Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ambar Hardjanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Infeksi cacing tambang di Indonesia disebabkan oleh dua spesies : N. americanus dan A. duodenale, dimana N. americanus merupakan spesies yang dominan di Indonesia. Selama ini diferensiasi N. americanus dan A. duodenale hampir tidak pernah dilakukan.
Selain karena alasan teknis juga karena kedua spesies cacing tambang tersebut selama ini dianggap sama dalam hal pengobatan. Namun bukti yang ada menunjukkan bahwa kedua spesies cacing tambang tersebut berbeda, baik dalam fisiologi, patologi maupun respon terhadap pengobatan. N. americanus dan A. duodenale mempunyai bentuk telur yang sama sehingga tidak dapat dibedakan secara morfologi. Kedua cacing tambang tersebut secara morfologi dapat dibedakan dari stadium cacing dewasa dan bentuk larva filariform (stadium L3). Dalam prakteknya, cacing tambang dewasa praktis tidak pernah ditemukan, sedangkan larva L3 dapat diperoleh dengan teknik copra-culture Harada-Mori, tetapi cara ini membutuhkan waktu lama, ketelitian tinggi, dan tenaga yang berpengalaman untuk membedakannya. Untuk itu perlu dikembangkan teknik alternatif yang cepat dan dapat diandalkan seperti teknik biologi molekuler. Beberapa teknik PCR yang menggunakan DNA inti sebagai target telah dikembangkan, namun teknik tersebut belum optimal mengimplifikasi DNA yang diekstraksi dari feses. DNA mitokondria gen COII dipilih sebagai target oleh karena mempunyai laju mutasi yang tinggi dan tidak mengalami rekombinasi sehingga ideal digunakan sebagai penanda untuk menentukan variabilitas genetik pada spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosis dan mendiferensiasi cacing tambang pada manusia dengan menggunakan gen COII pada mtDNA sebagai target amplifikasi.
Hasil dan Kesimpulan : Diagnosis cacing tambang dapat dilakukan dengan metode Kato-Katz, Harada-Mori dan PCR. Diferensiai spesies N. w nericanus dan A. duodenale hanya dapat dilakukan dengan metode Harada-Mori dan PCR-RFLP. Diferensiasi spesies cacing tambang dengan Harada-Mori hanya didasarkan pada stadium larva filariform (L3), sedangkan dengan PCR-RFLP dapat dilakukan pada semua stadium. Diagnosis infeksi cacing tambang dengan metode PCR memberikan prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan metode Kato-Katz dan Harada-Mori."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T11497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro
"ABSTRAK
Dalam usaha untuk meningkatkan ketajaman diagnosis potong beku jaringan tiroid diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan, antara lain dengan sitologi imprint. Pembuatan sediaan sitologi imprint ini cukup mudah dan cepat. Dengan sitologi imprint, sel ganas pada umumnya lebih mudah dikenali daripada sediaan potong beku, kecuali pada kelainan tertentu terutama Iasi folikuler. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan nilai ketepatan keganasan dengan metode sitologi imprint pada jaringan tiroid terhadap diagnosis sediaan parafin dari kasus yang sama.
Penelitian ini dilakukan dua tahap.Pertama meneliti semua sediaan imprint yang telah dipersiapkan selama dua tahun. Kedua meneliti sediaan parafin kasus yang sama. Semua sediaan imprint diteliti baik mengenai sel maupun latar belakangnya. Dibuat kriteria tertentu untuk tiap jenis kelainan tiroid.
Untuk menilai ketepatan diagnosis sitologi imprint diperlukan analisa uji kemampuan yaitu menggunakan angka acak binomial dengan menirukan tabel 2 x 2 dan sediaan paraffin sebagai baku emas. Dari uji dengan sediaan paraffin sebagai baku emas menghasilkan: sensitifitas 75%, spesifisitas 100%, nilai ramalan positif 100%, nilai ramalan negatif 76% dan ketepatan 93,88%.
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa sitologi imprint mempunyai ketepatan tinggi dalam hal membedakan antara kelainan tiroid jinak dan ganas. Sitologi imprint berguna sebagai pemeriksaan tambahan pada potong beku jaringan tiroid.

ABSTRACT
To increase the ability diagnosis of frozen section of thyroid lesion we need some additional examinations, for example, imprint cytology. In making cytology preparation is not difficult. With imprint cytology, the detail of cell are better preserved than that in frozen section. Usually the malignant cell is rather well differentiated, except for follicular lesions.
The aim of research is to get a value of accuracy of imprint cytology diagnosis of thyroid malignancy, compared with paraffin section diagnosis from the same cases.
There are two investigations for this research. First we evaluated all imprint slides prepared in two years. All the imprint slides where examined of their cells and backgrounds. We made some criteria for each thyroid lesions. The second evaluation was about paraffin slides.
To evaluate the imprint cytology diagnosis accuracy, analysis of capability was necessary, using binomial random numbers, imitating table 2 x 2 and paraffin slide as gold standard.
From the analysis we found that sensitivity was 75%, spesificity was 100%, positive predictive value was 100%, negative predictive value was 76% and accuracy was 93,88%.
From this examination we conclude that imprint cytology has high accuracy in distinguishing malignancy lesions from benign ones. The imprint is valuable as an addition to the frozen section.
"
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Sahat Hasudungan
"Sumber daya manusia dalam bidang teknologi informasi diperlukan yang knowledge base, dan skilled serta menjunjung tinggi moral dan etika profesinya. Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat memerlukan tenaga yang responsif terhadap perubahan sebagai akibat perkembangan teknologi, oleh sebab itu para pelaku teknologi informasi harus siap menerima pelatihan yang berkesinambungan.
Pengamatan sehari-hari terhadap para pelaku teknologi informasi di PUSLAHTA, BAKN memberikan indikasi bahwa prestasi kerja bervariasi antar individu dan antar kelompok dari waktu ke waktu dan apakah variasi ini ada hubungannya dengan karaktrristik individunya misalnya jenis kelamin, pendidikan, umur dan variabel lain serta iklim kerja dan kepemimpinan. Penelitian mengenai hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian yang benar, melalui teknik pengambilan sampel. Hasil analisis penelitian sampel terhadap faktor-faktor yang ada hubungannya dengan prestasi kerja, memberi indikasi bahwa (1) Prestasi Kerja Operator Data Entri sebagai salah satu spesialisasi pelaku teknologi informasi, memang berbeda antara laki-laki dan perempuan, (2) Tingkat pendidikan formal dari Operator Data Entri tidak berpengaruh terhadap prestasi kerjanya, (3) Prestasi kerja dari Para Pemakai (End User) tidak terpengaruh oleh jenis kelamin, (4) Adanya hubungan iklim kerja, karakteristik individu, dan kepemimpinan terhadap prestasi kerja pelaku teknologi informasi ditemukan dalam penelitian ini.
Kelemahan penelitian ini adalah bahwa kesimpulan penelitian kurang tepat untuk dipakai sebagai generalisasi prestasi kerja pelaku teknologi informasi, karena sampel yang diteliti hanya berasal dari para pelaku teknologi informasi di PUSLAHTA, BAKN dan variabel sumber daya manusia terutama variabel prestasi kerja yang diamati sangat terbatas."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T4287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aswaldi Ahmad
"Otomikosis telah lama diketahui sebagai salah satu penyakit infeksi liang telinga yang disebabkan jamur. Penyakit ini umumnya dijumpai di daerah tropik atau sub tropik oleh sebab itu penelitian tidak banyak dilakukan di negara barat . Suatu survey pada kepustakaan di Inggris menunjukkan bahwa otomikosis tidak pernah menempati urutan terdepan diantara penyakit-penyakit telinga lainnya di negara tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena kebanyakan para ahli beranggapan bahwa disamping jarang didapati, penyakit ini juga dapat diobati dengan Cara sederhana menggunakan beberapa preparat yang telah tersedia.
Sebaliknya penelitian penyakit ini banyak dilakukan oleh para ahli di daerah tropik seperti Mesir, India, Birma, Pakistan, Bahrain dan Israel disamping penelitian oleh beberapa ahli di Indonesia. Para peneliti Amerika baru tertarik akan penyakit ini setelah banyak diantara prajurit Amerika yang baru pulang dari daerah tropik menderita otomikosis.
Di Indonesia yang beriklim tropik, penyakit ini juga sering ditemukan tetapi penelitian yang dilakukan belum banyak. Para peneliti dalam dan luar negeri mendapatkan infeksi jamur di liang telinga sering bersamaan dengan infeksi bakteri tetapi sampai sekarang belum didapat kata sepakat apakah kuman atau jamur yang merupakan penyebab primer.
Faktor-faktor yang disebutkan berperanan dalam timbulnya otomikosis antara lain : kontaminasi jamur, suhu dan kelembaban?."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Krisnamurni
"A cross sectional study was conducted to investigate magnesium and zinc status in newly diagnosed non-insulin-dependent diabetes mellitus. In addition, macronutrients, magnesium and zinc intakes and WHR were evaluated in relation to the prevalence of NIDDM. Using 1994 WHO criteria for diabetes, sixty three (27 males and 36 females) newly diagnosed NIDDM attending outpatient clinic at general hospital in Semarang were recruited into the study. Data collection was undertaken from October 1997 to February 1998. Seventeen diabetic patients had retinopathy, which was confirmed by ophthalmologist consultation, and twenty-three had history of high blood pressure. Sixty three hospital staffs and the relatives of the diabetics, matching for gender were recruited for control (non diabetics) group.
Using structured questionnaire, information about socioeconomic and sociodemographic were obtained. Data of dietary intake were obtained using 2 days repeated 24-hour recall, and anthropometric measurements including: weight, height, waist and hip circumference were performed. Urine and 5 ml venous blood sample were taken from each subject for blood glucose, plasma and urinary minerals analysis.
Diabetics had significantly higher waist and WHR compared to non diabetics, and WHR was positively correlated with NIDDM and inversely correlated with age. Retinopath diabetics had lower BILE but had sign fcantly higher WHR compared to nonretinopaths. Higher intake of energy was observed in diabetics which was attributable to higher intake of carbohydrate. Diabetics also had slightly higher magnesium and zinc intakes. However, significantly lower plasma magnesium and hypermagnesuria were detected in diabetic patients. Diabetics also had slightly lower plasma zinc and slightly higher urinary zinc compared to non diabetics.
No difference in minerals status was found between retinopaths and non retinopaths. Diabetics who had history of hypertension had lower plasma zinc than those who had not, but no association was found between minerals status and retinopathy."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Ovalina Wisman
"Latar Belakang: Infertilitas merupakan salah satu permasalahan pasangan suami istri yang cukup sering ditemui dengan prevalensi berkisar pada 13-15%. Permasalahan infertilitas apabila tidak segera ditangani, dapat berakibat pada berbagai permasalahan seperti ekonomi, psikologis, maupun masalah medis. Diantara faktor penyebab infertilitas, 40% diantaranya berasal dari wanita dengan faktor terbanyak berupa faktor tuba. Sampai saat ini, jenis pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengevaluasi tuba adalah histerosalpingografi (HSG) karena cara pengerjaan mudah, harganya yang lebih terjangkau dan masih dapat memberikan angka sensitivitas yang cukup baik. Meskipun demikian, pemeriksaan dengan HSG ini memiliki banyak kekurangan yakni metode yang invasif, menimbulkan rasa kurang nyaman, beresiko infeksi atau alergi, serta akurasi yang lebih rendah dibanding baku emas pemeriksaan faktor tuba yaitu laparoskopi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penilaian akurasi pemeriksaan HSG dalam menilai faktor tuba jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi yang data menilai faktor tuba dan temuan patologi organik lainnya pada perempuan infertil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi Ciptomangunkusumo (RSCM) dan rumah sakit YPK Menteng Jakarta dengan sampel berupa 93 wanita infertil yang diduga memiliki faktor tuba serta menjalani pemeriksaan HSG dan laparoskopi selama Juli 2014 sampai dengan Juni 2016. Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat data rekam medis dari pasien yang telah menyetujui menjadi subjek penelitian yang dilakukan pemeriksaan oleh peneliti. Penilaian akurasi HSG dalam menilai faktor tuba dilakukan dengan melihat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif dari HSG jika dibandingkan dengan baku emasnya yakni laparoskopi, dan data dianalisis dengan analisis bivariat (crosstab) untuk menentukan signifikasi.
Hasil: Dari hasil analisis statistik didapatkan skor kappa adalah 0,484 (0,306-0,662, Cl 95%), yang berarti konsistensi hasil dari dua alat pemeriksaan dalam perhitungan moderat. Evaluasi patensi tuba menggunakan HSG dan laparaskopi memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, serta nilai prediksi negatif HSG secara berturut-turut 72,92%, 75,56%, 76,09%, dan 72,34%. Dengan nilai akurasi menggunakan HSG untuk mengevaluasi patensi tuba adalah 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Diskusi: Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan HSG memiliki tingkat akurasi yang baik, dan HSG dapat masih digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengevaluasi patensi tuba dan pasien infertil. PDari hasil penelitian ini penggunaan HSG tidak disarankan pada pasien usia 31-40 tahun menginat hasil statistik yang kurang mendukung.

Introduction: Infertility is of reproductive problems which is quite often encountered with a prevalence at 13-15%. Infertility which is not handled immediately can lead to various problems such as economic, psychological, or medical problems. Among the factors causing infertility, 40% of it came with the most factor of tubal factor. Until now, the type of examination used to diagnose tubal patency is hysterosalfingography (HSG) due to its affordable price. However, HSG examination has several shorthage such as invasive, painful sensation, risk of allergy, and low sensitivity compared to laparoscopy as the gold standard examination for tubal patency. Therefore, in this study the accuracy assessment carried out the ability of HSG information in view of tubal factors and other organic pathology findings in infertile women when compared with the gold standard is laparoscopy.
Methods: This study was a cross-sectional study obtained from Departement of Obatetrics and Gynecology of Ciptomangunkusumo (RSCM) and YPK Menteng Hospital with sample of 93 infertile women with tubal factors and underwent HSG and laparoscopic examination during the period July 2014 through June 2015. Taking the sample is done by looking at medical record data patients who have agreed to bet he subject of research conducted by the investigator. Assessment and measurement of HSG in tubal factor was performed by looking at sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG when compared with laparoscopy as the gold standard. In addition, bivariate trials were conducted using chi-square to see whether or not any signifficant difference between examination of tubal patency using HSG and laparoscopy, and data were analyzed by variate analysis (crosstab) to determine the significance.
Results: From the statistical analysis, the kappa score wa 0,484 (0,306-0,662, CL 95%), which means consistensy of result from two checking devices in moderate calculations. Evaluation of tubal patency, calculation of sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of HSG 72,92%, 75,56%, 76,09%, and 72,34%. respectively. With accuracy values using HSG to evaluate tubal patency was 74,19% (64,08%-82,71%, CL 95%).
Discussion: This research shows that the sensitivity, specificity, and positive values of HSG are low while negative score is high enough. This shows that the data of HSG in the number of tubal factors in this study is still relatively low compared with the standard standard of laparoscopy. A further search with a larger sample quantity to do can be more accurate predictive value from HSG."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lili Tantijati
"Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS), AKB pada tahun 1995 adalah 55 bayi per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab utama kematian bayi adalah tetanus neonatorum, yang menempati urutan ke 3 (SKRT 1986 dan 1992). Upaya untuk mengeliminasi penyebab kematian terus dilakukan oleh Depatennen Kesehatan dengan target untuk menurunkan insiden tetanus neonatorum menjadi 1 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2000. Salah satu kabupaten penyumbang kasus tetanus neonatorum adalah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, walaupun ada kecenderungan menurun namun masih diatas target nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia neonatus saat timbulnya gejala-gejala tetanus neonatorum dengan kematian akibat tetanus neonatorum di Kabupatan Indramayu dan Kabupaten Cirebon tahun 1996-2001 sehingga diketahui usia masa kritis neonatus yang menderita tetanus neonatorum untuk meninggal dunia.
Rancangan penelitian ini adalah kasus kontrol dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol 1:1. Jumlah sample keseluruhannya adalah 160 neonatus yang menderita tetanus neonatorum, yang terdiri dari 80 kasus dan 80 kontrol. Sample adalah neonatus penderita teanus neonatorum yang berusia 3-28 hari yang tercatat pada Form T2 dan Medical record rumah sakit sejak 1 Januari 1996 sampai 31 Desamber 2001 di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon .Kasus adalah sample yang meninggal dan kontrol adalah sample yang hidup.
Hasil penelitian pada analisa Muitivariat dengan uncondentional logistic regresion, variabel yang berhubungan dengan kematian akibat tetanus neonatorum secara bermakna (p<0.05) adalah usia neonatus yang menderita tetanus neonatorum, dimana neonatus yang menderita tetanus neonatorum yang berusia 7 hari atau kurang mempunyai risiko meninggal dunia 20.06 kali dibanding neonatus penderita tetanus neonatorum yang berusia lebih dari 7 hari, Penderita tetanus neonatorum yang dibawa ke rumah sakit pada hari yang ke 2 atau lebih setelah gejala pertama (tidak mau menyusu dan demam) mempunyai risiko meninggal dunia 6.95 kali dibandingkan dengan yang dibawa ke rumah sakit pada hari pertama setelah gejala pertama, neonatus yang menderita tetanus neonatorum yang diberi dosis obat antibiotik lebih rendah selama dirawat di rumah sakit mempunyai risiko meninggal dunia 4.34 kali di banding neonatus yang menderita tetanus neonatorum yang selama dirawat di rumah sakit di beri dosis obat antibiotik yang sesuai dengan Prosedur tata laksana kasus tetanus neonatorum di RSCM, Jakarta. Variabel kekebalan, antibiotik (jenis dan cara pemberian), anti kejang (jenis,dosis dan cara pemberian) dan cara pemberian ATS tidak berhubungan secara bermakna.(p>0.05) dengan kematian akibat tetanus neonatorum.
Disarankan untuk perbaikan dan sosialisasi Protap Tata Laksana Kasus Tetanus Neonatorum baik di tingkat rumah sakit maupun Puskesmas, perbaikan surveillence kasus tetanus neonatorum dan intensifikasi upaya pencegahan tetanus neonatorum.

The Infant Mortality Rate (IMR) in Indonesia is still high. Based on Central Bureau of Statistics (CBS) the IMR in 1995 was 55/1000 live births. One of the main reasons on infant death is tetanus neonatorum that take a place on the third (Household Health Survey, 1986 and 1992). The effort to eliminate the cause of infant death is still conducted by 1hP MOH with the target to reduce incident of tetanus neonatorum become 111000 live birth on 2000. One the District that contributes the case of tetanus neonatorum is Indramayu and Cirebon Districts, even showing tend to reduce; however it is over with the national target.
The objective of this study was to determine the relationship of neonatus' age when showing the indications of tetanus neonatorum with the death caused by tetanus neonatorum at Indramany and Cirebon Districts in 1996-2001. So it can be known the age on neonatus crisis time that is suffering tetanus neonatorum to death.
The study design was control cases with the comparison; the number of cases group and control group was 1:1. The total number of sample was 160 neonatus tetanus neonatorum that covers of 80-cases group and 80-control group. The sample was the sufferer of tetanus neonatorum whose age was 3-28 days that registered on the T2 Form and Medical Record at the Hospital, since January 1st, 1996 - December 31s', 2001 both in lndramayu and Cirebon Districts. The cases were the samples whose was death and control was the sample that is still alive.
The result of this study based on Multivariate analysis by unconditional logistic regression, It was showed that the variable which related to the death that caused by tetanus neonatorum significantly (p<0.05) was the age of neonatus. The sufferer of neonatus tetanus neonatorum whose the age is 7 days or less, they were having risk to death as 20.06 times compared with the neonatus tetanus neonatorurn whose age over than 7 days. The sufferer of tetanus neonatorum that brought to the Hospital on second day or more after first indication (reluctant to breast-feed and fever) having risk to death as 6.95 times compared with those whom brought to the Hospital on the first day after the first indication. The neonatus tetanus neonatorum who is given lower doses of antibiotic medicine during hospitalized having risk to death 4.34 times compared with whom that hospitalized gave doses of antibiotic medicine that meet with management diagnose, the cases at Cipto Mangun Kusumo Hospital, Jakarta. The variable of immune, antibiotic (type and method of giving), anti-seized (type, doses and method of giving) and the way in giving the ATS was not related significantly (p>0.05) with the death of neonatus caused by tetanus neonatorum.
It is recommended to increase and socialize the protap of Management Tetanus Neonatorum Cases both in the level of Hospital and to the Health Center. It is needed to improve the surveillance on the case of tetanus neonatorum and intensification effort in preventing the cases of tetanus neonatorum.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T9350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chevallier, Arnaud
"Strategic Thinking in Complex Problem Solving provides a framework and practical tools to help the reader solve problems. In our personal and professional lives, we are required to solve problems that are not clearly defined and have moving and interdependent parts. Successful resolution requires us to be T-shaped, having both depth and breadth of knowledge and skills. This book focuses on the latter part, the knowledge and skills that can be beneficial in solving any complex problem. Integrating findings from many disciplines as well as conclusions from practitioners, this book provides concrete guidelines. It breaks the resolution process down into four steps-framing the problem (identifying what needs to be done), diagnosing it (identifying why there is a problem or why it has not been solved yet), identifying and selecting potential solutions (identifying how to solve the problem), and implementing and monitoring the solution (resolving the problem, the do). For each of these four steps-what, why, how, do-the book explains techniques that can promote success and demonstrates how to apply them on a case study and in additional examples. The case study-that of a lost dog that may have been kidnapped-guides the reader through the resolution process, illustrates how the concepts apply, and creates a concrete image to facilitate the recollection. Relying on theoretical and empirical evidence but using simple, accessible language, it enables the reader to learn not just about problem solving but how to actually solve complex problems."
Lengkap +
Oxford: Oxford University Press, 2016
e20470501
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Handajani
"ABSTRAK
Diagnostik filariasis malayi secara konvensional menggunakan darah malam mempunyai kendala. Pemeriksaan darah vena siang hari dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan hasil positif (Tuda,1999), tetapi cara ini mempunyai kendala di lapangan karena penduduk enggan diambil darahnya venanya. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dikembangkan cara diagnosis baru.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi DNA B. malayi pada kertas filter Whatman dengan menggunakan teknik PCR. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam skala laboratorium. Sampel yang digunakan adalah darah manusia sehat dari daerah non-endemis fialariasis dicampur dengan mikrofilaria (mi.) B. malayi yang diisolasi dari cairan infra peritoneal (IP) gerbil positif filaria. Berbagai konsentrasi pengenceran mf yang diuji adalah: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf dalam total volum masing- masing konsentrasi 60 μl campuran darah dan diteteskan pada kertas filter Whatman 3 mm. Dilakukan pula filtrasi cairan IP gerbil untuk membuang semua mikrofilaria yang ada di dalam cairan, lalu diambil 20 μl fitrat tersebut dan dicampur dengan 40 darah manusia sehat dari derah non-endemis filariasis. Kontrol negatif adalah 20 cairan NaCl 0,9% dicampur 40 μ1 darah manusia sehat dari daerah non-endemis filariasis. Filtrat dan kontrol negatif, masing-masing.diteteskan pada kertas filter Whatman. Setelah dilakukan ekstraksi, sebanyak 2 µl supernatan dari tiap-tiap perlakuan tersebut digunakan untuk PCR. Kontrol positif menggunakan 2μl pBma 68. Hasil PCR diamati pada elektroforesis, lalu divisualisasi menggunakan transluminalor dengan sinar UK
Terlihat pita DNA dengan panjang 322 bp dan 644 bp (dimer) pada konsentrasi : 1,5, 10, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf /60 μl campuran darah serta filtrat cairan IP. Konsentrasi terendah yang dapat terdeteksi adalah 1 mf / 60 μl campuran darah. Teknik PCR dapat mendeteksi adanya DNA B. malayi dalam cairan IP gerbil yang telah difiltrasi.

ABSTRACT
Detection of DNA Brugia malayi on blood dropped on filter paper using Polymerase
Chain Reaction (PCR)
The conventional diagnostic of filariasis malayi using evening blood is handicapped by a certain constraint. The analysis of daytime venous blood using Polymerase Chain Reaction (PCR) shows positive results (Tuda, 1999), but this method confronts field opposition because people are reluctant to surrender their venous blood. To overcome this problem we have to develop a new diagnostic method.
The purpose of this study is to detect DNA B. malayi on Whatman filter paper using PCR technique. This study is a preliminary study in a labolatorium scale. The sample used in the blood of healthy people living in a non-endemic filariasis area, mixed with microfilaria (mf) B. malayi, isolated from filaria positive gerbil intra peritoneal (IP) liquid. Several diluted concentrate tested were: 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf, in total volume of each concentrate 60 μl mixed blood, dropped on 3 mm Whatman filter paper. Filtration was conducted on the IP gerbil liquid, in order to get rid of all microfilaria existing in the liquid, after which 20 µl filtrat was taken and mixed with 40 μl healthy people blood from non-endemic filariasis area.
Filtrat and negative control, were dropped on Whatman filter paper. After extraction /isolation process, 2 µl supernatan from each treatment mentioned above were used for PCR. Positive control uses 2 μl pBma 68. The PCR result was scrutinized on electrophoresis, visualized later using transluminator with UV rays.
Observed DNA ribbons of 332 bp and 644 bp (dimmer) length on the concentrate : 1, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 75, 100 mf / 60 μl mixed blood and filtrate liquid IP. The lowest concentration that could be detected was 1 mf / 60 μl mixed blood. Thus the PCR technique was able to detect the existence of DNA B. malayi on the gerbil IP liquid that has been filtrated."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library