Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Harry Isbagio
Abstrak :
Petanda molekuler yang dapat menunjukkan perbedaan dalam derajat progresivitas Osteoartritis (OA) akan memberikan kemudahan bagi penelitian klinik. Deoksipiridinolin (DPD) urin dan osteokalsin (OC) serum telah digunakan secara luas untuk petanda metabolisme tulang, sedangkan penggunaannya sebagai petanda molekuler OA belum banyak data yang mendukung. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang saling bertentangan dalam hal eskresi DPD urin dan kadar OC serum pada berbagai derajat OA lutut. Tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan ekskresi DPD urin dan kadar OC serum diantara derajat dari OA lutut. Penelitian ini merupakan studi potong-lintang pada satu kelompok dari 69 pasien OA lutut. Derajat OA ditentukan menurut skala derajat Kellgren dan Lawrence. Kelompok pasien dengan OA lutut derajat 2 dinyatakan sebagai kelompok OA awal dan kelompok pasien dengan derajat 3 dan 4 dinyatakan sebagai kelompok OA lanjut. DPD urin diukur dengan metode Immunochemilunescence dan OC serum menggunakan metode Elisa. Nilai rerata eskresi DPD urin pada pasien OA lebih tinggi dari nilai normal (9.79 + 7.28 nM DPD/mM Creatinin), tetapi nilai rerata OC serum dalam batas normal (8.49 + 4.68 ng/mL). Tidak ada perbedaan bermakna di antara OA awal dan OA lanjut dalam hal usia, indeks massa tubuh (IMT),lama sakit, eskresi DPD urin dan kadar serum OC. Disimpulkan, pada model penelitian potong lintang ini didapatkan tidak ada perbedaan bermakna dalam hal ekskresi DPD urin dan kadar OC serum di antara derajat OA lutut. Oleh karena hasil dari berbagai penelitian tidak konstan maka penggunaan DPD urin dan serum OC sebagai petanda molekuler untuk progresivitas OA masih memerlukan lagi penelitian prospektif jangka panjang. (Med J Indones 2004; 13: 96-101)
The identification of molecular markers, which reflects differences in disease progression rates in Osteoarthritis (OA), would greatly facilitate clinical studies. Urinary Deoxypyridinoline (UDPD) and serum osteocalcin (OC) had been widely used for marker of bone metabolism, but the use for molecular marker in OA was lack of data. Recent studies show that there were conflicted results between urinary excretion of DPD and serum OC value within knee OA grading. The aim of this study is to compare of urinary excretion of DPD and the level of serum OC as destructive parameter of cartilage within the knee OA grading. This cross sectional study comprise of 69 patients with OA of knee joints. Kellgren and Lawrence scale was use for grading of OA. Group of patients with knee OA grade 2 call as group of early OA and group of patients with knee OA grade 3 and 4 calls as group of late OA. DPD in urine was measured using Immunochemilunescence, serum osteocalcin was measured using Elisa method. The mean value of urinary concentrations of DPD in OA patients was higher than normal value (9.79 + 7.28 nM DPD/mM Creatinin), and the mean value of serum OC within normal value (8.49 + 4.68 ng/mL). There were no significant differences of age, body mass index (BMI), duration of illness, urinary excretion of UDPD and serum OC level between early and late OA. In conclusion, there is no significant difference of urinary excretion of DPD and serum OC level within knee OA grading. The use of urinary DPD and serum OC as molecular markers of progression of OA needed to be explored by other longitudinal study. (Med J Indones 2004; 13: 96-101).
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-96
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Kopen
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah efek klinis lateral wedged insole (LWI) pada pasien osteoartritis lutut kompartemen medial dipengaruhi oleh postur kaki. Penelitian eksperimental nonblinded dilakukan untuk membandingkan efek klinis LWI pada 20 subjek kelompok postur kaki netral dan 17 subjek dengan postur kaki tidak netral. LWI dibuat custom molded dengan peninggian di lateral 7 mm disertai penyokong arkus medial. Subjek memakai LWI selama 4 minggu. Hasil keluaran penelitian ini adalah selisih penurunan derajat nyeri dengan menggunakan skala numeric rating scale (NRS) dan selisih penurunan waktu tempuh uji jalan 15 meter setelah pemakaian LWI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih penurunan derajat nyeri lutut kanan kelompok postur kaki netral didapatkan sebesar 3(0-4) dan kelompok postur kaki tidak netral sebesar 1(0-2). Ada perbedaan signifikan antar kedua kelompok (p<0.001). Selisih penurunan derajat nyeri lutut kiri kelompok postur kaki netral didapatkan sebesar 3,15 (±1,46) dan kelompok postur kaki tidak netral sebesar 0(0-2). Ada perbedaan signifikan antar kedua kelompok (p<0.001). Selisih penurunan waktu tempuh uji jalan 15 meter kelompok postur kaki netral sebesar 6,18 detik (±3,30) dan kelompok postur kaki tidak netral sebesar 2,76 detik (-3,2-15,37). Ada perbedaan yang signifikan antar dua kelompok dengan nilai p= 0,015. Penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok postur kaki netral mendapatkan penurunan derajat nyeri dan penurunan waktu tempuh uji jalan 15 meter yang lebih baik dibandingkan kelompok postur kaki tidak netral. Temuan ini mengindikasikan bahwa melakukan asesmen yang baik terhadap postur kaki dapat meningkatkan efektivitas LWI pada pasien osteoartritis lutut kompartemen medial. ......The aim of this study was to prove whether the clinical effects of lateral wedged insoles (LWI) depend on individual foot posture. We conducted a non-blinded experimental study comparing clinical effect of LWI in two groups. There were 37 subjects with medial knee osteoarthritis, divided into normal foot groups (20 subjects) and abnormal foot groups (17 subjects). LWI was designed as custom molded insole with 7 mm lateral elevation accompanied by medial arch support. Subjects used LWI for 4 weeks. Data were obtained by measuring the pain level using numeric rating scale (NRS) and time duration in performing 15 meter walking test which represent functional capacity. Outcomes of this study were the difference in the decrease of pain level and the increase of functional capacity after the use of LWI. The difference of right knee pain level after the use of LWI was 3(0-4) in normal foot and was 1(0-2) in abnormal foot. The difference between groups was statistically significant (p < 0.001). The difference of left knee pain level after the use of LWI was 3.15 (± 1.46) whereas in the abnormal foot was 0 (0-2). The difference between groups was also statistically significant (p<0.001). The difference of time duration in performing 15 meter walking test after the use of LWI in the normal foot group was 6.18 second (± 3.30) and in the abnormal foot was 2.76 second (-3.2-15.37). The difference between groups was statistically significant with p = 0.015. The present study showed that normal foot group had a better outcomes in the decrease of pain level and the increase of functional capacity than that of the abnormal foot group after the use of LWI. These findings suggested that it is suggested to assess individual foot alignment to ensure adequate insole treatment for patients with medial knee osteoarthritis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sugiyanto
Abstrak :
Latar Belakang : Osteoarthritis (OA) adalah penyakit yang paling banyak dari kelainan sendi yang ditemui pada orang dewasa di dunia, menurut WHO didalam laporannya yang berjudu “The Burden of Musculoskeletal Conditions at The Start of The New Millenium”, menuliskan bahwa osteoatritis adalah merupakan salah satu penyebab utama morbiditas di dunia dan berpengaruh besar terhadap beban biaya Kesehatan. Tujuan : Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan variasi biaya Tindakan total knee artrhoplasty di rsud dr. Chasbullah abdulmadjid (rscam) kota bekasi Metode : Pendekatan yang dipakai pada penelitian ini secara kuantitatif dan dilakukan Uji Anova pengaruh antara variable independent dan variable dependent. Sampel yang digunakan adalah 29 pasien yang diambil sesuai kriteria inklusi yang meliputi meliputi usia, jenis kelamin, LOS, kelas kamar, severity level dan biaya perawatan yang terdiri dari akomodasi, visit dokter, konsultasi, penunjang medis, tindakan medis, obat serta alkes. Hasil : Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia bahwa usia muda sebanyak 11 orang (37.9%), usia tua 15 orang (51.9%) dan usia lanjut sebanyak 3 orang (10.3%), dengan responden terbanyak adalah wanita 24 orang (82.8%). Jumlah kelas rawat terbanyak adalah pada kelas 3 sebanyak 16 orang (55.2%) dan severity level terbanyak adalah severity level I sebanyak 16 orang (55.2%), dimana LOS terbanyak selama perawatan adalah 5-10 hari sebanyak 25 orang (66.2%). Rata-rata total biaya pada akomodasi sebesar Rp.1.937.29.37, untuk visit dokter Rp.9.848.04, konsultasi Rp.5.8442.31, penunjang medis Rp.118.834.96, tindakan medis Rp. 508.153.50, obat Rp. 36.554.39 dan rata-rata biaya pelayanan Alkes Rp. 650.165.39. Pada Hasil Uji Anova didapatkan usia dan Length Of Stay memiliki hubungan yang signifikan terhadap biaya perawatan dengan nilai P 0.033 untuk usia dan nilai P 0.000 untuk LOS. ......Background : Osteoarthritis (OA) is the most common disease of joint disorders found in adults in the world, according to WHO in its report entitled "The Burden of Musculoskeletal Conditions at The Start of the New Millennium", writing that osteoarthritis is one of the main causes of morbidity. in the world and has a major impact on the burden of health costs. Goal :Analyze factors related to cost variation Total action knee arthroplasty at dr. Chasbullah Abdulmadjid (RSCAM) Bekasi City Methode : The approach used in this research is quantitative and the ANOVA test is carried out on the influence between the independent variable and the dependent variable. The samples used were 29 patients who were taken according to the inclusion criteria which included age, gender, LOS, room class, severity level and treatment costs consisting of accommodation, doctor visits, consultations, medical support, medical procedures, drugs and medical equipment. Result : The frequency distribution of respondents based on age is 11 people (37.9%), old age 15 people (51.9%) and elderly people are 3 people (10.3%), with the majority of respondents being 24 women (82.8%). The highest number of treatment classes is in class 3 as many as 16 people (55.2%) and the highest severity level is severity level I as many as 16 people (55.2%), where the highest LOS during treatment is 5-10 days as many as 25 people (66.2%). The average total cost for accommodation is Rp.1,937.29.37, for doctor visits Rp.9,848.04, consultation Rp.5.8442.31, medical support Rp.118,834.96, medical treatment Rp. 508.153.50, medicine Rp. 36,554.39 and the average cost of medical equipment services is Rp. 650.165.39. In the ANOVA test results, age and length of stay have a significant relationship with treatment costs with a P value of 0.033 for age and a P value of 0.000 for LOS.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Isbagio
Abstrak :
Osteoartritis (OA) didefinisikan sebagai penyakit yang diakibatkan kejadian biologik dan mekanik yang menyebabkan gangguan keseimbangan antara proses degradasi dan sintesis dari kondrosit, matriks ekstraseluler tulang rawan sendi dan tulang subkondral, Penyakit OA bermanifestasi sebagai perubahan morfologik, biokimia, molekuler dan biomekanik dari sel dan matriks yang mengakibatkan perlunakan, fibrilasi, ulserasi, menipisnya tulang rawan sendi, sklerosis dan eburnasi tulang subkondral, osteofit dan kista subkondral. Penyakit ini merupakan salah satu jenis penyakit reumatik yang paling sering ditemui di seluruh dunia. WHO memperkirakan 10 % dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini. Di Indonesia OA merupakan penyakit reumatik yang paling banyak dijumpai. Di Poliklinik Subbagian Reumatologi FKUI/RSCM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit reumatik yang berobat antara tahun 1991-1994. Etiopatogenesis osteoartritis pada umumnya dan osteoartritis lutut pada khususnya belum sepenuhnya diketahui. Telah diketahui bahwa tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi pada OA. Faktor risiko pada OA dapat dibedakan dalam faktor risiko kejadian awal (incident) dan faktor risiko progresivitas dan beratnya OA. Salah satu faktor risiko yang diduga berperan pada progresivitas OA lutut ialah densitas massa tulang (DMT). Penelitian epidemiologik longitudinal mendapatkan bahwa DMT tinggi berperan sebagai salah satu faktor initiasi kejadian OA lutut , tetapi tidak berhubungan dengan progresivitas. Sejumlah petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitornya yang berasal dari tulang rawan sendi telah ditemukan di berbagai penelitian pada hewan percobaan dan pada manusia penderita OA. Petanda molekuler tersebut antara lain YKL-40 (Petanda sintesis) dan Cartilage oligomeric protein (COMP, petanda destruksi), sedangkan enzim proteinase antara lain Matrix Metaloproteinase-3 (MMP-3, petanda katabolik) serta inhibitornya Tissue inhibitors of metaloproteinase-1 (TIMP-1, petanda anabolik), mengalami perubahan sejajar dengan progresivitas radiografik OA Iutut. Hingga saat ini suatu penelitian longitudinal yang mencari hubungan antara DMT dengan progresivitas OA lutut pada pasien yang telah menderita OA lutut dengan menggunakan parameter petanda molekuler dan enzim proteinase serta inhibitomya belum pernah dilakukan. Penetapan Masalah Penelitian Menjadi suatu pertanyaan apakah pada pasien OA lutut setelah jangka waktu panjang akan terjadi progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi.,bagaimana kaitan antara DMT total yang rendah dalam jangka waktu panjang terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, dan bagaimana korelasi di antara kadar serum petanda molekuler/metabolik. Metodologi Penelitian Desain penelitian: Studi kohort dengan efek berskala numerik pada penderita OA lutut primer, derajat 2 dan 3 yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok DMT total normal dan kelompok DMT total osteopenia/osteoporosis untuk menilai pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi. Tempat dan waktu penelitian: Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Waktu penelitian ialah tahun 1997 (awal penelitian) sampai dengan tahun 2004 (akhir penelitian). Populasi dan sampel penelitian: Penderila OA lutut yang datang ke Poliklinik Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPNCM Jakarta pada tahun 1997-1998 yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Hasil Penelitian Karateristik kasus Telah dilakukan evaluasi awal dan akhir pada 37 penderita OA lutut, yang terdiri dari 14 penderita kelompok osteopeni/osteoporosis dan 23 penderita kelompok normal. Analisis berbagai karateristik klinik yaitu umur, jenis kelamin, lama sakit, katagori berat badan, derajat OA lutut, nilai aktifitas harian, Indeks Lequesne pada awal penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok yang menunjukkan homogenitas kedua kelompok tersebut. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk lama penelitian di antara kedua kelompok. Pada seluruh kasus di akhir penelitian terdapat peningkatan nilai Indeks Lequesne dan penurunan nilai aktifitas harian yang bermakna (p<0.05) dibanding dengan awal penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna perubahan tingkat sakit di antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) rerata kenaikan nilai Indeks Lequesne di antara katagori perubahan tingkat sakit. Hubungan karakieristik kasus dengan petanda metabolik Terdapat korelasi positif sedang bermakna (r=0.453, p<0.01) antara umur dengan log kadar YKL-40 serum awal penelitian, aorta korelasi positif sedang bermakna (r=0.368, pr0,05) antara umur dan kadar TIMP-1 serum awal penelilian.Tidak terdapat korelasi antara umur dengan COMP dan MMP-3 serum. Kadar TIMP serum awal penelitian lebih tinggi pada wanita (251.76 + 50.31 ng/mL) dan pria (225.79 + 20.26 ng/mL), Kadar MMP-3 serum awal penelitian lebih tinggi pada pria (25.94±12,18 ng/ml) dari wanita (17.81 + 10.64 ng/mL) dan ratio kadar MMP3/TIMP-1 awal penelitian lebih tinggi pada pria dari wanita, perbedaan tersebut bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan bermakna kadar YKL-40 dan kadar COMP serum antara pria dan wanita. Tidak ada korelasi antara lama sakit dengan kadar YKL-40, COMP, TIMP-l .dan MMP-3 serum pada awal penelitian. Indeks Massa Tubuh (IMT) awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.411) dan bermakna (p < 0.05) dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Sedangkan petanda metabolik lainnya tidak mempunyai korelasi dengan IMT awal penelitian. Pada akhir penelitian tidak terdapat korelasi antara IMT akhir penelitian dengan salah satu petanda metabolik tulang rawan sendi yang diteliti . Tidak terdapat perbedaan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian, Kadar COMP serum awal penelitian, Kadar TIMP-l serum awal penelitian, Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian, dan Log Ratio MMP-3/111MP-1 awal penelitian di antara tingkat derajat OA lutut awal penelitian, Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r = 0.685) dan bermakna (p< 0,001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.512) dan bermakna (p<0.01), Kadar TIMP-1 serum awal penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0.573) dan bermakna (p<0.001) dengan Indeks Lequesne awal, sedangkan pada akhir penelitian mempunyai korelasi positif sedang (r=0,434) dan bermakna (p< 0,01). Kadar serum awal dan akhir penelitian petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 tidak berkorelasi dengan Indeks Lequesne awal dan akhir. Tidak terdapat hubungan antara Total nilai aktivitas harian awal penelitian dengan berbagai kadar petanda metabolik tulang rawan sendi awal penelitian, demikian pula pada akhir penelitian. Rerata kadar YKL-40 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (217.82 + 227,03 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (141.20 ± 119.03 ng/mL) tetapi tidak berbeda bermakna. Rerata kadar YKL-40 serum akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (345.44 + 334.41 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (156.55 ± 89.87 ng/mL), Log dari kadar YKL-40 serum ini berbeda bermakna (p < 0.05). Rerata kadar COMP serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10.10+2,74 U/L) lebih tinggi dari kelompok normal (10.85 ± 3.22 U/L) dan rerata kadar COMP akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (10,08+2.13 U/L) lebih rendah dari kelompok normal (10,85 ± 3.22 U/L), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar TIMP-I serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (258.66±64.17 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (235.15 + 25.46 ng/mL) dan rerata kadar T1MP-I akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (252.58+75.44 ng/mL) lebih tinggi dari kelompok normal (220.45+49.82 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata kadar MMP-3 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (21,62 + 12.40 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (19.38 + 11.25 ng/mL), rerata kadar MMP-3 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (56,04 + 68.55 ng/mL ) lebih tinggi dari kelompok normal (25,59 + 10.16 ng/mL), tidak berbeda bermakna. Rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.0885 + 0.057 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0,0835 + 0.0505), rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 akhir penelitian pada kelompok osteopeni/porosis (0.2329 + 0,2619 ) lebih tinggi dari kelompok normal (0.1215 + 0.0537) , tidak berbeda bermakna. Hubungan antara perubahan tingkat sakit dengan nilai perubahan petanda metabalik pada seluruh kasus kelompok osteopenilporosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara kategori perubahan tingkat sakit (p< 0.05), terdapat penurunan Rerata Nilai perubahan Kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan kategori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada evaluasi kelompok normal terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP-serum di antara katagori perubahan tingkat sakit (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP dari katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak terdapat perbedaan berrnakna rerata nilai perubahan kadar COMP serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat pula kecenderungan penurunan rerata nilai perubahan kadar COMP antara katagori "memburuk" dengan katagori "sangat memburuk". Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar YKL-40 serum di antara katagori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan Rerata Nilai perubahan Kadar YKL-40 antara katagori "tidak ada perubahan" dengan katagori "sangat memburuk", demikian pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal Pada evaluasi seluruh kasus, demikian pula untuk kelompok normal, rerata Sin nilai perubahan kadar MMP-3 serum di antara kategori perubahan tingkat sakit berbeda bermakna (p<0.05), dimana terdapat Kenaikan Rerata Nilai perubahan Kadar MMP-3 dari katagori "memburuk " dengan katagori "sangat memburuk", yang berbeda bermakna, sedangkan untuk kelompok osteopeni/porosis tidak berbeda bermakna. Pada evaluasi seluruh kasus walaupun tidak terdapat perbedaan bermakna rerata nilai perubahan kadar TIMP-1 di antara kategori perubahan tingkat sakit, terdapat kecenderungan peningkatan rerata nilai perubahan Kadar TIMP-l antara katagori "membaik" dengan katagori ?sangat memburuk", derntldan pula untuk kelompok osteopeni/porosis dan kelompok normal. Perubaban kadar petanda metabolik matriks tulang rawan sendi antara awal dengan akhir penelitian. Pada seluruh kasus rerata kadar YK L-40 serum pada akhir penelitian ( 228.02 ± 237.48 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (170.19+169.38 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (345.44 + 344.41 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (217.82 + 227.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar YKL-40 serum pada akhir penelitian (146,55 + 89.87 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar YKL- 40 serum pada awal penelitian (141.20 + 119.03 ng/mL), rerata Log Kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian ini tidak berbeda bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (11.43 + 3,34 U/L) Iebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10,90 + 3.01 U/L) , tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (10,09 + 2,13 U/L) lebih rendah dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.10 ± 2.74 U/L), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Hasil pada kelompok osteopeni/porosis walaupun tidak bermakna menunjukkan kebalikan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus yang justru terjadi kenaikan kadar COMP pada akhir penelitian dibanding awal penelitian. Pada kelompok normal rerata kadar COMP serum pada akhir penelitian (12.26 + 3.72 U/L) lebih tinggi dari rerata kadar COMP serum pada awal penelitian (10.85 + 3.22 U/L), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05).Hasil pada kelompok normal menunjukkan kesamaan dengan hasil evaluasi pada seluruh kasus. Pada seluruh kasus rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (232.61 + 61.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TIMP-1 serum pada awal penelitian (244.05 + 44.91 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada kelompok osteo-peni/porosis rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (252.58 + 75.44 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (258.66 + 64.17 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna Pada kelompok normal rerata kadar TIMP-1 serum pada akhir penelitian (220.46 + 49.82 ng/mL) lebih rendah dari rerata kadar TEMP-1 serum pada awal penelitian (235.15 + 25.46 ng/ml), tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Pada seluruh kasus rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian 37,11 + 44,55 ng/mL) lebih tinggi (dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (20.26 + 1158 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 awal dengan akhir penelitian berbeda berrnakna (p<0,01). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (56.04 + 68.55 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (21.62 + 12.40 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p< 0.05). Pada kelompok normal rerata kadar MMP-3 serum pada akhir penelitian (25.59 + 10.16 ng/mL) lebih tinggi dari rerata kadar MMP-3 serum pada awal penelitian (19.38 ± 11.25 ng/mL), rerata Log Kadar MMP-3 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p < 0.05) Pada seluruh kasus rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1636 + 0.1718) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-l serum pada awal penelitian (0.0854 + 0.0526), rerata Log ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian ini berbeda bermakna (p<0,001). Pada kelompok osteopeni/porosis rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.233 + 0,262) lebih tinggi dari rerata ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0.0885 ± 0.0577), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Pada kelompok normal rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada akhir penelitian (0.1215 + 0.0537) lebih tinggi dari rerata Ratio kadar MMP-3/TIMP-1 serum pada awal penelitian (0,0835 ± 0,0505), terdapat perbedaan bermakna (p<0.05). Hubungan antara Densitas Massa Tulang Total dengan Nilai Perubahan petanda metabolik matriks tulang rawan sendi. Rerata nilai perubahan dari kadar YKL-40 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 124.05 ± I74.06 ng/mL Iebih tinggi dari kelompok normal sebesar 15,35 ± 87.43 ng/mL, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05). Rerata nilai perubahan dari kadar COMP serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah - 0.91 ± 2.99 U/L Iebih rendah dari kelompok normal sebesar 1,41 + 3.20 U/L, perbedaan antara keduanya bermakna (p<0.05) Rerata nilai perubahan dari kadar TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah -6.08 ± 66.18 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar -14.7044.44 ng/mL, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Rerata nilai perubahan dari kadar MMP-3 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 34.47 + 62.90 ng/mL lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 6.21 + 14.28 ng/mL, rerata sinus nilai perubahan kadar MMP-3 antara keduanya berbeda bermakna (p<0.05). Rerata Nilai perubahan dari ratio MMP-3/TIMP-1 serum pada kelompok osteopeni/porosis adalah 0.1443+0.2356 lebih tinggi dari kelompok normal sebesar 0.0379 + 0.0678, perbedaan antara keduanya tidak bermakna. Korelasi diantara petanda metabolik matriks tulang rawan sendi Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif kuat (r=0.727) dan bermakna (p< 0.001) dengan Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar YKL-40 serum awal penelitian temyata mempunyai korelasi positif sedang (r = 0.473) dan bermakna (p( 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada awal penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40, Log Kadar YKL-40 serum akhir penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.545) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Petanda metabolik lainnya COMP dan MMP-3 pada akhir penelitian tidak berkorelasi dengan YKL-40. Kadar COMP serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.469) dan bermakna (p< 0.01) dengan Kadar COMP serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar COMP serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kadar TIMP-1 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.546) dan bermakna (p<0.001) dengan Kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar TIMP-1 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian, kecuali dengan Log kadar YKL-40 serum akhir penelitian. Log Kadar MMP-3 serum awal penelitian ternyata mempunyai korelasi positif sedang (r=0.528) dan bermakna (p<0.01) dengan Log Kadar MMP-3 serum akhir penelitian. Tidak ada korelasi antara Log kadar MMP-3 serum awal penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada awal penelitian. Tidak ada korelasi antara kadar MMP-3 serum akhir penelitian dengan kadar petanda metabolik lainnya pada akhir penelitian. Kesimpulan Terdapat kecenderungan makin berat perubahan tingkat sakit yang dialami penderita makin besar nilai kenaikan kadar YKL-40 serum (petanda sintesis) dan kadar MMP-3 serum (petanda katabolik) serta makin besar nilai penurunan kadar TEMP-1 serum (petanda anabolic).Terdapat pola yang unik dari nilai perubahan kadar COMP serum (petanda destruksi) pada berbagai kategori perubahan tingkat sakit. Pada kategori "tidak ada perubahan" dan kategori "memburuk" terjadi kenaikan nilai perubahan kadar COMP serum, sebaliknya pada kategori "sangat memburuk" terjadi penurunan nilai perubahan kadar COMP serum. Pada penderita OA lutut grade 2 dan 3, pada jangka waktu panjang kurang lebih 70 baton, terjadi peningkatan bermakna proses sintesis (dinilai dengan YKL-0), peningkatan proses destruksi (dinilai dengan COMP), peningkatan proses katabolik (dinilai dengan MMP-3) dan peningkatan aktiritas proses enzim katabolik (dinilai dengan ratio MMP-3JTIMP-1). Terdapat pula kecenderungan penurunan proses anabolik (dinilai dengan TIMP-1) walaupun tidak bermakna. Pada pasien OA lutut setelah jangka waktu yang panjang akan teijadi peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terbadap hipotesis pertama). Setelah jangka waktu panjang selama kurang lebih 70 bulan, penderita OA lutut grade 2 dan 3 yang pada awal penelitian mempunyai DMT total osteopeni/porosis, secara bermakna akan mengalami progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi, yaitu proses sintesis (diwakili YLK-40), proses destruksi (diwakili COMP), proses katabolik (diwakili MMP-3). yang lebih besar dibanding dengan kelompok normal. Tidak terdapat perbedaan proses anabolik (diwakili TRAP-1) dan tidak terdapat perbedaan peningkatan aktivilas enzim katabolik (diwakili ratio MMP-31TIMP-1) di antara kedua kelompok. DMT total yang rendah jangka panjang pada penderita OA lutut bukan merupakan faktor protektif progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi (jawaban terhadap hipotesis kedua). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal dengan akhir penelitian, kadar COMP serum awal dengan akhir penelitian, kadar TIMP-1 serum awal dengan akhir penelitian, kadar MMP-3 serum awal dan akhir penelitian, ratio MMP-3/TTMP-1 awal dengan akhir penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum awal penelitian dengan kadar TIMP-1 serum awal penelitian. Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara kadar YKL-40 serum akhir penelitian dengan kadar TIMP-1 serum akhir penelitian. Tidak terdapat korelasi bermakna di antara petanda metabolik lain dalam penelitian ini (jawaban terhadap hipotesis ketiga). Saran Untuk memastikan pengaruh jangka panjang DMT total terhadap progresivitas OA lutut maka perlu dilakukan penelitian dengan membandingkan ketebalan tulang rawan sendi awal terhadap ketebalan tulang rawan sendi akhir penelitian dengan menggunakan metode pemeriksaan MRI. Penelitian serupa dapat dilakukan dengan membandingkan DMT pada berbagai tempat (vertebra, panggul dan kaki) terhadap metabolisme tulang rawan sendi pada OA berbagai tempat pula (vertebra, pangggui dan kaki). Penelitian serupa dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi kadar petanda metabolik lainnya seperti hialuronan, frogmen kolagen dan yang lainnya, baik kadar dalam serum maupun kadar dalam cairan sendi. Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa penderita OA lutut grade 2/3 yang juga menderita osteopeni/porosis setelah jangka waktu panjang mengalami peningkatan progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi yang lebih berat, maka dianjurkan bagi para dokter untuk tanpa ragu rnelakukan penatalaksanaan untuk meningkatkan DMT pada penderita seperti tersebut dengan berbagai program dan modalitas yang telah diakui secara luas. Petanda metabolik matriks tulang rawan sendi YKL-40 dan COMP dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas sebagai petanda progresivitas kerusakan matriks tulang rawan sendi pada OA lutut, antara lain untuk menilai hasil pengobatan dengan menggunakan obat-obatan perubah perjalanan penyakit OA (Disease Modifying Osleoarthritis Drugs=DMOA. ...... Study On Long-term Effect Of Low Bone Mass Density On Progression Of Cartilage Matrix Destruction On Knee OsteoarthritisOsteoarthritis (OA) is result of both mechanical and biologic events that destabilize the normal coupling of degradation and synthesis of articular cartilage chondrocytes and extra cellular matrix, and subchondral bone. OA diseases are manifested by morphologic, biochemical, molecular and biomechanical changes of both cells and matrix, with lead to a softening, fibrillation, ulceration, loss of articular cartilage, sclerosis and eburnation of subchondral bone, osteophyte and subchondral cysts. Longitudinal epidemiologic study on knee OA revealed that higher I3MD was strong factor in initiating the development of knee OA, but did not correlated with disease progressivity. A number of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors derived from joint cartilage had been clarified in several publication studies on animal model and human with OA. Those molecular markers are YKL-40 (synthesis marker) and Cartilage Oligomeric Protein (COMP, destructive marker), meanwhile proteinases enzyme such as Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3, catabolic marker) and its inhibitor Tissue Inhibitors of Metalloproteinase-1 (T1MP-1, anabolic marker). These markers will changes in parallel with radiographic progression of knee OA. A longitudinal cohort study should be made to clarify the correlation between BMD and diseases progression using the parameter of molecular markers and proteinase enzyme and its inhibitors on an established knee OA. Thirty-seven patients had been enrolled on this longitudinal study (±70 months), initial and final evaluation has been conducted. Those patients comprises of 14 patients in osteopenic/osteoporotic group and 23 patients with normal total BMD. The homogeneity of two groups is well maintained. There is a moderate positive significant correlation (r-0.453, p<0.01) between age and initial log of serum YKL-40, and the same results (r-0.368, p<0.05) between age and initial serum TIMP-l at the beginning of the study. At baseline of the study, the serum level of TIMP was higher in women (251.76±50.31 ng/ml) than men (225 ± 20.26 ng/ml), meanwhile the baseline serum MMP-3 was seen higher in men (25.94 ± 12.18 ng/ml) compared to women (17.81 ± 10.64 ng/ml), as well as the MMP3/TIMP-1 ratio was higher in men than women. All differences are statistically significant (p<0.05). A moderate positive significant correlation (r<0.44I, p<0.05) demonstrated between body mass index (BMI) and level of log YKL-40 at baseline of the study. Log level of YKL-40, at baseline of the study, demonstrated a strong positive correlation (r<1.685) and statistically significance difference (p<0.05) with initial Lequesne index. By the end of the study the correlation is moderately positive (1.512) and proven statistically significance difference (p<0.Ol). The baseline serum TIMP-l level is moderately positive significance correlation 0-0.573, p<0.00I) with Lequesne index, meanwhile the same results was shown by the end of study (r<573, p<0.001). The means of serum YKL-40 (by study ends) in osteopenic/osteoporosis group was also higher (345.44 ± 334.40 ng/ml) in comparison with the normal group (156.55 ± 89.87 ng/ml) and the lag of serum YKL-40 level was statistically significance difference (p<0.05) between the two groups. Both baseline and study ends value of COMP level between the two groups was not statistically significance differences. Evaluation of TIMP-l level at baseline and by the study end also showed no significance by statistic method_ A higher result of serum MMP-3 level is higher in osteopenic/osteoporosis group than a normal group at baseline and study ends. Both means value of MMP-3/TIMP-l ratio seems higher in osteopenic/osteoporosis group than the normal group, but not significant noted. An evaluation has been made for all of the cases for the changes of serum COMP level according to the severity of illnesses. The result shows a significance difference between the two parameters. There is a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. In the normal group, the evaluation demonstrated a significance difference between the means of serum COMP level and the severity of illnesses (p<0.05). There is also a significance decrease of means value of serum COMP from the "getting worse" category to the "getting worst" category of illnesses. Meanwhile, in the osteopenic/osteoporosis group revealed no significance difference between the mean values of serum COMP level and the severity of illnesses. In both groups, there was a tendency of increasing means value of serum YKL-40 level from the "unchanged" category to the "getting worst" category. The evaluation of serum MMP-3 level in both total group and normal group shows a statistically significance difference (pc0.05) while calculated with the severity of illnesses. This study demonstrated an increasing tendency of the serum TIMP-1 level in the total group by the severity of illnesses category (between "getting better" category to "getting worst" category, but not statistically significance difference. By divide onto two groups, the osteopenic/osteoporosis group and the normal group, the statistic shows the same result. The log means of YKL-40 level is statistically significance different (pr 0,01), In osteopenic/osteoporosis group the means value of serum YKL-40 level also showed a statistically significance different (pr0.05), but not in normal group. An evaluation of serum COMP level in all cases demonstrated that there was an increasing value between the baseline and by the end of study. The result in the osteopenic/osteoporosis group was in the contrary with the total group, The result in the normal group was in accordance with the total group analysis. There was no statistically significance difference, when the serum TIMP-1 level was calculated between the baseline and the end value, A significant different (pr 0,01) noted when the log mean serum MMP-3 level was calculated between the baseline and by the study end value. A less but significance difference (pr0.05) was also noted in the osteopeni/osteoporosis group from the evaluation of serum MMP-3 level. The same result demonstrated in the normal group with the same significance of pr0.05. By the study end, the ratio MMP-3 and TIMP-I was higher than the baseline and this result was significant on statistic calculation (p<0.001), The same result demonstrated in both osteopenic/osteoporosis group and the normal group. Meanwhile in the normal group, the baseline ratio of MMP-3/TIMP-l was 0,0835 ± 0.0505 and the study end ratio was higher than the baseline (0.1215 ± 0,0537). A means changes value of serum YKL-40 was higher in osteopenic/osteoporosis group (124,05 -F 174.06 ng/ml) compare to the normal group (15.35 ± 87.43 ng/ml) and this difference was statistically significant (pr0.05). The means changes in serum COMP level, also noted much higher in osteopenic/osteoporosis group compare to normal group. The result was statistically significant (pr0.05). Evaluations also have been made for the level of MMP-3 and the ratio of MMP-3ITIMP-I. In osteopenic/osteoporosis group, the means changes of serum MMP-3 level were higher (34,47 ± 62,90 ng/ml) than the normal group of 6.21 ± 14.28 ng/ml. Log serum YKL-40 level at baseline of the study have a strong positive significant correlation (r 0.727, pr0.00I) in comparison with the ends value of serum YKL-40. Log serum YKL-10 level by the study ends, was moderately positive correlation (r1545) and statistically significance (p<0.01) in comparison with the study ends serum TIMP-1 level. There was a statistical significant (p<0.0I) and moderate correlation (r 0.469) when the level of COMP has had been evaluated between baseline and the study ends value. A serum TIMP-l level at baseline was proven having a moderate correlation (r.546) and statistical significance (pr0.00I) with its value at the study ends. There was no correlation between the serum TIMP-I level al baseline and others metabolic markers, except for the serum YKL-40 level at baseline. A moderate positive correlation (r 0.528) and statistical significance (p<0.01) was demonstrated when log serum MMP-3 level at baseline was calculated to the study ends value. In knee OA, in the long period, there will be an increasing progressivity of joint cartilage matrix degradation. A lower total BMD value, in knee OA patients and the long period, do not a protective factor for progressivity of joint cartilage matrix degradation. There was no con-elation amongst others metabolic markers in this study. A further study to clarify the impact of total BMD to the progressivity of knee OA should be made by measuring the thickness of joint cartilage using MRI and by comparing BMD at different site and the metabolism of joint cartilage at different site. Others similar study could be performed by measuring others metabolic markers for synthesis and degradation such as hyaluronan, collagen fragment, etc in serum and or the synovial fluid, Concerning the results of this study that demonstrated that knee OA patients, grade 2 and 3 who had osteopenic/osteoporosis for a long time will have more progressive and severe joint cartilage matrix degradation; every doctor should ask for BMD measurement undoubtedly and manage such patients with know-n various effective and accepted modalities/program. A metabolic marker of joint cartilage matrix YKL-40 and COMP should be considered to be use widely as a progressive marker for joint cartilage matrix degradation in knee OA. The use of this marker will be much beneficial in evaluating the treatment using disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lazuardhi Dwipa
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang : Aphanizomenon Flos Aquae merupakan suatu spesies ganggang biru-hijau yang dimanfaatkan sebagai suplemen nutrisi di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan diketahui memiliki banyak aktivitas biologis bermanfaat seperti efek anti-inflamasi, anti-oksidan dan analgetik. Osteoartritis (OA) lutut merupakan permasalahan yang cukup sering didapatkan pada lanjut usia (lansia) namun sampai saat ini belum tersedia modalitas farmakologik sebagai terapi ajuvan yang sesuai dan aman pada kelompok lansia. Aphanizomenon Flos Aquae dapat menjadi alternatif yang baik sebagai terapi ajuvan dalam tatalaksana pasien lansia dengan OA lutut. Tujuan Penelitian : Mengkaji pengaruh AFA terhadap perbaikan klinis OA lutut pada lansia berdasarkan indeks WOMAC. Metode : Dilakukan uji klinis acak tersamar ganda mulai November 2014 hingga Mei 2015 terhadap pasien lanjut usia dengan OA lutut di poliklinik Geriatri dan Reumatologi di RSUP Hasan Sadikin Bandung. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu satu kelompok mendapat kapsul berisi AFA 2 kali 2 kapsul (1,28 g/hari) dan kelompok lainnya mendapat plasebo selama 60 hari. Skor Indeks WOMAC dinilai pada hari ke-1 dan hari ke-60 untuk menilai luaran klinis pasien OA. Perbedaan skor indeks WOMAC pada akhir penelitian dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil : Dari total 254 subjek didapatkan 98 subjek yang memenuhi kriteria awal penelitian dan kemudian dilakukan randomisasi menjadi kelompok perlakuan dan plasebo, masing-masing terdiri dari 49 subjek. Kedua kelompok sebanding pada seluruh faktor prognostik penting. Setelah analisis, skor indeks WOMAC komposit kelompok AFA berbeda secara bermakna (p<0,001) dibanding plasebo pada akhir penelitian dengan masing-masing skor 8 (median,RIK 3-18) vs. 18 (median,RIK 8-32). Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius selama penelitian. Simpulan : Aphanizomenon Flos Aquae dapat memperbaiki klinis berdasarkan skor indeks WOMAC serta aman diberikan pada pasien lansia dengan OA lutut.
ABSTRACT
Background: Aphanizomenon Flos Aquae is a species of blue-green algae which is commonly used as nutritional supplement in the world, including in Indonesia and is known to have many beneficial biological activities such as antiinflammatory, anti-oxidant and analgesics. Osteoarthritis (OA) knee is a problem that is quite common in the older people but until now there has not been pharmacologic modalities as a adjunctive therapy available which are suitable and safe. Aphanizomenon Flos Aquae may become a good alternative as an adjunctive therapy in older patients with knee OA. Objective : To determine the effect of AFA on the improvement of clinical outcome of Knee OA in older patients based on WOMAC index scores. Methods : A double-blind randomized clinical trial was conducted from November 2014 until May 2015 to older adult patients with Knee OA at the Geriatric and Rheumatology clinic in Hasan Sadikin General Hospital. The subjects were divided into groups, each group received capsules containing AFA 2 times 2 capsules (1.28 gr/day) and the other received placebo for 60 days. WOMAC Index scores were assessed at day 1 and day 60. The difference in assessment of WOMAC index scores of each group at the end of the study were analyzed by Mann-Whitney. Results : Out of total 254 subjects, there were 98 patients who met the initial criteria and were randomized into two groups, AFA and placebo group with each consisting of 49 subjects. Both groups were comparable in all important prognostic factors. The composite WOMAC Index scores in AFA group was significantly different than the placebo group at the end of the study (p <0.001), with each score of 8 (IQR,median 3-18) vs. 18 (IQR,median 8-32) respectively. There was no serious adverse events found throughout the study. Conclusion : Aphanizomenon Flos Aquae was able to show clinical improvement based on WOMAC scoring index and safe to use in the older adults with Knee OA.;Background: Aphanizomenon Flos Aquae is a species of blue-green algae which is commonly used as nutritional supplement in the world, including in Indonesia and is known to have many beneficial biological activities such as antiinflammatory, anti-oxidant and analgesics. Osteoarthritis (OA) knee is a problem that is quite common in the older people but until now there has not been pharmacologic modalities as a adjunctive therapy available which are suitable and safe. Aphanizomenon Flos Aquae may become a good alternative as an adjunctive therapy in older patients with knee OA. Objective : To determine the effect of AFA on the improvement of clinical outcome of Knee OA in older patients based on WOMAC index scores. Methods : A double-blind randomized clinical trial was conducted from November 2014 until May 2015 to older adult patients with Knee OA at the Geriatric and Rheumatology clinic in Hasan Sadikin General Hospital. The subjects were divided into groups, each group received capsules containing AFA 2 times 2 capsules (1.28 gr/day) and the other received placebo for 60 days. WOMAC Index scores were assessed at day 1 and day 60. The difference in assessment of WOMAC index scores of each group at the end of the study were analyzed by Mann-Whitney. Results : Out of total 254 subjects, there were 98 patients who met the initial criteria and were randomized into two groups, AFA and placebo group with each consisting of 49 subjects. Both groups were comparable in all important prognostic factors. The composite WOMAC Index scores in AFA group was significantly different than the placebo group at the end of the study (p <0.001), with each score of 8 (IQR,median 3-18) vs. 18 (IQR,median 8-32) respectively. There was no serious adverse events found throughout the study. Conclusion : Aphanizomenon Flos Aquae was able to show clinical improvement based on WOMAC scoring index and safe to use in the older adults with Knee OA.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Loekito
Abstrak :
Latar Belakang : Obesitas diketahui terkait dengan berbagai gangguan kesehatan di antaranya sistem muskuloskeletal, yaitu Osteoarthritis OA lutut yang menyebabkan nyeri sehingga terjadi penurunan aktivitas dan berdampak pada penurunan kekuatan otot lutut yang pada akhirnya menurunkan kapasitas fungsional seseorang. Penatalaksanaan meliputi edukasi dan terapi latihan merupakan hal penting namun terkadang ada kendala untuk melakukan latihan di darat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh latihan di air dan di darat pada penderita obesitas dengan Osteoarthritis OA lutut terhadap penurunan intensitas nyeri dan peningkatan kekuatan otot lututMetode : Quasi experimental terhadap subjek obesitas dan OA lutut usia 40 ndash; 80 tahun dengan sedentary lifestyle PAL ...... Background: Obesity is well known to be associated with various health problems, some of which includes musculoskeletal system, such as knee osteoarthritis OA that causes pain, and thus resulting in decreased activity. These would cause an impact to decrease the knee muscle strength, which ultimately lowers the functional capacity of an individual. Management that includes education and exercise therapy are deemed to be important, however often there are obstacles in doing exercises on land. This study aims to compare the effects of water versus land based exercise for obese patients with knee osteoarthritis OA to reduce pain intensity and improve knee muscle strength.Methods Quasi experimental on obesity and knee OA subjects, age ranging from 40 80 years with sedentary lifestyle PAL
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusy Erawati
Abstrak :
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang sering dijumpai dan salah satu penyebab disabititas serta nyeri. Osteoartritis banyak menyerang sendi penumpu berat badan seperti lutut, panggul dan tulang belakang. Prevalensi penyakit ini meningkat tajam pada usia lebih dan 55 tahun. Dan beberapa sendi penumpu berat badan, OA lutut paling sering dikeluhkan terutama pada wanita dan penderita obesitas. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Mannoni dkk, prevalensi OA lutut di Italia diperkirakan 29,8%. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Cushnaghan dan Dieppe, dan seluruh gejala OA yang sirntomatik, 41,2% melibatkan sendi Iutut. Berdasarkan penelitian di Malang, diperkirakan masalah OA di Indonesia lebih besar jika dibandingkan negara barat. Lebih dari 85% penderita OA di Indonesia terganggu aktivitasnya terutama kesulit-in dalam jongkok, naik turun tangga dan berjalan. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Bristol, menyatakan bahwa 15% subyek pada populasi yang berusia diatas 55 tahun terdapat keterbatasan aktivitas karena nyeri lutut yang terjadi hampir setiap hari dalam satu bulan selama satu tahun terakhir. Konsep inflamasi sebagai salah satu patogenesis OA akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Salah satu bukti yang mendukung konsep tersebut adalah ditemukannya peningkatan protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP) serum penderita OA pada penelitian Spector dkk. Pada penelitian Kertia dkk ditemukan peningkatan jumiah lekosit, peningkatan ringan kadar protein, viskositas yang turun serta peningkatan berbagai mediator proinflamasi pada penderita OA. Ditemukannya ekspresi sitokin pada membran sinovial pasien OA lutut membuktikan peranan inflamasi pada patogenesis OA.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
Abstrak :
Meningkatnya usia harapan hidup berdampak bertambahnya insideris penyakit muskuloskeletal. Diantara berbagai macam penyakit muskuloskeletal yang paling sering dijumpai yaitu osteoartritis (OA), artritis rematoid (RA), osteoporosis dan low back pani. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraselular. Kelainan utama pada osteoartritis adalah hilangnya rawan sendi secara progresif yang disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral. sendi yang paling banyak terkena OA adalah lutut, panggul, lumbal dan servikal. Insidens dan prevalensi OA bervariasi antar negara dan jumlahnya rneningkat sesuai bertambahnya usia. Menurut data WHO diperkirakan 10% penduduk dunia berusia lebih atau sama 60 tahun menderita OA. Insidens OA pada perempuan lebih tinggi yaitu 2,95 per 1000 populasi dibandingkan laki-laki yaitu 1,71 per 1000 populasi. Faktor gender pada OA diduga berkaitan dengan hormon estrogen. Patogenesis OA pada awalnya dianggap hanya akibat proses degenerasi, tetapi kelainan yang ditemukan seperti efusi sendi, kekakuan sendi, dan nodes makin menguatkan adanya proses inflamasi. Proses biomekanik pada sendi penumpu berat badan seperti pada OA lutut tidak bisa menjelaskan kejadian OA pada sendi jari tangan yang bukan sendi penumpu barat badan. Berbagai tanda molekular baik serum maupun cairan sendi dapat digunakan untuk mendiagnosis, menilai progresivitas, dan prognosis penyakit OA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Betty Luinta
Abstrak :
Nyeri dan kekakuan sendi merupakan gejala utama pada pasien Osteoarthritis (OA) lutut. Terapi komplementer dan alternatif diperlukan untuk menurunkan nyeri dan kekakuan sendi pada OA lutut tanpa efek samping. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas Extra Virgin Olive Oil (EVOO) topikal terhadap nyeri dan kekakuan sendi pada pasien OA lutut di RS St Carolus Jakarta. Desain penelitian menggunakan quasi-experimental menggunakan pre-test and post-test. Jumlah sampel terdiri dari 15 responden pada masing-masing kelompok intervensi (EVOO topikal) dan kelompok kontrol (placebo) dengan teknik consecutive sampling. Uji statistik dilakukan menggunakan uji parametrik dan uji non parametrik sesuai hasil uji normalitas. Hasil penelitian menunjukkan terdapat efektivitas EVOO topikal menurunkan nyeri bangun pagi pada hari ke-7 (p 0,001) dan hari ke-14 (p 0,000), nyeri beraktivitas pada hari ke-7 (p 0,022) dan hari ke-14 (p 0,004), serta menurunkan kekakuan sendi pada hari ke-14 (p 0,040). Placebo efektif dalam menurunkan nyeri beraktivitas dan kekakuan sendi pada hari ke-7 dan hari ke-14. Namun, tidak efektif dalam menurunkan nyeri bangun pagi pada hari ke-14. Selisih nilai perubahan nyeri bangun pagi antara kedua kelompok secara signifikan menunjukkan ada efektivitas EVOO topikal dalam menurunkan nyeri dibandingkan placebo pada hari ke-14 (p 0,0002). EVOO topikal menunjukan sedikit lebih berefek dalam menurunkan nyeri beraktivitas dan kekakuan sendi pada hari ke-7 dan hari ke-14 dibandingkan placebo. Hasil ini menunjukkan bahwa EVOO topikal efektif secara bertahap menurunkan nyeri dan kekakuan sendi pada OA lutut. Oleh karena itu, EVOO topikal direkomendasikan sebagai terapi komplementer yang aman tanpa efek samping pada pasien OA lutut ......Joint pain and stiffness are the main symptoms in knee osteoarthritis (OA) patients. In order to avoid side effect, complementary and alternative therapies are needed to ease joint pain and stiffness. This study aims to identify the effectiveness of topical Extra Virgin Olive Oil (EVOO) against joint pain and stiffness in knee OA patients at St Carolus Hospital Jakarta. The research design uses quasi-experimental using pre-test and post-test. The total sample consisted of 15 respondents in each intervention group (topical EVOO) and control group (placebo) with consecutive sampling techniques. Statistical tests are carried out using parametric tests and non-parametric tests compliant to the results of normality tests. The results reveal there is an effectivity of topical EVOO in reducing the initial pain when waking up in the morning on the 7th day (p 0.001) and the 14th day (p 0.000), the highest pain (activity) occurs on the 7th day of smearing (p 0.022) and the 14th day (p 0.004), as well as reducing joint stiffness on the 14th day of smearing (p 0.040). Placebo also has the highest effectiveness in lowering pain during activities and joint stiffness on the 7th and 14th day of smearing. However, it is not effective in lowering the early pain when waking up early on the 14th day of smearing. When the value differences of pain during waking up in the morning are compared between two groups, it is revealed that topical EVOO is effective effectiveness in reducing the early pain compared to placebo on the 14th day of smearing (p 0.0002). In contrary with placebo, topical EVOO reveals slight effect in reducing the highest pain (activity) and joint stiffness on the 7th and day 14th day of smearing. The results of this study have shown that topical EVOO is effective in gradually lowering joint pain and stiffness in knee OA patients. Therefore, topical EVOO is recommended as a complementary therapy and safer alternative without side effects in knee OA patients
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>