Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekar Agustin
Abstrak :
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Menurut penelitian NHANES tahun 1999-2008, faktor risiko yang paling signifikan dari hipertensi pada wanita adalah obesitas. Provinsi Jawa Timur memiliki prevalensi hipertensi (26,2%) dan obesitas (28,06%) yang lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional (25% dan 26,23%) tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan obesitas dengan hipertensi pada wanita usia 18 tahun ke atas di Provinsi Jawa Timur dikontrol variabel umur, pendidikan, status ekonomi sosial, aktivitas fisik, konsumsi rokok, dan stres. Analisis ini menggunakan data Riskesdas 2013 dengan desain studi cross sectional yang dilaksanakan bulan Maret hingga Juni 2015. Data dianalisis secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi hipertensi pada wanita usia 18 tahun ke atas di Provinsi Jawa Timur tahun 2013 adalah 33,7% dan prevalensi obesitas adalah 33,6%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara obesitas dan hipertensi (OR 3,67; 95%CI: 2,79-4,83) setelah dikontrol umur, tingkat pendidikan, status ekonomi sosial, aktivitas fisik, konsumsi rokok, dan stres. Terdapat interaksi positif antara umur dengan obesitas dalam kaitannya dengan hipertensi. Pada perbandingan antar strata umur, umur bersama dengan obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi, meningkat secara linier pada usia yang makin tua. Dalam strata umur yang sama, risiko obesitas menyebabkan hipertensi makin kecil secara linier pada usia yang makin tua. Kemenkes dan Dinkes diharapkan memperluas program posbindu ke lingkungan masyarakat dengan kerja sama antara Puskesmas dan RT setempat. Wanita disarankan untuk menjaga berat badan tetap normal dan melakukan aktivitas yang cukup. ......Hypertension is defined as a systolic blood pressure ≥ 140 mm Hg and/or diastolic blood pressure ≥ 90 mm Hg. Based on NHANES research in 1999-2008, the main risk factor of hypertension in women is obesity. The prevalence of hypertension in East Java Province is 26,2% and obesity is 28,06% which is higher than national prevalence (25% and 26,23%). This study aims to identify the relation of obesity and hypertension in women aged 18 years and older in East Java Province controlled by age, education, social economic status, physical activity, smoking, and stress. This analysis used Riskesdas data in 2013 with cross sectional study desaign which is done in March until June 2015. The data was analized in univariate, bivariate, and multivariate using logistic regression. The study result shows that the prevalence of hypertension in women aged 18 years and older in East Java Province in 2013 is 33,7% and the prevalence of obesity is 33,6%. There is significant relation between obesity and hypertension with OR 3,67 (95%CI: 2,79-4,83) after controlled by age, education, social economic status, physical activity, smoking, and stress. There is positive interaction between age and obesity related hypertension. In comparison between age groups, age with obesity increase the risk of hypertension, increase in a linear way in older age. In one age group, the risk of obesity causes hypertension, decrease in a linear way in older age. Kemenkes and Dinkes are hoped to extend their program, posbindu, to community. Women are recommended to keep the their weight normal and do enough physical activity.Obesity, hypertension
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T43887
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsiana Indah Kusumawati Pareira
Abstrak :
Virus hepatitis E (HEV- Hepatitis E Virus) adalah nama yang diberikan kepada virus atau kelompok serologis virus yang belum lama ini ditemukan dan telah terbukti sebagai penyebab kasus-kasus hepatitis Non-A Non-B yang penularannya melalui air (Water borne NANBH) dan telah dilaporkan sejak tahun 1987, penyakit ini sering menimbulkan kejadian luar biasa di wilayah dengan sanitasi yang amat buruk, pada penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan menyerang orang-orang berusia muda sampai usia menengah. Infeksi hepatitis E Virus pertaMakali dilaporkan dari suatu wabah di India pada tahun 1955, sampai saat ini wabah serupa banyak terjadi di Asia, Afrika Utara, Timur Tengab, Eropah Timur, Amerika Serikat dan sebagian Rusia. Di Indonesia untuk pertama kali dilaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) hepatitis di Kabupaten Sintang propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1987, kemudian pada tahun 1991 terjadi lagi KLB di kabupaten yang lama tetapi di desa yang lain. Awal tahun 1998 (Januari), dilaporkan telah terjadi KLB hepatitis di beberapa tempat seperti di Bogor dan Jawa Timur . Di Bondowoso kasusnya cukup mencolok, sejak Januari sampai dengan April tahun 1998 dilaporkan jumlah kasus yang dilaporkan sebesar 723. Untuk memastikan telah terjadi KLB hepatitis di Kabupaten Bondowoso diperlukan suatu penelitian yang mendalam sehingga dapat diketahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya KLB hepatitis. Penelitian ini ingin melihat gambaran epidemiologi pada waktu KLB hepatitis dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya sakit HEV seperti sumber air minum, kebiasaan minum air tidak dimasak, air untuk mencuci alat makan, tempat buang air besar, air untuk mandi, jenis kelamin dan umur. Jenis desain penelitian ini adalah kasus kontrol, kasus adalah penderita dengan gejala klinis positif dengan IgG anti HEV positif sedangkan kontrol adalah tetangga terdekat yang tidak sakit dengan IgG anti HEV negatif. Besar sampel untuk kasus dan kontrol masingmasing 257. Populasi penelitian di desa Bendoarum, Pecalongan, Tegaljati dan Kerang. Data dikumpulkan oleh tim investigasi pada saat terjadinya KLB hepatitis. Kemudian diolah dan dianalisis menggunakan piranti lunak program EPI INFO versi 6.0 dan program STATA versi 3.1. Dari gambaran epidemiologi terlihat bahwa telah terjadi KLB hepatitis dengan tipe hepatitis E virus (REV), sifat KLB tidak sama (CFR< 1%). Jumlah desa yang terkena 8 desa yaitu Bendoarum, Pecalongan, Tegaljati, Kerang, Sekarsarilor, Gununganyar, Lombok Wetan dan Jurang Sapi. AR tertinggi di desa Bendoarum (3,9%) dan Pecalongan (3,3%). AR tertinggi pada kelompok umur dewasa muda/usia produktif (63,2%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di desa penelitian mayoritas petani dengan tingkat pendidikan masih rendah (SD). Dari analisis bivariat terlihat gambaran tentang besarnya risiko dari beberapa faktor yang berhubungan bermakna dengan terjadinya HEV yaitu sumber air minum, kebiasaan minum air tidak dimasak, air untuk mencuci alat makan/dapur, tempat buang air besar, air untuk mandi dan umur. Sedangkan jenis kelamin tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil akhir penelitian menunjukkan faktor risiko yang paling dominan berhubungan erat dengan terjadinya sakit HEV adalah kebiasaan minum air tidak dimasak, tempat buang air besar, air untuk mencuci alat makanidapur, kelompok umur 5 -18 tahun dan kelompok umur 19-45 tahun. Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan program penyehatan air dan penyehatan lingkungan dalam upaya menurunkan angka kesakitan hepatitis E.
Risk Factors Related to the Hepatitis E Virus Outbreak in Bondowoso District, East Java Province, 1998Hepatitis E Virus (REV), was recently found in 1987 it had been reported that the virus may cause several cases of water-borne diseases, particularly it was known Non-A Non-B Hepatitis (NANBH). The disease is frequently result to NANBH outbreak, especially in any area with very poor sanitation, low social and economic status, teenagers and young adult group. The first outbreak of HEV infection was reported in India in 1955, up to now the similar outbreak also occurs in Asia countries, North Africa, Middle East, East Europe, USA and some regions of Russian. In Indonesia, the first outbreak was reported at Sintang District, West Kalimantan in 1987 and it was recognized as NANBH. In 1991 , in the similar district (at different village) was also reported the same outbreak and it was diagnosed as HEV infection. Seven years later (January 1998), it was reported the similar outbreak at several areas in West Java (Bogor) and East Java province. Bondowoso District had extremely increased at 723 cases of hepatitis incidence from January to April 1998 and it was reported as the hepatitis outbreak. To assess and find out any risk-factors dealing with the hepatitis outbreak in Bondowoso, it is necessary to conduct a research in-depth on such a disease. This research aims to obtain an epidemiological description on hepatitis outbreak and the factors associated with the occurrence of REV. Design study was a case-control, which the case was defined as a patient with positive clinical symptoms of IgG anti-REV positive, whereas the control was defined close-neighbour with IgG anti-HEV negative. Number of cases and controls are respectively 257 persons. The research was conducted at Bendoarum, Pecalongan, Tegaljati and Kerang villages where was considered as study areas due to the four village with highest incidence. The data collected has been done during the hepatitis outbreak. The study shows that the HEY outbreak with moderate severance (CFR < 1 %) has already occurred in 8 villages, including Bendoarum, Pecalongan, Tegaljati, Kerang, Sekarsarilor, Gununganyar, Lombok Wetan and Jurang Sapi. The highest Attack Rate (AR) occurs at Bendoarum (3,9 %) and Pecalongan (3,3 %), particularly at young adult group/productive age (63,2 %). It also shows that the most of community members at such villages are farmers with low education status (primary school). The bi-variant statistic analysis indicates the presence of significant correlation between the REV incidence and the magnitude of risk-factors influencing the incidence, such as potable water sources, the habit of drinking raw water, water supply for showering and washing household utensils, latrine and age factor. However, there is no significant correlation for gender factor. As the result the study shows that the most dominant risk-factor of the HEV incidence is the habit of drinking raw water, latrine, water supply for washing kitchen/cooking utensils, and the age group of 5 - 18 years and 19-45 years. Eventually it is expected that the above results could be used as constructive inputs and consideration in determining water sanitation end environmental health policy, particularly in the efforts of decreasing the REV incidence.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwandi
Abstrak :
Secara nasional tingkat penggunaan benih unggul berrmutu masih rendah, pada tahun 1997/1998 baru mencapai 37,58% dari kebutuhan. Penggunaan benih padi unggul di Jawa relatif lebih tinggi dibanding di luar Jawa. Guna meningkatkan penggunaan benih unggul bermutu sehingga tercapai peningkatan produktivitas beras nasional, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan salah satunya berupa pemberian subsidi benih padi. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis dampak penghapusan subsidi benih padi dengan menggunakan model permintaan. Penelitian ini menggunakan studi kasus dipilih di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pertimbangan propinsi tersebut merupakan pemasok beras terbesar di Indonesia dan tingkat penggunaan benih unggul relatif lebih tinggi dibanding daerah lain. Jenis data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian dan instansi terkait lainnya. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi usaha perbenihan dan usaha tani, sedangkan analisis kuantitatif dengan model permintaan benih digunakan untuk menghitung besarnya perkiraan dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani padi. Kebijakan dengan tujuan stabilitas harga benih dan menyediakan kebutuhan benih unggul secara cukup dengan harga terjangkau petani selama ini telah dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan pembayaran subsidi harga yang disalurkan tidak langsung kepada petani, melainkan melalui produsen benih BUMN yaitu PT. Sang Hyang Seri dan PT. Pertani. Kebijakan stabilisasi harga benih dengan cara memberikan subsidi harga benih berakibat menimbulkan beban biaya pemerintah dan kurang memberikan iklim kondusif bagi swasta untuk masuk dalam industri perbenihan. Penetapan HET benih mengalami kesulitan di tingkat lapangan, .mengingat wilayah Indonesia yang luas, kepulauan dan kondisi geografis dan aksesibilitas yang beragam antar daerah. Sampai saat ini penyediaan benih padi unggul masih terbatas pada daerah yang mudah dijangkau. Besarnya biaya produksi pertanian yang bervariasi antar daerah juga turut mempersulit penentuan besarnya HET benih padi. Bila HET benih dipatuhi dan nilai subsidi diberikan sebesar selisih harga pokok produksi dengan HET benih, maka kemungkinan tidak terjadi kerugian bobot mati. Subsidi benih padi tidak hanya dinikmati oleh petani melainkan juga dinikmati pula oleh BUMN perbenihan. Subsidi benih padi sebesar Rp.400/kg pada tahun 1999 yang disalurkan melalui PT. SHS dinikmati petani Rp. 278,8/kg dan yang dinikmati PT. SHS melalui profit marjin dan ekstra profit sebesar Rp. 121,2/kg. Sedangkan subsidi yang disalurkan melalui PT. Pertani, petani menikmati sebesar Rp. 201,2/kg dan PT. Pertani sebesar Rp.198,8/kg. Apabila subsidi benih padi dihapuskan akan menyebabkan harga benih padi meningkat. Peningkatan harga benih mengakibatkan menurunnya permintaan petani terhadap benih padi. Petani cenderung memperbanyak penggunaan benih yang diproduksi sendiri atau barter dengan tetangga, karena harga benih tidak terjangkau oleh sebagian besar petani. Guna melihat dampak penghapusan subsidi benih terhadap usaha tani, ditentukan oleh respon petani yang diukur dengan elastisitas permintaannya. Variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi permintaan benih antara lain harga benih itu sendiri, jumlah benih yang dimiliki sendiri, harga gabah, dan luas penanaman padi. Harga benih berkorelasi negatif terhadap permintaan benih dengan nilai elastisitas harga benih di Jawa Barat -0,702, Jawa Tengah -0,724 dan di Jawa Timur -0,567, yang berarti bila harga benih meningkat permintaan benih akan menurun. Nilai elastisitas jumlah benih yang dimiliki sendiri dari tiga propinsi secara berurutan masing-masing -0,429; -0,173 dan -0,171. Jumlah benih milik sendiri ini dapat dianggap sebagai barang substitusi dengan benih yang akan dibeli. Bila jumlah benih yang dimiliki sudah cukup, maka petani cenderung mengurangi pembelian benih dari produsen benih/pasar. Variabel harga gabah dianggap sebagai indikator yang akan direspon oleh petani apakah akan menggunakan benih unggul yang dibeli walaupun harganya lebih mahal dibanding dengan memanfaatkan benih sendiri. Bila harga gabah meningkat, maka permintaan benih cenderung lebih tinggi. Elastisitas permintaan benih terhadap harga gabah di Jawa Tengah lebih elastis dibanding dua propinsi lainnya. Hal ini terjadi karena sebagian besar benih yang digunakan petani berasal dari pembelian. Luas penanaman padi berhubungan positif terhadap permintaan benih, dimana semakin luas areal penanaman padi, maka kebutuhan benihnya akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh elastisitas luas areal tanam padi pada ketiga propinsi relatif sama. Bila subsidi benih padi dicabut, berdasarkan model permintaan benih padi pada tiga propinsi diperoleh kesimpulan bahwa kenaikan harga benih akibat penghapusan subsidi mengakibatkan penurunan permintaan benih padi yang diminta petani Jawa Barat sebesar 5.470 ton (11,60%), di Jawa Tengah 10.160 ton (11,94%) dan Jawa Timur 8.180 ton (9,48%). Penghapusan subsidi benih padi diperkirakan tidak berdampak terhadap biaya usaha tani mengingat porsi pengadaan benih terhadap total biaya usaha tani di Jawa Barat hanya 1,89%, Jawa Tengah 3,92% dan di Jawa Timur 4,08%. Namun demikian karena benih merupakan faktor penentu kualitas dan produktifitas usaha tani, maka penggunaan benih yang tidak bermutu dapat menghambat keberhasilan usaha tani. Bila penurunan permintaan benih hanya dipenuhi dengan benih tidak bermutu, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi gabah di Jawa Barat sebesar 87.756 ton (atau menurun 0,94% dari produksi gabah Jawa Barat tahun 1998), di Jawa Tengah sebesar 134.878 ton (menurun 1,60% dari produksi gabah Jawa Tengah tahun 1998) dan di Jawa Timur sebesar 98.468 ton (menurun 1,17% dari produksi gabah Jawa Timur tahun 1998). Alternatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah menghapus subsidi benih secara bertahap dengan batas maksimum dua tahun. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan dalam kerangka manajemen krisis, tidak terjadi gejolak di dalam masyarakat, namun juga memberikan iklim kondusif bagi usaha perbenihan. Setelah dua tahun subsidi dicabut total dengan pertimbangan perkonomian sudah membaik dan days bell meningkat, serta memberi waktu prakondisi yang cukup bagi BUMN perbenihan mengingat siklus produksi dan pengolahan benih memerlukan waktu 4-7 bulan. Penghapusan subsidi dapat dilakukan saat ini hanya pada "daerah maju" seperti pada propinsi lokasi studi kasus, sedangkan untuk "daerah remote" seperti Kawasan Timur Indonesia tetap diberikan subsidi benih padi untuk meningkatkan penggunaan benih unggul dengan harga terjangkau. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai efektivitas pemberian subsidi benih padi pada daerah remote. Penghapusan subsidi perlu diikuti upaya-upaya peningkatan efisiensi dalam memproduksi benih dan peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran benih. Tidak akan terjadi penurunan produksi gabah bila subsidi benih dicabut, kalau dilakukan langkah antisipatif antara lain penghematan anggaran pemerintah dari penghapusan subsidi benih dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang terkait dalam pengembangan perbenihan, terutama mendorong peningkatan penggunaan benih unggul dan meningkatkan mutu, misalnya memberdayakan penangkar benih padi, melakukan kampanye gerakan sadar mutu benih, memperluas pemasaran dan distribusi benih, mereview peraturan perundangan yang menghambat usaha perbenihan serta memperbaiki sistem pembinaan dan pengawasan mutu benih. Penghapusan subsidi harga benih sebaiknya diimbangi Pula dengan meningkatkan harga dasar gabah, sehingga diperoleh rasio harga gabah dengan benih pada tingkat yang kondusif guna mendorong gairah petani tetap menggunakan benih unggul dengan cara tetap mempertahankan rasio harga dasar gabah denagn benih melalui menaikkan harga dasar gabah. Di mass mendatang peran pemerintah tidak lagi mengatur harga bidang pertanian. Pemerintah agar berkonsentrasi pada perannya dalam menciptakan paket teknologi dan menciptakan benih padi hibrid guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, memberikan alih teknologi dan informasi alternatif-alternatif usaha yang menguntungkan petani, serta memperbaiki sarana dan prasarana penunjang. Usaha ini dilakukan untuk efisiensi produksi dan meningkatkan daya saing produk pertanian dalam era pasar babas. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, peran pusat dalam pengembangan industri perbenihan semestinya terbatas pada pengaturanpengaturan dan kebijakan yang bersifat nasional seperti ketentuan impor benihfperkarantinaan, penentuan standar mutu, sistem pembinaan dan pengawasan mutu. Di luar hal tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sumantri
Abstrak :
Klinik Sanitasi merupakan bagian dari program pelayanan Puskesmas yang dapat mengakses kegiatan kuratif dan rehabilitatif dengan kegiatan promotif dan preventif dalam mengatasi penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan. Sejak bulan Nopember 1995 Klinik Sanitasi diperkenalkan dan dikembangkan di Puskesmas Wanasaba Kabupaten Lombok Timur Propinsii NTB. Selanjutnya diikuti oleh beberapa Propinsi diantaranya di Propinsi Jawa Timur. Secara kuantitatif dari tahun 1996 (14 Puskesmas) sampai dengan tahun 2000 (25 Puskesmas) telah terjadi peningkatan pelaksanaan program Klinik Sanitasi. Akan tetapi kualitas peningkatan pelaksanaan kegiatan Klinik Sanitasi belum diketahui. Salah satu evaluasi kualitas adalah kepuasan yang bersifat subyektif. Untuk itu dilakukan pendekatan pengukuran dengan sistem mutu pelayanan jasa yaitu ISO 9004-2. Mutu pelayanan terdiri dari tanggung jawab managemen, sumber daya material, struktur sistem mutu, keterkaitan dengan pelanggan, proses pemasaran, proses perencanaan dan performance serta perbaikan jasa. Sedangkan kepuasan diukur dengan tarif, jarak, ramah, baik, penampilan, nyaman, manfaat, kecepatan pelayanan, informasi dan keterkaitan pada klien. Untuk Variabel Confounding terdiri dari: jenis kelamin, umur, pendidikan, pengetahuan, penghasilan, pekerjaan, dan status pernikahan. Untuk menentukan skor kepuasan dan mutu dilakukan tahapan penyesuaian dengan indeks komposit melalui Multi Reability dengan Cronbach Alpha. Selanjutnya dilakukan analisis Univariant dengan distribusi frekuensi dan analisis bivarian untuk mengetahui adanya hubungan antara mutu dengan kepuasan dan kepuasan dengan variabel Confounding. Jika terjadinya kemaknaan dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan antara mutu dengan kepuasan yang dikontrol oleh variabel Confounding yang menghasilkan bermakna. The Relation of Quality Sevice of Sanitation Clinic in Public Health Centre Based on ISO 9004-2 and the Client Satisfaction in Mojokerto District-East Java Province 2000.Sanitation Clinic is a part of public health centre (Puskesmas) program. Which can be provider in a card with promotion and preventive activities to anticipate environment based disease. Since November 1995, Sanitation Clinic had introduced and developed in Wanasaba public its development was followed by some provinces, one of them was East Java province. Quantitative, there is increasing number of clinic with only 14 clinics in 199E to 25 clinics in year 2000 however the quality of the clinic has never been studied. One of quality process. Therefore this study with then try to find correlation between client satisfaction with quality service increased by ISO 9004-2. The service quality as measured by ISO 9004-2 consists of managerial responsibility, quality structure and system, customer interrogated, marketing process, planning pro class, performance and service repairmen. And the satisfaction is measured by fee, distance, polite clean performance, layoy, useful the speed of service, information, client integrity for external factor of gender, aid, education, knowledge, wage job and marital status. To definer satisfaction and quality score that is used reliability analysis with Cronbach alpha. Further univariate analysis by distribution frequency and analysis bivariate to know the related quality with satisfaction by external factor multivariate is done to know the related quality with satisfaction that is controlled by external factor.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T7746
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
Abstrak :
Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur. Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an. Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik; 2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik; 3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan 4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan. Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi. Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya. Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu: 1) Pemberian tali asih/ganti rugi; 2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum); 3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik; 4) Musyawarah; dan 5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek. Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah. Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak. Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya. Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek. Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep. Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas: 1) Perencanaan yang apresiatif; 2) Strategi kolektif; 3) Dialog; dan 4) Menegosiasikan penyelesaian. Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya. Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya. Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967. The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s. Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are: 1) To dig up and map the history and sources of conflict; 2) To identify the factors influencing the conflict escalation; 3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and 4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember. The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases. In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.: 1) Providing a compensation; 2) Bringing the case to the court; 3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action; 4) Building dialog/negotiation; and 5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4. From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources. The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it. Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict. In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe. There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of 1) Appreciative planning; 2) Collective strategy; 3) Dialog; and 4) Negotiation of resolution. In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation. To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library