikan kegiatan pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan kreativitas anak, yaitu dengan menciptakan iklim kelas belajar aktif. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa siswa memiliki gaya belajar yang unik atau berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kreativitasnya, siswa harus diberikan kesempatan untuk memilih kegiatan kreatif yang sesuai dengan gaya belajarnya, sehingga kreativitas siswa akan berkembang secara optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Elitha
"Berdasarkan studi awal, diketahui bahwa karyawan unit Area PT X merasa kurang puas dengan proses komunikasi yang terjalin dengan atasan sehingga berdampak pada penurunan kinerja. Hal ini disebabkan kurangnya kualitas umpan balik dari atasan karena atasan belum mengetahui cara memberikan umpan balik secara efektif kepada anggota tim. Penelitian ini dilakukan dalam dua studi yaitu Studi 1 dengan desain korelasional dan Studi 2 dengan desain pretest-posttest. Studi 1 bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terkait kualitas umpan balik dan kepuasan terhadap komunikasi pengawasan pada karyawan unit Area PT X. Pengambilan data Studi 1 dilakukan kepada 230 karyawan unit Area PT X menggunakan kuesioner persepsi terkait kualitas umpan balik dari Steelman, Levy, & Snell (2004) dan kuesioner kepuasan terhadap komunikasi pengawasan dari Ramirez (2012). Hasil Studi 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara persepsi terkait kualitas umpan balik dan kepuasan terhadap komunikasi pengawasan (r = 0.364, p < 0.01). Selanjutnya, hasil tersebut ditindaklanjuti pada Studi 2 dengan memberikan intervensi pelatihan pemberian umpan balik kepada 9 Facility Manager di unit Area PT X. Studi 2 bertujuan untuk mengetahui efektivitas intervensi tersebut dalam meningkatkan pengetahuan manajer terkait proses pemberian umpan balik secara efektif kepada anggota tim. Hasil Studi 2 menunjukkan bahwa sesudah pelatihan, terdapat peningkatan pengetahuan yang signifikan pada manajer dalam memberikan umpan balik secara efektif dengan peningkatan sebesar 45% (t = -7.031, p < 0.05). Dengan demikian, hasil ini dapat menjadi dasar peningkatan persepsi terkait kualitas umpan balik dan kepuasan terhadap komunikasi pengawasan pada karyawan unit Area PT X.

Based on preliminary study, employees of unit Area PT X were found not satisfied with communication established with their superiors, resulted in decreased performance. This is due to lack of feedback quality provided by superiors because they do not know how to provide effective feedback to team members. This research was conducted in two studies which Study 1 represents correlational design and Study 2 represents pretest- posttest design. Study 1 aims to determine relationship between perceived feedback quality and satisfaction with supervisory communication among employees of unit Area PT X. Study 1 was conducted on 230 employees of unit Area PT X using perceived feedback quality questionnaire from Steelman, Levy, & Snell (2004) and satisfaction with supervisory communication questionnaire from Ramirez (2012). Results of Study 1 indicated that there was significant and positive relationship between perceived feedback quality and satisfaction with supervisory communication (r = 0.364, p < 0.01). Furthermore, these results were followed up in Study 2 by providing feedback training intervention to 9 Facility Managers in unit Area PT X. Study 2 aims to determine effectiveness of interventions in increasing manager's knowledge about how to give feedback effectively to team members. Results of Study 2 showed that after training, there was significant increase in managers’ knowledge about how to give an effective feedback, with an increase of 45% (t = -7.031, p < 0.05). Thus, these results can be the basic step for increasing perceived feedback quality and satisfaction with supervisory communication on employees of unit Area PT X."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library