Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fatia Nurizky
Abstrak :
Manga sebagai salah satu bagian dari kebudayaan populer Jepang memiliki satu genre yang unik yaitu Boys Love (BL). Genre ini berfokus kepada romansa yang terjadi di antara dua orang laki-laki homoseksual. Penelitian ini menggunakan teori wacana dan menggunakan metode semiotika untuk mengkaji tanda-tanda yang terdapat di dalam manga Boys Love. Tanda-tanda tersebut melingkupi apa yang menggambarkan anti-heteronormativitas dan anti-hegemoni maskulinitas dalam masyarakat Jepang. Melalui kajian tanda dalam manga tersebut, diharapkan perlawanan-perlawanan terhadap wacana heteronormativitas dan hegemoni maskulinitas dapat dilihat dan diteliti secara mendalam. ......Manga as one aspect of Japanese Popular Culture has one unique genre called Boys Love (BL). This genre focuses on romance between homosexual men. This research uses discourse theory and semiotic method to decipher the signs contained in Boys Love manga. Those signs includes the depictions of anti-heteronormativity and anti-hegemonic masculinity in Japanese society. Through the sign deciphering, it is expected that the oppositions against heteronormativity and hegemonic masculinity can be seen and researched thoroughly.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T45073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erol Kurniawan
Abstrak :
ABSTRAK
Path sebagai platform media sosial banyak digunakan oleh kelompok homoseksual di Indonesia untuk mengekspresikan homoseksualitas. Secara umum kelompok homoseksual di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk mengekspresikan diri di ruang publik. Hal ini dikarenakan homoseksualitas masih dianggap sebagai penyimpangan seksual dan perbuatan dosa sehingga visibilitasnya di ruang publik masih rentan dengan berbagai bentuk kekerasan. Akan tetapi, di tengah berkembangnya wacana-wacana dominan yang terus diproduksi untuk memarginalisasi kelompok homoseksual, Path hadir sebagai ruang publik baru yang menawarkan privasi bagi penggunanya untuk bebas menyuarakan diri tanpa harus khawatir akan serangan dari pihak-pihak yang menentang eksistensi mereka. Penelitian ini mengambil studi kasus terhadap dua akun Path homoseksual Indonesia yang mengunggah konten-konten homoseksualitas. Penelitian ini mengungkap bagaimana homoseksualitas direpresentasikan di media sosial Path dan melihat bagaimana media sosial ini digunakan oleh mereka untuk mengafirmasi dan mengkontestasi wacana-wacana dominan yang memarginalisasi kelompok homoseksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum homoseksualitas di Indonesia masih direpresentasikan dengan cara yang sangat normatif. Di sisi lain, usaha untuk mensubversi wacana-wacana heteronormativitas juga ditemukan di media sosial Path melalui unggahan-unggahan yang ditujukan kepada wacana agama dan wacana biomedis.
ABSTRACT
As a social media platform, Path is now mostly utilized by many Indonesian gay men to express homosexuality. In general, Indonesian gay men are unable to express their sexuality in public space since homosexuality is still perceived as sexual disorder and sinful sexuality. Therefore, they tend to experience various kinds of violence if they appear in public space. Amongst the discourses on homosexuality frequently produced and constructed to marginalise homosexual people, Path appears as a new public sphere which offers privacy to its users to actively voice their interests without having to worry about the other parties trying to oppose their existence. Two active gay Path users are taken as case study in this research. Both are active in sharing homosexuality related contents in their Path accounts. This research also reveals how homosexuality is articulated in Path and examines how far Path as a social media platform is used to affirm and contest the dominant discourse on homosexuality in Indonesia. Reserach findings show that, in general, homosexuality is still articulated in a very normative way similar to heterosexuality. In one side, some attempts to subvert heteronormativity are also identified in this research through shared contents which are addressed to religion and bio medical discourses.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T50223
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryayoga Harjuno Ananda
Abstrak :
Dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, tema seksualitas dan LGBTQ+ baru muncul pada tahun 2004 dengan diterbitkannya novel Cermin Merah karya Nano Riantiarno. Tema tersebut dapat dikatakan sebagai tema baru, jika mengingat masyarakat Indonesia yang masih memegang prinsip bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kodrat manusia yang harus dijalankan. Itulah prinsip yang disebut heteronormativitas. Dominannya prinsip heteronormativitas ini pun kemudian ditunjukkan di dalam karya sastra, salah satunya dalam novel Cermin Merah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana gambaran pandangan heteronormatif terhadap tokoh LGBTQ+ di dalam novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi kualitiatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan prinsip heteronormatif dalam novel ini menganggap bahwa hubungan heteroseksual sebagai sebuah kemutlakan yang didukung oleh norma-norma yang berlaku (sosial, budaya, dan agama) serta dengan mendasarinya pada faktor reproduksi manusia. Oleh sebab itu, masyarakat dalam novel Cermin Merah menolak penyimpangan orientasi seksual yang dilakukan oleh tokoh Arsena beserta tokoh-tokoh lainnya karena dianggap berbeda dan melanggar norma yang berlaku. Penolakan tersebut kemudian berujung pada tindakan diskriminatif terhadap tokoh LGBTQ+, khususnya tokoh Arsena, Edu, dan Anto. Seiring perkembangan zaman, orientasi seksual manusia pun semakin berkembang sehingga perlu ada keterbukaan dalam menghadapi persoalan tersebut. ......Throughout the history of Indonesian literature, sexuality and LGBTQ+ related themes begun to appear in 2004 with the release of Nano Riantiarno’s Cermin Merah. These two themes are relatively new in Indonesia, considering that Indonesian people still holds a principle which believes that sexual relationship between men and women is human nature that must be upholded. That principle is called heteronormativity. The domineering presence of this principle is later shown in literature works, one of which is in Cermin Merah. This research is aimed to explain how heteronormative view towards LGBTQ+ characters is represented in said novel. This research is made using descriptive-qualitative method. Results showed that heteronormative people in this novel treated heterosexual relationship as something absolute supported by the norms that applied in their society (social, cultural, and religion) as well as the human reproductive factor. Therefore, the people in Cermin Merah completely neglected Arsena and the other characters’ sexual deviance because it violated their norms. Their rejection led to discriminative actions towards LGBTQ+ characters in this novel, specifically Arsena, Edu, and Anto. As time goes by, human’s sexual orientation keeps on growing which is why there needs to be an openness in order to deal with its presences.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Andreas
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas petarungan pihak yang saling berlawanan dalam mendapatkan ketetapan hukum dari Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas norma hukum dalam Pasal 284 dan 292 KUHP. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana kritis milik van Dijk dan konsep dari Bourdieu mengenai, doxa, heterodoxa dan orthodoxa. Peneliti berusaha mengungkap pengunaan wacana heterodoxa dan wacana orthodoxa atas doxa heteronormativitas dalam arena yudisial Mahkamah Konstitusi. Wacana heterodoxa atas doxa heternormativitas digunakan pihak penentang untuk membongkar kesewenang-wenangan yang terdapat dalam permohonan pemohon. Sementara wacana orthodoxa atas doxa heternormativitas digunakan kelompok pendukung untuk memapankan doxa atas heteronormativitas sebagai satu-satunya bentuk kenormalan seksualitas.
ABSTRACT
This thesis discusses the conflicting battle of parties in obtaining legal provisions of the Constitutional Court on the constitutionality of legal norms in Articles 284 and 292 of the Criminal Code. This research is conducted by qualitative approach with the method of critical discourse analysis of van Dijk and Bourdieu concept about doxa, heterodoxa and orthodoxa. Researchers try to uncover the use of heterodoxa discourse and orthodoxa discourse over doxa heteronatifivitas in the judicial arena of the Constitutional Court. The discourse of heterodoxa upon doxa heternativity is used by the opposing parties to expose the arbitrariness contained in the petition of the petitioner. While orthodoxa discourse over doxa heternatifivitas used support groups to establish doxa over heteronatifivitas as the only normal form of sexuality.
2018
T51178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Maretha Uli
Abstrak :
Aliran informasi melalui pemberitaan jurnalistik didominasi oleh media massa arus utama. Media ini telah menghasilkan berita diskriminatif terhadap kelompok minoritas queer dengan tidak meliput queer secara berimbang untuk merepresentasi komunitas. Pemberitaan ini dipengaruhi oleh proses peliputan yang melibatkan nilai dan ideologi jurnalis. Terhadap isu keberagaman gender dan seksualitas, pandangan heteronormatif menjadi alat framing jurnalis dalam meliput queer. Dampak pemberitaan dengan framing heteronormatif pada komunitas queer adalah konstruksi sosial yang mengalienasi dan pembentukan opini publik yang menolak keberadaan queer. Media alternatif, dengan sifat menyangkal media arus utama dan melawan hegemoni media, menjadi solusi bagi representasi queer. Media alternatif menggunakan pendekatan inklusif dan nondiskriminatif yang meluruhkan framing heteronormatif. Media alternatif merekonstruksi penerimaan terhadap queer dengan mengkritisi media arus utama dan memberitakan queer secara berimbang tanpa framing negatif. Dalam makalah ini, dengan menggunakan kajian literatur dan observasi media, penulis hendak melihat bagaimana media alternatif menjadi media utama yang bisa merepresentasi queer dengan adil. ......The flow of information through journalistic reporting is dominated by mainstream mass media. This media has produced discriminatory news against queer minority groups by not covering queer in a balanced way to represent the community. This reporting is influenced by the covering process which involves journalists’ values and ideology. Regarding issues of gender and sexuality diversity, heteronormative viewpoints become a framing tool for journalists in covering queer issues. The impacts of heteronormative reporting on the queer community are an alienating social construction and the forming of public opinion that rejects queers’ existence. Alternative media, with its nature of countering mainstream media and opposing media hegemony, is a solution for queer representation. Alternative media uses an inclusive and non-discriminatory approach that breaks down heteronormative framing. Alternative media reconstructs the acceptance of queers by criticizing mainstream media and reporting on queers in a balanced manner free of negative framing. In this paper, using literature studies and media observations, the author wants to see how alternative media has become the main media that can represent queers fairly.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Panji Indra
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji 133 artikel berita daring Republika periode Januari Maret 2016 yang mengulas LGBT. Dengan menggunakan teknik analisis wacana kritis, peneliti menelaah bagaimana maskulinitas hegemonik mewujudkan dirinya dalam teks-teks berita tersebut, men-stigma kelompok LGBT, dan mendukung tatanan gender patriarkal di Indonesia. Penulis berharap untuk mempopulerkan teori maskulinitas hegemonik dalam menjembatani subordinasi perempuan dengan heteronormativitas. Riset ini menyimpulkan bahwa artikel-artikel berita Republika mengidolakan maskulinitas hegemonik dengan mengalamiahkan cisgenderisme dan heteroseksualitas sehingga ikut memperkuat tatanan gender patriarkal di Indonesia.
This research investigates 133 Republikas LGBT related online news articles published from January to March, 2016. Using critical discourse analysis, we examine how hegemonic masculinity manifests itself in the news, stigmatizes LGBT community, and reproduce patriarchal gender order in Indonesia. We expect to popularize the use hegemonic masculinity to link women subordination with heteronormativity. This research concludes that Republikas online news articles idolize hegemonic masculinity by naturalizing cisgenderism and heterosexuality, and, by doing so, reinforce the overall patriarchal gender order in Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Ulina
Abstrak :
Manga boys love (BL) merupakan salah satu budaya pop Jepang yang telah mendunia, berfokus pada kisah hubungan romantis antara laki-laki yang menghadirkan sejumlah tokoh-tokoh homoseksual dengan spektrum identitas gender yang beragam. Penelitian ini menganalisa proses “konstruksi identitas gender” tersebut, khususnya melalui tokoh Karasuma dalam manga BL bergenre omegaverse dengan judul Kurui Naku no wa Boku no Ban karya Kusabi Keri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan Queer Theory dari Judith Butler, didukung oleh konsep gender performativity dan gender identity sebagai pilar utama teori tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Karasuma sebagai seorang tokoh omega, awalnya digambarkan sebagai seorang “laki-laki” dengan identitas gender feminin, lemah, dan inferior sehingga kerap mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak senonoh oleh kelompok alpha, kelompok laki-laki dengan identitas gender maskulin, dominan, kuat, dan superior. Namun Karasuma berusaha mengubah identitas gender feminin yang dilekatkan padanya, dengan mendobrak norma dan relasi gender tradisional yang berlaku melalui berbagai perlawanan dan strategi, atau “gender performativity”—mengikuti terminologi Butler—hingga berhasil mengonstruksi identitas gendernya sendiri, dan melahirkan identitas gender yang baru, yang disebut oleh Butler sebagai “identitas gender ketiga” atau masculine female. Sebagai genre narasi yang diproduksi dan dinikmati perempuan, Kurui Naku no wa Boku no Ban pun menjadi salah satu wacana baru yang mendekonstruksi gagasan heteronormativitas dalam masyarakat Jepang. ......Boys Love manga (BL) is a worldwide Japanese pop culture, focusing on the story of romantic relationships between men which presents homosexual figures with diverse set of gender identities. This study analyzes the process of "construction of gender identity", specifically through the character Karasuma in the BL omegaverse manga titled Kurui Naku no wa Boku no Ban by Kusabi Keri. This research uses descriptive analysis method in Judith Butler’s Queer Theory and is supported by the concept of gender performativity and gender identity. This research finds that Karasuma as an omega figure, was initially described as a male with feminine, weak, and inferior gender identity, as a result, he often experiences discrimination and indecent treatment by alpha characters or men with masculine, dominant, strong, and superior traits. However, Karasuma tried to change the feminine gender identity attached to him, by opposing traditional gender norms and relations through various resistances and strategies, or "gender performativity"—following Butler's terminology—to succeed in constructing his own gender identity, and thereby generate a new gender identity that is what Butler calls "third gender identity" or masculine female. As a narrative genre that is produced and enjoyed by women, Kurui Naku no wa Boku no Ban has become a new discourse that deconstructs the idea of heteronormativity in Japanese society.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dominick Wulandhani
Abstrak :
ABSTRAK
Sebagai salah satu episode paling populer dari serial televisi fiksi ilmiah asal Inggris, San Junipero dipandang sebagai salah satu episode serial Black Mirror yang menarik untuk dianalisis, terlebih dari segi sains dan teknologi, karena adanya penggunaan teknologi virtual canggih didalamnya. Meskipun demikian, pembahasan tentang isu-isu LGBT dalam serial televisi fiksi seperti ilmiah Black Mirror masih jarang ditemukan. Dengan menggunakan metode analisis mise-en-scènes untuk menelaah aspek-aspek sinematografis seperti latar, warna, kostum, teknik kamera, serta akting, sekaligus metode analisis literatur untuk menelaah keberadaan serta karakteristik tokoh-tokoh LGBT di dalamnya, tulisan ini mencoba menelaah aspek-aspek heteronormatif yang masih bertahan di balik imej celebration of queerness yang diakui oleh para penggemar episode ini. Dari hasil analisis, nilai-nilai heteronormativitas masih tercermin di dalam episode ini karena, faktanya, kedua karakter LGBT di dalamnya masih ditampilkan secara stereotipikal. Eksistensi karakter-karakter LGBT di dalam episode ini juga ternyata sesuai dengan kritik Rich (1980) tentang latar belakang eksistensi lesbian yang berkaitan dengan heteronormativitas.
ABSTRACT
As one of the episodes from the famous sci-fi British TV series, San Junipero has become one of the most interesting episodes from Black Mirror series to be analyzed, specifically from the perspective of science and technology, for its mind-blowing VR-based invention. Nevertheless, the aspect of gender and LGBT issues has not been commonly explored in sci-fi literature like Black Mirror. Using mise-en-scène as an approach to analyze some of the cinematographic elements, (setting, color, costume, camera work and performance) as well as analyzing the queer characters, this article tries to identify the heteronormative elements that still persist under the image of a celebration of queerness the episode has received from the fans. Apparently, heteronormativity is still depicted in the episode for the fact that the queer characters are still portrayed rather stereotypically according to several studies about the representation of queer characters in the media discussed by Seifs (2013). As a heterotopia, according to Foucaults (1986), the establishment of the queer characters in San Junipero also fit Richs (1980) critique towards the lesbian existence in relation to compulsory heteronormativity that queer romance exists through melancholy. Nevertheless, not all aspects in the episode scream pure heteronormativity. Although at first glance it seems stereotypical, the queer characters appearance seem to help establishing a non-stereotypical identity in female-female relationship.
[Depok, Depok]: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Andro Putranto
Abstrak :
Dalam masyarakat yang kental dengan cara pandang heteronormativitas, individu nonbiner memanfaatkan ruang digital untuk mempresentasikan identitas gender diri seutuhnya. Salah satu aplikasi kencan berbasis internet, Bumble menembus batas mengekang tersebut dengan membentuk ruang aman beserta rangkaian kebijakan yang mengutamakan gender inklusivitas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melibatkan enam pengguna Bumble yang mengidentifikasi diri sebagai nonbiner, serta memperoleh data melalui wawancara mendalam bersama informan, serta observasi penggunaan Bumble. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana platform Bumble tersebut tak sepenuhnya ramah bagi gender minoritas karena pengguna nonbiner sering kali mengalami mikroagresi. Selain itu, identitas gender memegang peran penting bagi pengguna nonbiner di Bumble dalam membangun interaksi dengan orang baru. Pengguna nonbiner menanggulangi diskriminasi yang terjadi melalui metode penyaringan profil secara manual dengan kriteria tertentu untuk memilah profil yang mereka ingin menjalin interaksi. Hal ini bertujuan untuk melindungi diri dari terjadinya mikroagresi dan diskriminasi serta tetap dapat menavigasikan identitas gender mereka dengan leluasa pada aplikasi tersebut. ......In a society deeply rooted by heteronormative perspectives, nonbinary individuals leverage digital spaces to authentically present their gender identities. Internet-based dating application, Bumble, defies these constraints by establishing a safe space and a set of policies that prioritize gender inclusivity. This research employs a qualitative method involving six Bumble users who identify as nonbinary, gathering data through in-depth interviews, also through observations of Bumble usage. The findings indicate that the Bumble platform is not entirely accommodating to gender minorities, as nonbinary users frequently experience microaggressions. Furthermore, gender identity plays a crucial role for nonbinary users on Bumble in establishing interactions with new people. Nonbinary users prevent discrimination through manual profile filtering methods with specific criteria to select profiles with whom they wish to interact. This aims to protect themselves from microaggressions and discrimination while navigating their gender identities freely on the application.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library