Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harun Alrasyid
Abstrak :
Dengan kalimat tahmid dan salawat saya awali pidato pengukuhan saya pada pagi hari yang berbahagia ini. Saya tidak lupa mengucapkan terima kasih- kepada Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rakhmat dan ridho-Nya upacara pengukuhan ini dapat terlaksana. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada hadirin yang telah meluangkan waku untuk menghadiri peristiwa yang besar artinya bagi saya serta keluarga saya. Semoga Allah Yang Maha Pemurah akan memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin! Topik yang saya pilih untuk pidato pengukuhan ini ialah tentang dua peristiwa penting dalam tata negara Indonesia, i.e. pemilihan Presiden dan pergantian Presiden. Hadirin tentu sudah mengetahui bahwa, sejak masa peralihan berakhir, pemilihan Presiden diadakan secara berkala lima tahun sekali. Tetapi mungkin tidak semua hadirin mengetahui bahwa sewaktuwaktu dapat juga diadakan pemilihan Presiden.

Mengapakah soal pemilihan Presiden mendapat perhatian yang besar? Jawabnya ialah karena Presiden memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan politik. Betapa pentingnya tokoh yang memangku jabatan Presiden diungkapkan oleh Bernard. Schwartz, seorang pakar hukum tata negara Inggris, yang menganggap kedudukan Presiden sebagai "the most powerful elective position in' the world". Ungkapan Schwartz itu, yang. menilai kedudukan Presiden di Amerika Serikat yang memakai sistem "checks and balances"? lebih-lebih berlaku terhadap negara Indonesia yang tidak memakai sistem tersebut. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan dan tanggungjawab terpusat pada Presiden (concentration of powers and responsibilities upon. the President). Bahkan Supomo mengatakan: "buat (pelaksanaan pemerintahan, pen.) sehari-hari Presidenlah yang merupakan'penjelmaan kedaulatan rakyat." Beliau menegaskan lagi: "Yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat ialah Presiden; bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, Supomo menghendaki "a very strong position of the President". Perlu juga diketahui bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah memperbesar wewenang Presiden yang dapat dibaca terakhir dalam Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional, yang bunyinya: "Melimpahkan wewenang kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengambil .langkah-langkah yang perlu demi penyelamatan dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa serta tercegah dan tertanggulanginya gejolak-gejolak sosial dan bahaya terulangnya . G-30-S/PKI dan bahaya subversi lainnya, yang pada hakekatnya adalah penyelamatan Pembangunan Nasional sebagai Pengalaman Pancasila dan kehidupan Demokrasi Pancasila serta menyelamatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Saya katakan "terakhir", karena pasal yang, serupa juga terdapat di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) sebelumnya, i.e. TAP MPR No. VII/MPR/1983, 'TAP MPR No. VI /MPR/1978, dan TAP MPR No. X/MPR/1973, namun tidak lagi. dikeluarkan pada Sidang Umum.MPR 1993. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda-tanya dan saya mencoba untuk menjawabnya. Memang keempat TAP MPR tersebut, yang pada hakekatnya adalah mengenai wewenang untuk menyelamatkan negara, dalam ilmu hukum tata negara sudah dikenal dengan istilah hak darurat negara (staatsnoodrecht), yaitu kewenangan kepala negara (Raja, Presiden) untuk mengambil tindakan apa saja, kalau perlu dengan melanggar peraturan yang berlaku, bahkan undang-undang dasar sekalipun, demi untuk menyelamatkan negara. Jadi, kalau selama ini sudah merupakan wewenang Presiden, dan berpegang pada definisi istilah "pelimpahan" (delegatie) dalam ilmu hukum tata negara' adalah janggal kalau MPR menyerahkan wewenangnya.

Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0082
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Sudrajat
Abstrak :
Tesis ini menganalisis paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor pelanggaran pada Undang-Undang tentang Pemilu dan Undang-Undang tentang Pilkada. Alasannya terlaksananya pemilu dan pilkada yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut awasi pemilu, tidak dapat hanya diserahkan kepada Bawaslu karena berbagai keterbatasannya. Terlebih tren pelaporan dugaan pelanggaran oleh masyarakat terus mengalami penurunan baik di pemilu maupun pilkada. Tesis ini bermaksud menjawab apa saja yang menjadi paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada serta bagaimana konsep ideal dari pengaturan perlindungan yang seharusnya diatur. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus, berhasil ditemukan bahwa konstruksi perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada kontradiksi terhadap empat aspek, yakni terhadap makin strategisnya peran pelapor, meningkatnya jumlah ketentuan pidana dan administrasi pada UU Pemilu dan Pilkada, kuatnya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan kontradiksi terhadap perluasan perlindungan pelapor. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan disimpulkan idealitas perlindungan terhadap pelapor pelanggaran pemilu dan pilkada adalah dengan cara merumuskan ketentuan perlindungan preventif melalui pemberian kewajiban bagi Lembaga terkait untuk melindungai pelapor, perahasiaan identitas pelapor dan sanksi bagi pembocor identitas pelapor, serta larangan pembalasan dendam dan sanksi berat terhadap pelanggaran tersebut. Pengaturan preventif itu akan menyempurnakan konsep perlindungan pelapor di Indonesia yang saat ini secara represif telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan lebih menjamin menciptakan iklim perlindungan pelapor yang kondusif dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia. ......This thesis analyzes the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Law on General Election and Regional Head Election. The reason is that the implementation of democratic elections requires public participation to participate in supervising the elections, it cannot only be left to Bawaslu because of various limitations. Moreover, the trend of reporting alleged violations by the public continues to decline both in the general election and regional head elections. This thesis intends to answer what is the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Election Law and the Regional Election Law and how the ideal concept of the protection arrangement should be regulated. By using a statutory approach, conceptual approach, and case approach, it was found that the construction of the protection of whistleblowers in the Election Law and the Regional Head Election Law contradicts four aspects, namely the increasingly strategic role of reporters, the increasing number of criminal and administrative provisions in the Election and Regional Head Election Law, the strong guarantee of the protection of human rights, and the contradiction to the extension of the whistleblower protection. With the various approaches taken, it is concluded that the ideal of protection for whistleblowers of election and regional election violations is to formulate preventive protection provisions through the provision of obligations for relevant institutions to protect the whistleblower, confidentiality of the reporter's identity and sanctions for whistleblowers' identity, as well as prohibition of retaliation and severe sanctions for violations. the. This preventive arrangement will improve the concept of protecting whistleblowers in Indonesia, which is currently repressively regulated in the Witness and Victim Protection Law and will further guarantee to create a climate of protection for whistleblowers that is conducive to the implementation of general elections and local elections in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Prakoso
Jakarta: Rajawali, 1987
345.023 DJO t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fachrudin
Jakarta: Garmedia Utama Publishindo, 2013
324.959 8 ACH j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Janedjri M. Gaffar
Jakarta : Konstitusi Press, 2012
324.6 JAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Angkasa, 1986
342.075 98 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Belenky, Alexander S.
Abstrak :
The book discusses how the use of some election rules embedded in the U.S. Constitution and in the presidential succession Act may cause skewed or weird election outcomes and election stalemates. The book argues that the act may not cover some rare though possible situations which the twentieth amendment authorizes congress to address. Also, the book questions the constitutionality of the national popular vote plan to introduce a direct popular presidential election de facto, without amending the constitution, and addresses the plan?s ?achilles? heel.? In particular, the book shows that the plan may violate the equal protection clause from the fourteenth amendment of the constitution. Numerical examples are provided to show that the counterintuitive claims of the NPV originators and proponents that the plan will encourage presidential candidates to ?chase? every vote in every state do not have any grounds. Finally, the book proposes a plan for improving the election system by combining at the national level the ?one state, one vote? principle, embedded in the constitution, and the ?one person, one vote? principle.
Berlin: Springer, 2012
e20401277
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>