Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Tabitha Chris Mahadewi
Abstrak :
Non-consensual image sharing pada dasarnya adalah penyebaran gambar atau video intim milik seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Dalam kasus ini, non-consensual image sharing dianggap sebagai suatu kejahatan yang bersifat gender, dimana kejahatan ini diklasifikasikan sebagai KBGO yang menimpa perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengalaman viktimisasi perempuan yang mengalami nonconsensual image sharing. Data yang didapatkan dari penelitian ini dikumpulkan melalui metode kualitatif atau wawancara tidak terstruktur kepada narasumber. Narasumber pada penelitian ini adalah AZ, KH, dan AK. Metode wawancara tidak terstruktur bersama ketiga narasumber ini digunakan untuk menggali lebih lanjut bagaimana pengalaman mereka saat mengalami non-consensual image sharing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para perempuan ini mengalami viktimisasi yang beragam. Fenomena ini dilihat oleh teori feminis radikal sebagai suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta kepemilikan modern terhadap perempuan. Para narasumber juga mengalami dampak akibat non-consensual image sharing yang mereka terima yang dibahas juga dalam penelitian ini. ......Non-consensual image sharing pada dasarnya adalah penyebaran gambar atau video intim milik seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Dalam kasus ini, non-consensual image sharing dianggap sebagai suatu kejahatan yang bersifat gender, dimana kejahatan ini diklasifikasikan sebagai KBGO yang menimpa perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengalaman viktimisasi perempuan yang mengalami nonconsensual image sharing. Data yang didapatkan dari penelitian ini dikumpulkan melalui metode kualitatif atau wawancara tidak terstruktur kepada narasumber. Narasumber pada penelitian ini adalah AZ, KH, dan AK. Metode wawancara tidak terstruktur bersama ketiga narasumber ini digunakan untuk menggali lebih lanjut bagaimana pengalaman mereka saat mengalami non-consensual image sharing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para perempuan ini mengalami viktimisasi yang beragam. Fenomena ini dilihat oleh teori feminis radikal sebagai suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta kepemilikan modern terhadap perempuan. Para narasumber juga mengalami dampak akibat non-consensual image sharing yang mereka terima yang dibahas juga dalam penelitian ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Jenny Rahayu Afsebel
Abstrak :
Di dalam budaya patriarki, marital rape adalah sebuah kejahatan yang pada umumnya rentan dialami oleh perempuan. Namun, perlindungan perempuan korban marital rape belum optimal dilaksanakan. Studi kualitatif ini bertujuan menemukan dan menganalisis transformasi nilai kesetaraan gender melalui kebijakan sosial yang dapat mendorong perlindungan bagi perempuan korban marital rape. Penelitian ini melibatkan 3 informan perempuan korban marital rape dan 20 narasumber terkait dari lembaga pemerintah (KemenPPA, Kepolisian, P2TP2A), lembaga layanan korban (Women Crisis Center), Komnas Perempuan, akademisi maupun pemuka agama (Islam, Kristen, Katolik, Buddha). Wawancara dilakukan secara daring dan tatap muka. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan teori kriminologi feminis dan feminis radikal. Teori kriminologi feminis melihat marital rape sebagai kejahatan dan feminis radikal melihat patriarki sebagai penyebabnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk kebijakan sosial di level individual, interpersonal, organization, community, dan public policy yang beragam seperti transformasi bimbingan pranikah, regulasi, layanan pendampingan (psikologis, medis, ekonomi dan keterampilan bekerja). Dari beragam bentuk kebijakan sosial yang ditemukan, peneliti memprioritaskan terlaksananya transformasi layanan pendampingan korban yang sesuai dengan kebutuhan korban dan bimbingan pranikah di berbagai level kebijakan. ......In a patriarchal culture, marital rape is a crime that is generally vulnerable to experience by women. However, protecting women victims of marital rape has not been optimally implemented. This qualitative study aims to find and analyze the transformation of the value of gender equality through social policies that can encourage protection for women victims of marital rape. This study involved three female informants who were victims of marital rape and 20 related sources from government institutions (KemenPPA, Police, P2TP2A), victim service institutions (Women Crisis Center), and Komnas Perempuan, academics and religious leaders (Islam, Christian, Catholic, Buddhist). Interviews were conducted online and face-to-face. The data collected were analyzed using feminist and radical feminist criminology theory. The feminist criminological theory sees marital rape as a crime, and radical feminists see patriarchy as the cause. The results of this study show that there are various forms of social policy at the individual, interpersonal, organizational, community, and public policy levels, such as the transformation of premarital guidance, regulation, and mentoring services (psychological, medical, economic and work skills). From the various forms of social policies found, the researchers prioritized the transformation of victim assistance services according to the needs of victims and premarital guidance at various policy levels.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfia
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas resistensi yang dilakukan oleh perempuan bercerai terhadap stigma janda. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana resistensi perempuan bercerai terhadap stigma janda dengan melihat pada tiga ranah daerah berdasarkan pengalaman perempuan, yaitu pada saat proses pengambilan keputusan, persidangan cerai, dan pasca resmi menjadi janda dengan menggunakan teori feminis radikal. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang perempuan janda cerai yang mendapatkan stigma dan melakukan perlawanan atas opresinya. Penelitian ini menemukan bahwa i Faktor ekonomi, kultural, agama memberikan pengaruh terhadap keberadaan stigma janda yang menimpa perempuan bercerai hidup; ii Seksualitas perempuan janda merupakan konstruksi sosial patriarki; iii Bentuk perlawanan perempuan bercerai dalam penelitian ini adalah pelawanan tertutup; iv Keempat subyek penelitian memiliki kemampuan agensi yang berdasar pada refleksi, kesadaran diri, dan kekuatan ide-ide untuk menjadi survivor.
ABSTRACT
This research is explicating the resistance of divorced women towards the widow stigmatization. This research has a goal to discover the resistance that was done by divorced women towards the widow stigmatization by seeing it in three aspects decision making, divorce trial, and post widow official status, analyzed by radical feminism theory. The subjects of this research are four divorced women who got stigmatized and eventually did the resistance against the oppression. This research found that i Economic, cultural and religious factors have an effect on the existence of the widow stigmatization experienced by divorced woman ii Women sexuality of widows is a patriarchal social construction iii The form of divorced women resistance in this research is hidden resistance iv The subjects of this research have agency capabilities based on reflection, self awareness, and the power of ideas to be a survivor.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Akmal,author
Abstrak :
Speak up merupakan suatu fenomena sosial dimana penyintas menceritakan viktimisasi kekerasan seksual yang dialami melalui media sosial. Penulisan ini bertujuan untuk melihat dualitas reaksi sosial informal dalam fenomena speak up, yakni reaksi yang mendukung sebagai bentuk keadilan alternatif dan reaksi yang tidak mendukung sebagai bentuk reviktimisasi terhadap penyintas, serta hubungannya dengan kepercayaan terhadap budaya perkosaan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis isi kualitatif pada utas tweet @RistyRianda. Hasil analisis menunjukkan bahwa, reaksi yang mendukung penyintas berupa afirmasi dan validasi, rekognisi, membongkar mitos perkosaan, serta adanya penyintas lain yang terdorong untuk speak up atas dasar solidaritas. Selain memberi keadilan bagi individu penyintas, speak up di Twitter juga dapat menumbuhkan kepulihan kolektif bagi para penyintas kekerasan seksual. Sedangkan, reaksi yang tidak mendukung adalah tindakan menyalahkan penyintas, menyepelekan dan mempertanyakan pengalaman kekerasan seksual penyintas, serta membenarkan dan mendukung pelaku kekerasan seksual. Reaksi tidak mendukung adalah bentuk reviktimisasi yang diakibatkan oleh mengakarnya kepercayaan terhadap mitos perkosaan dan budaya perkosaan dalam masyarakat patriarkal. ......Speak up is a social phenomenon where survivors share their victimization of sexual violence through social media. This writing aims to see the duality of informal social reactions in the speak up phenomenon, namely supportive reactions as a form of alternative justice and unsupportive reactions as a form of revictimization of survivors, and its relationship with belief in rape culture. This paper performs a qualitative content analysis of the Twitter thread on @RistyRianda‘s account, based on a radical feminism theory. The analysis results show that the supportive reactions are in the form of affirmation and validation, recognition, rape myth debunking, and the confession of other survivors who are encouraged to speak up on the basis of solidarity. In addition to providing justice for individuals, speak up can also foster collective healing for the survivors of sexual violence. Meanwhile, unsupportive reactions generally take the form of victim blaming, victim questioning, justifying and supporting the perpetrators of sexual violence. The unsupportive reaction is a form of revictimization, caused by the rooted belief in rape myth and rape culture in a patriarchal society.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfiyannisa
Abstrak :
Nilai patriarki dan neoliberalisme menimbulkan kegentingan masalah kekerasan seksual di kampus. Kondisi tersebut memunculkan resistensi berupa aktivisme yang dilakukan oleh warga kampus. Aktivisme dilakukan sebagai respons formal dan informal melalui kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, aktivisme justru direspons oleh kampus dengan pengkhianatan, yang disebut sebagai institutional betrayal. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bentuk institutional betrayal yang dialami aktivis kekerasan seksual di kampus. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan feminis. Teori feminis radikal digunakan untuk menjelaskan permasalahan institutional betrayal sebagai bentuk viktimisasi struktural terhadap aktivisme anti kekerasan seksual di kampus. Hasil penelitian menunjukkan beragam bentuk institutional betrayal, mulai dari memaksa jalan damai, tidak menyediakan kebutuhan aktivis, hingga tidak meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Penelitian ini mengungkap bahwa viktimisasi struktural yang dialami oleh para aktivis disebabkan oleh kecenderungan kampus dalam mengadopsi budaya patriarki. Hal ini menyebabkan para aktivis mengalami institutional betrayal dalam bentuk kelalaian dan kesengajaan. ......The system of patriarchy and neoliberalism creates a critical problem of sexual violence on campus. This condition gave rise to resistance in the form of activism carried out by campus residents. Activism is carried out as a formal and informal response through activities to prevent and handle sexual violence. However, the campus responded to activism with betrayal, known as institutional betrayal. This research aims to identify the forms of institutional betrayal experienced by sexual violence activists on campus. The study was conducted using qualitative methods with a feminist approach. Radical feminist theory is used to explain the problem of institutional betrayal as a form of structural victimization of anti-sexual violence activism on campus. The research results show various forms of institutional betrayal, such as forcing peace, not providing for activists' needs, and not apologizing for mistakes they have made. This research reveals that the structural victimization experienced by activists is caused by the campus' tendency to adopt a patriarchal culture. This causes activists to experience institutional betrayal in the form of negligence and deliberate actions.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raina Rehan
Abstrak :
Media sebagai elemen sentral saat ini masih banyak menampilkan gambaran-gambaran atau peran gender yang seksis, tidak terkecuali dalam Webtoon (Komik Digital). Penggambaran gender yang digambarkan secara seksis dalam Webtoon terdiri dari berbagai bentuk, salah satunya penggambaran karakter damsel in distress. Melalui penggambaran ini para penikmat atau audience secara halus diberikan penggambaran-penggambaran terkait peran gender yang berkecenderungan merugikan perempuan. Tidak hanya itu penggambaran karakter damsel in distress juga memperlihatkan nilai-nilai yang mendukung dominasi laki-laki. Hal ini seperti yang tampak dalam Webtoon Eggnoid. Pada dasarnya penggambaran karakter damsel in distress dalam Webtoon Eggnoid memperlihatkan bagaimana perempuan digambarkan melalui stereotip negatif dengan penggambaran perempuan sebagai makhluk yang lemah, rentan, dan tidak berdaya yang pada akhirnya diselamatkan oleh munculnya karakter laki- laki. Adapun penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perempuan digambarkan dalam media, khususnya Webtoon dan melalui penggunaan metode analisi isi (content analysis) dan penggunaan teori feminis radikal maka dalam penelitian ini ditemukan bahwa penggambaran karakter damsel in distress berhubungan dengan penggambaran stereotipikal yang ada dalam media dan berkaitan dengan pelanggengan dan penerimaan penindasan terhadap perempuan. Penggambaran karakter damsel in distress dapat dikatakan sebagai bentuk seksisme terhadap perempuan yang ada dalam media. ......The media as a central element today still displays sexist images or gender roles, including Webtoons (Digital Comics). The depiction of gender that is sexist in Webtoon consists of various forms, one of which is the depiction of the character damsel in distress. Through this depiction, the connoisseurs or audience are subtly given depictions regarding gender roles that tend to harm women. Not only that, the depiction of the character damsel in distress also shows values that support male dominance. This is as seen in the Webtoon Eggnoid. Basically the depiction of the character damsel in distress in the Webtoon Eggnoid shows how women are portrayed through negative stereotypes by depicting women as weak, vulnerable and helpless creatures who are ultimately saved by the appearance of male characters. This study aims to see how women are portrayed in the media, especially Webtoons and through the use of content analysis methods and the use of radical feminist theory, in this study it was found that the depiction of the character damsel in distress is related to the stereotypical depiction in the media and related to with the perpetuation and acceptance of the oppression of women. So that the depiction of the character damsel in distress can be said to be a form of sexism towards women in the media.
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Christina Irma Deani Indi
Abstrak :
Karya akhir ini membahas tentang pengalaman Mary Jane Veloso, seorang perempuan buruh migran yang menjadi korban atas dominasi struktur patriarki yang mengakibatkan ia mengalami kriminalisasi dan viktimisasi berlapis. Dengan menggunakan metode analisis isi dokumen, penulisan ini menganalisis kerentanan Mary Jane Veloso menjadi perempuan korban perdagangan manusia yang dieksploitasi sebagai kurir narkotika lalu dikriminalisasi oleh sistem peradilan pidana Indonesia. Hasil analisis dalam tulisan ini yang menggunakan teori kriminologi feminis dan feminist legal theory mengungkapkan bahwa struktur patriarki memengaruhi subordinasi pada perempuan dan memengaruhi praktik peradilan pidana. Dalam penulisan ini, dominasi patriarki membuat perempuan rentan menjadi sasaran kejahatan perdagangan manusia yang dieksploitasi melakukan tindakan pelanggaran hukum yang kemudian mengalami kriminalisasi akibat praktik hukum yang maskulin meminggirkan pengalaman perempuan korban. Pada akhirnya, penulisan ini menemukan bahwa kriminalisasi dan viktimisasi berlapis yang terjadi pada Mary Jane Veloso adalah sebuah bentuk kekerasan struktural. ......This final work discusses about the experience of Mary Jane Veloso, a female migrant worker who became a victim of patriarchal structure domination which resulted in her criminalization and multiple victimization. By using document content analysis method, this writing analyses court decision documents and institutional reports to see Mary Jane Veloso's vulnerabilities as a woman trafficking victim who was exploited as a drug courier and then criminalized by the Indonesian criminal justice system. The analysis result in this writing which uses the radical feminist criminology theory and feminist legal theory reveals that the patriarchal structure influences the subordination of women and affects the practice of criminal justice. In this writing, patriarchal domination makes a woman vulnerable to be a target of human trafficking who is exploited to commit an offense which is then criminalized due to masculine legal practices that marginalize the experiences of a woman victim. In the end, this writing finds that the criminalization and multiple victimization that occurred to Mary Jane Veloso are a form of structural violence.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Oktaviani
Abstrak :
Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan. ......Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yashinta Fara Kaniaratri
Abstrak :
Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) adalah jenis kasus kekerasan berbasis gender siber yang paling banyak terjadi, namun hanya sedikit sekali perempuan penyintas yang melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Bahkan, melaporkan viktimisasinya kepada polisi menjadi pilihan terakhir bagi perempuan penyintas. Tulisan ini bertujuan untuk melihat reaksi non-formal dari perempuan korban/penyintas, maupun perempuan yang bukan merupakan korban/penyintas, terhadap viktimisasi sekunder yang dialami oleh perempuan saat melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Tulisan ini berada di bawah naungan teori feminis radikal, dan menggunakan metode analisis isi kualitatif untuk mengkaji berita dan cuitan yang berisi opini perempuan terkait penanganan kasus NCDII oleh polisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepolisian adalah institusi yang tidak ideal bagi perempuan penyintas karena kepolisian adalah salah satu agen yang bertugas untuk melanggengkan patriarki. Perempuan yang mendapat perlakuan buruk dari polisi akan menceritakan pengalamannya melalui media online dan narasi ini kemudian mendorong terbentuknya digital feminist activism di kalangan perempuan untuk menentang perilaku polisi. ......Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) is the most common type of cyber gender-based violence, yet only a few numbers of women survivors report their victimization to the police. In fact, reporting their victimization to the police is the last option for women survivors. This paper aims to examine the non-formal reaction of women victims/survivors, as well as women who are not victims/survivors, to the secondary victimization that experienced by women who reported their victimization to the police. This paper is written under the radical feminist theory framework, and uses qualitative content analysis method to examine news and tweets that contains women's opinions regarding the handling of NCDII cases by the police. The results of the analysis show that the police is not an ideal institution for female survivors because the police is one of the agents that’s in charge of perpetuating patriarchal ideology. Women who have been mistreated by the police will share their stories through online media and this narrative then encourage the formation of digital feminist activism among women to oppose police behavior.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Adinda Nabila
Abstrak :
Perempuan yang menjadi penyintas kekerasan dalam pacaran (KDP) yang dipaksa melakukan aborsi tidak aman oleh pasangan atau mantan pasangannya mengalami berbagai lapisan viktimisasi dalam hidupnya atau viktimisasi berlapis. KDP, kekerasan reproduksi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan pemaksaan aborsi sebagai lapisan viktimisasi dalam ranah domestik. Lapisan viktimisasi selanjutnya yaitu viktimisasi dalam ranah lingkungan sekitar (stigma, diskriminasi, victim blaming) atas KDP dan KTD (di luar nikah) terhadap penyintas perempuan. Penelitian ini menjabarkan mengenai pengalaman viktimisasi berlapis 3 (tiga) perempuan penyintas KDP yang dipaksa aborsi secara tidak aman dengan metode kualitatif feminist narrative analysis. Dengan teori feminis radikal dan perspektif viktimologi feminis, dapat membantu menganalisis pengalaman viktimisasi berlapis penyintas perempuan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sistem patriarki merupakan akar dari terjadinya viktimisasi berlapis terhadap perempuan penyintas KDP yang dipaksa aborsi oleh pasangan/mantan pasangan. Salah satu lapisan viktimisasi yaitu kekerasan domestik merupakan bentuk dari kekerasan berbasis gender (KBG) yang melanggengkan subordinasi terhadap perempuan. Meskipun perempuan ter-opresi atas viktimisasi yang dialami, perempuan tetap melakukan perlawanan (resistensi) sebagai bentuk penolakan dominasi laki-laki. ......Women who become survivors of intimate partner violence (IPV) are coerced into unsafe abortions by their partners or ex-partners experience various layers of victimization in their lives, known as multiple victimization. IPV, reproductive violence, unwanted pregnancy (UP), and forced abortion constitute layers of victimization within the domestic realm. Another layer of victimization involves the surrounding environment (stigma, discrimination, victim blaming) towards survivors of IPV and UP (outside of marriage). This research outlines the experiences of three women survivors of IPV who were forced into unsafe abortions using qualitative feminist narrative analysis. Employing radical feminist theory and a feminist victimology perspective helps analyze the layered victimization experiences of women survivors. The findings of this study reveal that the patriarchal system is the root cause of layered victimization against women survivors of IPV who are forced into abortion by their partners/ex-partners. One layer of victimization, domestic violence, is a form of gender-based violence (GBV) that perpetuates the subordination of women. Despite being oppressed by the victimization they experience, women continue to resist as a form of rejecting male dominance.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>