Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dea Alifia Maharani
"Retinal detachment (RD), atau ablasi retina, adalah kondisi ketika retina neurosensori terlepas dari lapisan dasarnya, yaitu epitel pigmen retina (EPR), karena kehilangan kerekatan. RD bisa menjadi kondisi yang serius jika tidak segera ditangani, seperti gangguan penglihatan hingga kebutaan permanen. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 17.500—25.000 kasus baru setiap tahunnya. Namun, dengan jumlah dokter yang terbatas, pendeteksian RD secara konvensional mungkin tidak dapat dilakukan dengan cepat. Dengan memanfaatkan metode machine learning, khususnya deep learning, yang kini berkembangan pesat, dapat dilakukan pendeteksian RD melalui citra fundus mata menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur ResNeSt. Terdapat masalah keterbatasan jumlah data pada kelas RD sehubungan dengan perlindungan privasi pasien yang membatasi akses terhadap data medis. Untuk meningkatkan jumlah data, dilakukan augmentasi data dengan GAN untuk menghasilkan data baru berupa citra sintetis untuk kelas RD. Dilakukan pula percobaan dengan menerapkan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) sebagai tahap preprocessing sebelum augmentasi dengan GAN dengan tujuan meningkatkan kualitas citra yang masuk sebagai input dari GAN. Lebih lanjut, penelitian ini menguji tiga skenario dengan dua rasio splitting data, yaitu 6:2:2 dan 6:1:3. Skenario 1 menjalankan model ResNeSt tanpa preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Skenario 2 menjalankan model ResNeSt dengan augmentasi GAN pada data input. Sementara itu, skenario 3 menjalankan model ResNeSt dengan menerapkan preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Untuk splitting data dengan rasio 6:2:2, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 89,9%, sensitivity 76,3%, specificity 94,3%, dan loss 52,4%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 92,3%, sensitivity 88,2%, specificity 94,8%, dan loss 18,6%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 95,9%, sensitivity 94,4%, specificity 96,8%, dan loss 9,8%. Sementara itu, untuk splitting data dengan rasio 6:1:3, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 91,3%, sensitivity 78,6%, specificity 94,9%, dan loss 27,9%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 94%, sensitivity 90,2%, specificity 96,3%, dan loss 17,9%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 97,9%, sensitivity 97%, specificity 98,4%, dan loss 5,4%. Didapatkan bahwa performa model terbaik adalah ketika menggunakan skenario 3 dengan rasio splitting data 6:1:3.

Retinal detachment (RD), also known as retinal ablation, is a condition where the neurosensory retina separates from its underlying layer, the retinal pigment epithelium (RPE), due to the loss of adhesion. RD can become a serious condition if not promptly treated, potentially leading to vision impairment, even permanent blindness. In Indonesia, an estimated 17,500–25,000 new cases of RD occur annually. However, with a limited number of doctors, conventional detection methods for RD may not be performed swiftly enough. Leveraging machine learning, particularly deep learning, which has rapidly advanced, RD detection can be facilitated through fundus imaging using Convolutional Neural Network (CNN) with ResNeSt architecture. A significant challenge arises due to the limited amount of data available for the RD class, as patient privacy regulations restrict access to medical data. To address this, data augmentation is applied using Generative Adversarial Networks (GAN) to generate synthetic images for the RD class. Additionally, experiments were conducted by applying Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) as a preprocessing step before GAN augmentation, aiming to enhance the quality of the images inputted into the GAN. This study further evaluates three scenarios with two data splitting ratios, 6:2:2 and 6:1:3. Scenario 1 involved training the ResNeSt model without CLAHE preprocessing or GAN augmentation. Scenario 2 involved training the ResNeSt model with GAN augmentation. Scenario 3 involved training the ResNeSt model with both CLAHE preprocessing and GAN augmentation. For the 6:2:2 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 89.9%, sensitivity of 76.3%, specificity of 94.3%, and loss of 52.4%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 92.3%, sensitivity of 88.2%, specificity of 94.8%, and loss of 18.6%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 95.9%, sensitivity of 94.4%, specificity of 96.8%, and loss of 9.8%. For the 6:1:3 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 91.3%, sensitivity of 78.6%, specificity of 94.9%, and loss of 27.9%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 94%, sensitivity of 90.2%, specificity of 96.3%, and loss of 17.9%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 97.9%, sensitivity of 97%, specificity of 98.4%, and loss of 5.4%. The best model performance was observed in Scenario 3 with a 6:1:3 data splitting ratio."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maytika Dewi Ayu Shafira
"Berbagai studi menunjukkan adanya inkonsistensi mengenai dampak cyberloafing terhadap performa kerja, sementara terdapat 83,1% karyawan di Indonesia yang melakukan cyberloafing (Hartijasti & Fathonah, 2015). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk meneliti kembali hubungan antara cyberloafing dan performa kerja pada dimensi performa tugas, performa kontekstual, dan perilaku kerja kontraproduktif melalui mekanisme tertentu, yaitu psychological detachment. Sampel penelitian adalah karyawan dari berbagai industri berusia 20-64 tahun (N = 614) yang menggunakan internet dalam bekerja. Analisis mediasi menunjukkan bahwa psychological detachment memediasi hubungan antara cyberloafing dan performa tugas (ab = -0,03, BootSE = -0,012, 95% CI [-0,06, -0,02]) serta performa kontekstual (ab = -0,03, BootSE = 0,011, 95% CI [-0,053, -0,011]) tanpa adanya hubungan langsung, sementara psychological detachment memediasi hubungan antara cyberloafing dan perilaku kerja kontraproduktif secara sebagian (ab = 0,02, BootSE = 0,01, 95% CI [0,000, 0,035]) karena ada hubungan langsung di antara keduanya (c’ = 0,21, t(614) = 5,4, SE = 0,04, 95% CI [0,14, 0,29]). Organisasi dapat menggunakan hasil penelitian sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan penggunaan internet oleh karyawan

Previous studies showed that there is inconsistency in the consequences of cyberloafing on job performance, whereas 83,1% employees in Indonesia did cyberloafing (Hartijasti & Fathonah, 2015). Therefore, the current research was conducted to reinvestigate the relationship between cyberloafing and job performance, specifically task performance, contextual performance, and counterproductive behavior, through a certain mechanism, namely psychological detachment. The sample was employees from various industries aged 20-64 years old (N = 614) who use internet to work. Mediation analysis showed that psychological detachment fully mediates the relationships between cyberloafing and task performance (ab = -0,03, BootSE = -0,012, 95% CI [-0,06, -0,02]), also contextual performance (ab = -0,03, BootSE = 0,011, 95% CI [-0,053, -0,011]) without direct effect between them. Meanwhile, psychological detachment partially mediates the relationship between cyberloafing and counterproductive work behavior (ab = 0,02, BootSE = 0,01, 95% CI [0,000, 0,035]) because there is direct effect between the two (c’ = 0,21, t(614) = 5,4, SE = 0,04, 95% CI [0,14, 0,29]). Organizations can utilize the results to be put into consideration when creating employees’ internet use policy.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fikri Hadi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang deradikalisasi terorisme yang diterapkan melalui
ruang Densus 88 AT Museum Polri. Terorisme telah berkembang menjadi sebuah
permasalahan yang tidak kunjung selesai di Indonesia. Berkembangnya terorisme
dianggap sebagai tidak efektifnya metode pemberantasan yang dilakukan selama
ini yaitu penegakan hukum yang cenderung represif. Untuk mengatasi hal ini,
Pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) memiliki
sebuah perogram untuk memberantas terorisme dengan pendekatan baru yang
mengedepankan pendekatan lunak dan pendekatan jiwa, yaitu deradikalisasi.
Deradikalisasi dilakukan oleh Polri dan kerjasama dengan berbagai macam
lembaga dan kementerian yang terkait. Museum Polri sebagai museum institusi
milik Polri memiliki tanggung jawab sosial untuk mengangkat permasalahan
terorisme melalui ruang Densus 88 AT sehingga masyarakat dapat memhami
permasalahan terorisme secara utuh sebagai bagian dari upaya deradikalisasi
terorisme. Akan tetapi ruang Densus 88 AT saat ini dianggap belum dapat
menerapkan program tersebut dengan baik karena tata pamer di ruang tersebut
belum terkonsep dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan konsep untuk menata
ulang ruang tersebut agar deradikalisasi terorisme dapat tersampaikan dengan baik
ke masyarakat. Tesis ini menggunakan metode kualitatif dan menerapkan teori
memori kolektif dan teori pendidikan konstruktif yang disesuaikan dengan
kebutuhan untuk menciptakan sebuah ruang yang mampu menciptakan suasana
kontemplatif bagi masyarakat yang datang.

ABSTRACT
This thesis discusses on de-radicalization of terrorism applied through Special
Detachment 88 AT space at the Museum of Indonesian National Police. Terrorism
has evolved into a never-ending problem in Indonesia. The expanding of terrorism
is considered because of the uneffectivenes of the eradiction method that has been
performed, which is a represif law enforcement. To overcome this, the
Government through Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (the Indonesian
National Counter Terrorism Agency, BNPT), has a program to counter terrorism
with a new approach, emphasizing on soft and soul approach, which is the deradicalization.
Deradicalization carry out by Indonesian National Police and
cooperate with various institutions and relevant ministries. As a part of Indonesian
National Police, The Museum of Indonesian National Police has a social
responsibility to increase the public awareness about terrorism issue through
Special Detachment 88 AT space. By that, society will have a comprehensive
understanding which is part of the de-radicalization effort. However, Special
Detachment 88 AT space at the museum is considered not been able to implement
the program because the exhibition design is not well conceptualized. Therefore,
it takes a concept to rearrange the space so the de-radicalization of terrorism can
be conveyed properly to the public. This thesis uses a qualitative method and
apply the collective memory theory also the theory of constructive education
adjusted to the need of a space that is able to create a contemplative atmosphere
for the people who come."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigael Jasmine Angelita
"Latar Belakang
Ablasio retina mempengaruhi fungsi pengelihatan yang dapat bersifat permanen. Angka prevalensinya juga meningkat setiap tahunnya, juga dengan miopia yang merupakan salah satu faktor risikonya. Walaupun hubungan antara derajat miopia dengan kejadian ablasio retina sudah banyak dicari, tetapi belum ada penelitian serupa dilakukan di RSCM, rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini ingin mencari tahu hubungan antara keduanya dan karakteristik klinis yang ditimbulkannya.
Metode
Dengan desain analitik observasional menggunakan metode potong-lintang, data diambil dari rekam medis pasien miopia yang berkunjung pada tahun 2023 kemudian dicatat karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, domisili, tingkat pendidikan) dan karakteristik klinisnya (derajat miopia, diagnosis ablasio retina). Pasien miopia yang didiagnosis ablasio retina akan dicatat juga karakteristik klinis ablasio retinanya. Hubungan antara derajat miopia dan kejadian ablasio retina dianalisis statistika uji Chi- Square. Pada mata miopia dengan ablasio retina, perbedaan usia antara kelompok derajat miopia dianalisis statistika uji Mann-Whitney.
Hasil
Dari 348 mata miopia tinggi dan 526 mata miopia ringan-sedang, didapatkan ablasio retina pada 38 mata dengan miopia tinggi dan 32 mata dengan miopia rendah-sedang. Hubungan antara derajat miopia dan diagnosis ablasio retina signifikan (P=0.022) dengan OR 1.795. Tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kelompok miopia ringan- sedang dan berat dengan ablasio retina (P=.245), tetapi kelompok miopia ringan-sedang memiliki median lebih tinggi (40.5) dibandingkan miopia tinggi (32).
Kesimpulan
Derajat miopia berat berpeluang lebih besar terhadap kejadian ablasio retina dibandingkan derajat miopia ringan-sedang. Usia pasien miopia derajat ringan-sedang juga lebih tua dibandingkan usia pasien miopia derajat berat, tetapi hasilnya tidak bermakna secara statistika.

Introduction
Retinal detachment might have permanent impact on visual function. The prevalence of retinal detachment is increasing year-by-year, as is myopia, one of its risk factor. Although the relationship between degreee of myopia and retinal detachment incidence has been researched, no similar studies have been conducted in RSCM. Therefore, this research aims to investigate the relationship and the outcome of clinical characteristics between different myopic degrees.
Method
Using observational analytic design and cross-sectional method, data on myopic patients who visited RSCM on 2023 are extracted from medical record. Demographic characteristic (age, gender, domicile, education level) and clinical characteristic (degree of myopia, retinal detachment diagnosis) were documented. The characteristics of myopic patients with retinal detachment were also recorded. Chi-Square test was used to analyze the relationship between myopia degree and retinal detachmen. For myopic eyes diagnosed with retinal detachment, the age difference between two groups based on myopia degree was analyzed using Mann-Whitney test.
Results
Out of 348 severely myopic eyes and 526 mild-moderate myopic eyes, retinal detachment was diagnosed in 38 severely myopic eyes and 32 mild-moderate myopic eyes. The relationship between myopia degree and retinal detachment incidence are significant (P=0.022) with an OR of 1.795. There is no significant difference between mild-moderate myopic group and severe myopic group in terms of retinal detachment (P=.245), however mild-moderate myopic group has a higher median age (40.5) than severely myopic group (32).
Conclusion
Severly myopic eyes have higher probaility of retinal detachment compared to mild- moderate myopic eye. The age of mild-moderate myopic group with retinal detachment is higher than that of the severely myopic group, although statistically not significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.S. Urip Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan teror bom buku yang terjadi di Jakarta merupakan modus baru para teroris dalam melakukan aksinya, karena yang menjadi targetnya adalah individu sehingga apabila tidak dilakukan penanganan, maka akan berdampak pada psikologi masyarakat yaitu tingginya rasa kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Teror bom buku, apabila melihat jumlah korban dan kualitas ledakan, tidak sebanding dengan bom yang ditempatkan di gedung-gedung tertentu seperti pada kasus-kasus teror bom sebelumnya. Akan tetapi dampaknya hampir sama, bahkan teror bom buku sudah menyentuh aspek psikologi masyarakat awam. Ketakutan dan kepanikan yang melanda sampai ditingkat rumah tangga adalah bentuk keberhasilan aksi bom buku ini menjadi sebuah teror.
Mengacu pada hukum formal yang berlaku di Indonesia, maka aksi dan pelaku bom buku dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Mencermati perkembangan terorisme dengan organisasi dan jaringan global yang dimilikinya, dimana kelompokkelompok terorisme internasional mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama, baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung.
Berkaca pada kondisi tersebut, aparat kepolisian Republik Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri merupakan ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat dengan memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Polri adalah dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror yang berada pada garis terdepan dalam memberantas aksi terorisme tersebut.
Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari 3 (tiga) fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana Polri harus melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Dalam hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasarinya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonsia.

The research aims at explaining the terror of book bomb occuring in Jakarta Suchterror is a new modus operandi of terrorists in doing their actions because their targets are individuals If the police do not handle the case immediately such terror will psychologically affect communities in the forms of high anxiety and worriness Book bombings in the context of their victims and the quality of their explosions can not be compared with the previous bombings happening in certain buildings However both of bombing types have similar effects Moreover book bombings have nearly touched the psychological aspects of common people The fearness and panic attacking families are the forms of the terrorists success of committing book bombings leading to a terrorizing act
In accordance with formal law prevailing in Indonesia the act and perpetrator of book bombings can be categorized as a terrorism act Terrorists have currently cooperated with other groups and networks that posses good relationship and working mechanism either in the context of infra structural operation or supporting infrastructures.
By looking at such situation and condition the Indonesian National Police as stated in Law No 2 2002regarding Indonesian National Police is the front liner in providing protection and security to people in combating terrorism in Indonesia The Indonesian National Police does the responsibilities by arresting the perpetrators preventing investigating interrogating and even shooting death the perpetrators One of the Indonesian National Police efforts is the establishment of an special detachment 88Antiterror Special Detachment
It can be concluded that the role of the Indonesian National Police can not be separated from the three functions protector shelter and servant of public The Indonesian National Police must protect people from acts threatening their lives The Indonesian National Police through 88 Antiterror Special Detachment in conducting such duties and responsibilities must be guided by Law No 2 2002 regarding the Indonesian National Police
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Arindita Khalis Ayesha
"Perubahan dalam struktur sosial dan percepatan mobilitas mendorong hadirnya ruang-ruang yang bersifat transien dan impersonal atau yang disebut sebagai non-place. Arsitektur yang awalnya dihadirkan untuk membentuk keterikatan, kini dihadirkan untuk pengaturan kelancaran sirkulasi dan efisiensi fungsi. Dalam konteks ini, pengkajian mengenai cara pengaturan ruang menjadi penting. Modulasi hadir sebagai prinsip pengaturan non-place. Modulasi memiliki sifat pengaturan yang bersifat fleksibel, berlangsung terus-menerus, dan tidak bergantung pada batasan tetap. Modulasi beroperasi melalui simulasi dengan menyampaikan instruksi eksplisit. Pengaturan modulasi menciptakan keterputusan dan fragmentasi waktu sebagai kondisi yang memungkinkan kelancaran operasi ruang non-place. Studi ini dimulai dengan pendalaman konsep teoritis mengenai modulasi dalam konteks non-place, kemudian melihat bagaimana prinsip-prinsip tersebut beroperasi dalam realitas spasial melalui studi kasus Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.

Shifts in social structures and the acceleration of mobility have led to the emergence of spaces that are transient and impersonal, commonly referred to as non-places. Architecture which was initially presented to establish attachment, has shifted toward regulating the smooth flow of circulation and functional efficiency. In this context, examining how space is organized becomes increasingly important. Modulation emerges as the controlling principle of non-places. It operates as a flexible and continuous mode of control, operating through simulation by delivering explicit instructions. Modulation as a form of control generates detachment and temporal fragmentation as necessary conditions for the efficient operation of non-places. This study begins with a theoretical exploration of modulation within the context of non-places, followed by an investigation into how these principles manifest in spatial reality through a case study of Terminal 3 at Soekarno-Hatta International Airport."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saufi Salamun
"Tesis ini membahas mengenai strategi yang dijalankan oleh Amerika Serikat dalam kampanye globalnya untuk memerangi terorisme sejak serangan 911 yang difokuskan pelaksanaanya di Pakistan dan Indonesia. Kerja sama yang terjalin dalam pemberantasan yang terjalin oleh Amerika Serikat kepada Pakistan dan Indonesia tetap diwarnai tindakan sepihak Amerika Serikat untuk melakukan serangan atau agresi militer ke dalam wilayah Pakistan, sedangkan Indonesia yang relatif lemah angkatan bersenjatanya Amerika Serikat tetap mengedepankan kerjasama penuh kepercayaan. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengambil keputusan dalam pelaksanaan agresi militer di Pakistan dan kerjasama di Indonesia akan dikupas termasuk faktor-faktor dari sisi Amerika Serikat sendiri. Analisis dalam tesis ini menggunakan dasar pemikiran konsep strategi yang terdiri dari berbagai faktor dan antara faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi. Kajian dalam penelitian ini menemukan sejumlah kondisi-kondisi yang menyebabkan Amerika Serikat harus bertindak keras secara militer terhadap Pakistan dan menekankan kerjasama pada kondisi Indonesia.

The thesis discusses the strategy pursued by the United States of America in its global campaign to fight against terrorism since the September Eleven (9/11) attacks. The focus of the thesis is the fights conducted in Pakistan and Indonesia. In holding such cooperation with Pakistan, the United States directly often attacks its targets in the jurisdiction of the country. Meanwhile, the superpower country always promotes a trustful cooperation in conducting such cooperation in Indonesia which has relatively weak armed forces. The thesis will discuss several factors that must be considered by the United States of America?s decision makers in conducting a military aggression in Pakistan and a trustful cooperation in Indonesia. The thesis employs the rationales of the concept of strategy which consist of a variety of factors and such factors affect each other. The results of the research reveal several conditions forcing the United States of America take harsh actions in Pakistan and, on the other side, emphasize a trustful cooperation in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library