Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Tulisan ini berisi tentang tari bedhaya semang yang dimiliki oleh Keraton Kasultanan. Yogyakarta. Tari bedhaya semang adalah sebuah komposisi tari putri yang ditarikan oleh sembilan orang penari...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Wijanarko
"Close information system becomes a barrier for people to access information about the Keraton Yogyakarta. In this open and digital era, the Tepas Tandha Yekti (a division in the system of the Keraton administration) led by GKR Hayu has made the cultural information about the Keraton open. This paper is a report about how the Keraton of Yogyakarta has brought its cultural information via an open information system through digital media Facebook. This report also presents online responses on the presence of the Faeebook account of the Keraton Yogyakarta in 2016."
Yogyakarta: BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA D.I. YOGYAKARTA, 2017
400 JANTRA 12:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Dimas Adityo
"Kompleks Keraton Yogyakarta, adalah merupakan salah satu dari data arkeologi dari masa Kerajaan Islam yang keadaannya relatif masih utuh sampai dengan saat ini. Seper_ti halnya Keraton-keraton lainnya yang juga peninggalan dari masa Kerajaan Islam, sejarah pendiriannya juga tak lepas dari pengaruh pemerintahan kolonial, dalam hal ini adalah Belanda. Pengaruh tersebut adalah akibat dari adanya teka_nan-tekanan politik Pemerintah kolonial terhadap Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, seperti halnya yang terjadi pada Kasultanan Yogyakarta. Menurut sumber sejarah yang cukup representatif sebagai sumber sejarah asli Keraton Yogyakarta yaitu Babad Ngayogyakarta, telah menunjukkan adanya suatu pengaruh kehidupan pemerintahan kolonial Belanda, di dalam kehidupan sosial maupun seni-budaya Keraton Yogyakarta. Masuknya budaya barat seperti pesta-pesta, minum-minuman keras dan hiburan musik-musik barat, adalah sudah merupakan bagian dari suatu upacara protokoler penyambutan tamu-tamu barat dari pihak Pemerintah Kolonial Belanda yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Hal tersebut, menurut Babad Ngayogya_karta terutama ditunjukkan pada masa pemerintahan Sultan HamengkuBuwono ke-V sampai dengan pemerintahan Sultan Ha_mengkuBuwono ke-VIII. Akibat adanya tekanan politik pemerin_tah kolonial terhadap Kasultanan Yogyakarta tersebut, menga_kibatkan Kasultanan Yogyakarta harus selalu menjaga hubungan baik dengan pihak Belanda. Oleh sebab itu, penyelenggaraan suatu upacara protokoler dalam setiap menjamu tamu-tamu Belanda di Keraton Yogyakarta pada saat itu merupakan kebu_tuhan. Kebutuhan-kebutuhan untuk terselenggaranya suatu upacara protokoler tidak hanya dalam penyediaan pesta dan hiburan-hiburan bergaya barat raja, tetapi juga diperlu_kannya beberapa bangunan untuk melengkapi jalannya upacara protokoler tersebut. Bangunan-bangunan tersebut, antara lain Bangsal Marais untuk tempat perjamuan makan dan minum, Ged_hong Gangsa untuk tempat memainkan Gamelan, Gedhong sarang_baya untuk tempat menyediakan minum-minuman keras, Gedhoug Patehan untuk tempat membuat minuman teh, Bangsal Kothak untuk tempat wayang orang, dan Bangsal Mandalasana sebagai tempat pertunjukan musik-musik barat. Bangunan-bangunan tersebut didirikan untuk melengkapi bangunan inti atau utama dalam suatu jalannya upacara protokoler, yaitu bangunan Bangsal Kencana sebagai Singgasana Sultan dan tempat duduk para tamu. Bangunan keperluan upacara protokoler tersebut sebagian besar dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ha_mengkuBuwono ke-VIII, dan hanya beberapa yang sudah ada sejak masa sebelumnya. Bangunan yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan HB-VIII tersebut, diantaranya adalah Bangsal Mandalasana, sebagai bangunan untuk tempat pertunju_kan musik-musik barat di Keraton Yogyakarta. Bangunan Bang-sal Mandalasana ini memiliki beberapa kekhususan dan keisti_mewaan, karena bentuknya yang bukan merupakan bentuk bangu_nan tradisional Jawa, dan ornamen utamanya yang bergambar alat-alat musik barat yang menunjukkan fungsinya sebagai tempat pertunjukan musik barat. Hal-hal mengenai arsitektur, ragam hias, dan terutama fungsi serta kaitannya terhadap aspek-aspek politik, dan sosial-budaya Keraton Yogyakarta inilah yang akan dibahas dalam suatu hasil penelitian dalam karya tulis ini."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S11562
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Athoillah
"Kehadiran orang orang Arab di Jawa dalam beberapa kajian disebutkan mulai terlihat pada abad XVIII sampai awal abad XIX. Sejak berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1755, beberapa orang Arab dari kalangan sayid Hadrami telah menjadi bagian dari keluarga Sultan Yogyakarta sebagai bukti hadirnya peran mereka di Keraton Yogyakarta pada abad XIX. Kajian ini membahas tentang proses dan bentuk patronase politik yang terjadi di antara kalangan Arab dengan keluarga bangsawan Jawa di Keraton Yogyakarta, khususnya pada paruh pertama abad ke 19. Ditemukan beberapa hal penting bahwa pertukaran jasa dan aliansi pernikahan antara para sayid dengan putri bangsawan Yogyakarta telah menempatkan posisi sayid sebagai elit politik dan kuatnya legitimasi keagamaan pada bangsawan Keraton Yogyakarta. Selain itu, juga ditemukan beberapa kasus bahwa para kalangan Arab juga membangun patronase politik yang justru menjadi lawan bagi Keraton Yogyakarta."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2019
959 PATRA 20:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990
394.4 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Wikan Tyasning
"ABSTRAK
Tandu yang merupakan alat transportasi jarak dekat, ternyata banyak dipakai oleh pihak kraton sebagai alat kelengkapan upacara. Kraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai dua kraton inti pecahan Mataram memiliki tandu yang sebagian masih tetap digunakan. Jumlah keseluruhan tandu adalah 132 buah, dengan perincian 96 buah di Surakarta dan 36 buah di Yogyakarta. Tandu-tandu tersebut memiliki bentuk dan hiasan yang beragam. Berdasarkan pengamatan tadi, maka ingin diketahui keaneka ragaman bentuk tandu di setiap kraton dan juga apakah bentuk tandu dengan hiasan tertentu menunjukkan kegunaan yang tertentu.
Setelah melalui tahapan-tahapan penelitian yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data maka diperoleh hasil bahwa di Surakarta dan Yogyakarta terdapat tiga tipe bentuk tandu yaitu tipe I (kotak wadah tanpa tutup), tipe II (kursi) dan tipe III (rumah) dengan sub tipe dan varian yang berbeda di masing-_masing kraton.
Tandu tipe I dengan ragam hias tidak raya dipakai untuk kegiatan upacara. Kemudian tandu tipe II dengan ragam hias tidak raya dipakai untuk kegiatan harian. Hal ini berlaku untuk setiap kraton. Tandu tipe III beragam hias tidak raya di Surakarta dipakai untuk kegiatan upacara dan harian, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan upacara dan pesta. Tandu tipe III beragam hias raya di Surakarta dipakai untuk upacara dan pesta, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan pesta raja.
Terjadi pengulangan pemakaian suatu jenis tandu untuk kegiatan yang berbeda dalam kraton disebabkan banyak tandu yang rusak dan dengan maksud pemanfaatan tandu yang sudah ada. Pada masa sekarang, tandu tidak dibuat lagi karena alasan ekonomi dan banyak detail kegiatan kraton yang dikurangi untuk penyesuaian diri dengan perkembangan zaman.
Berubahnya kegunaan tandu dari tujuan awal pembuatan yaitu sebagai alat transpor, dengan kegunaannya pada masa sekarang (penggunaan sekunder) yaitu sebagai pusaka, disebabkan sejarah pemakaian tandu tersebut.
Jumlah tandu di Surakarta yang lebih banyak dari tandu Yogyakarta tidak menunjukkan posisi yang lebih penting dari kraton yang lain. Kondisi politik dan keamanan yang relatif stabil di Surakarta menjadikan para pembuat tandu lebih santai dalam berkreasi. Posisi dan kedudukan kedua kraton yaitu Surakarta dan Yogyakarta sejajar karena dalam Perjanjian Gianti dinyatakan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan dalam memerintah wilayah-wilayah kekuasaannya dan masing-masing kraton memiliki dan mengatur wilayahnya sendiri-sendiri. Hampir tidak ada komunikasi antar kedua kraton. Sehingga tidak mengherankan apabila bentuk dan hiasan tandu berbeda pada setiap kraton. Persamaan-persamaan yang muncul diperkirakan karena kedua kraton berasal dari akar budaya yang sama yaitu budaya Jawa dan akar sejarah yang sama yaitu kerajaan Mataram. dipakai untuk kegiatan upacara dan pesta. Tandu tipe III beragam hias raya di Surakarta dipakai untuk upacara dan pesta, sedangkan di Yogyakarta dipakai untuk kegiatan pesta saja. Terjadi pengulangan pemakaian suatu jenis tandu untuk kegiatan yang berbeda dalam kraton disebabkan banyak tandu yang rusak dan dengan maksud pemanfaatan tandu yang sudah ada. Pada masa sekarang, tandu tidak dibuat lagi karena alasan ekonomi dan banyak detail kegiatan kraton yang dikurangi untuk penyesuaian diri dengan perkembangan zaman. Berubahnya kegunaan tandu dari tujuan awal pembuatan yaitu sebagai alat transpor, dengan kegunaannya pada masa sekarang (penggunaan sekunder) yaitu sebagai pusaka, disebabkan sejarah pemakaian tandu tersebut. Jumlah tandu di Surakarta yang lebih banyak dan tandu Yogyakarta tidak menunjukkan posisi yang lebih penting dari kraton yang lain. Kondisi politik dan keamanan yang relatif stabil di Surakarta menjadikan para pembuat tandu lebih santai dalam berkreasi. Posisi dan kedudukan kedua kraton yaitu Surakarta dan Yogyakarta sejajar karena dalam Perjanjian Gianti dinyatakan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan dalam memerintah wilayah-wilayah kekuasaannya dan masing-masing kraton memiliki dan mengatur wilayahnya sendiri-sendiri. Hampir tidak ada komunikasi antar kedua kraton. Sehingga tidak mengherankan apabila bentuk dan hiasan tandu berbeda pada setiap kraton. Persamaan-persamaan yang muncul diperkirakan karena kedua kraton berasal dari akar budaya yang sama yaitu budaya Jawa dan akar sejarah yang sama yaitu kerajaan Mataram.

"
2001
S11607
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esti Utami
"Pada bangunan-bangunan kuna yang mempunyai halaman serta pager berlapis-lapis biasanya akan ditemukan gapura atau pintu gerbang yang berfungsi sebagai pintu masuk maupun pintu penghubung antar halamannya. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya memakai gapura candi bentar sebagai pintu gerbang pertama kemudian untuk rnemaauki_ halaman kedua dan seterusnya digunakan gapura bentuk paduraksa. Penelitian gapura-gapura yang terdapat pada kompleks bangunan kraton Yogyakarta bertujuan untuk rnengetahui adanya hubungan antara bentuk gapura dengan bangunan_bangunan di sekitarnya, bagaimana bentuk hubungan tersebut serta untuk mengetahui hubungan antara bentuk gapura dengan keletakannya di dalam kompleks kraton. Adapun metode penelitian yang digunakan meliputi tahap pengumpulan data, pengolahan data dan tahap eksplanasi. Pertama-tama, dilakukan pengumpulan data kepustakaan kemudian ke-16 gapura kraton dicatat, diukur dan dipotret. Pada tahap pengalahan data dilakukan pemilahan-pemilahan bentuk serta ragam hias gapura kemudian dicari hubungan antara gapura dengan bangunan di sekitarnya. Pada tahap eksplanasi diadakan tinjauan bentuk, keletakan dan tinjauan kronologi gapura kraton. Hubungan antara gapura dengan bangunan-bangunan di sekitarnya terlihat pada persamaan penggunaan nama, bentuk asap tradisional rumah Jawa, ragam hias serta adanya penyelarasan bentuk serta ukuran antara gapura dengan pagar dan bangunan di dalamnya. Penerusan tradisi seni bangunan Hindu pada gapura-_gapura kompleks kraton Yogyakarta ternyata hanya terlihat pada bentuk gapuranya saja, yaitu dengan dikenalnya gapura candi bentar dan gapura paduraksa. Sedangkan pengaruh tradisi tentang bentuk dan ketetakan sudah tidak terlihat lagi karena gapura A dan gapura M yang merupakan pintu masuk pertama dari arah utara dan selatan memiliki bentuk paduraksa. Tata letak gapura tersebut mungkin terjadi akibat dari perkembangan jaman"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11849
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aniesa N. Rachmadi
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Novia Sapphira
"Perkembangan teknologi digital membawa dampak yang signifikan terhadap pola kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan daya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap seni. Lahirnya beragam alternatif seni, seperti seni populer dan seni industri kreatif, menggeser minat masyarakat yang mulanya mencintai dan menghargai kesenian tradisional menjadi lebih cenderung tertarik dengan alternatif seni yang kontemporer. Tesis ini, membahas praktik-praktik resiliensi dalam upaya pelestarian kesenian wayang kulit di tengah disrupsi digital. Informan dalam penelitian tesis ini, meliputi: Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, para dalang, seniman, budayawan, maupun masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam komunitas pecinta kesenian wayang kulit. Data diperoleh menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam, dan pengamatan. Tujuan penelitian ini ingin menjelaskan fenomena transformasi kebudayaan yang dapat ditemukan dalam perkembangan kesenian wayang kulit di Daerah Istimewa Yogyakarta. Disrupsi di era digital, menyebabkan pertunjukan wayang kulit pun masuk ke dalam ruang pertunjukan yang non konvensional. Praktik digitalisasi pada dasarnya menawarkan keterbukaan informasi serta mengaburkan segala bentuk batas ruang dan waktu. 

The development of digital technology has had a significant impact on the pattern of human life, especially those related to the Indonesian people's appreciation of art. The birth of various alternative arts, such as popular art and creative industrial art, has shifted the interest of people who initially loved and appreciated traditional art to become more interested in alternative contemporary art. This thesis discusses resilience practices in the effort to preserve shadow puppetry in the midst of digital disruption. Informants in this thesis research include: Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, puppeteers, artists, cultural experts, and and the people of Yogyakarta who are members of the community of shadow puppet art lovers. Data were obtained using a qualitative approach through in-depth interviews and observations. This research aims to explain the phenomenon of cultural transformation that can be found in the development of shadow puppetry in the Special Region of Yogyakarta. Disruption in the digital era has caused shadow puppet shows to enter non-conventional performance spaces. The practice of digitalization basically offers information openness and blurs all forms of space and time boundaries. At the end of the conclusion of this thesis, there is something that needs to be emphasized, namely the reality that something traditional is not the enemy of modernization in the digital era."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>