Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aktiva Noviyanti
Abstrak :
Stroke termasuk bagian dari penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Penyakit multikausal ini terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor risiko, salah satunya karena pola makan yang berisiko.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola konsumsi makanan berisiko pada pasien stroke di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Desain penelitian ini adalah deskriptif cross-sectional dengan menggunakan kuesioner Food Frequency Questionnaire (FFQ) dan analisis data uji proporsi. Penelitian ini dilakukan pada 82 responden yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling pada pasien stroke rawat jalan di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta. Hasil penelitian ditemukan 50,4% pasien memiliki pola konsumsi makanan tinggi natrium yang berlebih, 50% memiliki pola konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol yang berlebih, sedangkan hanya 23,3% pasien stroke yang memiliki pola konsumsi kurang sayur dan buah. Dengan demikian, pola konsumsi makanan tinggi natrium, lemak, dan kolesterol menjadi faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya stroke.
Stroke is a non-communicable disease which can lead to death and disability. This multicausal disease is brought on by many risk factors; for instance, risky dietary patterns. This research is conducted to investigate the risky dietary patterns of stroke patients at the National Brain Center Hospital (Rumah Sakit Pusat Otak Nasional). This research is carried out using cross-sectional descriptive design; implying the use of Food Frequency Questionnaire (FFQ) and proportion testing method to collect and analyze the data. There are 82 respondents chosen using purposive sampling technique among the ambulatory stroke patients at the National Brain Center Hospital. This research finds that among the 82 stroke patients, 50,4% have an excess of natrium in their diet, 50% regularly consume foods and beverages which are high in fat and cholesterol, and 23,3% lack for fruits and vegetables intake. These findings suggest that dietary patterns which are high in natrium, fat, and cholesterol can be the risk factor for stroke.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ridwan Ansari
Abstrak :
[ABSTRAK
Informasi mengenai adanya semi-quantitative food frequency questionnaire (SFFQ) yang valid untuk mengukur asupan PUFA pada anak di Indonesia masih minim. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan SFFQ dan menguji validitas dan reliabilitas dari SFFQ tersebut untuk mengukur asupan PUFA pada anak di Indonesia usia 6-23 bulan. Penelitian ini dilaksanakan dengan desain cross sectional di dua kelurahan wilayah Jakarta Timur. Penelitian ini melibatkan 89 anak yang dipilih secara multistage random sampling. Anak-anak tersebut dilakukan pengukuran intake melalui SFFQ dan wawancara recall selama 3 hari tidak berturut-turut. Beberapa anak (n=35) telah dipilih untuk dilakukan pengukuran plasma lipid dalam darah. Formulir SFFQ terdiri dari 78 item makanan yang disusun dari tabel komposisi bahan makanan luar Indonesia. SFFQ tersebut kemudian divalidasi dengan wawancara recall dan plasma lipid dalam darah. Pelaksanaan SFFQ dilakukan dua kali dengan rentang 4 minggu terpisah untuk mengetahui reliabilitasnya. Relatif validitas dan realibilitas dari SFFQ disimpulkan dari hasil analisa Bland-Altman. Uji korelasi parsial yang telah dikontrol dengan status gizi dan usia anak dilakukan untuk mengukur absolut validitas dari SFFQ. Kecocokan yang baik ditemukan antara hasil SFFQ dan wawancara recall untuk DHA, EPA, DPA dan AA akan tetapi tidak untuk total n-3, n-6, ALA dan LA. Lebih jauh, SFFQ menunjukkan korelasi yang moderat dengan plasma lipid dalam darah untuk n-6 dan LA (r: 0.40; p=0.025 and r:0.42 p=0.018, secara berurutan). Hasil analisa Bland-Altman menunjukkan 95% kecocokan antara hasil SFFQ pertama dan pengulangan SFFQ untuk semua asam lemak esensial. Secara keseluruhan, SFFQ yang dikembangkan relatif valid untuk mengukur asupan PUFA kecuali untuk total n-3, n-6, ALA dan LA. SFFQ juga reliable untuk mengetahui asupan PUFA pada anak.
ABSTRACT
The information on the existing validated semi-quantitative food frequency questionnaire (SFFQ) to capture the intakes of PUFA for Indonesian children is lacking. Therefore, this study aimed to investigate the validity and reproducibility of developed SFFQ for assessing poly-unsaturated fatty acids (PUFA) intake for Indonesian children aged 6-23 months. A cross sectional study was conducted in two sub-districts of East Jakarta involving 89 healthy children selected by multistage random sampling. These children were assessed by SFFQ and 3-day non consecutive 24-h recall. Some children (n=35) were randomly selected for plasma assessment (PA). The SFFQ consist of 78 food items which were constructed from the non-Indonesian food composition database. It was validated against dietary recall and PA. Repeated administration of SFFQ (4-week apart) was conducted to assess the reproducibility of SFFQ. The relative validity and reproducibility of SFFQ were determined by Bland-Altman analysis. The adjusted correlation for children nutritional status and age was performed to assess absolute validity of SFFQ. Good agreement was found between SFFQ and dietary recall for DHA, EPA, DPA, and AA, but not for total n-3, n-6, ALA and LA. Moreover, SFFQ showed moderate correlations with plasma n-6 LCPUFA and LA (r: 0.40; p=0.025 and r:0.42 p=0.018, respectively). A 95% level of Bland-Altman agreement was clearly observed between first SFFQ and repeated SFFQ for all essential fatty acids. In conclusion, the SFFQ was relatively valid to assess usual PUFA intake except for total n-3, n-6, ALA and LA and reproducible to estimate PUFA intake of children, The information on the existing validated semi-quantitative food frequency questionnaire (SFFQ) to capture the intakes of PUFA for Indonesian children is lacking. Therefore, this study aimed to investigate the validity and reproducibility of developed SFFQ for assessing poly-unsaturated fatty acids (PUFA) intake for Indonesian children aged 6-23 months. A cross sectional study was conducted in two sub-districts of East Jakarta involving 89 healthy children selected by multistage random sampling. These children were assessed by SFFQ and 3-day non consecutive 24-h recall. Some children (n=35) were randomly selected for plasma assessment (PA). The SFFQ consist of 78 food items which were constructed from the non-Indonesian food composition database. It was validated against dietary recall and PA. Repeated administration of SFFQ (4-week apart) was conducted to assess the reproducibility of SFFQ. The relative validity and reproducibility of SFFQ were determined by Bland-Altman analysis. The adjusted correlation for children nutritional status and age was performed to assess absolute validity of SFFQ. Good agreement was found between SFFQ and dietary recall for DHA, EPA, DPA, and AA, but not for total n-3, n-6, ALA and LA. Moreover, SFFQ showed moderate correlations with plasma n-6 LCPUFA and LA (r: 0.40; p=0.025 and r:0.42 p=0.018, respectively). A 95% level of Bland-Altman agreement was clearly observed between first SFFQ and repeated SFFQ for all essential fatty acids. In conclusion, the SFFQ was relatively valid to assess usual PUFA intake except for total n-3, n-6, ALA and LA and reproducible to estimate PUFA intake of children]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasiswantoro Saksono
Abstrak :
Objektif: Pengurangan pada jumlah gigi posterior dapat dihubungkan dengan asupan nutrisi, status nutrisi, dan kemampuan mastikasi pada lansia. Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara kehilangan gigi, asupan nutrisi, status nutrisi, dan kemampuan mastikasi. Metode: Total 158 subjek berusia diatas 60 tahun di kota Depok, Jawa Barat, Indonesia. Gigi posterior dibagi menjadi 2 grup berdasarkan Index Eichner; grup A2-B3 dan grup B4-C3. Untuk pengukuran asupan nutrisi dilakukan menggunakan semi-quantitative food-frequency questionnaire dengan mengukur jumlah kalori, dan untuk mengukur status nutrisi menggunakan Mini-Nutritional Assessment-Short Form. Hasil: 74% subjek perempuan, 26% laki-laki. Terdapat perbedaan signifikan pada nilai rata-rata kemampuan mastikasi (p = 0.000), Eichner grup A2-B3 (5.66 ± 1.80) dan B4-3 (3.20 ± 1.25). Namun, tidak ada perbedaan signifikan antara status nutrisi dan asupan nutrisi pada kedua grup Eichner. Kesimpulan: Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kehilangan gigi berhubungan dengan kemampuan mastikasi, namun tidak pada status nutrisi ataupun asupan nutrisi pada lansia.
Objective: A reduction in the number of posterior teeth is associated with diminished nutrition intake, nutritional status, and masticatory performance in the elderly. Previous studies on the relationships between tooth loss, nutrition intake, nutritional status, and masticatory performance have yield varying results. Methods: A total of 158 subjects aged 60 years and older from Depok, West Java, Indonesia were enrolled in the study. Posterior tooth contacts were assessed based, and the subjects were accordingly divided into two groups based on the Eichner Index; group A2-B3 and group B4-C3. A semi-quantitative food-frequency questionnaire was used to measure nutritional intake in the form of total calories, and the Mini-Nutritional Assessment-Short Form was used to measure nutritional status. Results: Seventy-four percent of participants were females, and the remaining (26%) were males. A significant difference in the mean masticatory performance score (p = 0.000) was noted between Eichner group A2-B3 (5.66 ± 1.80) and B4-C3 (3.20 ± 1.25). However, no statistically significant differences in nutritional status and calorie intake were noted between the two groups. Conclusion: These findings indicate that the number of teeth lost is related to mastication, but not to nutritional status or calorie intake in the elderly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Marino
Abstrak :
Latar Belakang: Pengobatan Kanker kepala leher (KKL) melalui terapi radiasi maupun kemoradiasi sering menimbulkan efek samping. Efek samping terapi radiasi pasien KKL menyebabkan gangguan asupan yang meningkatkan kejadian malnutrisi. Ketersediaan jalur nutrisi enteral merupakan salah satu tata laksana nutrisi yang dapat diberikan untuk mencegah penurunan asupan dan status gizi pasien KKL. Penelitian ini bertujuan melihat korelasi antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan pemenuhan nutrisi dan status gizi. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subjek dewasa dengan KKL pasca terapi radiasi di poliklinik radioterapi RSCM. Pemenuhan nutrisi dinilai dengan FFQ semi kuantitatif sedangkan status gizi diukur dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). Ketersediaan jalur nutrisi enteral didapatkan melalui wawancara dan rekam medis pasien. Hasil: Sebanyak 41 subjek penelitian dengan rerata usia 51 tahun ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar subjek adalah laki-laki, diagnosis kanker nasofaring, stadium IV, dan jalur nutrisi oral. Rerata IMT subjek 20,5 ± 3,6 kg/m2 dan rerata asupan subjek 1336,7 ± 405,5 kkal/hari. Rerata IMT subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih rendah dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 18,2 ± 2,6 kg/m2 dibanding 21,2 ± 3,5 kg/m2. Rerata total asupan energi subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih tinggi dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 1498,1 ± 430,6 kkal/hari dibanding 1291,4 ± 393,3 kkal/hari. Terdapat korelasi nagatif sedang antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi (r=-0,346, p=0,027) dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi (r=0,216, p=0,174). Meskipun demikian pada penelitian ini ditemukan bahwa proporsi subjek yang mendapat jalur nutrisi enteral dan mengalami penurunan IMT lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi subjek yang menggunakan jalur oral, yaitu 22,2% dengan 43,8%. Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif sedang yang signifikan antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi yang masih dipengaruhi oleh faktor perancu penelitian. ......Background: Treatment of head and neck cancer (HNC) through radiation therapy or chemoradiation often lead to side effects. The side effect of radiation therapy in HNC patients might deteriorate food intake that increase the incidence of malnutrition. The availability of enteral nutrition is one of nutritional interventions that can be provided to prevent detrimental of food intake and nutritional status in HNC patients. This study aims to evaluate the correlation between the availability of enteral nutrition with nutritional fulfillment and nutritional status. Method: A cross sectional study was conducted on adult HNC patients after radiation therapy at Radiotherapy Outpatient Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional fulfillment was assessed by semi-quantitative food frequency questionnaire (FFQ) while nutritional status was measured by calculating body mass index (BMI). The availability of enteral route was obtained through interviews and patients medical records. Results: A total of 41 subjects with a mean age of 51 years participated in the study. Most of the subjects were male, with stage IV nasopharyngeal cancer and oral nutrition route. The mean of BMI was 20,5 ± 3,6 kg/m2 and the mean food intake was 1336,7 ± 405,5 kcal/day. The mean BMI of subjects with enteral nutrition was lower than those on oral nutrition, which was 18,2 ± 2,6 kg/m2 compared to 21,2 ± 3,5 kg/m2. The mean total energy intake of subjects with enteral nutrition route was higher than oral nutrition route, which was 1498,1 ± 430,6 kcal/day compared to 1291,4 ± 393,3 kcal/day. There was a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition and nutritional status (r=-0,346, p=0,027), meanwhile there was a weak positive correlation with nutritional fulfillment (r=0,216, p=0,174). However, in this study we found that the proportion of subjects with enteral nutrition who experienced a decrease of BMI was less than the proportion of subjects on the oral route, which was 22,2% compared to 43,8%, respectively. Conclusion: There is a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition which was statistically significant with nutritional status and a weak correlation with nutritional fulfillment which was still influenced by confounding factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library