Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun
Elephantopus scaber L. (tapak liman) dosis 350 mg/kg b.b., 700 mg/kg b.b.,
1400 mg/kg b.b. dan 2800 mg/kg b.b., terhadap ketebalan epitel vagina
Mus musculus L. (mencit) galur DDY yang diovariektomi. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Biologi Reproduksi dan Perkembangan
Departemen Biologi FMIPA-UI. Tiga puluh ekor mencit betina galur DDY
yang telah diovariektomi dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol
negatif (KK-) (akuades), kelompok kontrol positif (KK+) (estradiol benzoat)
dan 4 kelompok perlakuan (KP) (ekstrak daun tapak liman) yaitu KP1, KP2,
KP3 dan KP4 dengan dosis masing-masing 350 ; 700; 1400 dan 2800 mg/kg
b.b. per hari. Perlakuan diberikan secara oral selama 8 hari berturut-turut.
Rerata ketebalan epitel vagina pada hari ke-9 untuk KK-, KK+, KP1, KP2,
KP3 dan KP4 masing-masing sebesar 5,82 ± 1,28; 8,89 ± 2,9; 8,24 ± 1,91;
8,23 ± 1,91; 9,34 ± 2,23 dan 13,04 ± 2,77 μm. Uji ANAVA menunjukkan
bahwa ekstrak daun tapak liman berpengaruh nyata terhadap ketebalan
epitel vagina mencit yang diovariektomi (α = 0,05). Uji LSD menunjukkan
bahwa ekstrak daun tapak liman dosis 2800 mg/kg b.b. (KP4) dapat
meningkatkan ketebalan epitel vagina mencit yang diovariektomi (α = 0,05)."
Universitas Indonesia, 2007
S31382
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mescher, Anthony L.
Jakarta: EGC, 2017
611.018 MES h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Ratna
"Lensa manusia berfungsi memfokuskan cahaya teriihat, menyerap UV A dan UV B, sehingga sangat rentan terhadap efek fototoksik cahaya yang diterimanya. Sel epitel adalah bagian Iensa yang memiliki peran penting untuk pertumbuhan, diferensiasi dan homeostasis seluruh Iensa. Sel ini selalu terpapar cahaya sehingga sangat mungkin terganggu oleh radiasi UV yang bersifat mutagenik. Mitokondria adalah penghasil energi dan berperan pada kematian sel serta penuaan. MtDNA sangat rentan terhadap paparan radikal bebas karena tidak memiliki histon pelindung dan kemampuan reparasi yang sangat terbatas, oleh karena itu Iaju mutasi mtDNA Iebih tinggi dibandingkan DNA inti. Pada berbagai jaringan yang menua. ditemukan akumulasi mutasi mtDNA terdelesi. Delesi ini mengakibatkan hilangnya gen mtDNA yang menyandi subunit kompleks respirasi mitokondria (kompleks I, III, IV dan V) serta tRNA dan rRNA mitokondria, sehingga teljadi penurunan fungsi OXPHOS. Deiesi mtDNA ini awalnya dilaporkan terdeteksi pada jaringan otot lurik dan otot jantung, tetapi kemudian diiaporkan pula pada berbagai jaringan lain yang menua.
Pertanyaan yang sangat penting dalam ilmu oftalmologi adalah, apakah proses yang sama juga berperan di Iensa mata. MtDNA sel epitel Iensa sangat mungkin mengakumulasi mutasi mtDNA karena sel ini selalu terpapar oleh UV, masa hidupnya cukup panjang dan tidak pemah gugur atau hilang. Sampai sekarang pertanyaan tersebut belum terjawab. Paparan UV pada kuitur Iensa menyebabkan apoptosis sel epitel dan kekeruhan Iensa. Pada Iensa manusia, apoptosis ditemukan pada katarak polaris anterior maupun katarak senilis, sedangkan pada iensa jernih hampir tidak ditemukan adanya apoptosis. Tingkat apoptosis sel epitel lensa dan perubahan fungsi respirasi mitokondria mungkin pula berperan pada penuaan dan proses pembentukan katarak. Hubungan antara penuaan, apoptosis dan pembentukan katarak masih merupakan pertanyaan yang belum teljiawab secara menyeiuruh. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini ingin mengkaji apakah perubahan fungsi respirasi mitokondria dan tingkat apoptosis berperan dalam fenomena penuaan sei epitel lensa dan proses kataraktogenesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D621
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oentoeng Soeradi
"ABSTRAK
Tikus jantan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 360 ekor (LMR Strain, Wistar derivad), berumur 3 bulan dengan berat badan berkisar antara 135 - 140 gram. Tikus tersebut dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri atas 90 ekor. Tiap kelompok dibagi secara acak menjadi 10 subkelompok, masingmasing terdiri atas 9 ekor. Testis dari 7 ekor tikus dipapar dengan medan elektrostatik dari tegangan listrik searah 1 kV, 2 kV, 3 kV, 4 kV, 5 kV, 6 kV, dan 7 kV. Sedangkan 2 ekor sisanya digunakan sebagai kontrol dengan perlakuan dan kontrol tanpa perlakuan.
Tikus dimasukkan ke dalam tabung pralon, kemudian kedua testisnya dipapar dengan medan elektrostatik satu jam per hari selama 30 hari. Tikus kontrol dengan perlakuan diberi perlakuan sama dengan tikus percobaan, tetapi tanpa medan elektrostatik. Sedangkan tikus kontrol tanpa perlakuan tidak diberi perlakuan apapun. Semua tikus dikawinkan dengan tikus betina normal berumur 4 bulan dengan berat badan antara 135 - 140 gram, pada akhir pasca perlakuan 3, 30, 60, dan 90 hari selama 24 jam. Pemeriksaan sel-sel germinal secara kuantitatif dilakukan di stadium II, V, VII, X, dan XIII pada akhir keempat pasca perlakuan tersebut, yaitu setelah dicampur dengan tikus betina selama 24 jam.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan, bahwa pengaruh medan elektrostatik dari tegangan listrik searah 1 kV sampai 7 kV terhadap testis tikus adalah menimbulkan perubahan sebaran stadia epitel seminiferus yang sangat nyata.
Penelitian secara kuantitatif menunjukkan penyusutan yang sangat nyata pada spermatogonia A dan B, spermatosit primer (R, L, Z, P, dan Di) pada semua stadium yang diperiksa, yaitu pada stadium II, V, VII, X, dan XIII. Sampai pada akhir pasca perlakuan 90 hari, belum terlihat adanya pemulihan yang nyata dari sel-sel germinal. Sebaliknya tidak terlihat pengaruh yang nyata dari medan elektrostatik pada tegangan listrik searah 1 kV sampai 7 kV, terhadap spermatogonia In.
Tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan dari kelompok percobaan 1 kV sampai 7 kV pada akhir pasca perlakuan 30, 60, dan 90 hari, semuanya hamil. Tetapi, jumlah anak yang dihasilkan memperlihatkan penurunan yang sangat nyata, dibandingkan dengan jumlah anak pada kelompok kontrol. Keadaan rasio seks dari keturunan yang dihasilkan pada kelompok tikus percobaan, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan rasio seks pada keturunan dari kelompok kontrol.
Anomali kongenital terdapat pada anak tikus jantan dan betina, yang dihasilkan dari perkawinan dengan tikus jantan percobaan dari tegangan listrik searah 6 kV dan 7 kV. Sedangkan perlakuan dengan medan elektrostatik dari tengangan listrik di bawah 6 kV tidak diperoleh anomali kongenital pada semua keturunannya, seperti halnya pada keturunan dari kelompok kontrol. Tipe anomali yang terlihat yaitu mikroftalmia bilateral, muka bulat agak sembab disertai pertumbuhan rambut yang tidak teratur, ujung kulit penis memanjang seperti praeputium, dan penyempitan gelang panggul pada beberapa ekor anak tikus betina. Rasio seks pada keturunan yang mengalami anomali tidak berbeda nyata dengan rasio seks pada keturunan dari kedua k

ABSTRACT
A total of 360 adult male rats (LMR Strain, Wistar de-rived), 3 months of old, 135 - 140 gr body weight were used in this investigation. Ninety rats each from the total were divided randomly into 10 groups of 9 rats each treated as follows. The first 7 rats of each groups were exposed to electrostatic field of 1 kV, 2 kV, 3 kV, 4 kV, 5 kV, 6 kV, and 7 kV potential respectyvely. The remaining 2 rats served as treated and untreated controls. The rats were put into plastic tubes, then each testis of the experimental rats was exposed to an electrostatic field between the electrodes for one hour. The treated control rats were put into plastic tubes, but were not exposed to the electrostatic field. Untreated control received no treatment. The treatment was given every day for 30 days. After 3, 30, 60, and 90 days of the series of treatment, all rats were mated to an adult female rat.
The purpose of the present study was, (1) to evaluate quantitatively the development of germ cells of seminiferous epithelium after exposure to electostatic field; (2) to evaluate whether treatment with an electrostatic field to the testis of adult rats can induced congenital anomalies.
The result presented show that the effect of electrostatic field of 1 kV to 7 kV cause significantly alteration in the distribution of stages of the cycle of seminiferous epithelium.
A quantitative investigation of the seminiferous epithelium at stages II, V, VII, X, and XIII of the spermatogenic cycle showed that A and B spermatogonia, all primary spermatocytes, and spermatids were significantly decreased. No recovery of these germinal cells were found up to 90 days after exposure to electrostatic field. However, In spermatogonia were not seriously affected by electrostatic field of 1 kV to 7 kV.
All female rats became prequant after being mated to treated male rats. However, the mean number of offspring of treated rats mated 3, 30, 60, and 90 days after exposure to electrostatic field of 1 kV to 7 kV for 30 days were significantly reduced in number of offspring as compared to control groups. The sex ratios of offspring in the experimental groups were unaffected by the different treatments. No significant difference was found in the sex ratios between the experimental groups and control groups.
Congenital anomalies were noted in both sexes of the offspring sired by rats exposed to an electrostatic field of 6 kV to 7 kV. No congenital anomalies were noted in offspring from rats treated with doses below 6 kV or in the control groups.
Several anomalies were evident such as microthalmy and "round face" with omnidirectional hair growth. The external genitalia of some adult male offspring were affected in some instances with elongation of the foreskin of the penis (praeputium like), and a narrow pelvic girdle was found in some adult female offspring. The sex ratio of offspring with congenital anomalies from 3, 30, 60, and 90 days after exposure to 6 kV or 7 kV were not significantly different from that found in the control groups.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1987
D331
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhendar
"Kondom yang telah digunakan dalam suatu tindak kejahatan seksual berupa persetubuhan dapat memberikan barang bukti pada kasus kejahatan seksual. Kondom tersebut dapat mengandung bukti biologis yang berasal dari pelaku dan korban yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelaku dan mengkaitkannya dengan korban yang mengindikasikan kemungkinan telah terjadi persetubuhan. Pada bagian luar kondom dapat menempel epitel vagina, sekret vagina, darah korban atau rambut pubis yang dapat berasal dari pelaku atau korban, sedangkan di bagian dalam kondom dapat ditemukan cairan mani dan epitel penis yang berasal dari pelaku. Sebagai bahan biologis, barang bukti tersebut tidak akan terhindarkan dapat mengalami degradasi seiring dengan perubahan waktu dan kondisi lingkungan dimana kondom itu berada. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh waktu dan lingkungan terhadap bukti biologis berupa epitel vagina dan cairan mani pada kondom pasca senggama. Pemeriksaan terhadap cairan mani menggunakan pemeriksaan fosfatase asam, Florence, Berberio dan dilakukan pemeriksaan terhadap sel sperma yang berada di bagian dalam kondom. Pemeriksaan terhadap barang bukti dari bagian luar kondom untuk pembuktian adanya epitel vagina dilakukan Hasil penelitian pemeriksaan cara lugol dan pemeriksaan Barr body. menunjukkan bahwa sampai hari ke sepuluh pemeriksaan ini, cairan mani dan epitel vagina masih dapat ditemukan serta tidak terdapat perbedaan antara hasil temuan kondom yang dilakukan di tempat terbuka, tempat tertutup dan di dalam air."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeri Indrawan
"[Latar belakang : Angka ketahanan hidup dalam 5 tahun pasien penderita
keganasan kanker ovaeium rendah, karena > 70% kasus terlambat didiagnosis.
CA125 asites merupakan metode untuk memprediksi kanker ovarium pra bedah
sebelum dilakukan tindakan atau tatalaksanha selanjutnya.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian akibat
kanker ovarium stadium lanjut.
Metode : Uji ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang. Penelitian
berlangsung dari Juli 2014 sampai Juni 2015 di Poli onkologi Departemen
Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo sampel sebanyak 41
kasus. Sampel diambil langsung dari pasien kanker ovarium dengan asites masif.
Selanjutnya sampel di analisa nilai sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil : Dari 41 orang subjek penelitian didapatkan nilai sensitivitas dan spesifitas
yang cukup baik dalam mendiagnosis kanker ovarium, berturut ? turut niali
sensitivitas dan spesifitasnya adalah 96% dan 100%. Pemeriksaan kadar CA125
asites dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai salah satu tumor marker
untuk mendiagnosis kanker ovarium dengan asites masif.
Kesimpulan : Kadar CA125 asites memiliki nilai sensitivitas dan spesifitas 96% dan 100% untuk mendiagnosa kanker ovarium jenis sel epitel.;Background : Overall five-year survival rate of ovarian cancer is the lowest of
amongst gynecological malignancies, as it diagnosed in late stage diseases.
Preoperative CA125 level in ascites fluid is one of the method to guide the
subsequent management. This research aimed to improve ovarian cancer survival
rate.
Method :This study was a diagnostic study with cross-sectional review of CA125
level in ascites fluid of 41 ovarian malignancy patients in Obstetrics and
Gynecology Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo to analyze its
sensitivity and specificity.
Results :This research showed a good sensitivity and specificity of CA125 level,
96 % and 100 % respectively. CA125 level in ascites fluid may consider as one of
the tumour marker to diagnose ovarian malignancy with massive ascited fluid.
Conclusion: CA125 level in ascites fluid had a good sensitivity and specificity to diagnose epithelial ovarian malignancy., Background : Overall five-year survival rate of ovarian cancer is the lowest of
amongst gynecological malignancies, as it diagnosed in late stage diseases.
Preoperative CA125 level in ascites fluid is one of the method to guide the
subsequent management. This research aimed to improve ovarian cancer survival
rate.
Method :This study was a diagnostic study with cross-sectional review of CA125
level in ascites fluid of 41 ovarian malignancy patients in Obstetrics and
Gynecology Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo to analyze its
sensitivity and specificity.
Results :This research showed a good sensitivity and specificity of CA125 level,
96 % and 100 % respectively. CA125 level in ascites fluid may consider as one of
the tumour marker to diagnose ovarian malignancy with massive ascited fluid.
Conclusion: CA125 level in ascites fluid had a good sensitivity and specificity to diagnose epithelial ovarian malignancy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Busroch Bayu Kartiko
"Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor yang berasal dari jaringan epitel odontogenik pembentuk gigi. Umumnya ameloblastoma jinak, tapi bersifat agresif secara lokal dengan tingkat rekurensi yang tinggi. MMP-2 merupakan salah satu yang paling berkaitan dengan invasi ameloblastoma. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) merupakan enzim proteolitik yang diproduksi dalam sel-sel di seluruh tubuh dan menjadi bagian dari matriks ekstraselular, yang merupakan rangkaian rumit protein dan molekul lain yang terbentuk diruang antara sel-sel. Tujuan: Mengetahui sifat invasi lokal ameloblastoma dari sisi molekular.
Metode Penelitian: 30 sampel ameloblastoma terdiri dari 8 sampel tipe pleksiform, 5 sampel tipe folikuler, dan 17 sampel tipe campuran. Sampel dipulas secara immunohistokimia dengan antibodi MMP-2.
Hasil: Terdapat perbedaan ekpresi MMP-2 dari sel epitel pada berbagai tipe ameloblastoma. Terdapat perbedaan ekspresi MMP-2 dari sel fibroblast pada berbagai macam tipe ameloblastoma. Tipe campuran memiliki tingkat invasif yang paling tinggi dari ketiga tipe ameloblastoma dan memiliki sifat yang lebih infiltratif.
Kesimpulan :Terdapat perbedaan ekspresi immunohistokimia matriks metalloproteinase (MMP-2) terhadap sel epitel dan fibroblast ameloblastoma tipe folikular, pleksiform, dan campuran.

Background : Ameloblastoma is a tumor which originate from odontogenic epithelial tissue. Mostly ameloblastoma is benign, but can be locally aggressive with high recurrence level. MMP- 2 is one that connected with ameloblastoma invasion. Matrix metalloproteinase-2 (MMP-2) is proteolitic enzim that produce in body cells and become part of extracellular matrix. Objective: Understanding ameloblastoma local invasion from molecular side. Methods: 30 samples plexiform type ameloblastoma (n = 8), 5 samples folicullar type, and 17 samples mixed type. Samples are smeared by antibody MMP-2 immunochemistry. Results: There are differences in MMP-2 expression from any kind ameloblastoma epithelial cells. There are differences in MMP- 2 expression from any kind ameloblastoma fibroblast cells. Mixed type has highest invasion level from another three types of ameloblastoma and more infiltrative. Conclusion: There are immunochemistry Matriks Metalloproteinase (MMP-2) differences at epitel cell and fibroblast of folicullar, plexiform, and mixed type of ameloblastomas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Fragrantia Theodorea
"Latar belakang: Interaksi fisik pada tahap adesi dan invasi sangat penting dalam patogenesis periodontitis Tujuan: Mengetahui hasil perbandingan level ekspresi mRNA GroEL Fusobacterium nucleatum dan level ekspresi mRNA HSP60 dan IL-6 sel epitel pada proses adesi dan invasi. Metode: Eksperimen laboratorik in vitro pada interaksi antara Fusobacterium nucleatum dan sel epitel, tahap adesi dan invasi. Analisis statistik menggunakan uji komparatif Kruskal-Wallis. Hasil: mRNA GroEL tidak terekspresi pada tahap adesi dan invasi. Hasil uji komparatif Kruskal-Wallis, perbandingan mRNA HSP60 dan IL-6 pada tahap adesi dan invasi berbeda bermakna p=0.02 (p<0.05) dan p=0.04 (p<0.05). Kesimpulan, terdapat hasil perbandingan yang signifikan antara ekspresi mRNA HSP60 dan IL-6 pada tahap adesi dan invasi, sedangkan mRNA GroEL tidak terekspresi pada kedua tahap tersebut.

Background: Interaction in adhesion and invasion stage is very important in the pathogenesis of periodontitis Objective: To Know the comparison of GroEL mRNA expression levels of Fusobacterium nucleatum and HSP60-IL-6 mRNA expression levels of epithelial cell in adhesion and invasion stage. Material and Methods: In vitro laboratory experiments of Fusobacterium nucleatum and epithelial cells interaction in adhesion and invasion stage. Statistical analysis using Kruskal-Wallis comparation test. Results: GroEL mRNA is not express at adhesion and invasion stage. The results of the Kruskal-Wallis comparation test comparison of HSP60 and IL-6 mRNA at adhesion and invasion stage is significantly different p = 0:02 (p <0.05) and p = 0:04 (p <0.05). Conclusion: there is a significant result of the comparison between the expression of HSP60 and IL-6 at adhesion and invasion stage, whereas GroEL is not express neither those stage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The upper respiratory tract is lined with ciliated epithelium or brush border that functions as the primary filter to the respiratory tissue. Epithelial trauma caused by neonatal boedetellosis serves as the predisposing factor for other respiratory diseases in growing pig...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diahning Sekar Ayu
"Latar Belakang: Kekerasan seksual merupakan suatu tindak kejahatan yang cukup sering terjadi di masyarakat Indonesia dan menduduki peringkat kedua dibawah kekerasan fisik sebagai kekerasan yang paling sering terjadi pada perempuan di Indonesia. Sampel yang ditemukan pada TKP umumnya berupa sel sperma dari pelaku bercampur dengan sel epitel korban. Oleh karena itu pemisahan sel perlu dilakukan untuk memudahkan interpretasi pelaku kekerasan seksual. Pemisahan sel dilakukan dengan metode conventional differential extraction yang sampai saat ini masih menjadi gold standard dalam menangani sampel kekerasan seksual walaupun terdapat berbagai alternatif lain dikarenakan sederhana, murah, dan menghasilkan konsentrasi DNA yang baik. Tujuan: Mengetahui pemisahan sel sperma dari epitel dalam berbagai rasio konsentrasi dengan metode conventional differential extraction. Metode: Sampel penelitian dibuat dengan mencampurkan sel epitel dan sperma kedalam 4 rasio konsentrasi (A,B,C,D). Pemisahan sel sperma dari epitel dilakukan dengan metode conventional differemtial extraction kemudian DNA diekstraksi dengan metode Chelex 20%. DNA yang telah diekstraksi dihitung konsentrasinya dengan Quantifiler Duo. Hasil: Pemisahan sel dapat terjadi pada 4 kelompok rasio konsentrasi. Uji statistik menunjukkan perubahan rasio konsentrasi memiliki perbedaan bermakna terhadap konsentrasi DNA yang dihasilkan baik pada fraksi epitel maupun fraksi sperma. Kesimpulan: Conventional differential extraction dapat memisahkan sel sperma dari epitel dilihat dari konsentrasi DNA yang dihasilkan pada seluruh kelompok rasio konsentrasi dengan rasio konsentrasi A sebagai rasio terbaik dalam memisahkan sel

Background: Sexual violence is a crime that occurs quite often in Indonesian society and ranks second below physical violence as the most frequent violence against women in Indonesia. Samples found at crime scenes are generally in the form of sperm cells from the perpetrator mixed with the epithelial cells of the victim. Therefore, it is necessary to separate cells to facilitate the interpretation of perpetrators of sexual violence. Cell separation was carried out using the conventional differential extraction method, which is still the gold standard in handling sexual violence samples, although there are various other alternatives because they are simple, inexpensive, and produce good DNA concentrations. Objective: To determine the separation of sperm cells from the epithelium in various concentration ratios using the conventional differential extraction method. Methods: Samples were prepared by mixing epithelial cells and sperm into 4 concentration ratios (A, B, C, D). Separation of sperm cells from the epithelium was carried out by conventional differemtial extraction method, then DNA was extracted using the Chelex 20% method. The extracted DNA was calculated for its concentration with Quantifiler Duo. Result: Cell separation can occur in 4 concentration ratio groups. Statistical test showed that the change in concentration ratio had a significant difference in the concentration of DNA produced in both the epithelial and sperm fractions. Conclusion: Conventional differential extraction can separate sperm cells from the epithelium seen from the concentration of DNA produced in all groups, the concentration ratio with the concentration ratio A as the best ratio in separating cells"
Depok: 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>