Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pudjariah Djoko Pramono
Abstrak :
Kesepakatan Kerja Bersama merupakan suatu peraturan induk atau peraturan bagi perjanjian kerja. Dalam suatu masyarakat modem musyawarah untuk Kesepakatan Kerja Bersama merupakan lembaga yang penting karena melalui musyawarah untuk mufakat inilah terjalin hubungan pengusaha dan para tenaga kerja bahkan pemerintah.Di Indonesia hubungan tersebut dinamakan hubungan industrial Pancasila karena dilandasi dan dijiwai nilai-nilai Pancasila. Dilihat dari materi muatan peraturan perundangan ketenagakerjaan didalam ketentuanketentuannya lebih dominan mengatur kewajiban pengusaha untuk melindungi tenaga kerja karena dianggap pihak tenaga kerja selalu dalam posisi yang dirugikan bahkan diperkuat dengan pengaturan mengenai Hak untuk berorganisasi dan Hak untuk berunding bersama serta pembentukan dan pembinaan serikat pekerja diperusahaan. Namun dalam pelaksanaannya, seiring dengan era reformasi dan krisis ekonomi dewasa ini, tumbuh kesadaran dan semangat demokrasi untuk menuntut perbaikan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pekerja, transparansi dan kepemerintahan yang baik. Timbulnya unjuk-rasa dan kerusuhan karena tidak tertampungnya aspirasi pekerja adalah akibat dari keadaan belum sepenuhnya pihak pengusaha maupun pihak pekerja menyadari rasa tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan serta kurangnya pemahaman mengenai perundang-undangan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan oleh pelaku hubungan industrial. Dengan demikian kehadiran peraturan tentang pelaksanaan tata cara pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) akan merupakan sarana bagi pihak pekerja untuk memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja dan keluarganya serta masing-masing pihak baik pihak pengusaha maupun pihak pekerja mengetahui hak dan kewajibannya sehingga tercipta suasana kerja yang serasi, dinamis, aman dan mantap serta kebebasan mengeluarkan pendapat terjamin. Di samping itu melalui Kesepakatan Kerja Bersama mampu mewujudkan penetapan segala hal baik mengenai pengeluaran biaya perusahaan khususnya mengenai biaya tenaga kerja ( labor cost ) maupun mengenai kedisiplinan sehingga akan mengurangi keresahan dan tuntutan-tuntutan kesejahteraan. Masing-masing pihak bertanggung jawab atas kelangsungan perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas. Upaya kesepakatan kerja bersama dalam hal menciptakan hubungan industrial yang harmonis tersebut, haruslah didukung oleh kerjasama yang baik antara pihak manajemen dan pihak pekerja melalui program komunikasi timbal balik. Demikian pula dalam hal. penyelesaian perselisihan mengenai hak, kepentingan,Pemutusan Hubungan Kerja serta perselisihan antar Serikat Pekerja mendasar pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, yang mewajibkan penyelesaian melalui forum bipartit dan dapat diteruskan ke forum tripartit bahkan sampai ke tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara kemudian berakhir sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung, hanyalah semata-mata untuk mencapai perasaan adil dan kepuasan para pihak yang berselisih demi terwujudnya industrial peace.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T37726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Angelia Apriliyanti
Abstrak :
Dalam rangka mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, diperlukan pengaturan syarat-syarat kerja dan keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak dalam hubungan industrial di setiap perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah kesepakatan hasil perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha mengenai hak dan kewajiban kedua pihak. Meskipun PKB merupakan syarat kerja yang dihasilkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, namun penerapan PKB oleh perusahaan jauh lebih rendah dibandingkan penerapan peraturan perusahaan (PP). Karena PKB menyangkut hubungan antara dua pihak, kehadiran pemerintah sebagai pihak ketiga dibutuhkan untuk menengahi kedua kepentingan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran Kementerian Ketenagakerjaan RI dalam menguatkan PKB dalam rangka mewujudkan industrial peace. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam melaksanakan perannya untuk menguatkan PKB,  Kementerian Ketenagakerjaan berfokus pada menetapkan program penguatan PKB dan memberikan pelayanan pendukung PKB yang pelaksanaannya secara rutin dan intensif, sementara pengawasan maupun penyelesaian perselisihan melalui mediasi tidak banyak dilakukan atas inisiatif pemerintah. Dampak penguatan PKB terhadap terwujudnya industrial peace, yaitu meningkatnya kesejahteraan pekerja dan kelangsungan usaha, mendukung hubungan pekerja dan pengusaha yang harmonis, dan menciptakan kondisi ketenagakerjaan yang kondusif. ......In order to create industrial peace, it is necessary to regulate work requirements and the rights and obligations of every party involved in industrial relations of every company. Collective Labour Agreement (CLA) is an agreement resulting from negotiations between the labour union and the employer regarding the rights and obligations of both parties. Although CLA is a form of work requirements which results from an agreement between employers and workers, the implementation of CLA by the companies is much lower than the implementation of company regulations. Because CLA involves relationship between the two parties, therefore the presence of the government as a third party is needed to mediate both interests. This study aims to analyze the role of the Indonesian Ministry of Manpower to strengthening CLA in order to achieve industrial peace. This research uses qualitative methods by collecting data through in-depth interviews and literature studies. The result of this study indicates that in carrying out its role in order to strengthen CLA, the Ministry of Manpower focuses on establishing program to promote CLA and providing services to support CLA that are carried out routinely and intensively, meanwhile supervision and disputes resolution through mediation are rarely done on Government initiatives. The impact of strengthening the CLA in order to achieve industrial peace, includes improving workers welfare and business continuity, promoting harmonious relations between workers and employers, and creating conducive employment conditions.

Depok: Fakultas Ilmu Adminstrasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sintia Resmi Januarini
Abstrak :
ABSTRAK Laporan Magang ini membahas mengenai penerapan PSAK No. 66 revisi 2014 tentang Operasi Bersama di PT PHE ABC. PT PHE ABC merupakan anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energi yang bergerak dibidang hulu minyak dan gas bumi. Adanya pemberlakuan PSAK No. 66 revisi 2014 yang menggantikan PSAK No. 12 merupakan alasan penulis untuk menulis laporan magang ini, karena penulis ingin mengetahui apa dampak yang terjadi diakibatkan dari penerapan PSAK ini pada expenditure. Kesimpulannya, ternyata tidak ada dampak yang terjadi pada penerapan PSAK tersebut di PT PHE ABC karena PT PHE ABC menggunakan sistem kontrak operasi bersama.
ABSTRACT This internship report discusses the application of PSAK no. 66 revision 2014 about joint arrangement at PT PHE ABC. PT PHE ABC is subsidiary of PT Pertamina Hulu Energi engaged in the upstream oil and gas cooperation. PSAK no. 66 revision 2014 is to replace PSAK no. 12 is one of the reason writer to writing this internship report. Because the writer want to know what the impact of the implementation of PSAK no. 66 on expenditure. The conclusion is the application of this PSAK no. 66 doesn't make any difference because PT PHE ABC uses the joint operation.
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Annisa Aprilia
Abstrak :
Ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak mengatur perihal batas masa waktu perundingan PKB sehingga memberikan keleluasaan waktu kepada pihak perusahaan dan pihak serikat pekerja/serikat buruh dalam merundingkan PKB yang terbaik bagi semua pihak namun di sisi lain menyebabkan pemenuhan hak-hak pekerja dalam PKB yang baru saja disepakati justru berpengaruh akibat telah terpotong masa waktu perundingan PKB itu sendiri apabila dalam perundingan tidak mengalami kesepakatan. Penelitian menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus. Bahan penelitian dianalisis dengan metode analitis deskriptif dengan mengumpulkan dan menganalisa bahan hukum. Ketentuan hak-hak pekerja PT Freeport Indonesia dan pokok-pokok permasalahan yang dirundingkan dalam Perjanjian Kerja Bersama ke-21 PT Freeport Indonesia adalah tuntutan peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; Pph 21 atas THR dan PHK ditanggung perusahaan; kenaikan upah pekerja pratama dan kenaikan upah pekerja muda level 1-3; usia pensiun 57 tahun; dan masa berlaku PKB sejak tanggal 1 Oktober 2019. Implikasi masa perundingan perjanjian kerja bersama terhadap hak pekerja berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST adalah pelindungan hukum bagi hak pekerja menjadi terderogasi akibat masa perundingan PKB itu sendiri yang tidak ada kesepakatan. Ius constituendum terhadap ketentuan masa perundingan perjanjian kerja bersama dan terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST adalah harus adanya batas waktu perundingan PKB; perlunya aturan pihak yang menolak anjuran mediasi harus mengambil upaya selanjutnya perihal penyelesaian perselisihan hubungan industrial; dan perlunya pertimbangan hakim perihal teori pelindungan hukum pada putusan. ......The provisions of the Collective Labor Agreement (CLA) do not stipulate the time limit for the CLA negotiations so as to provide flexibility of time for the company and the trade unions/labor unions in negotiating the best CLA for all parties but on the other hand it causes the fulfillment of worker’s rights in the CLA that is what had just been agreed had an effect because the time period for the CLA negotiations had been cut short if there was no agreement in the negotiations. This research uses normative juridical research with a case study approach. Research materials were analyzed by descriptive analytical method by collecting and analyzing legal materials. The provisions on the rights of PT Freeport Indonesia's workers and the main issues negotiated in the 21st Collective Labor Agreement of PT Freeport Indonesia are the demands for improving the welfare of workers/laborers; Pph 21 on THR and layoffs borne by the company; an increase in the wages of primary workers and an increase in the wages of young workers level 1-3; retirement age 57 years; and the validity period of the CLA is from October 1, 2019. The implication of the period of negotiating collective labor agreements on worker’s rights based on the Decision of the Industrial Relations Court at the Central Jakarta District Court Number 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST is legal protection for worker’s rights to be derogated as a result of During the CLA negotiation period, there was no agreement. The ius constituendum on the terms of the negotiation period for the collective bargaining agreement and the Industrial Relations Court Decision at the Central Jakarta District Court Number 334/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST is that there must be a time limit for the CLA negotiations; the need for rules that parties who reject the suggestion of mediation must take further measures regarding the settlement of industrial relations disputes; and the need for judges' considerations regarding the theory of legal protection in decisions.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzikki Muhammad
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang status dan kedudukan hukum tenaga kerja yang diperbantukan menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan perumusan masalah mengenai pengaturan tentang pekerja perbantuan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban pekerja yang diperbantukan dan bagaimana mekanisme penyelesain perselisihan hubungan industrial antara perusahaan dan pekerja yang diperbantukan. Metodologi yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan alat pengumpulan data Studi Kasus di PT Abacus Distribution Systems Indonesia dan studi kepustakaan di perpustakaan Universitas Indonesia. G Status pegawai Garuda tersebut menurut Perjanjian Kerja Bersama Garuda Indonesia dengan Serikat Karyawan Garuda (PKB Garuda) adalah pegawai perbantuan. Terminologi status ini tidak dapat ditemui dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun jika meneliti iebih lanjut dalam PKB Garuda dapat disimpulkan bahwa status pegawai perbantuan ini mempunyai hak dan kedudukan yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikarenakan terminologi pegawai dalam PKB Garuda tersebut adalah pegawai yang telah melewati masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dimana hal tersebut sesuai dengan hubungan kerja berbentuk perjanjian keija waktu tidak tertentu dalam Pasal 60 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak dan kewajiban pegawai perbantuan juga terdapat dalam PKB Garuda dan Peraturan Perusahaan Abacus (PP Abacus), dimana dalam hal ini Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan merupakan salah satu ketentuan dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini membuat hak dan kewajiban pegawai perbantuan dapat menjadikan UU No 13 Tahun 2003 sebagai acuan dan pedoman hubungan kerja. Sebagaimana hubungan kerja yang terjadi di perusahaan manapun, status pegawai perbantuan Garuda pun berpotensi akan terjadinya konflik. Hal itu dimungkinkan terjadi karena PKB Garuda dan PP Abacus tidak mengatur secara rinci mengenai mekanisme pengajuan dan penarikan pegawai perbantuan. Garuda sebagai induk perusahaan dan Abacus sebagai anak perusahaan perlu membuat mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih jelas bilamana terjadi masalah yang berkaitan oleh pegawai perbantuan. PKB Garuda sendiri telah mengadopsi mekanisme bipartrit sebagaimana diamanatkan dalam UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T37180
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Muzakki Ismail
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dari penelitian ini adalah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sementara itu di lain pihak ketentuan PHK terhadap pekerja/buruh dengan alasan kesalahan berat dalam Undang- Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi RI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, pertama kedudukan PKB dalam penyelesaian PHK, kedua keabsahan PHK yang dilakukan oleh perusahaan dan/atau pengadilan berdasarkan kesalahan berat yang diatur dalam PKB sebelum kesalahan berat tersebut mendapatkan putusan final dari pengadilan. Tujuan yang ketiga adalah untuk mengetahui kesalahan berat yang diatur dalam PKB diluar kesalahan berat sebagaimana diatur dalam pasal 158 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 apakah dapat dijadikan dasar untuk melakukan PHK. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menekankan pada penggunaan data sekunder. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertama kedudukan PKB berada di bawah peraturan perundang-undangan. PKB merupakan suatu bentuk perjanjian, oleh karena itu terhadapnya berlaku syarat-syarat sahnya perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat-syarat khusus lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan. Kedua, kesalahan berat hanya dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan PHK, apabila terhadapnya telah ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Terhadap PHK atas dasar kesalahan berat yang diatur dalam PKB, sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tentang kesalahan berat tersebut, maka PHK tersebut adalah tidak sah secara hukum. Ketiga, kesalahan berat yang diatur di dalam PKB di luar kesalahan berat sebagaimana diatur dalam pasal 158 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk PHK sebelum terhadapnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan bahwa pekerja yang bersangkutan benar melakukan kesalahan berat.
Abstract
The background of this research is the Termination of Employment to the worker with seious mistakes set forth in Colective Labour Agreement/Perjanjian Kerja Bersama (CLA/PKB). Meanwhile, on the other hand, the provisions laid off by reason of serious mistakes in the Act No.13 of 2003 on Employment has been found not to have binding legal force by the Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). The purpose of this study was to determine, first position in the completion of layoffs CLA/PKB, both the validity of layoffs by companies and / or trial based on the serious mistakes set out in the CLA/PKB before serious mistakes are getting the final decision of the court. The third goal is to investigate major offenses set forth in the Agreement beyond the major offenses under Article 158 of Law No.13 of 2003 if it can be used as the basis for layoffs. Writing this thesis using the method of juridical normative research, with emphasis on the use of secondary data. From the research results can be concluded that the first position of CLA/PKB under the legislation. Then, because CLA/PKB is an agreement, then apply to it the terms of the agreement legitimate under Article 1320 Civil Code are also other special conditions provided for in legislation in the field of labor. Second, serious mistake can only be used as a legal basis to do layoffs, if there has been a court decision against him that have been legally binding. Against layoffs by the company and or the Court on the basis of a major offense as set forth in the Agreement, before any court ruling which legally binding on the serious mistakes, then the layoff is not legally valid. Third, major offenses set forth in the Agreement beyond the major offenses as stipulated in article 158 of Law No. 13 Year 2003 on Labour can not serve as legal basis for termination before any court ruling against a binding judgment which ruled that the workers concerned is committing a major offense.
2012
T31754
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bibit Gunawan
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang penemuan hukum (rechtsvinding) dalam judicial review putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya hak serikat pekerja dalam satu perusahaan dalam merundingkan perjanjian kerja bersama (PKB). Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan 2 metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statuta approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) dengan desain deskriptif analitis dan analisa kualitatif serta menggunakan teknik pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer antara lain putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 dan peraturan perundangan-undangan yang relevan dengan penelitian; bahan hukum sekunder yang terdiri dari tulisan atau pendapat para ahli yang termuat di dalam buku-buku, atau hasil penelitian sebelumnya yang terkait penelitian ini; bahan hukum tersier seperti kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif. Hasil penelitian menghasilkan 3 kesimpulan. Pertama, bahwa hak berunding PKB sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 terdapat pengaturan hak berunding serikat pekerja yang menerapkan asas tunggal atau proporsional tidak terbatas (UU No.21/1954) dan opsi asas mayoritas atau proporsional tidak terbatas (UU No.13/2003) Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 menyatakan UU No.13/2003 Pasal 120 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakan Pasal 120 ayat (3) sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yang merupakan penemuan hukum dalam pengaturan hak berunding serikat pekerja yang menerapkan asas proporsional terbatas. Ketiga, dampak dari putusan a quo antara lain bahwa sebagai pasal konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maka putusan ini mengandung sifat ultra petita, negative legislature, dan inkonsistensi dalam sinkronisasi horizontal dengan undang-undang yang lain yaitu UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sehingga penemuan hukum ini perlu segera ditindaklanjuti oleh fungsi legislative review berupa revisi UU a quo dengan memperhatikan jiwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 115/PUU-VII/2009. ......This thesis discusses the rechtsvinding in a judicial review against the decision of the Constitutional Court Act No. 13/2003 on Employment, in particular the right of trade unions in the company in negotiating a collective bargaining agreement (CBA). This study is a normative legal research by using two methods of statutory approach and the conceptual approach with analytical and descriptive design and qualitative analysis using secondary data collection techniques that include primary legal materials, among others, the decision of the Constitutional Court number 115/PUUVII/ 2009 and legislation regulations relevant to the study; secondary legal material consisting of paper or expert opinions contained in the books, or the results of previous studies related to this research; tertiary legal materials such as dictionaries, encyclopedias and a cumulative index. The results of the study resulted in three conclusions. First, that the collective bargaining rights before the Constitutional Court decision No. 115/PUU-VII/2009 are setting the union bargaining rights which apply the single principle or proportional unlimited (Law No.21/1954) and the options of principle of majority or proportional unlimited (Law no. 13/2003) Secondly, the Constitutional Court Decision No. 115/PUU-VII/2009 declare Law No.13/2003 Article 120 paragraph (1) and (2) contrary to the 1945 Constitution, and declared Article 120 paragraph (3) as a conditionally constitutional which is the rechtsvinding in the regulation of union bargaining rights which apply the principle of proportional limited. Third, the impact of the decision a quo among others, that the conditionally constitutional then this decision contains the ultra petita, negative legislature, and inconsistencies in horizontal synchronization with other legislation, namely Law no. 42/2008 on General Election of President and Vice President, so this rechtsvinding needs to be followed up by legislative function in the form of a revised Act a quo with regarding the decision of the Constitutional Court No. 115/PUU-VII/2009.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Nora Sabilla
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis berupa ketenangan dalam bekerja dan berusaha, dibutuhkan pengaturan syarat kerja dalam suatu hubungan industrial di setiap perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah kesepakatan yang dicapai melalui perundingan antara serikat pekerja dengan perwakilan pengusaha mengenai hak dan kewajiban kedua pihak tersebut. Meskipun PKB merupakan bentuk pengaturan syarat kerja berlandaskan kesepakatan, jumlah perusahaan yang telah membuat PKB masih sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang menerapkan peraturan perusahaan (PP). Dikarenakan PKB yang menyangkut hubungan antara dua pihak, kehadiran pemerintah sebagai pihak ketiga yang berada di tengah dua kepentingan tersebut diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai upaya yang dilakukan oleh Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan dalam meningkatkan pembuatan PKB di Indonesia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini hubungan industrial, perjanjian kerja bersama, serikat pekerja, serta teori nilai publik dari Moore guna meninjau upaya dilakukan oleh Direktorat Persyaratan melalui aspek kapasitas operasional, dan legitimacy and support. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan upaya yang dilakukan oleh Direktorat Persyaratan Kerja guna meningkatkan pembuatan PKB diwujudkan melalui pelaksanaan program dialog sosial, bimbingan teknis, training of trainers (TOT), serta penyediaan pelayanan melalui pelayanan terpadu satu atap (PTSA). Dalam pelaksanaannya, program-program tersebut masih mengalami beberapa kendala, diantaranya serikat pekerja (SP) yang bersifat radikal, sikap denial yang ditunjukkan oleh calon peserta program, dan lemahnya sanksi yang diberikan saat terdapat perusahaan yang membuat PKB dengan kualitas lebih rendah dari undang-undang mengenai syarat kerja.
ABSTRACT
In order to create industrial peace among workers and companies, the arrangement of work requirements in industrial relations of every companies is necessary. Collective Labor Agreement (CLA) is an agreement reached by negotiations between workers union and companys delegation, which discuss both rights and duties. However, despite CLA is a form of arrangement of work requirements, the amount of the companies that have made CLA is still very far compared to the number of companies that implement company regulations. Because CLA involves both parties relation, therefore Governments presence as their third party and/or mediator is needed. This study aims to describe the efforts made by the Directorate of Work Requirements of the Ministry of Manpower in increasing the making of CLA in Indonesia. The theory used in this research are industrial relations, CLA, trade unions, and Moores public value theory to review efforts made by the Directorate of Requirements through aspects of operational capacity, and legitimacy and support. This study uses qualitative methods by collecting data through in-depth interviews and literature studies. The results of this study shows that the efforts made are realized through the implementation of a social dialogue program, technical guidance, training of trainers (TOT), and providing services through one-stop integrated services. In its implementation, these programs still experience several obstacles such as radical unions (SP), denial attitudes shown by prospective program participants, and weak sanctions given when there are companies that make the PKB with a quality lower than the law concerning work conditions.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rona Al`ulla Miftakhu Sa`adah
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kedudukan hukum formulir syarat kerja dengan klausula baku terhadap perjanjian kerja bersama serta bagaimana keabsahan formulir syarat kerja dengan klausula baku tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menekankan kepada penggunaan norma hukum secara tertulis. Lebih lanjut, alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa studi dokumen terhadap data sekunder. Adapun, metode analisis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang nantinya menghasilkan data yang bersifat deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kedudukan hukum formulir syarat kerja dengan klausula baku dikesampingkan dengan adanya ketentuan dalam perjanjian kerja bersama sebagai kaidah otonom tertinggi dalam Hukum Perburuhan, yang mengatur lebih baik dan memberikan kemanfaatan terbesar bagi pekerja/buruh serta formulir syarat kerja dengan klausula baku tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang sah dan mengikat bagi para pihak sebab bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian dan dapat dimintakan pembatalan karena memenuhi syarat pembatalan perjanjian berdasarkan adanya penyalahgunaan keadaan. Kata Kunci: Syarat kerja, klausula baku, perjanjian kerja bersama.
ABSTRACT
This thesis discusses the legal status of the working conditions forms with the standard clause of the collective bargaining agreement, as well as the legality of the working conditions forms with the standard clause itself. The law research method that used is juridical normative approach in which focuses on the using of the written law norms. Furthermore, the technique of data collection in this research is document study on secondary data. Meanwhile, the method of data analysis is the qualitative method that later affects the result in form of descriptive analytical data. The result of this research concludes that the legal status of the working conditions forms with the standard clause is ruled out by the provision of the collective bargaining agreement as the highest autonomous rule in the labor law, which regulates better and gives the greatest benefit to the worker and the working conditions forms with standard clause cannot be made as a legal and binding for the parties because it is contrary to the terms of the agreement and may be requested for cancellation as it qualifies for the cancellation of the agreement based on the existence of undue influence. Keywords Work conditions, standard clause, collective bargaining agreement.
2017
S69323
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Said Bakhri
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai tanggungjawab Direktur sebagai organ Direksi dalam Perseroan Terbatas untuk dapat melaksanakan ketentuan yang terkait dengan Keselamatan Kerja. Keterkaitan peraturan perundang-undangan dalam penerapan ketentuan keselamatan kerja yang didasari oleh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Maka pada penelitian ini tanggungjawab Direktur dapat dijadikan landasan pemikiran atas penerapan hukum untuk perlindungan keselamatan kerja bagi pekerja dalam suatu perusahaan. Pada PT. X perlindugan Ketenagakerjaan dilakukan dengan membuat Perjanjian Kerja Bersama antara PT. X dengan Federasi Serikat Pekerja PT. X Bersatu (FSPPB). Tindaklanjut dalam penerapan SMK3 maka pada PT. X dibuat mekanisme sistem yang disesuaikan dengan bidang usaha dari suatu perusahaan yaitu Sistem Manajemen Keselamatan Operasi Terpadu (SMKOT). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan dengan metode analisis bersifat kualitatif, hasil dari penelitian diolah menggunakan metode penelitian deskriptif untuk dijabarkan. Hasil penelitian menemukan bahwa tanggungjawab dan tindakan Direktur dalam pelaksanaan peraturan keselamatan kerja dan dengan adanya keterkaitan perundang-undangan yang ada tidak berdampak langsung untuk dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja, terlebih lagi untuk dapat memberikan Value (nilai) bagi perusahaan. Penelitian ini menyarankan bahwa pertanggungjawaban hukum Direktur sebagai pelaksana penerapan ketentuan keselamatan kerja dapat diatur dengan menambahkan pasal pada UUPT tentang Keselamatan Kerja dan/untuk UU Keselamatan Kerja diperlukan adanya perubahan karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada dimasa kini untuk itu diperlukan adanya sanksi tegas dan berat berupa pencabutan izin usaha, denda maupun kurungan bagi perusahaan yang melanggar ketentuan keselamatan kerja. ......This thesis discusses the responsibilities of the Chief Excutive as an organ of the Board of Executives of Limited Liability Companies in implementing the provisions related to Safety. Given the interconnected regulations regarding safety provisions based on Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies (Company Law), Law No. 1 of 1970 on Occupational Safety, Law No. 13 of 2003 on Manpower and Minister of Manpower Regulation No. Per.05/MEN/1996 of Occupational Safety and Health Management System (SMK3). In this research, the responsibility of the Chief Executive can be used as rationale for the application of laws protecting workplace safety for workers in a company. At Limited Liability Company X, Worker Safety is ensured by through the Labor Agreement between Limited Liability Company X with the Federation of Trade Unions Limited Liability Company X (FSPPB). The resulting application of Occupational Safety and Health Management System in Limited Liability Company X is the creation of systemic mechanisms that are tailored certain business sectors of a company, which called the Integrated Safety Management System Operation (SMKOT). The type of research used in this research is normative legal research or library based research method with qualitative analysis. The results of the study is laid down using descriptive research method. From the results of this research it is found that the responsibilities and actions of the Chief Executive in the implementation of safety regulations and with the interconnection of existing legislation neither directly impacts the improvement of workers' welfare, nor does it adds Value for the company. This study suggests that the legal liability provisions of the Chief Executive as the implementer of workplace safety can be accommodated by adding a chapter on Company Law on Occupational Safety and Safety at Work Act. Such addition is necessary for the law is no longer relevant to recent developments and the situation necessitates for the inclusion of severe and strict punishment as well as revocation of business licenses, fines or imprisonment for companies that violate workplace safety.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S150
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>