Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vidya Amelia
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK merupakan masalah kesehatan yang mendunia. PPOK memiliki kecenderungan untuk terjadi eksaserbasi. Eksaserbasi adalah pemburukan gejala pernapasan akut yang mengakibatkan terapi tambahan. Eksaserbasi pada PPOK meningkatkan risiko terjadinya kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model prediksi eksaserbasi pada pasien PPOK berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi eksaserbasi pada pasien PPOK di RSCM. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien PPOK di RSCM. Sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah pasien PPOK sebanyak 107 pasien. Metode yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh signifikan terhadap eksaserbasi PPOK adalah sesak napas, riwayat pemakaian ICS, dan riwayat pemakaian antibiotik. Model regresi logistik yang sesuai telah diperoleh. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien PPOK yang memiliki keluhan sesak napas, memiliki riwayat pemakaian ICS, dan memiliki riwayat pemakaian antibiotik lebih berisiko mengalami eksaserbasi dibandingkan dengan yang tidak. Uji akurasi telah dilakukan dengan tabel klasifikasi pada cut point 0,5. Model prediksi yang dihasilkan memiliki tingkat akurasi sebesar 74,77.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease COPD is a worldwide health problem. COPD has a tendency for exacerbations. Exacerbations are worsening of acute respiratory symptoms resulting in additional therapy. Exacerbations in COPD increase the risk of death. The objective of this study is to determine the prediction model of exacerbations in patients with COPD based on factors affecting exacerbations in patients with COPD at RSCM. The data used in this study is secondary data obtained from the medical records of patients with COPD in RSCM. The sample was chosen using purposive sampling technique. The samples in this study are 107 patients with COPD. The method used is binary logistic regression analysis.
The results of this study indicate that the factors that significantly influence the exacerbation of COPD are breathless, history of ICS use, and history of antibiotic use. Appropriate logistic regression model has been obtained. The result indicates that patients with COPD who have shortness of breath, have history of ICS use, and have history of antibiotic use are more at risk of exacerbations than those who don rsquo t. Accuracy test has been conducted with classification table at cut point 0,5. The prediction model has an accuracy rate of 74,77.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Alfin Hanif
"PENDAHULUAN: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada penyakit ini. Hiperinflasi statik berimplikasi klinik penting pada pasien PPOK. Rasio kapasitas inspirasi/kapasitas paru total sebagai parameter hiperinflasi paru adalah predictor kematian pada pasien PPOK. Skor CURB-65 juga terbukti efektif untuk memprediksi kematian pasien PPOK dalam 30 hari pasca eksaserbasi namun tidak untuk 1 tahun. Kombinasi skor CURB-65 dan KI/KPT diharapkan dapat memprediksi kematian pada PPOK lebih tepat.
METODE: Kita mengumpulkan 71 subjek PPOK eksaserbasi akut di IGD atau poli rawat jalan dan menghitung skor CURB-65. Setelah stabil, kita ukur rasio KI/KPT subjek. Skor dibagi 2 menurut risiko, yaitu risiko rendah, yaitu < 2 dan risiko tinggi yaitu ≥ 2. Setelah pengamatan satu tahun, dilakukan uji statistik antara skor kombinasi CURB-65+KI/KPT dengan mortalitas subjek dalam satu tahun. Penelitian ini juga mencoba menghubungkan skor gabungan CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun. Terakhir peneliti juga mencari factor predictor hiperinflasi paru.
HASIL: Seluruh subjek dalam penelitian ini masih hidup setelah diikuti selama satu tahun. Subjek yang mengalami eksaserbasi 2 kali atau lebih dalam satu tahun adalah 53.5%. Tidak terdapat hubungan antara CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi (p = 0.196). Indeks massa tubuh atau IMT (p = 0.010, R = 0.304), VEP1 (p = 0.042, R = -0.243), VEP1% prediksi (p = 0.024, R = -0.268), dan frekuensi napas (p = 0.013, R = 0.293) berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi. Kita juga menemukan bahwa IMT (p = 0.035, RR = 3.05) dan VEP1% prediksi (p = 0.025, RR = 3.26) adalah factor prediktor hiperinflasi paru.
KESIMPULAN: Tidak terdapat mortalitas pasien PPOK dalam satu tahun pengamatan. Tidak terdapat hubungan antara CURB-65+KI/KPT dengan frekuensi eksaserbasi. Indeks massa tubuh (IMT), VEP1, VEP1% prediksi dan frekuensi napas berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun. Indeks massa tubuh dan VEP1% prediksi adalah factor prediktor hiperinflasi paru pada pasien PPOK.

ARATIONALE: Acute exacerbation of COPD was associated with higher mortality of this disease. Static lung hyperinflation has important clinical consequences in patients with COPD. The power of lung hyperinflation as measured by the inspiratory capacity–to-total lung capacity ratio (IC/TLC) was an independent risk factor for mortality in cohort study of patient with COPD. The CURB-65 score was proved as effective tool in predicting early mortality in acute COPD exacerbations, but not in one year. We hypothesized combination score of CURB-65 and IC/TLC in prospective study can predict mortality of COPD precisely.
METHODS: We recruited 71 COPD patients suffering acute exacerbation. We divided the subjects into 2 groups according to the score of combination of CURB-65 and IC/TLC. First group was low risk group with score less than 2 (< 2) and the second was high risk group with score 2 and more (≥ 2). IC/TLC was measured when the COPD patient in stable condition after exacerbation. After one year of evaluation, the association between combination score of CURB65 plus IC/TLC and the mortality in 1 year was analyzed using Chi Square test. We also tried to find relationship between combination score CURB-65 plus IC/TLC with frequency of COPD exacerbation in 1 year. At last, another aim of this study was finding the factors predicting lung hyperinflation.
RESULTS: All the subject were alive in 1 year follow up. Subject who suffered acute exacerbation 2 times or more in 1 year were 53.5%. There was no relationship between CURB-65+IC/TLC (p = 0.196) with frequency of exacerbation. Body mass index or BMI (p = 0.010, R = 0.304), FEV1 (p = 0.042, R = -0.243), FEV1% prediction (p = 0.024, R = -0.268), and respiratory rate (p = 0.013, R = 0.293) were correlated with frequency of exacerbation. We also found that BMI (p = 0.035, RR = 3.05) and FEV1% prediction (p = 0.025, RR = 3.26) were the prediction factors for lung hyperinflation.
CONCLUSIONS: there is no mortality of COPD patient in one year. There is no relationship between CURB-65+IC/TLC with the frequency of exacerbation. Body mass index (BMI), FEV1, FEV1% prediction, and respiratory rate are correlated with frequency of exacerbation. Body mass index (BMI) and FEV1% prediction can predict the lung hyperinflation.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Widya Sri Hastuti
"Pendahuluan : PPOK eksaserbasi akut dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Sebuah studi prospektif menemukan bahwa skor CURB-65 berhubungan dengan kematian pada PPOK eksaerbasi akut. Komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada PPOK derajat sedang dan berat. Hipotesis kami modifikasi skor CURB-65 skor (CURB-65 ditambah komorbid kardiovaskular) dapat memprediksi risiko kematian pada PPOK eksaserbasi akut.
Metode : Kami melakukan analisis secara prospektif dalam 1 tahun untuk mortalitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi kematian pada pasien PPOK eksaserbasi akut antara Maret dan November 2012. Modifikasi skor CURB-65 dihitung dari penilaian awal saat pasien masuk ke IGD atau poli asma/PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Skor terdiri dari satu poin untuk variabel confusion, urea> 7 mmol / L, frekuensi napas ≥ 30/min, tekanan darah sistolik <90 mmHg atau tekanan darah diastolik <60 mmHg, usia ≥ 65 tahun dan penyakit kardiovaskular (dinilai dengan EKG dan ekokardiografi). Setelah 12 bulan evaluasi, dilakukan analisis hubungan antara modifikasi skor CURB-65 dan risiko kematian menggunakan uji Chi Square, uji Fisher dan Kolmogorov Smirnov.
Hasil : Terdapat 76 subjek penelitian. Angka kematian selama 30 hari adalah 9,2% dan dalam satu tahun adalah 27,6%. Prevalensi penyakit kardiovaskular adalah 63,2%. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, frekuensi napas dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 30 hari pasca eksaserbasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas dengan risiko mortalitas dalam 6 bulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok, IMT, lama PPOK, derajat PPOK, VEP1%, APE dan frekuensi napas, komorbiditas kardiovaskuler dan modifikasi skor CURB-65 dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan. Modifikasi skor CURB-65 ≥ 2 dapat digunakan sebagai titik potong untuk memprediksi mortalitas dalam 12 bulan pasca PPOK eksaserbasi akut.
Kesimpulan : Angka mortalitas dalam satu tahun pada PPOK pasca eksaserbasi cukup tinggi. Modifikasi skor CURB-65 dapat memprediksi mortalitas dalam dalam 1 tahun pada PPOK eksaserbasi. Skor ini mungkin berguna dalam memprediksi prognosis untuk pasien PPOK dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengobatan secara optimal.

Introduction : Acute exacerbation of COPD (AECOPD) is associated with a high risk of mortality. A prospective study found that CURB-65 score was associated with mortality in AECOPD. Comorbidity such as cardiovascular disease is major causes and, in mild-to-moderate COPD, are the leading causes of mortality. We hypothesized a risk-prediction model using modification of CURB-65 score (CURB-65 with cardiovascular disease) can predicted risk of death in AECOPD.
Methods: We investigated prospectively the 1-year mortality rate and potential determinants of mortality for all patients admitted to the hospital with an AECOPD between March and November 2011. The modification of CURB-65 Score were calculated from information obtained at initial hospital presentation. The modification of CURB-65 Score are one point each for Confusion, Urea > 7 mmol/L, Respiratory rate ≥30/min, Sistolic Blood pressure < 90 mmHg or diastolic blood pressure < 60 mmHg, age ≥ 65 years and present of cardiovascular disease (use echocardiography). After 12 months of evaluation, the relation between modification of CURB-65 score and risk of mortality will analyze using Chi Square test, Fisher?s test and Kolmogorov Smirnov.
Result: 76 patients have been collected. The mortality rate during 30 days was 9,2% and one-year mortality was 27,6%. The prevalence of cardiovascular disease was 63,2%. There was significant correlation between smoking status, respiratory rate and modification of CURB-65 score with 30 days risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate with 6 months risk of mortality. There was significant correlation between smoking status, BMI, duration of COPD, severity of COPD, FEV1%, PFR and respiratory rate, cardiovascular comorbidity and modification of CURB-65 score with 12 months risk of mortality. Curb-65 Modifications score ≥ 2 can be used as a cut-off point for predicting mortality in 12 months in acute exacerbations of COPD.
Conclusion : 1-year mortality after AECOPD admission is high. The modification of CURB-65 score was effective in predicting mortality in our cohort of acute COPD exacerbations. This model may be useful in predicting prognosis for individuals and thus in guiding treatment decisions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firza Savira Fauzi
"Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan bagian terbesar dari total beban PPOK dalam sistem perawatan kesehatan. Meskipun algoritma terapi merekomendasikan monoterapi sebagai pilihan pertama, terapi kombinasi lebih sering diresepkan pada pasien dengan eksaserbasi PPOK akut di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Oleh karena itu, analisis efektivitas biaya perlu dilakukan sebagai pertimbangan untuk pemilihan masa depan. terapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya menggunakan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol dibandingkan dengan salbutamol pada pasien dengan eksaserbasi akut pasien rawat inap PPOK di Rumah Sakit Persahabatan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional deskriptif retrospektif dengan data sekunder dalam bentuk rekam medis pasien. Subjek penelitian adalah eksaserbasi akut pada pasien PPOK yang menerima terapi kombinasi dengan ipratropium-salbutamol atau salbutamol di Rumah Sakit Persahabatan pada tahun 2018. Karakteristik pasien dianalisis dengan metode statistik deskriptif menggunakan IBM SPSS v25.0. Efektivitas ditentukan berdasarkan peningkatan aliran ekspirasi puncak pasien ≥10% dan biaya yang digunakan dilihat dari perspektif rumah sakit dengan komponen biaya medis langsung. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemilihan terapi kombinasi ipratropium-salbutamol akan membutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 1.090.362,87 untuk meningkatkan 1 unit efektivitas.

Acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) constitutes the largest part of the total burden of COPD in the health care system. Although the therapeutic algorithm recommends monotherapy as the first choice, combination therapy is more often prescribed in patients with acute exacerbation of COPD at Friendship Hospital in 2018. Therefore, a cost-effectiveness analysis needs to be carried out as a consideration for the selection of future therapies. The purpose of this study was to analyze the cost-effectiveness of using ipratropium-salbutamol combination therapy compared with salbutamol in patients with acute exacerbation of COPD inpatients at the Friendship Hospital. This study used a retrospective descriptive cross-sectional design with secondary data in the form of a patient's medical record. Subjects were acute exacerbation of COPD inpatients who received combination therapy with ipratropium-salbutamol or salbutamol at Friendship Hospital in 2018. Patient characteristics were analyzed by descriptive statistical methods using IBM SPSS v25.0. Effectiveness is determined based on an increase in the patient's peak expiratory flow ≥10% and the cost used is seen from a hospital perspective with a direct medical cost component. Based on the research, it can be concluded that the selection of ipratropium-salbutamol combination therapy will require an additional cost of Rp 1,090,362.87 to increase 1 unit of effectiveness.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinara
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas. Hill dkk., menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivifi mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutrofil) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk., mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusalena Sophia Indreswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Eksaserbasi pada PPOK mempunyai kontribusi yang besar terhadap derajat keparahan dan progresivitas PPOK. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi PPOK banyak diteliti di luar negeri. Dengan mempertimbangkan terdapatnya perbedaan karakteristik pasien di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pada pasien PPOK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi eksaserbasi pada pasien PPOK di RSCM selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2012 serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pasien-pasien PPOK yang berobat di RSCM baik rawat jalan maupun rawat inap.
Metode: Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang pada pasien PPOK yang berobat di RSCM selama tahun 2010–2012. Data klinis dan penunjang selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, riwayat merokok, komorbiditas, derajat PPOK, riwayat pengobatan dengan kortikosteroid, dan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun sebelumnya.Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 184 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Didapatkan prevalensi eksaserbasi PPOK sebesar 70,7%. Derajat PPOK , riwayat perokok, frekuensi eksaserbasi satu tahun sebelumnya, pengobatan kortikosteroid sistemik, dan komorbid merupakan variabel yang berbeda bermakna pada analisis bivariat. Faktor risiko independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah frekuensi eksaserbasi PPOK dalam satu tahun sebelumnya ≥ 2 kali (OR 27,39; IK 95% 3,30 sampai 227,29; p = 0,002), perokok aktif (OR 5,11; IK 95% 1,07 sampai 24,35; p = 0,041), PPOK derajat III dan IV (OR 4,71; IK 95% 1,59 sampai 13,97; p = 0,005), dan komorbid dengan nilai Charlson Comorbid Index lebih dari dua (OR 4,09; IK 95% 1,37 sampai 12,18; p = 0,011). Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK (OR 0,12; IK 95% 0,03 sampai 0,54; p = 0,006).
Simpulan: Prevalensi eksaserbasi pasien PPOK di RSCM pada tahun 2010 sampai dengan 2012 adalah 70,7%. Faktor risiko eksaserbasi PPOK adalah frekuensi eksaserbasi PPOK pada satu tahun sebelumnya lebih dari sama dengan dua kali, perokok aktif, PPOK derajat III dan IV serta komorbid dengan Charlson Comorbid Index . Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK.

ABSTRACT
Background. Exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease (COPD) contributes greatly to the severity and progression of COPD. Identification of factors associated with exacerbation of COPD has widely studied abroad with varying results. Due to difference in patient characteristic, it is necessary to study on the factors associated with exacerbation of COPD in Indonesia.
Aim.To determine the prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 until 2012. And to identify factors associated with exacerbation of COPD patients who seek treatment at Cipto Mangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient.
Methods. This study was a cross sectional study design in COPD patients who seek treatment at CiptoMangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient, during 2010-2012. Clinical data, supportive data, and outcome (exacerbation or stable) data during treatment were obtained from medical records. Bivariate analyses were performed on age, history of smoking, comorbidity, severity of COPD, history corticosteroids treatment, and frequency of exacerbations in the previous year. Variables that were eligible would be included in the multivariate analysis in the form of logistic regression.
Results. A total of 184 patients enrolled in this study. Prevalence of COPD exacerbation was 70.7%. Severity of COPD, history of smoking, frequency of previous exacerbations, history of systemic corticosteroid treatment, and comorbidity were variables found to be significantly different in bivariate analysis. Independent risk factors that were found to be significant in multivariate analysis were ≥ 2 times of COPD exacerbation in the previous year (OR 27.39; 95% CI 3.30 to 227.29; p = 0.002), current smoker (OR 5.11; 95% CI 1.07 to 24.35; p = 0.041), grade III and IV of COPD (OR 4.71; 95% CI 1.59 to 13.97; p = 0.005), and comorbid with charlson comorbid index value more of two (OR 4.09; 95% CI 1.37 to 12.18; p = 0.011). While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations (OR 0.12; 95% CI 0.03 to 0.54; p = 0.006).
Conclusion. The prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 to 2012 is 70.7%. Risk factors for COPD exacerbation are more than or equal to two times of COPD exacerbation in the previous year, current smokers, grade III and IV of COPD and comorbid with charlson comorbid index value more of two. While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikhsan Mokoagow
"Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) berkontribusi terhadap masalah kesehatan yang bermakna selama penyelenggaraan haji. Kementerian Kesehatan RI mendokumentasikan PPOK sebagai penyebab ketiga terbesar perawatan jemaah haji yaitu sebesar 7,2% pada tahun 2010. Identifikasi individu yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami eksaserbasi akut PPOK selama pelaksanaan haji menjadi penting. Oleh karenanya, penggunaan skor CAT dalam memprediksi risiko eksaserbasi akut pada populasi khusus ini perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan: Mengevaluasi skor CAT sebagai prediktor kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan PPOK.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan pada jemaah haji Embarkasi Provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Sebelum keberangkatan, subyek diminta mengisi CAT dan diberikan kartu pencatatan harian untuk mencatat gejala eksaserbasi akut selama pelaksanaan haji. Kartu serupa juga diberikan pada dokter kelompok terbang (kloter) mereka. Saat kedatangan di tempat disembarkasi, subyek diwawancarai dan dilakukan pemeriksaan kesehatan serta pengumpulan kartu pencatatan harian dari pasien maupun dokter kloter. Eksaserbasi akut ditentukan dari kartu pencatatan harian dan buku kesehatan haji yang dibawa oleh tiap jemaah.
Hasil: Sebanyak 61 pasien PPOK direkrut dengan subyek laki-laki sejumlah 57 orang (93,4%) dan rerata usia 58,8±8,5 tahun. Eksaserbasi akut terjadi pada 35 pasien (57,4%). Skor CAT berkisar antara 0–25 dengan rerata 8,2±5,5. Persentase kelompok kategori CAT rendah (skor<10) sebesar 63,9% sementara 36,1% memiliki kategori CAT sedang-berat (skor CAT 10-30). Didapatkan Risiko Relatif sebesar 1,33 (IK95% 0,875–2,020), Nilai Duga Positif: 0,68 (IK95% 0,47–0,84), dan AUC 0,773 (IK95% 0,647-0,898). Median skor CAT 9 (nilai minimum 1; maksimum 25) untuk kelompok eksaserbasi akut dan median 4 (nilai minimum 0; maksimum 17) untuk kelompok tidak eksaserbasi akut yang bermakna secara statistik (p<0.0001, Uji Mann-Whitney).
Simpulan: Terdapat peningkatan kejadian eksaserbasi akut pada jemaah haji dengan CAT kategori sedang-berat dibandingkan kelompok CAT kategori ringan namun belum terlihat perbedaan risiko yang bermakna pada penelitian ini dan skor CAT memiliki kemampuan untuk memprediksi terjadinya eksaserbasi akut.

Background: COPD contributes to significant health problems during pilgrimage for moslems. Indonesian Ministry of Health COPD as the third leading causes of hospitalization pilgrims with percentage of 7.2% in 2010. Identifying individuals with higher risk to have acute exacerbation during the pilgrimage is essential. Therefore, the use of CAT scores in predicting the risk of acute exacerbation in this special population merits further investigation.
Objective: To evaluate CAT score as predictor of acute exacerbation event in pilgrims with COPD.
Methods: This propective cohort study was conducted to pilgrims from DKI Jakarta Province in 2012. Prior to departure, subjects were asked to complete CAT and given diary card to record any symptoms of exacerbation during pilgrimage. Similar observation card were also given to their pilgrims groups’ doctors. On arrival at disembarkation point, subjects underwent interview and health examination while diary cards were collected from both patients and their doctors. Acute exacerbation were determined from the diary cards and individual health record book carried by every pilgrim.
Results: Sixty one COPD patients were recruited comprising 57 male subjects (93.4%) and mean age for this study is 58.8 ± 8.5 years. Acute exacerbation occurred in 35 patients (57.4%). CAT scores range from 0–25 with a mean of 8.2±5.5. Percentage of low CAT category group (score <10) was 63.9% while the 36.1% of subjects were in medium to high CAT category group (score 10-30). Relative Risk for acute exacerbation was 1.33 (95% CI 0.875 – 2.020), Positive Predivetive Value: 0.68 (95%CI 0.47–0.84), and AUC 0.773 (95% CI 0.647-0.898) and median CAT scores were 9 (minimum value 1; maximum 25) for acute exacerbation group and 4 (minimum value 0; maximum 17) for and non acute exacerbation group which was statistically significant (p<0.0001, Mann-Whitney U test).
Conclusion: An increasead numbers of acute exacerbation was observed in moderate-severe category CAT score compared to those in mild category nevertheless a significant risk difference was not demonstrated in this study and CAT score has the ability to predict acute exacerbation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Penyakit paru obstruksi kronis PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dengan prevalensi 5,6 di Indonesia. Penderita PPOK berisiko mengalami eksaserbasi yang dicetuskan oleh inflamasi dan/atau stres oksidatif. Stres oksidatif akan mempengaruhi status antioksidan di dalam tubuh termasuk vitamin E. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi pada penderita PPOK. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan April-Agustus 2016, melibatkan 47 penderita PPOK. Asupan vitamin E dinilai dengan food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif, kekerapan eksaserbasi didapatkan dari wawancara dan/atau rekam medis, kadar vitamin E serum ditentukan mengunakan high performance liquid chromatography HPLC . Rerata asupan vitamin E subjek adalah 5,8 2,9 mg/hari, di bawah Angka Kecukupan Gizi. Nilai median kadar vitamin E serum 10,8 3,0 ? 14,8 ?mol/L, dan kekerapan eksaserbasi 2 0 ? 9 kali/tahun. Tidak didapatkan korelasi bermakna antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi.

Chronic obstructive pulmonary disease COPD is the third leading cause of death in the world with a prevalence of 5.6 in Indonesia. COPD patients were at risk of exacerbations which may be triggered by inflammation and or oxidative stress. Oxidative stress will affect the antioxidant status, including vitamin E. The aim of this study was to investigate a correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency of COPD. This cross sectional study was conducted at Persahabatan General Hospital from April to August 2016, involving 47 COPD patients. Vitamin E intake was assessed using semi quantitative food frequency questionnaire FFQ , exacerbation frequency was obtained by interview and or medical records, serum vitamin E concentration was determined using high performance liquid chromatography HPLC . Subjects rsquo mean vitamin E intake was 5.8 2.9 mg day, which did not meet Recommended Dietary Allowance. Median serum vitamin E concentration was 10.8 3.0 14.8 mol L, and exacerbation frequency was 2 0 9 times year. There was no significant correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>