Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siringoringo, Poltak
Abstrak :
Berdasarkan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undangundang. Juga telah dikemukakan bahwa menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, bahwa kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dengan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dapat dikatakan bahwa DPR memegang kekuasaan leg islatif (kekuasaan membentuk undangundang). Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, banyak RUU yang berasal dari pemerintah, sementara RUU usul inisiatif DPR hampir tidak dijumpai, hal ini mungkin disebabkan dalam realitasnya pihak pihak pemerintah (Presiden) yang Iebih banyak mengetahui persoalan-persoalan kongkrit dalam kehidupan kemasyarakatan. Hal ini mengingat paham negara hukum, kesejahteraan menghendaki agar pemerintah lebih berperan sebagai peiayan masyaralcat, juga melihat bahwa pemerintah mempunyai tenaga-tenaga ahli di bidang pembangunan dan kehidupan kenegaraan dan kemudian prosedur.untuk membicarakan RUU usul inisiatif lebih berat bila dibandingkan dengan membicarakan RUU dari pemerintah. Rancangan undang-undang dapat pula dimajukan oleh anggota DPR (hak inisiatif anggota dewan). Rancangan ini meskipun datangnya dari anggota dewan kemudian dapat persetujuan dari anggota dewan masih memerlukan pengesahan dari Presiders (Pasal 21 UUD 1945). Dengan demikian dalam pembuatan undang-undang antara Presiden dan DPR mempunyai kekuasaan yang berimbang, meskipun dalam kenyataan datangnya rancangan undang-undang lebih banyak dari pemerintah. Menurut penulis untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi lemahnya DPR dalam pembentukan undang-undang perlu dilihat dari faktor-faktor sistem politik, faktor tata tertib, faktor merekruit anggota DPR, faktor sosial budaya, faktor kualitas anggota DPR, faktor-faktor kewenangan anggaran dan faktor staf ahli dan faktor komitmen politik dan komitmen moral. Konkristasi penelitian ini adalah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan dimana disebabkan oleh faktor sistem folitik, tata tertib, kruitmen anggota, sosial budaya. staf ahli, kualitas anggota DPR, kewenangan anggaran, komitmen politik dan komitmen moral. Matra menurut hemat penulis perlu dipenuhi sehingga Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana yang diamanatkan oieh UUD 1945 dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga sebagai wakil rakyat dapat menampung dan menyelesaikan persoalanpersoalan yang semakin mengglobal di dalam kehidupan masyarakat sehingga tercerminlah suatu kehidupan yang sejahtera dan makmur.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsland, A.H.
Abstrak :
Tujuan dari penelitian ini (l), Ingin melihat kebutuhan informasi anggota DPR-RI periode 1999-2004 dalam proses penerbitan suatu undang-undang atas usul inisiatif. (2). Ingin melihat bagaimana pencarian inforrnasi anggota DPR-Rl periode 1999-2004 dalam proses penerbitan suatu undang-undang atas usul inisiatif (yang meliputi strategi pencarian informasi, sumber informasi yang digunakan, jangka waktu pencarian informasi, kendala yang ditemui selama pencarian informasi, dan manfaat informasi yang diperoleh). Jumlah informan 24 orang anggota DPR-RI. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara pada bulan Maret-April dan Agustus-September 2001 di DPR-RI. Penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian dapat disimpulkan, (1). Kebutuhan informasi yang dominan saat akan mengajukan suatu draf RUU untuk UU No. 23/2000, UU No. 27/2000, UU No. 381 2000 adalah informasi tentang jumlah penduduk, luas wilayah, pendapatan asli daerah, batas propinsi,ibu kota propinsi. Untuk RUU Nanggroe Aceh Darussalam adalah tentang keuangan, syariat agama Islam dan pemerintahan. Untuk RUU Penyiaran kebutuhan informasi yang dominan adalah kelembagaan/organisasi, anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat pertama tidak terungkap kebutuhan informasi informan. Untuk pembicaraan tingkat kedua tidak dilakukan pembahasan (short cut) kecuali RUU Penyiaran kebutuhan informasi yang dominan adalah menyangkut kelembagaan, prosedur/mekanisme perizinan dan pelanggaran. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat ketiga, kebutuhan informasi untuk UU No. 23/ 2000, UU No. 2712000,UU No.38/ 2000 yang dominan adalah tentang anggaran, kewenangan, batas propinsi dan ibu kota propinsi. Untuk RUU Nanggroe Aceh Darussalam dan RUU Penyiaran belum sampai kepada tahap pembicaraan tingkat ketiga tersebut. Sedangkan pembicaraan tingkat keempat tidak terungkap kekebutuhan informasi informan. Untuk strategi pencarian informasi pada saat akan mengajukan suatu draf RUU umunya memakai strategi melalui sekretaris dan diri sendiri. Untuk RUU Penyiaran pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat kedua, strategi yang dipakai umumnya melalui para pakar/ahli, para ilmuwan dan para pelaku. Pada saat pembicaraan tingkat ketiga, strategi yang dipergunakan adalah melalui kolega atau teman dekat, sekretaris/staf dan diri sendiri. Untuk sumber informasi yang digunakan pada saat menyusun draf RUU umumnya memanfaatkan jenis non-bahan pustaka/dokumen yaitu aspirasi masyarakat luas dan jenis bahan pustaka/dokumen adalah laporan hasil sensus. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat kedua untuk RUU Penyiaan, sumber informasi yang dimanfaatkan adalah rekomendasi hasil rapat dengar pendapat dewan. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat ketiga, sumber informasi yang dimanfaatkan adalah rekomendasi hasi[ rapat fraksi. Jangka waktu pencarian informasi saat akan menyusun draf RUU adalah 20 hari atau selama masa reses. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat kedua untuk RUU Penyiaran, waktu pencarian informasi adalah 15 hari. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat ketiga, jangka waktu pencarian informasi adalah 5 hari. Untuk kendala yang ditemui selama pencarian informasi saat akan mengajukan suaru draf RUU adalah waktu yang tidak memadai dan tidak tersedian fasilitas teknologi informasi. Pada saat pembicaraan tingkat ketiga, kendala utama adalah jasa fasilitas teknologi informasi dan jadwal rapat yang sangat padat. Manfaat informasi saat akan menyusun draf RUU adalah untuk memecahkan masalah, termasuk akan melakukan pembicaraan tingkat kedua bagi RUU Penyiaran. Pada saat akan melakukan pembicaraan tingkat ketiga RUU, manfaat informasi adalah untuk menyampaikan gagasan atau ide. ......The objective of this research was to (1). View members of the Indonesia House of Representative's information need in tenure of 1999-2004 in law making process upon an initiative propose. (2). To view how information initiative proposal (including strategy of information searching, resources of information that is used, duration of information searching,hindrance found during information searching and the utility of the gained information). The number information was 24 people of members of the Indonesia House of Re-presentative (DPR-RI). The data collecting was carried out in Maret-April and Agustus-September 2001 at the house of representative. Data analysis was descriptive-qualitative way. The results of the research could be concluded that. (1). The dominan information need when they proposed a draft of the bill for Law No. 2312000, Law No. 2712000, Law No. 3812000 was information total population, width of region, local, originated income, boarder of province and capital of a province. For the bill of Nanggrou Aceh Darussalam, dominant information was about finacial. Islamic jurispudence and government. For bill of broadcasting,the dominant information was organizationlinstitution,basic budget/home affair budget. In the forst discisson, the information need was not disclosed. The second discussion did not conduct short cut excluding. Bill of broadcasting and the dominant in-formation need was related with institution, procedure/mechanism of breach and permission. When they were going to discussion the third meeting, the dominant information need on Law No.2312000, Law No.2712000 and Law No.3812000 were budged, authority, boarder of a province and capital of a province. In case of bill Nanggrou Aceh Darussalam and bill of Broadcasting, the discuss did not reached into the third step and in the fourth discussion, the informan information need did not disclosed. In case of information searching when they would propose a draft of a bill, commonly the used strategy through their secretary and looked for it by them selves. Particularly for bill of Broadcasting, when the were going to discussion the second step, the commonly used strategy was expert, scientist and practitioners. In the third step, the used strategy was college or close friend, secretarylstaf and looked for by them selves. The commonly utilized information resources when they write draft of bill was document/non-library that was public aspiration and library/document that was sensus report. Whem they discussed the second step of the bill of Broadcasating, the used information resources was recommendation of a hearing of the house. When they were going to discuss the third step, the utilized infor- mation resources was recommendation's of the fraction's meeting.Duration of information searching when they were going to write draft of bill was 20 days (during recess). When they were going to discuss the second step of the bill of Broadcasting, the duration of information searching was 15 days. When they were going to discuss the third step,the duration of information searching was 15 days. The found hindrance during information searchng as well as when they were going to propose a draft of a bill was in sufficient time and an absence of information technology facility. When they were going to dis- cuss the third step, the major hindrance was the stiff schedule of meeting.(6). The utility of information while composing draft of bill was to solve a problem, including when they were going to disccuss the second step of Broadcasting Bil. When they were going to discuss the third step of the Bill,the information utility was to present ide or concep.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Effendy Yusuf
Abstrak :
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk keputusan Pimpinan Fraksi-fraksi dan keputusan Pimpinan DPR yang meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003 merupakan fenomena politik yang menarik dikaji. Betapa tidak, Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar dan Panglima Tertinggi ABRI memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI yang jumlahnya di parlemen mencapai 400 kursi atau 80 persen dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Ketika Presiden Soeharto didesak mundur oleh mahasiswa dan masyarakat, ia dengan keyakinan yang sangat besar menyerahkan sepenuhnya persoalan itu kepada DPR. Pimpinan dan anggota DPR menganggap pernyataan Presiden Soeharto merupakan "bola panas" yang dilempar ke DPR, karena itu bola panas tersebut dikembalikan ke Cendana dalam bentuk surat resmi pimpinan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Berangkat dari fenomena tersebut, masalah pokok yang diangkat dalam peneiitian ini adalah sejauh mana pengaruh desakan kelompok penekan terhadap keputusan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Secara terinci, penelitian ini menggambarkan : 1) Kelompok penekan mana yang mempengaruhi lahirnya keputusan DPR. 2) Bagaimana bentuk desakan yang dilakukan kelompok penekan kepada DPR, serta 3) Bagaimana tanggapan DPR terhadap tuntutan kelompok penekan yang menghendaki Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif ini, secara metodologis mempergunakan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi untuk menjaring datanya. Di antara sejumlah kesimpulan temuan penelitian yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kelompok penekan dengan berbagai ragam motif atau kepentingan, basis sosial, saluran akses, dan intensitas desakannya, dalam realitasnya memiliki kontribusi besar dan determinatif dalam proses pengambilan keputusan DPR yang meminta pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya. Presiden Soeharto menanggapi keputusan DPR dengan cara mundur dari jabatannya dan mengalihkan kepada B.J Habibie. Secara prosedural, peralihan kekuasaan tersebut merupakan efek konkret dari desakan yang diperankan kelompok penekan kepada DPR. Pendek kata, peranan kelompok penekan kepada DPR mempengaruhi proses pengambilan keputusan DPR untuk meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizam Burhanuddin
Abstrak :
Dalam menyelenggarakan kehidupan negara terdapat pembagian kekuasaan yang dimiliki oleh beberapa lembaga tinggi/tertinggi negara. Tiap-tiap lembaga tinggi/tertinggi negara tersebut mempunyai tugas dan wewenang masing-masing, tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu mengupayakan peningkatan kehidupan rakyat agar semakin lebih balk. Lembaga tinggi negara/tertinggi negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BEPEKA). Dalam melaksanakan tugasnya masing-masing Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara mempunyai hubungan seperti hubungan tugas antara Badan Pemeriksa Keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pelaksanaan Tanggungjawab Keuangan Negara yang dikelola oleh Pemerintah. Tugas Badan Pemeriksa Keuangan adalah melaksanakan pemeriksaan atas tanggungjawab pemerintah dalam pelaksanaan keuangan negara, sedangkan tugas Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan. Pengawasan atas jalannya pemerintahan termasuk pelaksanaan pengelolaan keuangan negara, apakah telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hubungan tugas tersebut adalah sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang lebih lanjut dilaksanakan dengan berbagai ketentuan perundang-undangan dan ketentuan yang disepakati oleh kedua lembaga tinggi negara. Hubungan tugas tersebut adalah dalam bentuk pembe- ritahuan hasil pemeriksaan tahunan (HAPTAH) atau sekarang dijadikan hasil pemeriksaan semester-an (HAPSEM) dan Pemberitahuan atas Hasil Perhitungan Anggaran (PAN) melalui peme- rintah selanjutnya diteruskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas menjadi Undang-undang. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya ditindaklanjuti dalam rangka pengawasan terhadap jalannya pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah. Tindak lanjut yang dilakukan sekarang masih terbatas kepada apa yang dipahami dari laporan hasil pemeriksaan. Adapun tindaklanjut lainnya berupa dengar pendapat dan keikutsertaan dalam pembahasan masalah-masalah yang berkait-an dengan keuangan negara belum sepenuhnya terlaksana. Agar hubungan kerja tersebut dapat berjalan lebih efektif, maka diperlukan seperangkat peraturan yang mendukung tugas Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa tanggungjawab keuangan negara, seperti Undangundang tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang tentang Pemeriksaan Keuangan, serta ketentuan lain yang mendukung hubungan tugas Badan Pemeriksa Keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihaloho, Togar
Abstrak :
Penelitian ini didasarkan pada semakin banyaknya sorotan kepada lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat, utamanya dalam hal proses membuat kebijakan dalam bentuk undang-undang, dimana proses pembuatannya hampir lama selama periode Orde lama. Sebagai fokus penelitian dipilih salah satu proses pembuatan kebijakan pubiik dalam bentuk undang-undang, yakni Undang-undang Usaha Kecil yang dibuat dalam tahun 1995. Penelitian ini menggunakan pendekatan proses kebijakan melalui kajian kualitatif dengan metode observasi. Data yang dihimpun berupa data observasi dan wawancara tidak berstruktur serta data sekunder, serta analisis data sifatnya deskriptif. Tulisan ini mengungkapkan proses pembuatan kebijakan publik di tingkat pusat dalam bentuk Undang-undang. Dari proses pembahasan RUU tentang Pembinaan Usaha Kecil menjadi Undang-undang Usaha Kecil memperlihatkan banyak masalah yang perlu mendapat perhatian khusus yang selama ini belum dianggap penting, yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan antara lain wewenang dan tata cara membuat undang-undang, rencana legislasi nasional, dan tenaga ahli, serta hubungan politik antara pembuat undang-undang. Melalui perencanaan legislasi nasional dalam bentuk program legislasi dan agenda legislasi, dapat mengidentifikasi dan memilih permasalahan yang sebenarnya serta prakiraan terhadap kebijakan yang dibuat dan mungkin dilaksanakan sesuai situasi dan kondisi. Wewenang yang diperjelas melalui tata cara pembuatan undang-undang akan memperlancar pembahasan dan membantu penyelesaian dalam hal terjadinya perbedaan pendapat, serta informasi yang akurat lebih mudah diperoleh Dewan melalui tenaga ahli dalam berbagai bidang tertentu. Selanjutnya hubungan politik antar pembuat kebijakan perlu diperjelas dan transparan dengan menampung pemikiran kritis anggota Dewan. Sehingga apa yang dilakukan anggota Dewan dan lembaga perwakilan rakyat semuanya bernuansa kepada kepentingan publik sekaligus memperbaiki citra DPR dan Pemerintah. Sebagai akibat pengaruh clan faktor-faktor tersebut di atas, memperlihatkan Undangundang Usaha Kecil kurang kondusif untuk dilaksanakan dengan segera, karena ada undang-undang antara lain Undang-undang Anti Monopoli, yang perlu dibuat dan dilaksanakan karena dianggap sating menopang dalam praktek pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat melalui identifikasi masalah melalui perencanaan legislasi nasional. Namun undang-undang yang dibuat selama ini termasuk Undang-undang Usaha Kecil tidak melalui perencanaan legislasi nasional, sehingga undang-undang lainnya yang dianggap seharusnya lebih dahulu dibuat atau bersamaan dalam pelaksanaannya terpaksa dibuat belakangan karena usul saran dan pemikiran tersebut di atas datang, sewaktu Rancangan Undang-undang Pembinaan Usaha Kecil telah diajukan dan telah dibahas di DPR dalam bentuk proposal. Kajian rasional dan cermat terhadap masalah yang dihadapi akan dapat dibantu melalui tenaga ahli di bidang tertentu yang diperlukan. Selanjutnya hubungan politik antara pembuat kebijakan belum menunjukkan dinamika yang bernuansa kepada kepentingan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Azzahra
Abstrak :
Kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang di Indonesia utamanya dalam proses pembahasan dan pemberian persetujuan terhadap pembahasan RUU bahwasanya telah menyimpangi sistem presidensial dan dapat menjadi problematika. Tesis ini hendak menjawab permasalahan yaitu mengenai kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang serta konsep rekonstruksi yang ideal terhadap kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang dilengkapi dengan perbandingan 20 negara. Hasil penelitian menunjukan bahwa Presiden di Indonesia memiliki kewenangan yang begitu besar dalam pembentukan undang-undang. Presiden terlibat dalam seluruh proses pembentukan undang-undang mulai dari tahap perencanaan hingga pengesahan RUU, bahkan adanya ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 telah menjadikan Presiden dapat mengontrol agenda legislasi. Besarnya kewenangan Presiden tersebut tidak sesuai dengan tujuan penguatan sistem presidensial di Indonesia. Adapun gagasan rekonstruksi yang dapat diberikan adalah dengan membatasi kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang dengan tidak melibatkan Presiden dalam proses pembahasan, melainkan memperkuat posisi DPD dalam pembentukan undang-undang. Selanjutnya, dalam hal persetujuan RUU, Presiden seharusnya diberikan hak veto untuk menolak RUU yang diajukan parlemen sebagai bentuk checks and balances. Dalam bidang pengesahan RUU, gagasan rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan memberi kewajiban bagi Presiden untuk mengesahkan setiap RUU yang telah disetujui oleh dua per tiga anggota DPR dan DPD. Adapun dalam hal Presiden tidak mengesahkan RUU, maka hal ini dapat dilakukan oleh Ketua DPR. Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah dengan melakukan perubahan UUD NRI 1945 dengan mengubah pasal terkait kewenangan Presiden dan DPD dalam pembentukan undang-undang ......The authority of the President in the law making process in Indonesia expecially in the process of deliberating and granting approval for the deliberation of the Bill that it has deviated from the presidential system and could become problematic. This thesis intends to answer the problem regarding the authority of the President in forming laws and the concept of ideal reconstruction of the President's authority in the formation of laws in Indonesia. The method used in this study is a normative juridical method with a comparison of 20 countries. The research results show that the President in Indonesia has enormous authority in the law making process. The President is involved in the entire process of constituting legislation starting from the planning stage to the ratification of the Bill, even the provisions in Article 20 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution have enabled the President to control the legislative agenda. The amount of authority of the President is not in accordance with the goal of strengthening the presidential system in Indonesia. The idea of reconstruction that could be given is to limit the President's authority in the law making process by not involving the President in the deliberation process, but rather strengthening the DPD's position in the law making process. Furthermore, in terms of the approval of the bill, the President should be given veto power to reject the bill proposed by the parliament as a form of checks and balances. In the field of bill ratification, the idea of reconstruction that can be carried out is by giving the President the obligation to pass every bill that has been approved by two thirds of the members of the DPR and DPD. As for the President does not pass a bill, this can be done by the Speaker of the DPR. Suggestions that can be given based on the results of this research are to make changes to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia by changing articles related to the authority of the President and DPD in the formation of laws
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siallagan, Gunawan Irwin
Abstrak :
Munculnya gerakan reformasi tidak terlepas dari berkembangnya tuntutan demokratisasi pemerintahan melalui penerapan good governance (tata kepemerintahan yang baik). Kondisi tersebut disikapi pemerintah dengan desentralisasi kewenangan dalam bentuk otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Demokratisasi tersebut terwujud dalam kewenangan mengatur oleh masyarakat yang direpresentasikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui fungsi legislasinya. Pelaksanaan fungsi tersebut tercermin pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka penetapan peraturan daerah (perda). Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyerapan aspirasi masyarakat dan pengartikulasiannya dalam bentuk kebijakan oleh DPRD yang dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan DPRD maupun Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk memperoleh deskripsi kebutuhan akan pembangunan yang diinginkan masyarakat. Deskripsi tersebut merupakan wujud aspirasi yang akan dijadikan ide utama kebijakan yang diambil. Faktor-faktor yang mempengaruhi DPRD juga dideskripsikan untuk mengetahui kendala/hambatan yang dihadapi DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling karena informan yang dipilih adalah orang-orang yang dianggap mengetahui dan bersedia memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti yaitu anggota DPRD, PNS di lingkungan Sekretariat DPRD dan Sekretariat Pemerintah Kabupaten Simalungun serta masyarakat yang pernah dan sedang terlibat dalam proses penetapan perda. Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Simalungun dengan fokus organisasi DPRD. Teori, konsep atau pandangan yang digunakan untuk menganalisis temuan lapangan adalah teori organisasi, partisipasi dan kebijakan publik dengan bersandar pada teori organisasi kajian sistem terbuka oleh Robbins. Teori-teori partisipasi yang digunakan antara lain dikemukakan oleh Mubyarto, Mikkelsen, Coyners dan Huntington. Sedangkan teori kebijakan yang digunakan antara lain dikemukakan oleh Setyodarmodjo, Friedrick dan Dye. Berdasarkan temuan lapangan, secara yuridis, penyerapan aspirasi oleh DPRD tidak dilakukan dengan menggunakan mekanisme ilmiah tertentu sehingga tidak tergambar secara utuh kebutuhan akan bentuk atau model pembangunan yang diinginkan masyarakat Selain itu, mekanisme yang digunakan dalam pengolahan dan pemanfaatan hasil penyerapan aspirasi tersebut juga tidak jelas. Kondisi ini menyebabkan aspirasi yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bentuk partisipasi masyarakat tidak dapat diaktualisasikan oleh DPRD ke dalam bentuk kebijakan. Belum optimalnya penyerapan aspirasi untuk pengidentifikasian kebutuhan masyarakat yang selama ini dilakukan menyebabkan DPRD tidak mampu menghasilkan kebijakan yang aspiratif dan berpihak pada rakyat. Selama ini DPRD hanya mengandalkan data dan informasi yang diserap eksekutif untuk dijadikan acuan dalam pembahasan kebijakan karena DPRD sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi tersebut secara langsung sehingga kronologis dari aspirasi yang sampai ke DPRD sudah bias akibat mekanisme birokrasi pemerintah yang panjang. Selain diakibatkan lingkungan sistem politik yang tidak bisa disikapi dengan baik, situasi ini juga terutama disebabkan konstelasi politik lokal yang terasa lebih dominan dalam menetapkan suatu kebijakan. Dominasi konstelasi politik tersebut terutama disebabkan struktur organisasi DPRD yang cenderung dikonstruksi untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul secara politis sehingga secara tidak langsung mengabaikan kepentingan masyarakat. Untuk itu organisasi DPRD perlu direkonstruksi baik desain maupun strukturnya agar lebih mengarah pada organisasi publik yang menyediakan pelayanan publik. Kondisi ini dapat dicapai melalui inovasi dalam mekanisme penyerapan dan pemanfaatan aspirasi. Inovasi tersebut terutama ditujukan dalam bentuk kebijakan maupun operasionalisasi fungsi legislasi yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu mekanisme hubungan (access) yang jelas antara DPRD dengan masyarakat sehingga prinsip akuntabilitas dalam paradigms good governance dapat terpenuhi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Djazuli
Abstrak :
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah satu lembaga negara yang anggotanya merupakan wakil rakyat yang telah bersumpah atau berjanji dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena itulah DPR sebagai sebuah institusi berusaha meyakinkan masyarakat bahwa DPR telah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam mewakili rakyat serta meyakinkan bahwa DPR merupakan salah satu tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai Sekretariat Jenderal yang bertugas memberian bentuan teknis, administrasi dan keahlian kepada DPR. Hubungan Masyarakat DPR merupakan salah satu unit dari organisasi Sekretariat Jenderal DPR yang bertugas memberikan penerangan kepada masyarakat tentang mekanisme kerja DPR dan kegiatan DPR serta bertugas menerima dan mengatur penerimaan delegasi masyarakat. DPR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak cukup hanya dengan legalitas yuridis formal tetapi membutuhkan dukungan masyarakat yang tercermin dalam penilaian masyarakat yang datang ke Gedung DPR terhadap citra DPR baik sebagai lembaga maupun orang per orang sebagai Anggota DPR. Oleh karena itulah diperlukan penelitian yang dapat menjawab faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah berusaha menjelaskan Hubungan dan pengaruh masing-masing faktor terhadap citra DPR. Dasar dalam penelitian adalah teori yang yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi citra suatu company/organisasi antara lain Product, Communication, Service dan Support. Produk yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya adalah pelaksanaan tugas DPR yang berupa : Undang Undang, APBN, hasil pengawasan dan sebagai tempat / wahana untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Proses komunikasi yang dilakukan DPR mencakup kegiatan menginformasikan, menyebarluaskan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR, sedangkan Support menggambarkan dukungan masyarakat terhadap para wakilnya yang duduk di DPR. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Citra DPR tidak dapat dikatakan baik karena aspek kogtitif yang diukur dengan pengetahuan masyarakat datang ke Gedung DPR tentang DPR masih sangat kurang dengan nilai rata-rata 3,3 untuk skala pengukuran 1 sampai dengan 7. Aspek. afektif yang diukur dengan tingkat kesukaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,3 sedangkan aspek behavior yang diukur dengan penerimaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,1. Faktor pelaksanaan tugas-tugas DPR yang mempunyai hubungan kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI. Pengaruh pelaksanaan tugas-tugas DPR terhadap citra DPR RI adalah sebesar 49,8 %. Faktor penyebarluasan atau sosialisasi DPR RI kepada masyarakat mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Sosialisasi DPR terhadap Citra DPR adalah sebesar 46,4 %. Faktor dukungan masyarakat kepada DPR mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Dukungan Masyarakat terhadap citra DPR adalah sebesar 30,9 %. Faktor pelayanan setjen DPR tidak mempunyai hubungan langsung yang signifikan terhadap citra DPR. Akan tetapi apabila pelayanan Setjen DPR dikorelasikan dengan dukungan yang diberikan masyarakat kepada DPR, maka korelasi menjadi signifikan. Sehingga pelayanan Setjen mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap citra DPR RI sebesar 7,2 %. Secara keseluruhan pengaruh semua faktor Pelaksanaan Tugas DPR, Sosialisasi DPR, Pelayanan Setjen DPR dan Dukungan Masyarakat secara bersama-sama terhadap Citra DPR adalah sebesar 63,5 %. Dengan Dengan demikian, selain faktor Pelaksanaan Tugas, Sosialisasi, Pelayanan dan Dukungan masyarakat masih banyak faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh sebesar 36,5 % terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI. Penelitian ini memberikan bukti bahwa dalam menggunakan dasar suatu teori yang digunakan belum tentu semua faktor akan cocok di lapangan. Bukan berarti landasan teori yang digunakan tidak tepat, tetapi yang diperlukan adalah penggunaan berbagai macam analisa secara detail, sehingga diperoleh masukan baru yang akan memperkaya teori. Berdasarkan hasil penelitian, Humas Setjen DPR diharapan dapat meningkatkan perannya dalam mensosialisasikan hasil-hasil dan kinerja DPR, sehingga pengetahuan masyarakat tentang DPR dapat meningkat dan akhirnya akan meningkatkan citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fasrudin Arief Budiman
Abstrak :
Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi, yang kebanyakan diantaranya adalah teknologi yang berbasis komputer adalah untuk mempermudah tugas-tugas suatu organisasi agar bagian-bagian yang ada di dalamnya dapat saling berkoordinasi dan bekerja sama sehingga tujuan organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai. Di tengah keadaan lingkungan tempat organisasi-organisasi yang saat ini tumbuhdan berkembang yang turbulen, banyak tantangan-tantangan beragam yang dihadapi. Ketika reformasi lahir di bumi Indonesia, tantangan yang datang dari lingkungan yang makin beragam juga sangat dirasakan oleh instansi-instansi pemerintah, terutama di Lembaga-lembaga Tinggi/Tertinggi Negara. Kalau sebelumnya aktiftas organisasi-organisasi tersebut seolah tersembunyi di balik gedung-gedungnya yang tinggi dan megah, setelah lahirnya reformasi maka rakyat semakin kritis. Itu semua terlihat dari keinginan mereka yang terlihat antusias untuk melihat kerja para anggota organisasi di Lembaga-lembaga Tinggi/Tertinggi Negara. Hal itu juga dirasakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara. Banyak masyarakat yang datang ke gedung wakil rakyat ini untuk melihat dari dekat kinerja para wakil-wakilnya. Mereka terlihat antusias untuk meminta informasi-informasi seputar perkembangan penggodokan berbagai Rancangan Undang-undang (RUU) yang sedang dibahas. Di lain pihak, DPR dalam menjawab kebutuhan ini yang merupakan akibat dari tantangan yang muncul dari lingkungan, juga melakukan pembenahan-pembenahan dengan mengadopsi teknologi .baru berupa adanya otomatisasi-otomatisasi media informasi. Jaringan media informasi berbasis komputer seperti internet dan intranet (pada awalnya LAN) pun segera dibangun. Pembangunan jaringan ini, juga mendapat dana yang berasal dari bantuan-bantuan asing seperti Asia Foundation. Bukan hanya masyarakat luas, tetapi juga lembaga-lembaga donor asing yang terlihat concern dengan proses demokratisasi di Indonesia. Dengan adanya bantuan-bantuan bcrupa penyediaan teknologi modern tersebut sangat diharapkan agar kinerja DPR dapat lebih baik. Namun, masalah lain muncul karena ternyata pengadopsian suatu inovasi teknologi tidak dapat dipandang dalam arti sempit, yaitu tidak bisa hanya melihat dari sisi-sisi tekniknya saja. Sisi-sisi lain yang ternyata muncul dan menjadi masalah adalah aspek-aspek organisasi dan kultur. Studi ini menggambarkan implikasi penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam sebuah organisasi. Secara lebih khusus diperlihatkan bahwa diperkenalkannya suatu bentuk inovasi teknologi, akan menuntut pemahaman yang utuh tentang arti teknologi yang terdiri dari tiga nilai, yaitu nilai-nilai organisasi, teknik dan kultur. Untuk ke dapan, penelitian-penelitian yang mengambil tema serupa perlu menggali data-data yang berasal dari ke tiga nilai-nilai tersebut agar pembahasan, analisis dan pemecahan masalah dapat dilakukan secara holistik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14278
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Bonnie Mufidjar
Abstrak :
Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah sebagai pelaksanaan dari desentralisasi merupakan upaya untuk dapat lebih mendekatkan penyelenggaraan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Pelaksanaan Otonomi daerah telah membentuk dua lembaga yang bertanggung jawab untuk penyelenggaraannya yaitu, pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai perubahan terhadap Undang-Undang sebelumnya telah mengakibatkan adanya perubahan yang signifikan didalam pelaksanaan otonomi daerah. Jika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terlihat DPRD lebih memiliki kekuasaan dibanding dengan Pemerintah Daerah, karena DPRD dapat menjatuhkan kepala daerah apabila laporan pertanggungjawabannya ditolak. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan pemerintah daerah. Penelitian ini memusatkan kajian pada salah satu fungsi DPRD yang penting yaitu pengawasan DPRD. Fungsi pengawasan DPRD dalam pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah diharapkan dapat menjaga agar terselenggaranya pemerintahan yang baik mencakup rule of law, partisipasi yang diperintah, keadilan, efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas yang kesemuannya penting bagi pembangunan manusia. Akuntabilitas akan sulit terwujud tanpa keterbukaan (openess) atau transparansi (tranparency). Asas ini merupakan jaminan terdapatnya kesempatan bagi publik untuk memperoleh pengetahuan mengenai siapa yang membuat keputusan, keputusan yang dibuat dan alasan yang mendasari. Transparansi merupakan asas pelengkap bagi public disclosure. transparansi sangat membantu pengelolaan yang baik dan dalam mengurangi peluang bagi korupsi, kolusi dan nepotisme. Transparansi juga untuk memelihara kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPRD sangat tergantung dari sejauh mana keterlibatan DPRD sejak perancangan perumusan kebijakan, penguasaan terhadap peraturan dan perundang-undangan serta kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang, hubungan dan komunikasi dengan masyarakat dan konstituennya, kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan kebijakan, juga pengawasan internal terhadap anggota dan alat-alat kelengkapannya yang dapat bekerja secara maksimal. Adapun efektifitas dalam pelaksanaan fungsi pengawasannya DPRD akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; interaksi antara pemerintah dan DPRD, mekanisme dan teknik pengawasan dewan, kemampuan dan integritas serta perhatian anggota DPRD dalam melaksanakan pengawasan, adanya intrumen dan jelasnya indikator suatu dokumen kebijakan, dan juga terdapatnya komunikasi dan hubungan yang baik antara DPRD dan masyarakat serta konstituennya. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi pengawasan DPRD dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah. Pada beberapa hal DPRD dapat mengawal suatu perencanaan pembangunan sampai menjadi satu kebijakan Perda. Namun dalam hal lain menunjukkan bahwa fungsi pengawasan DPRD belum berjalan optimal mengontrol pelaksanaan pembangunann. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan dan integritas anggota DPRD. Hubungan antara Anggota DPRD dengan masyarakat dan konstituen yang kurang baik mengakibatkan tidak efektifnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah. Beberapa saran diberikan seperti perlunya menyepakati ruang lingkup pengawasan DPRD, peningkatan kemampuan dan integritas DPRD dengan pelatihan khusus, pengawasan oleh masyarakat dan konstituen terhadap DPRD serta perlunya pembakuan dan pola standar penjaringan aspirasi rakyat, peningkatan dan pendalaman penguasaan peraturan perundang-undangan oleh DPRD.
The regional autonomy given by the government as the implementation of decentralization is an effort to be able to bring closer public service to the people. The regional autonomy has organized two institutions which are responsible for its implementation i.e., the regional government and the regional parliament (DPRD). The announcement of Law Number 32/2004 on Regional Government as amendment to previous Law has resulted in significant changes in implementation of regional autonomy. In Law number 22/1999, DPRD had more power compared to the Regional Government, because DPRD could overthrow the regional head if his accountability report is refused, under Law number 32/2004 DPRD cannot overthrow the regional government. This researched focuses on the study of one of the important functions of DPRD that is DPRD?s supervision. This supervisory function of DPRD in the implementation of regional government?s policy is expected to be able to see that the good governance implemented covers rules of law, participation of those governed, justice, effectiveness, efficiency, transparency and accountability those all of which are important for human development. Accountability will be difficult to realize without openness or transparency. This principle constitutes a guarantee of opportunity for the public to know who is the decision maker, what decisions are made and the reason for them. Transparency is supplemental principle for public disclosure. Transparency helps a lot in assisting good management and in reducing the opportunity for corruption, collusion and nepotism. Transparency is also for keeping the trust of the public in the government institution. The function of supervision on the part of DPRD depends a lot on the extent of DPRD?s involvement in formulating the policies, command of the regulation and the Law and the authority given by the Law, the relation and connection with the public and its constituents, also internal controll on members and the instruments that can do maximum work. Effectiveness of DPRD?s supervision will be influenced by several factors such as; conformity between policy making and implementation, interaction between the government and DPRD, the mechanism and technique of supervision, the capability and integrity and attention of members of DPRD in carrying out supervision, the existence of instrument and clarity of a policy document indicators and also the existence of communication and good relations between DPRD and the public and its constituents. The results of the research show that the factors mentioned above have very great influence on DPRD?s supervision in implementation of regional government?s policy. In some cases, DPRD may supervise a development plant until it becomes a regional government policy. However, on the other hand the supervisory function of DPRD has not been running optimally in controlling development. this is the result of lack of capability and integrity on the part of members of DPRD. The less than good relationship between member of DPRD and the public and its constituents results in ineffective control over the implementation of development carried out by the regional government. Several recommendations are given such as the necessity for joint a agreement on the scope of DPRD supervision, improved capability and integrity of DPRD by special training, public and constituents control of DPRD and necessity for standardization and pattern of screening public aspirations, improvied and in-depth command of the rules of Law by DPRD.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>