Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Qonita Salsa Fairuz
"Artikel ini merupakan penelitian Film Frantz (2016) karya François Ozon dengan menganalisis representasi hubungan Jerman-Prancis di dalam film yang ditunjukkan melalui tokoh-tokoh. Penelitian ini menarik untuk di teliti karena adanya hubungan tidak langsung yang terlihat melalui tokoh yang bisa merepresentasikan Jerman dan Prancis. Film ini menceritakan kedatangan Adrien sebagai orang Prancis ke Jerman untuk menghilangkan penyesalannya setelah membunuh Frantz Hoffmeister, orang Jerman, dengan mendekatkan dirinya kepada keluarga Hoffmeister dan Anna, yang berakhir dengan tidak baik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mengkaji film sebagai sebuah teks untuk menguraikan struktur naratif dan sinematografis menggunakan teori film Boggs dan Petrie. Analisis struktur film diperdalam dengan pemaknaan menggunakan teori Roland Barthes. Untuk menjelaskan hubungan Jerman dan Prancis digunakan teori Representasi dari Stuart Hall. Analisis ini menunjukkan bahwa hubungan Jerman dan Prancis di perlihatkan tidak akan pernah menjadi baik dan perdamaian di antara mereka hanyalah sebuah utopia.

This article is a research on François Ozon's Film Frantz (2016) by analyzing the representation of German-French relations in the film as shown through the characters. This research is interesting to examine because there is an indirect relationship that can be seen through the figures that can represent Germany and France. This film tells of Adrien's arrival as a Frenchman to Germany to get rid of his regrets after killing Frantz Hoffmeister, a German, by getting closer to the Hoffmeister families and Anna, which ends badly. The method used in this research is a qualitative method by examining film as a text to describe narrative and cinematographic structures using Boggs and Petrie's film theory. The analysis of the film structure is deepened with meaning using Roland Barthes' theory. To explain the relationship between Germany and France, Stuart Hall's Representation theory is used. This research shows that the relationship between Germany and France is shown to never be good and peace between them is just an utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Salsabila
"Secara umum, psikoanalisis memegang peranan penting dalam pengkajian film karena komposisi narasi dan tokoh dalam sebuah film tidak dapat terlepas dari aspek psikologis. Maka dari itu, psikoanalisis menjadi salah satu cara untuk memahami lebih dalam kompleksitas dari kepribadian tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam film. Hal ini dapat ditemukan dalam film C’est pas moi, je le jure ! (2008) karya Philippe Falardeau yang menggambarkan bagaimana lingkungan keluarga dapat memengaruhi kepribadian anak, khususnya melalui tokoh utamanya, Leon Dore. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh dari id, ego, dan superego, serta kaitannya dengan prinsip kenikmatan dan prinsip kematian terhadap kebebasan bertindak tokoh Leon sebagaimana ditunjukkan dalam film. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif yang berlandaskan studi kajian sinema menurut Joseph M. Boggs dan Dennis W. Petrie (2018), didukung dengan kerangka teori psikoanalisis Sigmund Freud, yaitu struktur kepribadian (2018) serta dorongan Eros dan Thanatos (2014). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebebasan bertindak Leon dapat dimaknai sebagai ketidakseimbangan ego akibat adanya pertentangan antara id dan tekanan superego dari struktur kepribadiannya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Selain itu, kebebasan bertindak yang juga berakar dari prinsip kenikmatan dan prinsip kematian menjadi cara bagi Leon untuk menyalurkan dorongan id yang mendominasi kepribadiannya.

In general, psychoanalysis takes a significant role in film studies because the composition of narrative and characters in a film cannot be separated from psychological aspects. Therefore, psychoanalysis is a way to understand more deeply the complexities of characters’ personalities presented in films. This can be found in the film C’est pas moi, je le jure ! (2008) by Philippe Falardeau which describes how family environment can influence a child's personality, especially through its main character, Leon Dore. This research aims to reveal the influence of the id, ego, and superego, and their relation to the pleasure principle and the death principle on Leon's freedom of action as shown in the film. The method used in this research is qualitative methodology based on film studies according to Joseph M. Boggs and Dennis W. Petrie (2018), supported by Sigmund Freud's psychoanalytic theoretical framework, which consists of the personality structure (2018) and the drive theory of Eros and Thanatos (2014). The results of this study indicate that Leon's freedom of action can be interpreted as an imbalanced ego due to the conflict between the id and the superego from his personality structure that was strongly influenced by his family environment. In addition, freedom of action, which is also rooted in the pleasure principle and the death principle, is a way for Leon to channel the drives of the id that dominate his personality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Amelinda Dewi Priatna
"Permasalahan kondisi masyarakat sebagai potret sosial bukan lagi hal yang asing untuk diangkat dalam bentuk film. Gambaran banlieue sebagai aspek yang berkaitan dengan isu sosial di Prancis sudah menjadi potret sosial, seperti permasalahan yang terjadi di kelompok imigran. Pada perkembangannya, film Prancis banyak mengambil isu-isu mengenai imigran, terutama imigran kulit hitam. Film Banlieusards: Street Flow (2019) karya Leïla Sy dan Kery James mengisahkan tiga bersaudara dari Senegal yang tinggal di banlieue wilayah Paris dengan konflik dan permasalahan rasial yang terjadi di dalamnya. Berdasarkan paparan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan usaha tokoh melawan stigma dan bentuk tindakan rasisme imigran kulit hitam yang dihadirkan dalam film. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan struktur naratif dan sinematografis Boggs dan Pettrie untuk kajian film, teori interaksi simbolik George Herbert Mead untuk menganalisis konsep rasisme, serta teori stigmatisasi Erving Goffman untuk menganalisis konsep stigma pada film. Hasil dari analisis, ditemukan bahwa rasisme dan stigma negatif terhadap tokoh Soulaymaan, Demba, dan Noumouké dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang status dan kedudukan yang bisa mengarah pada tindakan diskriminasi. Stigma negatif dan tindakan rasisme yang Soulaymaan, Demba, dan Noumouké dapatkan sebagai imigran kulit hitam pada film Banlieusards dapat didobrak dan dibantah dengan prestasi tanpa harus mengubah budaya asli asalnya dan tradisi.

The issue of the condition of society as a social portrait is no longer a strange thing to be raised in the form of a film. The image of banlieue as an aspect related to social issues in France has become a social portrait, such as the problems that occur in immigrant groups. In its development, many French films took issues about immigrants, especially black immigrants. The film Banlieusards: Street Flow (2019) by Leïla Sy and Kery James tells the story of three brothers from Senegal who live in the banlieue area of ​​Paris with conflicts and racial problems that occur in them. Based on this explanation, this study aims to show the character's efforts to fight the stigma and forms of racism of black immigrants that are presented in the film. This study uses a qualitative method by using Boggs and Pettrie's narrative and cinematographic structure for film studies, George Herbert Mead's symbolic interaction theory to analyze the concept of racism, and Erving Goffman's stigmatization theory to analyze the concept of stigma in films. The results of the analysis, it was found that racism and negative stigma against the characters Soulaymaan, Demba, and Noumouké can be done by anyone regardless of status and position which can lead to acts of discrimination. The negative stigma and acts of racism that Soulaymaan, Demba, and Noumouké get as black immigrants in the film Banlieusards can be broken and refuted with achievements without having to change their native culture and traditions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Nur Syahputri
"Salah satu periode sinema yang mengutamakan isu sosial di Prancis adalah sinema Prancis kontemporer. Dalam periode ini, segala aspek yang mendukung perfilman di negara tersebut sudah berkembang ke arah yang lebih modern dan menarik perhatian banyak masyarakat. Salah satu filmnya adalah Entre Les Murs, sebuah film karya Laurent Cantet yang menceritakan kehidupan sehari-hari sebuah sekolah di banlieue Prancis. Dalam film ini, diperlihatkan bahwa muridnya terdiri dari berbagai macam ras yang memiliki permasalahannya masing-masing. Melalui permasalahan antarras di sekolah banlieue, film ini menunjukkan konflik sosial yang terjadi di Prancis. Penelitian ini membahas tentang kehadiran citra dan prasangka tokoh Souleymane yang memunculkan stereotip rasnya, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan bagaimana citra dan prasangka terhadap suatu individu atau kelompok dapat melahirkan sebuah konflik pada praktiknya. Penelitian ini menggunakan dua teori, yakni teori sinema (2008) oleh Dennis W. Petrie dan Joseph M. Boggs dan teori prasangka (2018) oleh Alo Liliweri untuk membantu analisis strategi naratif film Entre Les Murs dan pembentukan stereotip ras kulit hitam melalui citra dan prasangka terhadap tokoh Souleymane. Hasil dari penelitian ini adalah sikap dan citra negatif tokoh Souleymane memunculkan berbagai perspektif dan prasangka yang berujung pada pembentukan stereotip terhadap kelompok rasnya.

One of the periods of cinema that prioritized social issues in France is contemporary French cinema. In this period, all aspects that support film in this country have developed in a more modern way and attracted the attention of many people. One of the films is Entre Les Murs, a film by Laurent Cantet that tells about the daily life of a school in banlieue France. In this film, it is shown that the students consist of various races who have their own problems. Through interracial problems at the banlieue school, this film shows the social conflicts that occur in France. This study discusses the presence of images and prejudices of the Souleymane character which give rise to his racial stereotypes, so the purpose of this research is to show how images and prejudices against an individual or group can create a conflict in practice. This study uses two theories, namely the theory of cinema (2008) by Dennis W. Petrie and Joseph M. Boggs and the theory of prejudice (2018) by Alo Liliweri to help analyze the narrative strategy of the film Entre Les Murs and the formation of stereotypes of the black race through imagery and prejudice against the character of Souleymane. The result of this study is that a character of Souleymane’s negative attitude and image can create various prejudices and lead to the formation of stereotypes against his racial group."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Deanita Adharani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan dari film Kaguya Hime no Monogatari yang diadaptasi dari cerita rakyat Taketori Monogatari. Sebagaimana yang dipaparkan Linda Hutcheon dalam teorinya mengenai adaptasi, tidak ada karya adaptasi yang dibuat sama persis dengan karya yang menjadi rujukan adaptasinya. Penelitian ini menggunakan metode Feminist Reading dan kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian, ditemukan dua perbedaan besar antara cerita rakyat dan film. Poin pertama adalah relasi tokoh kakek dan kaisar yang menggambarkan relasi kuasa patriarki terhadap tokoh Kaguya Hime. Relasi kuasa pada cerita rakyat digambarkan dengan baik-baik saja, sementara di dalam film, relasi kuasa digambarkan sebagai antagonis terhadap tokoh utama. Poin kedua adalah penggambaran tokoh Kaguya Hime di dalam cerita. Tokoh Kaguya Hime diceritakan dengan berafiliasi pada kecantikan penampilannya dalam versi cerita rakyat, sementara di dalam film, ia diafiliasikan dengan kebebasan dalam berekspresi. Kedua perbedaan tersebut mengerucut ke dalam sebuah gagasan bahwa dalam cerita rakyat, sistem patriarki seolah terlihat baik-baik saja sementara di dalam film, sistem patriarki adalah sesuatu yang bermasalah. Berangkat dari gagasan ini, apabila karya adaptasi dikaitkan dengan keadaan sosial masyarakat Jepang pada saat film ini diproduksi, yaitu tahun 2010an, film ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah refleksi keadaan masyarakat patriarki di Jepang yang didominasi oleh laki-laki dan mendiskriminasi perempuan dalam berbagai institusi.

ABSTRACT
This research is meant to seek for infidelity of Kaguya Hime no Monogatari film adaptation owards the folktale of Taketori Monogatari. As Linda Hutcheon explained in her theory of adaptation, that there is no adaptation work that is made exactly as the reference work. This research uses feminist reading approach with qualitative descriptive method. The difference lies in two big points, first, the relationship between the figure of grandfather and emperor who describes the patriarchal power relation to the character of Kaguya Hime. This patriarchal power are shown as something proper and common in the folktale version, meanwhile, in the film version, the patriarchal power are shown as the antagonist of the main character. The second point is the portrayal of Kaguya Hime's character in the story. Kaguya Hime in the folktale version is affiliated with beauty and beautiful appearance, meanwhile, in the film version, she is affiliated with freedom and expression. Based on this finding, it can be simplified that, patriarchy in the folktale version is shown as if nothing was wrong, while in the film, it is shown as a problem. Departing from this findings, the film can be interpretedas a reflection of patriarchal hegemony in Japan that dominated by males and discriminates females in many institution."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etik Wahyuningtyas
"ABSTRAK
Homoseksualitas merupakan sebuah isu yang belakangan ini masih dianggap tabu
oleh sebagian besar masyarakat dunia. Meskipun demikian, homoseksualitas kini
menjadi sebuah hal yang menarik dalam studi literatur, khususnya perjuangan
kaum homoseksual dalam mencari persamaan hak di masyarakat. Skripsi ini
menganalisa film Milk (2008), disutradarai oleh Gus Van Sant, dengan
menggunakan teori representasi serta mise en scène untuk melihat tokoh Harvey
Milk. Kedua pendekatan tersebut digunakan untuk membuktikan bahwa sosok
Harvey Milk merupakan sebuah representasi perjuangan kaum homoseksual di
ranah publik. Konflik yang ada menunjukkan sikap publik Amerika terhadap
homoseksualitas pada 1970-an. Hasil penelitian ini menunjukkan Harvey Milk
sebagai seorang homoseksual tidak konvensional yang tidak malu menunjukkan
identitasnya. Harvey Milk juga menghadapi beberapa tahapan perubahan
penampilan sebagai sebuah strategi dan negosiasi dengan masyarakat
heteroseksual yang mendominasi.

ABSTRACT
Homosexuality is an issue that a majority of people in the world consider as a
taboo. Nevertheless, homosexuality continues to become an interesting topic in
literary studies, particularly the struggle of homosexuals to earn their equality in
the public realm. This thesis analyzes the movie Milk (2008), directed by Gus Van
Sant by applying representation theory and mise en scène of the movie to look at
the character Harvey Milk. Both approaches are used to prove that the character
Harvey Milk is a representation of the homosexual's struggle in the public sphere.
His conflict shows the American public attitude towards homosexuality in the
1970s. This result of the research indicates Harvey Milk as a unconventional
homosexual who was not ashamed to show his identity. Harvey Milk also faced
some stages of changing his appearance as a strategy and negotiation with the
dominating heterosexual society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S1903
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkia Maula Azzari
"Prancis memiliki angka populasi imigran yang besar di antara negara-negara Eropa dan banyaknya imigran di Prancis berpotensi menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah integrasi. Dalam menghindari munculnya konflik ini, Prancis menuntut para imigrannya untuk berintegrasi sebagai masyarakat Prancis semaksimal mungkin. Akan tetapi, tuntutan ini seakan-akan membatasi para imigran dalam mengekspresikan identitas budaya negara asal mereka. Benturan budaya juga sering menjadi sebab permasalahan integrasi di Prancis. Tidak jarang mereka berperilaku seperti stereotip kelompok mereka yang sering dikaitkan dengan kriminalitas. Sebagai respon, sebagian masyarakat lain memperlakukan mereka dengan rasis. Ironisnya, mereka dianggap sebagai sebuah ancaman bagi ketertiban lingkungan, tetapi rasisme sendiri pun merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi mereka. Ancaman dari tindakan yang sudah menjadi sebuah habitus ini dapat dilihat dalam film Les Misérables. Ditemukan bahwa salah satu tokoh polisi hitam, Gwada, menghadapi rasisme yang terinternalisasi sebagai bentuk habitus yang ada di departement Seine-Saint-Denis. Metode yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah dengan menggunakan kajian film Boggs dan Petrie (2008), teori mengenai habitus milik Bourdieu (1994) yang digunakan untuk menganalisis bagaimana rasisme dapat terinternalisasi dalam diri tokoh, dan konsep rasisme terinternalisasi milik Pyke (2010). Hasil analisis menemukan bahwa institusi kepolisian memiliki peran besar dalam membentuk dan mempertahankan habitus yang sudah ada di lingkungan masyarakat. Ditemukan juga bagaimana institusi tersebut mempengaruhi tokoh lain untuk memiliki rasisme yang terinternalisasi dalam dirinya.

France has the biggest population of immigrants among European countries and the bigger the numbers, the bigger the chances of creating integration issues. As an effort to avoid conflicts, France demands their immigrants to fully integrate as French citizens as much as they possibly can. However, this demand limits immigrants in expressing the cultures that come from their homeland. Cultures clashing often becomes the reason that they’re having problems integrating. It is also not rare to find them behaving like their group’s stereotypes that are often associated with criminality. As a response, immigrants would be treated in a racist way by some people. Ironically, they would also be treated as a threat to society, but racism itself is a threat to their existence. The threat of this action that has become a habitus can be seen in the film Les Misérables (2019). It is found that one of the policemen, Gwada who is a black man, is facing internalized racism as a form of habitus that can be found in Seine-Saint-Denis. In this article, Boggs and Petrie’s (2008) film theory, Bourdieu’s (1994) habitus theory, and the Pyke’s (2010) concept of internalized racism were used to help with analyzing how racism can be internalized in one of the characters. As a result of the analysis, it is found that the police institution has a big role in creating and maintaining a habitus in society. It is also found how that institution can influence other characters into having internalized racism in himself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Amelia
"Pada masa Perang Dunia II, Prancis menjadi salah satu negara yang diduduki oleh Jerman. Saat itu, Nazi mengharuskan keberadaan seluruh Yahudi di Prancis dihapuskan. Dari pengalaman ini, sinema Prancis pasca Perang Dunia II banyak dihiasi oleh kisah-kisah perang dunia dengan sentuhan bentuk dokumenter, ataupun dalam bentuk lain yang banyak mengangkat Yahudi di dalamnya. Salah satunya adalah film Au Revoir Les Enfants (1987) karya Louis Malle, yang di dalamnya banyak memasukkan kisah pengalaman hidupnya. Film semi-otobiografi ini menggambarkan kehidupan anak Yahudi bernama Jean Bonnet yang harus menyamar sebagai siswa Katolik Prancis di sebuah sekolah asrama pada masa pendudukan Jerman. Hal ini diakibatkan adanya sentimen terhadap Yahudi yang terus berkembang di lingkungan masyarakat Prancis. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana stigmatisasi yang dimunculkan pada masyarakat Prancis terhadap Yahudi di masa Perang Dunia II. Dengan metode kualitatif, akan digunakan pembedahan unsur dramatik dan sinematografis film, teori stigmatisasi menurut Erving Goffman (2009), dan konsep diskriminasi menurut Larry Willmore (2001). Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat Prancis kerap melakukan stigmatisasi kesukuan terhadap suku bangsa Yahudi secara keseluruhan, yang juga melahirkan adanya tindakan diskriminasi. Tindakan ini dilakukan dalam lingkup institusi sekolah dan gereja Katolik. Dominasi kelompok yang menolak keberadaan Yahudi tanpa adanya tekanan dari penguasa menunjukkan bagaimana posisi Yahudi dan bagaimana penggambaran individu masyarakat Prancis kala itu.

During World War II, France became one of the countries that were occupied by Germany. At that time, the Nazis required the existence of Jews in France to be abolished. This affects the French cinema industry where they offer many world war stories, including documentary films or others about Jews. One of them is Au Revoir Les Enfants (1987) by Louis Malle, which tells the story of his life experiences. This semi-autobiographical film shows the life of a Jewish boy named Jean Bonnet who had to disguise his identity as a French Catholic student at a boarding school due to the growing sentiment against Jews in French society during the German occupation. This research aims to show the stigmatization of Jews in French society during World War II using a qualitative method. Moreover, this research dissected the dramatic and cinematographic elements and also used two theories: the stigmatization theory from Erving Goffman (2009), and the concept of discrimination from Larry Willmore (2001). As a result, the analysis shows that French society often stigmatized the Jews tribally which also caused acts of discrimination. Furthermore, the discrimination happened in the Catholic church and educational institution environment. The dominance of groups that reject the existence of Jews without any pressure from the authorities shows the position of Jews and how individual image of French society at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Halimatussadiyah
"Sejak tahun 1950-an, situasi permasalahan mengenai gender di Prancis mengalami transformasi yang sejalan dengan munculnya gerakan sinema Nouvelle Vague. Selain membawa pengaruh radikal terhadap industri sinema, Nouvelle Vaguejuga memproduksi film-film yang sarat akan isu-isu sosial, termasuk situasi perempuan yang dianggap sebagai objek, salah satunya dalam film Les Bonnes Femmes (1960) karya Claude Chabrol. Film ini mengisahkan pengalaman perempuan melalui perspektif empat tokoh perempuan yang intrik dengan perilaku dan persoalan hidup masing-masing dengan tujuan yang sama, yaitu memiliki sosok laki-laki dan mengharapkan cinta sejati. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan konstruksi perempuan dalam film tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui konsep kajian sinema oleh Joseph M. Boggs dan Dennis W. Petrie (2018) yang didukung dengan teori identitas oleh Kathryn Woodward (2005) dan gagasan feminisme eksistensial oleh Simone de Beauvoir (1949). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film tersebut mengonstruksi eksistensi perempuan sebagai sosok yang membutuhkan pengakuan melalui cinta dan narsisme.

Since the 1950s, the situation of gender issues in France has been transformed in line with the emergence of the Nouvelle Vague cinema movement. In addition to bringing radical influence to the cinema industry, Nouvelle Vague also produced films that are full of social issues, including the situation of women who are perceived as objects, one of which is in the film Les Bonnes Femmes (1960) by Claude Chabrol. This film tells the story of women's experiences through the perspectives of four female characters who are intrigued by their respective behavior and life problems with the same purpose of having a male figure and expecting true love. Based on this background, this research aims to show the construction of women in the film. This research uses a qualitative method through the concept of cinema studies by Joseph M. Boggs and Dennis W. Petrie (2018) supported by identity theory by Kathryn Woodward (2005) and the idea of existential feminism by Simone de Beauvoir (1949). The results of this study show that the film constructs the existence of women as a figure who needs recognition through love and narcissism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Kiara Triheningtyas
"Film Capernaum karya Nadine Labaki menunjukkan isu sosial yang dialami oleh masyarakat kelas bawah di Beirut, Lebanon. Artikel ini bertujuan untuk melihat tingkat ketangguhan diri tokoh atau resiliensi dengan latar belakang berbeda yakni dari sudut pandang anak, imigran gelap serta komunitasnya dalam bertahan hidup dan menghadapi ancaman sekitar demi mencapai kebebasan dalam menentukan pilihan serta kebahagian baik secara materiel maupun morel. Dalam mencapai tujuan, digunakan metode kualitatif dengan menganalisis unsur naratif dan sinematografis menggunakan teori kajian film menurut Boggs dan Petrie yang kemudian diperdalam dengan konsep resiliensi sosial menurut Patrick dan Saldaporak. Hasil menunjukkan bahwa perkembangan resiliensi dicerminkan secara signifikan oleh tokoh Zain. Penjenjangan tersebut tidak selalu berjalan berurutan, terdapat pula sikap resisten dalam prosesnya, namun sebagai satu kesatuan, komunitas Beirut memiliki tingkat resiliensi rendah karena didominasi oleh sikap penerimaan sebagai mekanisme pertahanan. Selain itu, ancaman utama yang menjadi penyebab adalah kondisi ekonomi dan malafungsi lembaga sosial khususnya keluarga sebagai institusi pertama bagi setiap anak. Lain halnya dengan keluarga, terlepas dari ketidakterturan yang ada, institusi sosial yakni pengadilan berhasil berjalan sesuai fungsinya

Capernaum by Nadine Labaki exhibits social issues that prevails amongst the lower class in Beirut, Lebanon. This article aims to showcase the actors’ resilience from different backgrounds, which vary from the point of view of children, illegal immigrants as well as their communities in hope to face and survive the threats that surrounds them. In achieving the objective, a qualitative method by Boggs and Petrie is used by analyzing its narrative and cinematographic elements. This is then supported by social resilience theory by Patrick and Saldaporak. The results show that the development of resilience is significantly reflected by a character named, Zain. The progression is not always sequential, as there are also some resistant attitudes. However, as a unity, the Beirut community has a low level of resilience which can be attributed to their high coping capacities. Additionally, the main threats that caused their low level of resilience are the poor economic conditions and the malfunction of social institutions in the country, especially the family as the first institution for every child. Despite the existing disorganization, the social institution, namely the court, has succeeded in functioning properly according to its obligations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>