Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Rizky Fauziah Putri
"Skripsi ini membahas mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure) dalam Hukum Perjanjian dan akibatnya bagi para pihak. Dalam penerapannya diperlukan batasan-batasan tertentu agar ketentuan force majeure tersebut dapat dijadikan dasar pembelaan yang dapat membebaskan debitur dari kewajiban pembayaran ganti rugi. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif dan prespektif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa PT Telkomsel sebagai pihak penyewa dalam suatu perjanjian sewa menyewa dengan H. Darmawan Kasim sebagai pihak yang menyewakan, tidak dapat dituntut untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh H. Darmawan Kasim karena kedua belah pihak sudah menetapkan klausul force majeure di dalam perjanjian sewa menyewa yang dibuat diantara keduanya. Sehingga ketentuan dalam perjanjian itulah yang berlaku bagi keduanya.
This thesis discusses about the concept of force majeure in the Contract Law according to Indonesian Civil Code and its consequences for the parties. In its implementation is required certain limitations in order to the provisions of force majeure can be used as the legal basis of an excuse so that the debtor is not liable for damages suffered by the creditor. This provision is statute in Indonesian Civil Code or either in the contract agreed by the parties. The research conducted by legal research in a normative juridical approach methodology with descriptive and analytical perspective. The research concluded that PT Telkomsel as the lessee (debtor) in a lease agreement with H. Darmawan Kasim as the lessor (creditor), may not be prosecuted to pay any loss suffered by H. Darmawan Kasim due to such loss not caused by the debtor and both parties have set a force majere clause in the lease agreement made by them. In that clause, both parties have agreed about legal consequences in the event of fail to perform due to force majeure, which the parties cannot be deemed for doing a negligence or event of default and its loss become risk for each parties and the parties waive their rights to prosecute, so that provisions statute in the agreement are applicable to the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1663
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Ghali Amiyama
"
ABSTRAKSkripsi ini membahas mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure) dalam Hukum Perjanjian dan bagaimana penerapan klausula force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif dan prespektif analitis. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. merupakan force majeure atau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausula force majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/diduga akan terjadi.
ABSTRACTThis research discusses about the concept of force majeure in the Contract Law according to Indonesian Civil Code and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010. The research conducted by legal research in a normative juridical approach methodology with descriptive and analytical perspective. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No.587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about "flood" (whether flood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that "flood" stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the "flood" in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure that the flood can be predicted/expected."
2014
S53570
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
M. Rifki Maulana
"Setiap perjanjian yang telah mengikat selayaknya dihormati oleh para pihak dengan cara beritikad baik dalam melaksanakan serta mengupayakan pemenuhan prestasinya. Hal tersebut merupakan implementasi dari asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 KHU Perdata. Skema KPBU yang berlandaskan perjanjian keperdataan antara pemerintah selaku pemilik proyek dan badan usaha sebagai pelaksana menjadi salah satu alternatif dalam pemberian layanan dengan penyediaan infrastruktur ditengah sulitnya pembiayaan akibat terbatasnya sumber daya. Pandemi Covid-19 yang melanda sering dijadikan alasan berhentinya pelaksanaan perjanjian akibat dihubungkannya kejadian tersebut dengan keadaan kahar (force majeure). Hal tersebut menjadi masalah, sebab para pihak dapat dirugikan mengingat penyiapan proyek KPBU memakan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, perlu diaturnya klausul keadaan kahar dengan baik dan memberikan alternatif pengaturan dalam menyikapi keadaan tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris preskriptif. Analisis penelitian menggunakan teori keadaan memaksa (force majeure/overmacht) dari waktu ke waktu dan prinsip keadaan sulit (hardship). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan suatu keadaan kahar digantungkan pada pengaturan perjanjian dan produk hukum tertentu yang dikeluarkan pemerintah. Agar tidak mudahnya suatu perjanjian diakhiri, negosiasi ulang perjanjian dapat menjadi salah satu alternatif dengan memasukkan prinsip keadaan sulit (hardship) yang penerapannya sesuai (match) dengan karakteristik KPBU. Pemerintah perlu segera mensosialisasikan penggunaan prinsip hardship serta memerhatikan produk hukum yang dikeluarkan terkait keadaan yang berhubungan dengan keadaan kahar.
Every agreement that has been made should be respected by the parties who bind themselves by means of good faith in executing and the fulfilment of the performance. This is an implementation of the pacta sunt servanda principle which is regulated in Article 1338 of the Civil Code. The PPP scheme, which is based on an agreement between the government as the project owner and the business entity as the executor, is an alternative in providing services by building infrastructure in the midst of financing problems due to limited resources. The Covid-19 pandemic is often used as the reason for termination of contract due to the correlation of the situation with force majeure. This is a problem because the parties risk suffering loss considering that the preparation of a PPP project takes a lot of energy, time, and cost. Therefore, it is necessary to regulate the force majeure clause properly and provide alternative arrangements in responding to certain circumstances. The research method used in this thesis is a normative juridical research with a prescriptive explanatory typology. The research analysis uses the theory of force majeure/overmacht from different periods and the principle of hardship. The result of the study shows that the fulfilment of a force majeure depends on the arrangement of certain contracts and legal products issued by the government. In order to prevent a contract from being terminated easily, renegotiation of the agreement may become an alternative by incorporating the principle of hardship whose application matches the characteristics of PPP projects. The government needs to immediately socialize the use of the hardship principle and pay attention to legal products issued in relation to circumstances of potential force majeure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nadya Aurelia Salsabila
"Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya adalah eksistensi perjanjian yang terganggu pelaksanaannya dikarenakan terdapat sejumlah pihak yang tidak bisa memenuhi prestasi atau kewajiban kontraktualnya dengan mendalilkan pandemi Covid-19 sebagai kategori keadaan memaksa (force majeure). Penelitian ini membahas pelaksanaan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi karena pandemi Covid-19 di Indonesia dan Malaysia. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan pada kedua negara yang menjadi fokus perbandingan dalam penelitian ini. Simpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya ketentuan yang secara khusus menyatakan pandemi Covid-19 sebagai force majeure baik dalam hukum perjanjian Indonesia maupun Malaysia mengakibatkan suatu sengketa kontrak yang terjadi harus dinilai berdasarkan kasus per kasus serta memperhatikan kesesuaiannya dengan berbagai ketentuan yang berlaku. Saran yang dapat diberikan adalah para pihak yang akan mengadakan perjanjian sebaiknya merumuskan klausul tentang force majeure secara tegas dan jelas, serta dapat melakukan renegosiasi sebagai upaya pelaksanaan perjanjian apabila tidak ditemukan klausul yang secara jelas mengatur tentang kondisi tertentu karena pelaksanaan perjanjian tetap harus diupayakan sebab adanya kekuatan mengikat pada setiap perjanjian yang dibuat secara sah.
The Covid-19 pandemic has had a significant impact on various aspects of people’s lives, one of which is the existence of contracts whose implementation has been disrupted because there are some of parties who cannot fulfill their achievements or contractual obligations by postulating the Covid-19 pandemic as a category of force majeure. This research discusses the implementation of contracts due to defaults due to the Covid-19 pandemic in Indonesia and Malaysia. The method used is normative juridical by examining laws and regulations and court decisions in the two countries which are the focus of comparison in this research. The conclusion of this research is that there are no provisions specifically stating the Covid-19 pandemic as a force majeure in both Indonesia and Malaysia contract law resulting in a contract dispute that occurs must be assessed on a case-by-case basis and pay attention to its compliance with various applicable provisions. Advice that can be given is that the parties who are going to enter into a contract should formulate clauses regarding force majeure explicitly and clearly, and also can renegotiate as an effort to implement the contract if no clause is found that clearly regulates certain conditions because the implementation of the contract must still be pursued because of the existence of binding force on any contract made legally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library