Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frita Diah Paramita Wati
"Penelitian ini berfokus pada posisi kaum homuresu sebagai orang-orang yang tersisih dalam kebanyakan masyarakat Jepang secara umum. Selanjutnya , tesis ini juga menampilkan beberapa gambar rumah-rumah kardus yang dihuni kaum homuresu serta beberapa aktivitas yang dilakukan kaum homuresu dalam lingkungan mereka diantara kaum homuresu yang lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyumbangkan hasil satu kajian, tentang kehidupan, permasalahan dan eksistensi kaum homuresu dalam lingkungan kehidupan masyarakat di Jepang yang ternyata memiliki satu karakter yang berbeda dengan kaum homuresu yang dikenal sebagai homeless di negara selain Jepang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardian Wibowo
"Penelitian ini menelaah implementasi/penerapan kebijakan penanganan gelandangan di Kota Jakarta Timur. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan penanganan gelandangan yang diambil Pemerintah Kota Jakarta Timur dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa faktor/elemen tertentu. Menurut George C Edwards III, terdapat empat elemen yang memengaruhi penerapan kebijakan publik. Keempat elemen tersebut adalah communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure. Empat elemen yang dikemukakan Edwards III (1980) menjadi parameter yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk menilai pelaksanaan kebijakan oleh Pemkot Jakarta Timur. Fakta-fakta di lapangan dikumpulkan menggunakan metode kualitatif, khususnya mengadopsi metode etnografi ?pencatatan terhadap penilaian, pendapat, maupun ungkapan narasumber; bahkan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan subyek (manusia) penelitian?.
Penelitian menunjukkan bahwa empat elemen Edwards III, sadar atau tidak, telah dilaksanakan oleh Pemkot Jakarta Timur meskipun belum cukup sempurna. Namun, meskipun empat elemen tersebut dilaksanakan sepenuhnya, tetap tidak menjamin masalah kegelandangan akan tuntas. Masalah kegelandangan diyakini akan tuntas dengan memberdayakan gelandangan. Namun kebijakan pemberdayaan ini urung terlaksana karena isi kebijakan yang ada tidak mengarah pada pemberdayaan; sehingga, tentu saja, penerapan oleh aparat juga tidakmengarah ke sana.
Kesimpulan penelitian ini mengarah pada dua besaran pokok, yaitu (i) dari sisi teori sebagai parameter, empat elemen Edwards III tidak cukup mampu menjamin pelaksanaan kebijakan publik karena Edwards III melupakan elemen eksternal (externalities) dan elemen isi kebijakan itu sendiri; (ii) dari sisi pelaksanaan kebijakan sebagai subyek penelitian, kebijakan dan pelaksanaan kebijakan gagal mencapai hasil karena didesain tanpa memerhatikan faktor eksternal. Tindakan yang disarankan untuk menyelesaikan masalah kegelandangan adalah membuat kebijakan dan melakukan tindakan (pelaksanaan) dengan memperhitungkan elemen eksternal, terutama urbanisasi. Tindakan terpenting terkait urbanisasi adalah melakukan pemerataan pembangunan di daerah daerah yang menjadi ?pemasok? gelandangan ke Jakarta Timur. Serta membuat program pelatihan gelandangan yang berorientasi productive value; dan bukan sekedar mengejar exchangeable force.

This study researches the implementation of homeless handling policy in the Jakarta Timur City. As a public policy, the handling of homeless policy taken by the Jakarta Timur City Government was carried out under consideration of certain factors/elements. According to George C. Edwards III, there are four elements affecting the implementation of public policy. Those four elements are communication, resources, dispositions, and bureaucratic structure. The four elements introduced by Edwards III (1980) became a parameter used in this study to value the implementation of the policy ran by the Jakarta Timur City Government. Facts were gathered using qualitative method, adopting the ethnographic method in particular ?noting down of evaluations, statements and expressions of the source; and even taking part on the research subject?s (person/human) activities-.
The research indicated that the four elements of Edward III, whether intended or unintended, had been implemented by the Jakarta Timur City Government, although it was still imperfect. Nevertheless, the fully implemented of the four elements would not guarantee to put the homelessness issue at its end. Homelessness issue is believed to be solved by empowering those without roof themselves. However this policy to empower has yet take place since the present policy was not targeted to empowering; therefore the implementation of the institution/apparatus/officer is certainly was not aiming there as well.
This research's conclusion is pointed towards two principals, i.e. (i) in theory as parameter, the four elements of Edward III could not ensure the implementation of public policy since Edward III disregarded external element (externalities) and element of the substance of policy itself; (ii) in implementation of the policy as subject of this research, policy and its implementation fail to accomplish since it was designed without consideration to external factors. Actions suggested to end the homelessness issue is to formulate policy and perform actions (implementations) by taking external element into consideration, especially urbanization. The utmost significant action related to urbanization is by equally developing the regions which had become ?suppliers? of homeless to Jakarta Timur, as well as creating courses for homeless people oriented more in productive value; instead only pursuing on exchangeable force."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25262
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riordan, Rick
"Thor's hammer is missing again and this time it isn't just lost, it has fallen into enemy hands. If Magnus Chase and his friends can't retrieve the hammer quickly, the mortal worlds will be defenseless against an onslaught of giants."
Jakarta: Mizan Publika, 2016
813.6 RIO m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Prabowo Damanik
"Jika berbicara tentang gelandangan maka yang akan terlintas dalam pikiran adalah orang orang dengan kesejahteraan di bawah standar sosial dan kelompok masyarakat yang hidup di jalan. Selain itu gelandangan juga digambarkan sebagai orang orang pemalas serta perusak tatanan kota sehingga keberadaannya selalu dikaitkan dengan hal hal negatif. Pandangan negatife ini dapat terlihat dari penggusuran atau pengusiran terhadap gelandangan berupa kebijakan dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah atau pengusiran yang dilakukan secara pribadi oleh individu terhadap gelandangan. Namun demikian gelandangan kerap kembali ke lokasi mereka meskipun sudah mendapatkan pengusiran baik dari pemerintah atau individu. Dengan melihat gelandangan dari sudut pandang yang mereka miliki maka kembalinya mereka ke lokasi kita akan melihat perbedaan dari dalam melihat gelandangan dari sudut pandang kita selama ini. Kembalinya gelandangan ke lokasi yang mereka tempati dapat berupa upaya mereka mempertahankan lokasi pencarian rongsokan yang dilakukan oleh mereka serta kemudahan kemudahan yang mereka dapatkan selama di lokasi tersebut yang tidak dapat kita pahami jika tidak menggunakan sudut pandang yang mereka miliki. Dengan keberadaan gelandangan di suatu lokasi akan melahirkan ruang ruang sosial bagi gelandangan di lokasi tersebut. Dalam penelitian ini, saya berusaha melihat bagaimana gelandangan selalu bertahan pada suatu tempat walaupun sudah digusur berkali kali, apa yang menjadi alasan mereka dan bagaimana mereka bertahan dalam kehidupan yang berada di bawah standar sosial tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara terhadap lima orang informan yang berada di Tanah Abang. Penelitian ini menemukan bahwa keberadaan gelandangan di suatu lokasi kemudian melahir ruang sosial mereka dimana dalam ruang ini gelandangan kemudian menemukan kenyaman dan keamanan sehingga mereka berupaya mempertahankan lokasi ruang mereka kendati mendapatkan perlakuan penggusuran.

When talking about homeless people, what comes to mind is people with substandard social welfare and community groups living on the streets. In addition, homeless people are also described as lazy people and destroyers of urban order, so their presence is always associated with negative things. This negative view can be seen in the eviction or expulsion of homeless people in the form of policies and regulations imposed by the government or evictions carried out personally by an individual against homeless people. However, homeless people often return to their locations despite being evicted from either the government or individuals. By looking at the homeless from their point of view, when they return to their location, we will see a difference in seeing the homeless from our perspective. The return of homeless people to the location where they live can be in the form of their efforts to defend the location of the search for junk that they carried out and the facilities they get while at that location which we cannot understand if we do not use their point of view. The existence of homeless people in a location will create social spaces for homeless people in that location. This study tries to see how homeless people always stay in a place even though they have been evicted many times, their reasons, and how they survive below social standards. This research was conducted using qualitative research by conducting interviews with five informants in Tanah Abang. This study found that the presence of homeless people in a location produces their own social space. In this space, the homeless found comfort and security, so they tried to maintain their spatial location despite eviction treatment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faiq Kenzie Widodo
"Penelitian ini membahas peran akun Instagram @votemedia.id sebagai homeless media dalam jurnalisme digital. Pada penelitian ini menggunakan Teori Budaya Partisipatif dan konsep Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) yang mendorong audiens untuk tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen informasi. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam, dokumentasi, observasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menggambarkan bahwa @votemedia.id memanfaatkan fitur Instagram seperti Reels, Story, dan Carousel untuk menyebarkan informasi secara visual dan interaktif kepada Gen Z. Bentuk budaya partisipatif yang terjadi pada @votemedia.id adalah bentuk afiliasi dan ekspresi. Audiens tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga berperan sebagai kontributor dalam pengelolaan dan verifikasi berita. Sebagai penutup, menegaskan pentingnya budaya partisipasi dan kredibilitas dalam praktik jurnalisme digital.

This study discusses the role of the Instagram account @votemedia.id as homeless media in digital journalism. The research applies the Participatory Culture Theory and the concept of Citizen Journalism, which encourages the audience not only as consumers but also as producers of information. This study uses a qualitative approach with a descriptive method, employing data collection techniques such as in-depth interviews, documentation, observation, and literature review. The findings reveal that @votemedia.id utilizes Instagram features such as Reels, Stories, and Carousel to disseminate information visually and interactively to Gen Z. The form of participatory culture occurring on @votemedia.id is one of affiliation and expression. The audience not only consumes but also contributes as contributors in news management and verification. In conclusion, the study emphasizes the importance of participatory culture and credibility in digital journalism practices."
Depok: Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Waluyo
"Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Karya "Pangudi Luhur" Bekasi, yang beralamat di Jalan H. Moeljadi Djojomartono No.19 Bekasi Jawa Barat, dengan tujuan untuk mengkaji proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis pada lembaga tersebut. Selanjutnya penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi masukan untuk perbaikan pelaksanaan program selanjutnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Obyek penelitian adalah semua pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial di PSBK Bekasi, antara lain kepala panti, petugas fungsional/petugas lapangan, gelandangan dan pengemis yang sedang dibina serta pihak lain yang terkait.
Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan fenomena sosial di kota-kota besar, karena sulitnya kehidupan di pedesaan sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk dan tanah garapan yang makin berkurang, mereka terpaksa harus mencari pekerjaan di tempat lain, alternatifnya yaitu mengadu nasib ke daerah perkotaan. Namun oleh karena keterbatasan ketrampilan dan pendidikan, mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing memperebutkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka mau bekerja apapun dengan upah berapapun untuk mempertahankan kehidupannya.
Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak, tidak mempunyal pekerjaan layak, tidak memiliki tempat tinggal yang layak dan sebagainya. Keberadaan mereka yang terbatas ketrampilan, terbatas pendidikan, dan terbatas fasilitas, maka keberadaan mereka diperkotaan dianggap sebagai masalah sosial. Untuk penanganan masalah sosial gelandangan dan pengemis diperlukan pelayanan yang komprehensip, karena masalahnya sangat komplek tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek mental dan budaya.
Program rehabilitasi sosial di PSBK terdiri dari beberapa tahapan proses sebagai berikut : Pertama adalah tahap rehabilitasi sosial yang terdiri dari : a) pendekatan awal, b)penerimaan dan c)bimbingan mental, sosial dan ketrampilan. Kedua adalah tahap resosialisasi yang terdiri dari ; a) bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, b) bimbingan sosial masyarakat, c) bimbingan bantuan stimulus usaha produktif dan c) bimbingan usaha. Ketiga adalah tahap bimbingan lanjut yang terdiri dari : a) bantuan pengembangan usaha dan b) bimbingan pemantapan usaha/kerja.
Hasil penelitian yang diperoleh menggambarkan bahwa secara umum PSBK Bekasi telah dapat memberikan pelayanan program kepada kliennya sesuai prosedur yang ditetapkan, namun praktek pelayanan yang diberikan belum sesuai dengan yang diharapkan. Masih ada kesenjangan antara teori atau konsep dengan praktek yang bisa dilakukan. Sehingga lembaga ini kurang berhasil mengemban misinya, yaitu mengentaskan gepeng dari masalahnya.
Hasil penelitian tahap awal, pada kegiatan orientasi dan motivasi untuk menjaring klien, PSBK lebih mengandalkan tehnik "getok tular", yaitu mengharapkan eks klien yang telah selesai mengikuti pembinaan di PSBK mengajak teman-temannya yang lain untuk masuk panti. Tehnik ini kurang efektif sehingga target sasaran yang setiap angkatan hanya 300 orang tidak terpenuhi, padahal gepeng di Jakarta jumlahnya sangat besar.
Bimbingan mental sebagai fokus utama program rehabilitasi di PSBK, metodanya juga masih perlu dikaji ulang. Tehnik bimbingan mental yang diterapkan lebih mengacu pada aspek transfer pengetahuan, bukan aspek penyadaran mental. Dimana semua klien dari berbagai tingkat pendidikan masuk dalam satu kelas dan diajarkan materi yang sama, sehingga situasinya lebih menyerupai sekolah formal. Bimbingan mental untuk membangun konsep diri yang positif, percaya diri, dan penghargaan diri diperlukan pendekatan individu, tehnik konseling yang efektif dan sebagainya. PSBK sampai saat ini belum mempunyai program khusus yang secara langsung diarahkan untuk penyadaran mental klien.
Program rehabilitasi gepeng harus dilaksanakan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, sebagaimana pada konsep dan juklak. Namun PSBK sampai saat ini baru memiliki petugas lapangan dari profesi pekerjaan sosial, sedangkan profesi lain yang diperlukan untuk mendukung kelancaran program belum ada.
Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa sebagian klien PSBK menggelandang lagi, banyak aspek sebagai penyebabnya, diantaranya PSBK tidak memiliki dana untuk mendukung usaha kerja gepeng, kesempatan bekerja disektor formal sangat sulit, ketrampilan kerja yang diajarkan sangat minim, umumnya dibawah standar pasaran kerja, dan metoda bimbingan mental dan sosial juga kurang tepat.
Selanjutnya penelitian ini merumuskan saran sebagai berikut, pertama PSBK perlu merumuskan program khusus untuk kegiatan bimbingan mental, kedua mengingat sulitnya mencari lapangan pekerjaan di sektor formal, maka program ketrampilan di PSBK sebaiknya lebih diarahkan untuk jenis ketrampilan wira usaha."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T 9704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, M. Rondang
"Fenomena sosial di perkotaan yang kini menarik perhatian dari berbagai pihak yaitu anak jalanan yang merupakan bagian dari komunitas kota. Anak jalanan menyatu dengan kehidupan jalanan dimana jalanan menjadi lapangan hidup, tempat memperoleh pengalaman hidup dan sarana untuk mencari penyelesaian masalah ekonomi maupun sosial. Kampanye sosial penanggulangan Anak JaIanan Studi yang dilakukan oleh Direktorat Kesejahteraan Anak, Departemen Sosial RI di satu sisi bertujuan untuk membangkitkan perhatian masyarakat luas agar mereka mengetahui, dan memanfaatkan program penanganan anak jalanan khususnya kelompok sasaran yaitu keluarga miskin dan anak jalanan; sedangkan di segi lain bertujuan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap masalah-masalah sosial khususnya penanganan anak jalanan.
Analisa kebijakan program jaring perlindungan sosial Melalui rumah singgah bagi kehidupan anak jalanan menggunakan tahapan analisis kebijakan penanganan anak jalanan yang diawali dari tahap verifikasi, definisi dan rincian masalah kebijakan program penanganan anak jalanan, kedua, penentuan kriteria dan evaluasi program penanganan anak jalanan, ketiga, melakukan identifikasi alternatif kebijakan program penanganan anak jalanan, keempat, melakukan evaluasi kebijakan program penanganan anak jalanan, kelima, display dan seleksi diantara alternatif program penanganan anak jalanan dan keenam, monitoring outcomes dan kebijakan program penanganan anak jalanan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkapkan informasi-informasi yang belum didapatkan dari jawaban yang ada dalam kuesioner. Pendekatan kualitatif menggunakan wawancara kualitatif (terbuka atau berstruktur) agar dapat memberikan gambaran lebih detail dengan cara wawancara intensif, observasi dan partisipasi. Pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat bagaimana kampanye sosial penanggulangan anak jalanan yang dilakukan oleh Departemen Sosial RI terhadap tanggung jawab sosial masyarakat kepada anak jalanan di empat kota di Indonesia yaitu kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makasar.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa peran pemerintah pusat dalam merumuskan kebijakan penanganan anak jalanan tampak dominan. Peran tersebut didelegasikan kepada departemen-departemen pemerintah yang terkait. Sejak tahun 1995, Departemen Sosial RI merupakan departemen yang paling bertanggung jawab dalam merumuskan kebijakan penanganan anak jalanan. Namun demikian, Departemen Sosial RI sebenarnya bukanlah sebagai aktor tunggal. Sebagian besar kebijakan yang dirumuskan adalah hasil tawar menawar dengan Sappenas dan DPR. Institusi lainnya seperti pemerintah daerah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat belum berperan banyak dalam merumuskan kebijakan mengenai anak jalanan secara nasional.
Namun akhir-akhir ini mulai ada upaya Departemen Sosial RI untuk membangun kemitraan dengan para wakil rakyat untuk turut serta merumuskan kebijakan anak jalanan. Model pemusatan kebijakan itu dikenal dengan model imperalif atau kebijakan terpusat (Dye, I976). Namun sekarang ini telah bergeser paradigma dari kebijakan imperatif ke kebijakan Endikalif atau partisipatif, dimana pemerintah pusat hanya menentukan besaran kebijakan dan pelaksanaannya diserahkan kepada LSM dan masyarakat lokal. Kondisi ini merupakan hal yang seharusnya dilaksanakan di masa depan sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Produk legislasi tersebut menjadi tantangan bagi Pemda, masyarakat maupun LSM untuk berpartisipasi melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi di daerah, Namun apakah kebijakan terpusat sudah sepenuhnya ditinggalkan, atau integrasi kedua model kebijakan itukah yang menjadi alternatif terbaik bagi pemecahana permasalahan anak jalanan. Dalam hal ini sangat diperlukan restrukturisasi kebijakan pada tingkat makro (nasional), mezzo (propinsi) sampai mikro (kabupatenikota); yang dapat memadukan perencanaan dari atas dan dari bawah secara proporsional. OIeh karena itu, tujuan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan anak tetap harus memadukan komitmen nasional yang hams didukung dengan kebijakan operasional yang sesuai dengan kondisi daerah yang beragam.
Untuk mengantisipasi berkembangnya permasalahan yang dialami anak-anak jalanan, perlu ditindaklanjuti pengembangan program penanganan anak jalanan, beberapa alternatif yang dapat ditawarkan melalui pertama, Pengembangan Sistem Pelayanan Rumah Singgah, Kedua, Child Protection Program (CPP) terdiri dari Residential Care Program (Home Life), Program Pendidikan, Program Pemeliharaan Kesehatan dan Gizi, Program Manajemen Kasus, Program Pengembangan Jaringan Kerja, Konsultasi dan Advokasi, Pusat Pelayanan Kesejahteraan Anak (Child Centre) dengan Sistem Terbuka, Ketiga, Family Support Programs (FSP), Keempat, Community Building Program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghofur
"Tesis ini merupakan studi yang memfokuskan pada kehidupan sehari-hari manusia gerobak, yakni pemulung yang menggelandang di Jatinegara. Melalui studi ini saya menunjukkan bahwa manusia gerobak sebagai golongan miskin merupakan subjek aktif, memiliki kapasitas dan potensi dalam mengembangkan taktik-taktik kreatif maupun manipulatif untuk bertahan hidup. Ciri-ciri subjek aktif tersebut ditunjukkan melalui pemaknaan-pemaknaan, seperangkat pengetahuan sebagai basis praktik keseharian, memanfaatkan jaringan sosial dan penampilan (gaya) hidup menggelandang. Berdasarkan temuan-temuan ini, asumsi teoritis pendekatan kebudayaan kemiskinan dan kemiskinan struktural yang menyatakan bahwa golongan miskin mempunyai budaya distingtif yang temyata sulit dibuktikan, karena terjadinya pembauran-pembauran yang dilakukan manusia gerobak dengan aktor-aktor lain yang lebih luas.
This thesis forms a study that focuses on daily life of cart-men, specifically the scavengers in Jatinegara. Through this study, I point out that cart-men as a poor group show an active subject, have capacities and potencies in developing both creative and manipulative tactics to survive. The features of the active subjects are shown by meanings, a set of knowledge as a basis of daily practice, exploit the social web and the appearance of vagrant lifestyle. Based on these findings, theoretical assumption the culture of poverty and structural poverty approach say that the poor has a cultural distinctive which is difficult to be proved, because of the social intercourse which is done by the cart-men and other actors at large."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24290
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bellanti Nur Elizandri
"ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah manusia gerobak di Kota Bekasi, yang dikategorikan sebagai tuna wisma, melakukan kegiatan bertempat tinggal. Bertempat tinggal bersifat dinamis dan ditandai dengan diperolehnya sense of home. Sense of home bukan hasil dari house. Sebaliknya, house dibentuk karena kehadiran sense of home sehingga homeless tidak selalu disebabkan oleh houseless. Sebagai tuna wisma, manusia gerobak di Kota Bekasi bertempat tinggal dan memiliki house serta home, yang diwujudkan melalui pemanfaatan bangunan dan fasilitas umum serta kegiatan perpindah, terkait kondisi fisik dan non-fisik Kota Bekasi.
ABSTRACT
The purpose of this study was to assess whether manusia gerobak in Bekasi City are conducted dwelling practice, as roofless. Dwelling is dynamic and appointed by obtaining the sense of home. Sense of home is not the result of house. Instead, the house is formed by the presence of a sense of home so homeless are not always caused by houseless. As roofless, manusia gerobak in Bekasi city are dwelling and having a house and home that implemented by utilization of public building and public facilities and moving, related physical and non physical condition in Bekasi city. "
2017
S66134
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narendra Diwangkara Diptawibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Rasa Takut mempengaruhi Pengguna Ruang Publik hingga timbul Arsitektur Defensif yang dapat membatasi ruang dan perilaku pengguna ruang publik. Penelitian ini dipicu dengan adanya perbedaan kelas antara dua kelompok serta ketidaksenangan instansi-instansi terhadap kelompok tertentu yang mengakibatkan adanya pengusiran kelompok-kelompok yang kelasnya lebih rendah darinya. Hal tersebut timbul arsitektur baru yaitu Arsitektur Defensif untuk membatasi perilaku kelompok tersebut. Arsitektur Defensif merupakan sebuah sarana untuk mengatur, meminimalisir, membatasi ruang dan perilaku masyarakat. Arsitektur Defensif ini berperan tidak hanya untuk kenyamanan pengguna ruang publik dan kota, namun juga untuk tunawisma yang seharusnya menjadi target dari Arsitektur Defensif ini. Namun dengan berperannya kepada kedua belah pihak yaitu pengguna ruang publik dan tunawisma, justru Arsitektur Defensif berdampak kepada kedua belah pihak itu juga.

This study aims to see how Fear affects Public Space Users so that a Defensive Architecture emerges that can limit the space and behavior of public space users. This research was triggered by the existence of class differences between the two groups and the displeasure of institutions towards certain groups which resulted in the expulsion of groups whose class was lower than them. This resulted in a new architecture, namely Defensive Architecture, to limit the group's behavior. Defensive Architecture is a means to regulate, minimize, limit  the space and people's behavior. This Defensive Architecture plays a role not only for the convenience of users of public spaces and cities, but also for the homeless who should be the target of this Defensive Architecture. However, with its role for both parties, namely the users of public spaces and the homeless, Defensive Architecture has an impact on both parties as well."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>