Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andin Andiyasari
"Pengalaman tertekan dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses akulturasi didefinisikan sebagai acculturative stress (Berry dalam Organista, Chun, & Marin, 1998). Acculturative stress tergantung pada sejumlah faktor-faktor perantara, termasuk diantaranya adalah karakter kelompok dominan, strategi akulturasi yang dilakukan kelompok minoritas, bentuk-bentuk akulturasi yang dialami, kondisi demografi, sosial, serta karakteristik psikologis dari kelompok maupun anggota kelompok. Masing-masing faktor ini dapat mempengaruhi level acculturative stress (Berry dalam Organista, Chun & Maria, 1998). Faktor-faktor perantara yang lain adalah bagaimana kelompok dominan menggunakan pengaruh-pengaruhnya pada proses akulturasi dan tingkat pluralisme dalam masyarakat (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989). Acculturative stress merupakan konsekuensi dari proses akulturasi, tetapi kemungkinan terjadinya dapat berkurang secara signifikan jika partisipasi dalam masyarakat dan pertahanan kultur yang diwariskan didukung oleh kebijakan dan praktek di dalam masyarakat. Acculturative stress juga diketahui berdampak pada tingkat personal, beberapa diantaranya adalah menurunnya kesehatan (fisik, sosial, dan psikologis), menurunnya tingkat motivasi, perasaan terasing, dan meningkatnya penyimpangan sosial.
Etnis Cina di Jakarta sebagai etnis minoritas tennasuk salah satu etnis yang mengalami proses akulturasi. Bagaimana accullurative stress terjadi pada etnis Cina di Jakarta merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Model konseptual yang diuji didasarkan pada model Liebkind (1996), yaitu `Migration Contigencies and Acculturative Stress'. Model ini merupakan modifikasi dari teori acculturative stress Berry (1992) dan Beyser (1991). Pengujian model konseptual menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan program LISREL.
Model ini terdiri dari satu variabel exogeneous (diskriminasi) dan tiga variabel endogeneous (tingkat akulturasi, identitas etnis, dan acculturative stress). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner self-report yang terdiri dari tujuh instrumen (perceived discrimination, reaksi emosional alas racial discrimination, tingkat akulturasi, identitas etnis, perceived stress, dan Chinese Depressive Symptom). Sebanyak 313 kuesioner yang dapat dianalisis dari 360 kuesioner yang disebar secara proporsional berdasarkan penyebaran populasi etnis Cina di lima wilayah di DKI Jakarta.
Dari pengujian diketahui bahwa model konseptual yang diadaptasi dari "Migration Contigencies and Acculturative Stress" Liebkind yang meramalkan acculturative stress pada kelompok etnis minoritas, dalam hal ini kelompok etnis Cina di Jakarta, ternyata terbukti signifikan secara statistik. Goodness of Fit yang diperoleh adalah Chi square (x') =6.62, DF=5, pada p-value=0.23, RMSEA=0.032, GPI=0.99, CF1=1.00, dan NFI=0.99 menunjukkan bahwa data fit dengan model. Dengan demikian acculturative stress dapat diramalkan melalui variabel diskriminasi, akulturasi, dan identitas etnis.
Dari pengujian model, didapat hubungan langsung yang positif antara diskriminasi dan acculturative stress. Hal ini berarti semakin individu merasakan diskriminasi semakin tinggi acculturative stress-nya. identitas etnis menjadi variabel tidak langsung dari pengaruh diskriminasi terhadap acculturative stress. Dengan adanya perantara identitas etnis maka pengaruh diskriminasi terhadap acculturative stress menjadi lebih kecil. Terdapat hubungan tidak langsung antara diskriminasi dan acculturative stress melalui perantara akulturasi dan identitas etnis. Variabel identitas etnis memberikan pengaruh yang lebih besar bila dibandingkan variabel akulturasi_ Disamping itu, terbukti signifikan adanya hubungan langsung yang positif antara low self-esteem dengan acculturative stress.
Pengujian model juga membuktikan adanya perbedaan model acculturative stress berdasarkan gender. Pada perempuan, acculturative stress dipengaruhi secara langsung oleh diskriminasi dan terdapat pengaruh tidak langsung diskriminasi terhadap acculturative stress melalui identitas etnis. Pada laki-Iaki diskriminasi berpengaruh langsung terhadap acculturative stress, namun tidak terdapat pengaruh tidak langsung dari identitas etnis. Demikian jugs pada pengujian model acculturative stress berdasarkan identifikasi etnis (Tionghoa keturunan, Tionghoa Indonesia, dan Orang Indonesia) terdapat hubungan langsung antara diskriminasi dengan acculturative stress, namun tidak terdapat pengaruh identitas etnis sebagai variabel perantara dari diskriminasi terhadap acculturative stress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholifia Nabila
"Depresi pada remaja menjadi masalah global yang penting. Prevalensi peningkatan gejala depresi pada remaja dari tahun ke tahun terus meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan gejala depresi pada remaja. Sebuah studi online cross-sectional dilakukan menggunakan kuesioner secara online pada 124 remaja berdasarkan kriteria inklusi yaitu remaja SMA, berdomisili di Kota Depok, Jawa Barat serta bersedia menjadi responden. Sampel sekolah dipilih dengan teknik simple random sampling. Pertanyaan tentang karakteristik remaja, dukungan sosial, dan gejala depresi. Simplification of the Beck Depression Inventory (BDI-S) digunakan untuk mengukur kemungkinan mengalami gejala depresi. Dukungan sosial dinilai menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) untuk mengukur dukungan sosial pada remaja. Analisis Mann-Whitney dilakukan untuk menentukan hubungan antara dukungan sosial dan gejala depresi. Secara keseluruhan, 75,8% remaja menunjukkan gejala depresi dan 75,8% remaja mendapatkan dukungan sosial sedang. Sebagian besar responden mendapatkan dukungan sosial yang sedang pada keluarga, teman, dan orang lain.  Studi ini menunjukkan bahwa adanya hubungan dukungan sosial dengan gejala depresi di kalangan remaja. Penelitian ini merekomendasikan agar remaja mampu meningkatkan dukungan sosial sehingga dapat mengurangi gejala depresi yang dirasakan. Penelitian lebih lanjut yang menghubungkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi gejala depresi pada remaja disarankan.

Depression in adolescents is an important global problem. The prevalence of increasing depressive symptoms in adolescents from year to year continues to increase. This study aims to determine the relationship between social support and symptoms of depression in adolescents. An online cross-sectional study was conducted using an online questionnaire on 124 adolescents based on inclusion criteria, namely high school youth, domiciled in Depok City, West Java and willing to be respondents. The school sample was selected by simple random sampling technique. Questions about adolescent characteristics, social support, and depressive symptoms. The Simplification of the Beck Depression Inventory (BDI-S) was used to measure the likelihood of experiencing depressive symptoms. Social support was assessed using the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) to measure social support for adolescents. Mann-Whitney analysis was performed to determine the relationship between social support and depressive symptoms. Overall, 75.8% of adolescents showed symptoms of depression and 75.8% of adolescents received moderate social support. Most respondents get moderate social support from family, friends, and other people. This study shows that there is a relationship between social support and depressive symptoms among adolescents. This study recommends that adolescents are able to increase social support so that they can reduce the symptoms of depression they feel. Further research linking factors that may influence depressive symptoms in adolescents is suggested."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Khasanah
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh press needle aurikular terhadap penurunan gejala depresi dan peningkatan nilai Heart Rate Variability (HRV) serta mengetahui efek samping pada pasien dengan gejala depresi pada nyeri kronis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain randomized controlled trial yang terdiri dari dua kelompok: kelompok perlakuan diberikan press needle Pyonex ukuran 0,17 x 0,9 mm pada titik MA-TF1 Shenmen, MA-IC7 Heart dan MA-IT1 Cingulate gyrus, dan kelompok kontrol diberikan plester berbentuk bulat pada titik yang sama. Kedua kelompok tidak diberikan stimulasi. Pergantian jarum dilakukan satu kali dalam 2 minggu (setiap 7 hari). Luaran yang diukur adalah skor PHQ-9 serta nilai Heart Rate Variability. Hasil: Peserta penelitian yang mengikuti penelitian ini berjumlah 60 subjek (30 subjek kelompok perlakuan dan 30 subjek kelompok kontrol). Gejala depresi pada kelompok perlakuan (3,00 (0,00-9,00)) lebih baik daripada kelompok kontrol (5,00 (0,00-16,00)) pada hari ke-14 terapi (p<0,05). Heart Rate Variability pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0,05) pada hari ke-1 (48,00 (31,00-66,00)), hari ke- 7 (50,00 (29,00-63,00)) dan hari ke-14 (51,50 (41,00-65,00)) dibandingkan kelompok kontrol pada hari ke-1 (50,00 (30,00-63,00)), hari ke-7 (48,00 (38,00-68,00)) dan hari ke- 14 (48,00 (27,00-65,00)). Terdapat efek samping berupa gatal 2(3,3%) dan kemerahan 1(1,6%) pada kedua kelompok yang membaik tanpa intervensi lebih lanjut. Kesimpulan: Press needle aurikular terbukti aman dan efektif dalam menurunkan gejala depresi pasien dengan gejala depresi pada nyeri kronis.

Background: This study aims to determine the effect of auricular press needle on reducing depressive symptoms and increasing Heart Rate Variability (HRV) values and to determine the side effects in patients with depressive symptoms in chronic pain. Method: This study used a randomized controlled trial design consisting of two groups: the treatment group was given a 0.17 x 0.9 mm Pyonex press needle at the MA-TF1 Shenmen, MA-IC7 Heart and MA-IT1 Cingulate gyrus points, and the control group was given a round plaster at the same point. Both groups were not given stimulation. The needle was changed once every 2 weeks (every 7 days). The outcomes measured were the PHQ-9 score and the Heart Rate Variability value.
Results: The study participants who took part in this study numbered 60 subjects (30 subjects in the treatment group and 30 subjects in the control group). Depression symptoms in the treatment group (3.00 (0.00-9.00)) were better than the control group (5.00 (0.00-16.00)) on the 14th day of therapy (p<0.05). Heart Rate Variability in both groups was not statistically significantly different (p>0.05) on day 1 (48.00 (31.00- 66.00)), day 7 (50.00 (29.00-63.00)) and day 14 (51.50 (41.00-65.00)) compared to the control group on day 1 (50.00 (30.00-63.00)), day 7 (48.00 (38.00-68.00)) and day 14 (48.00 (27.00-65.00)). There were side effects in the form of itching 2 (3.3%) and redness 1 (1.6%) in both groups that improved without further intervention.
Conclusion: Auricular press needle has been proven safe and effective in reducing depressive symptoms in patients with depressive symptoms in chronic pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library