Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kewa Ariancy Pandhu
Abstrak :
Perforasi merupakan komplikasi utama apendisitis yang memerlukan tindakan laparatomi untuk mencegah terjadinya peritonitis maupun sepsis. Pasien yang mengalami apendisitis dengan COVID 19 sering menyebabkan kekeliruan dalam penentuan diagnosa akibat miripkan tanda dan gejala COVID 19 dengan appendisitis yang mengarah pada keterlambatan penanganan sehingga menyebabkan perforasi. Selama post operasi, tindakan optimal harus dilakukan untuk mencegah komplikasi. Salah satu tindakan yang dilakukan selama post operasi laparatomi eksplorasi adalah memastikan kelancaran aliran NGT dekompresi, drain ataupun luka pasien. Pemberian posisi miring sangat membantu dalam menjaga kepatenan aliran melalui pemberian posisi miring. Selama 5 hari dilakukan intervensi miring kiri miring kanan kepada pasien post laparatomi didapatkan aliran NGT maupun drain luka post operasi lebih paten terutama pada pemberian posisi miring kiri dengan kepala ditinggikan 45o. Melihat keefektifan tindakan miring kiri dengan elevasi kepala 45o dalam menjaga kepatenan aliran NGT dan drain luka maka tindakan ini dapat digunakan sebagai intervensi yang dapat diterapkan pada pasien post operasi laparatomi.
Perforation is the main complication of appendicitis which requires Laparatomy to prevent Peritonitis and Sepsis. Patient who is contracted with appendicitis and COVID 19 ofter cause misunderstanding in diagnosis due to similar signs and symptoms of COVID 19 with appendicitis that leads to delay in handling causing perforation. During post surgery, optimal measures should be taken to prevent complication. One of measures taken during post operative laparotomy exploration is to ensure the smooth flow of NGT decompression, drain or incision site. Providing patient in lateral positioning is helpful in maintaining flow patency by giving lateral positioning. For 5 days of intervention, left lateral positioning and right lateral positioning given to post laparatomy patient, NGT flow and wound drain were more patent, especially in left lateral positioning with head elevated 45 o. Seeing the effectiveness of left lateral positioning with head elevated of 45o in maintaining the patency of NGT flow and wound drain drainage, this procedure can be used as an intervention  that can be applied to post-laparatomy patient.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Handoko H.
Abstrak :
Latar Belakang : Decompression sickness (DCS) masih menjadi masalah, walaupun dekompresi telah dilakukan sesuai dengan prosedur[1,2,3] Insiden pada recreational diving 2-4 per 10.000 penyelaman[1]. Patofisiologi terjadinya DCS tidak hanya terjadi akibat mekanisme obstruksi dari gelembung gas[3,4], namun dikaitkan dengan gangguan terhadap fungsi fisiologis NO[2,3,4,5]. Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over pada 16 orang penyelam laki-laki Dislambair Koarmatim TNI AL. Data diperoleh melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium ekspresi eNOS menggunakan teknik kuantitatif ELISA sandwich, yang diberi perlakuan penyelaman tunggal dekompresi US Navy 280 kPa dalam RUBT. Hasil : Terdapat penurunan ekspresi eNOS yang bermakna pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan perbedaan selisih ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik yang bermakna (p=0,01). Korelasi IMT dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok hiperbarik dan sebelum perlakuan pada kelompok normobarik berlawanan arah. Korelasi antara kebiasaan merokok dengan ekspresi eNOS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok normobarik adalah sedang. Kesimpulan dan Saran: Penurunan ekspresi eNOS pada kelompok hiperbarik (p<0,001) dan selisih rerata ekspresi eNOS antara kelompok normobarik dan hiperbarik (p=0,001). Memperhatikan faktor individu, yaitu IMT dan kebiasaan merokok pada prosedur penyelaman dan diperlukan kajian medik langkah preconditioning sebelum penyelaman. ...... Background : Decompression sickness (DCS) is still a problem, even though decompression has been performed in accordance with the procedures[1,2,3] recreational diving incident at 2-4 per 10,000 dives[1]. Path physiology of DCS not only occur due to obstruction mechanism of gas bubbles[3,4], but is associated with disruption of physiological functions NO[2,3,4,5]. Methods : This study is an experimental study with cross-over design in 16 male divers Dislambair Koarmatim Navy. Data obtained through questionnaires , physical examination and laboratory eNOS expression using quantitative techniques sandwich ELISA, which treated single dive decompression US Navy 280 kPa in hyperbaric chamber. Results : Significant reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p<0.001) and the difference in eNOS expression differences between groups normobaric and hyperbaric(p=0.01). IMT correlation with the eNOS expression before and after treatment in the hyperbaric group and before treatment in group normobaric opposite direction. The correlation between smoking and eNOS expression before and after treatment in group normobaric is being. Conclusions and Recommendations : A reduction in eNOS expression in the hyperbaric group(p< 0.001) and the mean difference between groups normobaric eNOS expression and hyperbaric(p = 0.001) . Attention to individual factors , namely BMI and smoking habits on the procedures required dives and medical studies preconditioning step prior to the dive.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy
Abstrak :
Latar Belakang: Pelepasan gelembung gas inert akibat supersaturasi jaringan dengan perubahan tekanan dipercaya sebagai penyebab decompression sickness. Gelembung gas dapat dideteksi melalui USG Doppler tetapi sensitivitas dan spesifisitas terhadap decompression sickness dipertanyakan. Perubahan fisiologis tubuh berupa peningkatan agregasi trombosit diduga berperan dalam terjadinya decompression sickness. Peningkatan agregasi trombosit terbukti pada penyelaman 60 msw. Tujuan: untuk membuktikan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dapat mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit. Metode: Penelitian eksperimental desain cross over dengan melibatkan delapan belas penyelam laki-laki dislambair. Semua penyelam akan melakukan penyelaman kering dengan udara pada tekanan 280 kPa selama 80 menit dengan kontrol masuk ke dalam RUBT tanpa ditekan pada periode pertama. Pada periode kedua kelompok perlakuan dan kontrol ditukar. Prosedur dekompresi disesuaikan dengan prosedur tabel dekompresi US Navy Revisi 6. Pengambilan darah dilakukan sebelum perlakuan, setelah periode pertama, dan setelah periode kedua. Pemeriksaan agregasi trombosit menggunakan induktor ADP, kolagen dan epinefrin. Hasil: Setelah penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit secara signifikan meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP dari 86.94 ± 4.11 menjadi 90.46 ± 3.41, dengan induktor kolagen dari 91.94 ± 2.62 menjadi 94.69 ± 2.25, dan induktor epinefrin dari 86.65 (22.10-93.8) menjadi 90.25 (31-95.9) pada kelompok sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Tidak ditemukan peningkatan signifikan persentase agregasi maksimal trombosit pada kelompok sebelum perlakuan dengan kontrol. Kesimpulan: Penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa selama 80 menit meningkatkan persentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP, kolagen, dan epinefrin. ...... Background: The release of inert gas bubbles due to changes in tissue?s supersaturating with pressure change is believed to be the cause of decompression sickness. Gas bubbles can be detected by Doppler ultrasonography but sensitivity and specificity is poorly defined. Increased of platelet aggregation is estimated have a role in DCS. Increasing platelet aggregation has been proved in dive with depth 60 MSW. Aim: To prove that a single decompression dives 280 kPa can lead to increased platelet aggregation. Methods: Experimental studies with a cross-over design involving eighteen male dislambair divers. All divers will dive in air compression chamber at a pressure of 280 kPa for 80 minutes with control entry into air compression chamber without pressure in the first period. In the second period, treatment and control group exchanged. Decompression procedures adapted to the US Navy decompression tables procedures 6th Revision. Taking blood performed before the intervention, after first period, and after second period. Examination of platelet aggregation using inductors ADP, collagen and epinephrine. Result: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes significantly increased the percentage of maximal platelet aggregation with ADP inductor from 86.94±4.11 to 90.46±3.41, with a collagen inductor from 91.94±2.62 to 94.69±2.25, and epinephrine inductor from 86.65 (22.10-93.8) to 90.25 (31-95.9) in before and after treatment group. Increasing percentage of maximal platelet aggregation was not significant in the before treatment group and control group. Conclusion: A single decompression dive 280 kPa for 80 minutes can lead to increase the percentage of maximal platelet aggregation with ADP, collagen, and epinephrine inductors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Dewi Astuty
Abstrak :
Penyakit Dekompresi (DCS) merupakan keadaan patologis yang mempengaruhi penyelam, astronot, pilot dan pekerja udara terkompresi akibat dari gelembung yang timbul dalam tubuh selama atau setelah penurunan tekanan ambien. Divers Alert Network melaporkan kasus DCS pada penyelam rekreasi sebanyak 651kejadian (23%) dari 2,866. Chichi Wahab, dkk melaporkan sebanyak 62 orang (53%) dari 117 menderita Penyakit Dekompresi pada penyelam tradisional. Reaksi Inflamasi merupakan salah satu penyebab DCS. Di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh penyelaman dekompresi terhadap perubahan fungsi endotel sebagai pemicu terjadinya DCS. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental rancangan pola silang. Data subjek adalah data primer yang di dapat melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Sampel dipilih dengan cara random sistematik, diambil 20 orang sebagai subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok secara random. Kelompok A diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari pertama dan pada hari kedua diberi perlakuan masuk RUBT tanpa tekanan. Kelompok B yang diberi perlakuan tanpa tekanan pada hari pertama dan diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari berikutnya. Tiap Subjek Penelitian dilakukan pemeriksaan Interleukin-1α dengan menggunakan ELISA sandwich teknik kuantitatif sebanyak 3x yaitu sebelum diberikan perlakuan, setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa dan setelah perlakuan tanpa tekanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi Interleukin-1α baik setelah mendapatkan perlakuan dengan tekanan, maupun perlakuan tanpa tekanan, namun kenaikan ekspresi Interleukin-1α lebih besar setelah mendapat perlakuan dengan tekanan. Rerata kenaikan ekspresi Interleukin-1α setelah diberikan perlakuan dengan tekanan sebesar 0.01±0.01 pg/ml. Kesimpulan dan Saran: Dibuktikannya peningkatan ekspresi Interleukin-1α yang bermakna pada subjek penelitian setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa.
Decompression Illness (DCS) is a pathological condition that affects divers, astronauts, pilots and workers who work in compressed air, as a result of bubbles arising in the body during or after drop in ambient pressure. Divers Alert Network reported cases of DCS in recreational divers as many as 651 events (23%) of 2.8663. Chichi Wahab et al reported 62 people (53%) of 117 suffered from decompression illness in traditional divers. Inflammatory reaction is one of many causes of DCS. In Indonesia, there is no research on the effects of decompression dives to changes in endothelial function as a trigger of DCS. This study used experimental study design with Cross Over. Primary data was collected through questionnaires, physical examination and laboratory. Samples were selected, systematic randomly 20 people as research subjects each for two groups. The subjects were randomly assigned to a group. Group A was treated with a pressure of 280 kPa on the first day and on the second day entered the RUBT without pressure. Group B were treated with no pressure on the first day and was treated with pressure of 280 kPa on the next day. Each study subject was examined Interleukin-1α using ELISA sandwich quantitative techniques 3 times: before the study, after being given treatment with a pressure of 280 kPa and after treatment without pressure. The results showed that an increase expression of Interleukin-1α better after getting treatment with pressure, or treatment without pressure, but the increase expression of Interleukin-1α larger after being treated with pressure. The mean increase e expression of Interleukin-1α after being treated with pressure is 0:01 ± 0.01 pg/ml. Conclusions and Recommendations : Good evidence increasing expression of Interleukin-1α meaningful research on the subject after being given treatment with pressure of 280 kPa.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Meidy Kaseger
Abstrak :
Pendahuluan: Penggunaan nitrox bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya penyakit dekompresi pada penyelaman. Namun saat ini terdapat kontroversi mengenai efek nitrox-2 dengan komposisi oksigen 36 yang lebih besar daripada udara yang dapat menginduksi pembentukan reactive oxygen species ROS sehingga meningkatkan risiko terjadi stres oksidatif yang akan mempengaruhi pembentukan sitokin anti-inflamasi IL-10. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-10 pada penyelaman tunggal dekompresi dengan media napas udara dan nitrox-2. Metode: Penelitian ini merupakan eksperimen pada penyelam laki-laki terlatih dengan desain tersamar acak tunggal yang menggunakan randomisasi dalam pengalokasian sampel sebanyak 17 orang pada kelompok udara dan 17 orang pada kelompok nitrox-2. Kedua kelompok melakukan penyelaman tunggal dekompresi 28 msw dengan bottom time 50 menit dalam RUBT. Kadar IL-10 diukur sebelum dan sesudah penyelaman dengan menggukan teknik ELISA. Hasil: Terdapat peningkatan kadar IL-10 yang tidak bermakna pada kelompok udara p = 0,469 dan juga pada kelompok nitrox-2 p = 0,081 . Tidak terdapat perbedaan selisih rerata kadar IL-10 yang signifikan antara kedua kelompok p = 0,658. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa perbedaan penggunaan media napas tidak mempengaruhi perubahan kadar IL-10. ...... Background : The use of nitrox aims to reduce the risk of decompression sickness for divers. However, there are still controversies over the effects of nitrox 2 with a greater oxygen composition 36 than compressed air that can induce the formation of reactive oxygen species ROS , increasing the risk of oxidative stress affecting the formation of IL 10 as an anti inflammatory cytokine. Therefore, this study aims to determine the difference in IL 10 levels in single decompression dives with compressed air and nitrox 2. Method : s This was an experiment study design on trained male divers with randomized allocation of 17 samples in the air group and 17 in the nitrox 2 group. Both groups performed a single 28 msw decompression dive with 50 minutes bottom time in hyperbaric chamber. IL 10 levels were measured before and after dive using ELISA technique. Results : There is non significant changes of IL 10 level in both groups, air p 0.469 and nitrox 2 p 0.081. There is no difference in IL 10 levels changes between the two groups p 0.658. Conclusion : It is conclud that there is no different in IL 10 levels changes between compressed air and nitrox 2 in single 28 msw decompression dive bottom time 50 minutes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chikih
Abstrak :
Latar Belakang : Terjadinya peningkatan biomarker inflamasi akibat penyelaman dekompresi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit dekompresi, hal ini telah dibuktikan dengan terjadinya peningkatan ekspresi TNF? akibat penyelaman dekompresi tunggal. Pencegahan peningkatan biomarker inflamasi dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan sebelum penyelaman dekompresi, sesuai dengan preconditioning theory, yang salah satunya adalah pemberian latihan fisik sebelum penyelaman yang dapat mengurangi ukuran dan jumlah gas bubble akibat penyelaman. Pengaruh latihan fisik sebelum penyelaman terhadap kadar biomarker inflamasi TNF? sesudah penyelaman belum pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa latihan fisik sebelum penyelaman dekompresi dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar biomarker inflamasi TNF?. Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental murni dengan seluruh subjek penelitian adalah penyelam laki-laki terlatih, terbagi secara random kedalam dua kelompok, yaitu perlakuan dan kontrol, di mana kelompok perlakuan mendapatkan latihan fisik submaksimal dengan intensitas 70 frekuensi jantung maksimal menggunakan cycle ergometer dengan 60 kayuhan permenit, 24 jam sebelum penyelaman dekompresi 280 kPa bottom time 80 menit, pada kelompok kontrol tidak diberikan latihan fisik submaksimal. Ekspresi biomarker diperiksa sebanyak tiga kali, awal penelitian, sebelum penyelaman dan sesudah penyelaman. Hasil : Pada kelompok perlakuan tidak terjadi peningkatan, bahkan terjadi penurunan eskpresi TNF? yang tidak bermakna, dari 7.06 1.85 pg/ml menjadi 6,75 1,81 pg/ml, sedangkan kelompok kontrol mengalami peningkatan ekspresi TNF? yang bermakna, dari 8,22 1,45-13,11 pg/ml menjadi 8,39 1,73-12,18 pg/ml, dan terdapat perbedaan selisih rerata yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan latihan fisik sebelum penyelaman dan kelompok yang tidak mendapatkan latihan fisik sebelum penyelaman dengan perbedaan rerata -024 -2.74 - 1.67 pg/ml dan 0.45 -0.94 ndash; 0.95 pg/ml. Kesimpulan dan Saran : Latihan fisik submaksimal akut dapat mencegah terjadinya peningkatan kadar TNF? akibat penyelaman dekompresi tunggal. ...... Background : The increase of Inflammatory biomarkers due to decompression dive is one of the factors that could cause decompression sickness, which has been proven by the increased expression of TNF due to a single decompression dive. According to the preconditioning theory, physical exercise before the dive, can reduce the size and the amount of gas bubble caused by the dive, but no research has been done on the influence of physical exercise before diving to the expression of inflammatory biomarkers like TNF. This study aims to prove that physical exercise before diving can prevent increase of the inflammatory biomarker TNF. Methods : This study used an experimental study design with trained male divers as a subjects, who are divided randomly into two groups, treatment and control. The treatment group got submaximal physical exercise with 70 maximal cardia rate intensity, using cycle ergometer 24 hours before decompression diving 280 kPa bottom time 80 minute, whereas the control group did not get physical exercise. Biomarker expression was checked three times, at beginning of the study, before the dive and after the dive. Results : In the treatment group there was no increase in TNF expression, and even showed an insignificant decrease, from 7.06 1.85 pg ml to 6.75 1.81 pg ml, whereas the control group showed a significant increased TNF concentration, from 8.22 1.45 to 13.11 pg ml to 8.39 1.73 to 12.18 pg ml, and significant difference was found between the mean difference of treatment and control groups from 0.24 2.74 ndash 1.67 pg ml and 0.45 0.94 ndash 0.95 pg ml. Conclusions and Recommendations : It can be concluded that acute submaximal physical exercise prevent an increase in the expression of TNF after single dive decompression.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Selvine Wantania
Abstrak :
ABSTRAK Nama : Imelda Selvine Wantania Program Studi : Magister Kedokteran Kerja Judul : Pengaruh Pemberian Latihan Fisik Submaksimal Akut Prapenyelaman Tunggal Dekompresi terhadap Perubahan Kadar Interleukin-10 pada Penyelam Laki-Laki Terlatih. Latar Belakang : Gelembung gas yang terdapat dalam pembuluh darah dan jaringan tidak selalu merupakan penyebab penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi dapat juga disebabkan oleh disfungsi endotel dengan hilangnya hemostasis endotel yang disebabkan oleh reaksi inflamasi saat di kedalaman. IL-10 adalah sitokin antiinflamasi dan merupakan antioksidan yang dapat mencegah reaksi inflamasi. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman dapat mencegah penurunan IL-10 akibat penyelaman. Metode : Penelitian ini menggunakan disain eksperimen murni dengan subyek penyelam laki-laki terlatih yang terbagi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Kelompok kontrol hanya melakukan penyelaman tunggal dekompresi 280 kPa dengan bottom time 80 menit. Pemeriksaan kadar IL-10 dilakukan tiga kali yaitu awal penelitian, sebelum dan sesudah penyelaman. Hasil : Latihan fisik submaksimal akut yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi efektif mencegah penurunan kadar IL-10 setelah penyelaman pada kelompok perlakuan dengan rerata awal penelitian 0,36 0,08-0,98 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,36 0,08-0,98 pg/ml p=0,065 . Pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar IL-10 dengan rerata awal penelitian 0,61 0,21 pg/ml dan sesudah penyelaman 0,39 0,21 pg/ml p=0,000 . Kesimpulan : Latihan fisik submaksimal yang dilakukan 24 jam sebelum penyelaman tunggal dekompresi dapat mencegah penurunan IL-10 setelah penyelaman. Dilain pihak, pada subyek yang tidak melakukan latihan fisik submaksimal 24 jam sebelum penyelaman terjadi penurunan IL-10.
ABSTRACT Name Imelda Selvine Wantania Study Programe Master of Occupational Medicine Title Effect Of Acute Submaximal Exercise Pre Single Decompression Dive on Changes in IL 10 Consentration In Trained Male Divers Background Gas bubbles contained in the blood vessels and tissues is not always the cause of decompression sickness. Decompression illness can also caused by endothelial dysfunction with loss of endothelial hemostasis caused by an inflammatory reaction when at depth. IL 10 is an anti inflammatory cytokine and antioxidant that prevent inflammatory reaction. The purpose of this study to prove that physical exercise submaximal done 24 hours before the decompression dive can prevent a decrease in IL 10. Methods This research uses pure experimental design with trained male divers as a subject who were split into two groups, treatment and control. Treatment group perform acute submaximal exercise 24 hours before single decompression dives 280 kPa with the bottom time of 80 minutes and the control group dive without perform an acute submaximal exercise but do single dive decompression. Assessment of the level of IL 10 conducted three times, at the beginning of the study, before and after the dive. Result Acute submaximal exercise conducted 24 hours before a single decompression dive effectively prevent IL 10 decrease levels after dive in treatment group with the early treatment group average research 0.36 0.08 0.98 pg ml and after dive 0.36 0.08 0.98 pg ml p 0,065 . In the control group, decreased levels of IL 10 with the early treatment average research 0,61 0.21 pg ml and 0.39 0.21 pg ml dives after p 0.000 . Conclusion Submaximal physical exercise done 24 hours before a single decompression dive can prevent a decrease in IL 10 after dive. The dive performed without submaximal physical exercise before diving decreased IL 10. Keyword single decompression dive IL 10 acute submaximal physical exercise.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sotya Prawatyasiwi
Abstrak :
Latar Belakang: Penurunan eNOS secara signifikan terjadi pada penyelam terlatih yang melakukan penyelaman dekompresi. Latihan fisik submaksimal akut diperkirakan dapat mencegah terjadinya penurunan eNOS pada penyelaman dekompresi. Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh pemberian latihan fisik submaksimal akut prapenyelaman tunggal dekompresi dalam mencegah penurunan kadar eNOS pada kelompok perlakuan dan kontrol. Metode: Penelitian menggunakan studi eksperimental murni. Kadar eNOS diperiksa pada awal penelitian, sebelum penyelaman dan setelah penyelaman. Kelompok perlakuan melakukan latihan fisik submaksimal akut 70 frekuensi kardiak maksimal dengan ergocycle putaran 60 rpm 24 jam sebelum penyelaman 280 kPa selama 80 menit. Subjek penelitian adalah penyelam laki-laki terlatih. Hasil: Latihan fisik submaksimal akut dapat mencegah penurunan ekspresi eNOS setelah penyelaman tunggal dekompresi pada kelompok perlakuan dengan kadar eNOS awal penelitian 2.7 2.07 - 20.76 dan kadar eNOS sesudah penyelaman dekompresi 2.7 1.81 - 34.77 serta terdapat perbedaan perubahan rerata ekspresi eNOS bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan perbedaan rerata 0.00 -6.66 ndash; 29.27 pada keleompok perlakuan dan -0.39 -122.03 - 0.84 pada kelompok kontrol. Kesimpulan dan Saran: Latihan fisik submaksimal akut dapat mencegah terjadinya penurunan ekspresi eNOS setelah penyelaman tunggal dekompresi. Terdapat perbedaan perubahan rerata ekspresi eNOS bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol. Kajian lebih lanjut diperlukan mengenai manfaat secara klinis dan subjek penelitian selain penyelam laki-laki terlatih. ...... Background: eNOS decreased significantly in trained divers who do decompression dives. Acute Submaximal exercise can prevent a decrease of eNOS in decompression dives. This study aims to prove the effect of exercise before a single decompression dive in preventing reduction of eNOS levels in the treatment group and control. Methods: This research uses true experimental study design. eNOS levels were checked at the beginning, before and after dive. The experiment group performed acute submaximal exercise 70 of maximum cardiac frequency with ergocycle 60 rpm 24 hours before dive 280 kPa for 80 minutes. The control group did not do ergocycle before dive. Subjects were male trained divers. Result: In experiment group, acute submaximal exercise can prevent a decrease of eNOS levels after a single decompression dive with baseline levels of eNOS 2.7 2.07 20.76 and eNOS levels after decompression dives 2.7 1.81 34.77 , and there are differences in changes of the mean levels of eNOS significantly between experiment group and control with mean difference 0.00 6.66 ndash 29.27 on experiment group and 0.39 122.03 ndash 0.84 in control group. Conclusion and Recommendation: Acute submaximal exercise can prevent a decrease of eNOS levels after single decompression dive. There are significant differences between treatment group and control. Further study is needed on the clinical benefits and the research subject other than a male trained diver.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yutha Perdana
Abstrak :
Stroke yang disebabkan karena gangguan perfusi otak merupakan penyebab utama disabilitas dan kematian di seluruh dunia. Komplikasi stroke dengan angka mortalitas tinggi yaitu edema luas akibat infark arteri serebri media/middle cerebral artery (MCA) maligna yang kemudian diikuti deteriorasi neurologis cepat dan berujung pada luaran yang buruk dengan angka kematian sebesar 80%. Kraniektomi dekompresi sebagai tatalaksana infark MCA maligna diketahui dapat meningkatkan probabilitas keselamatan hingga lebih dari 80%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kesintasan dan kualitas hidup pasien infark MCA maligna 1, 3, 6, dan 12 bulan pasca-operasi kraniektomi dekompresi di Indonesia, hubungan luaran dengan terapi reperfusi pendahulu, dan menganalisis faktor-faktor yang telah diketahui dapat mempengaruhi luaran, yaitu usia, waktu pembedahan, dan diameter anteroposterior kraniektomi. Penelitian ini bersifat kohort retrospektif melalui pengambilan data rekam medis pasien infark MCA maligna yang dilakukan tindakan kraniektomi dekompresi di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono Jakarta (RS PON) pada tahun 2017-2022. Sebanyak 39 subjek masuk dalam kriteria inklusi. Dari seluruh subjek, sebanyak 51,3% subjek berusia <60 tahun, 48,7% dioperasi dalam waktu pembedahan <48 jam, 76,6% memiliki diameter kraniektomi 12-14 cm, dan 38,5% subjek mendapatkan terapi reperfusi pendahulu sebelum operasi. Dari hasil penelitian didapatkan 12 penyintas yang hidup pada akhir follow-up. Angka kesintasan pada bulan pertama sebesar 55% yang kemudian turun menjadi 36% pada 12 bulan follow-up (Kaplan-Meier). Dari 27 subjek yang meninggal, 17 subjek meninggal dalam bulan pertama perawatan pasca-operasi di rumah sakit (rentang 1-20 hari), sedangkan sisanya meninggal di luar perawatan rumah sakit. Penyebab tertinggi kematian yang diketahui yaitu infeksi. Dari 12 penyintas, 58% memiliki luaran fungsional yang buruk (modified Rankin scale 4-5) pada akhir follow-up. Tidak didapatkan adanya perbedaan signifikan angka kesintasan (p 0,779, log rank test) maupun luaran fungsional (p 0,929, Mann- Whitney test) pada kelompok yang mendapatkan terapi reperfusi maupun tidak. Dari analisis bivariat diketahui bahwa faktor usia, waktu pembedahan, dan diameter kraniektomi tidak berhubungan signifikan dengan kesintasan maupun luaran fungsional. Dari analisis multivariat dengan melibatkan faktor-faktor tambahan di luar faktor tersebut, diketahui jenis kelamin berhubungan signifikan terhadap luaran fungsional (p 0,032) sedangkan skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) pra-operasi berhubungan secara signifikan dengan kesintasan (p 0,028) dan luaran fungsional (p 0,004). Dari penelitian ini diketahui bahwa angka kesintasan 12 bulan pasien infark MCA Universitas Indonesia viii maligna yang dilakukan kraniektomi dekompresi yaitu sebesar 36% dan mayoritas penyintas memiliki luaran fungsional buruk. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertakan kelompok kontrol pasien infark MCA maligna yang tidak dilakukan kraniektomi dekompresi namun mendapatkan terapi konservatif maksimal agar dapat diketahui manfaat operasi melalui perbandingan luaran kedua kelompok tersebut. ...... Stroke caused by impaired brain perfusion is a major cause of disability and death worldwide. Stroke complication with high mortality rate is extensive edema due to malignant middle cerebral artery (MCA) infarction which is followed by rapid neurological deterioration and leads to poor outcomes with a mortality rate of 80%. Decompressive hemicraniectomy as a treatment for malignant MCA infarction has been known to increase the probability of survival by more than 80%. This study aims to determine the survival rate and functional outcome of patients with malignant MCA infarction in 1, 3, 6, and 12 months after decompressive hemicraniectomy in Indonesia, analyse impacts of prior reperfusion therapy to outcomes, and also analyse factors that are already known to affect outcome from literatures, which are age, timing of surgery, and anteroposterior craniectomy diameter. This study was a retrospective cohort by collecting medical record data of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy at Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Fatmawati General Hospital, and Mahar Mardjono Jakarta National Brain Center Hospital from 2017-2022. A total of 39 subjects were included, 51.3% of them were aged <60 years, 48.7% were operated within <48 hours of onset, 76.6% had a craniectomy diameter of 12-14 cm, and 38.5% received reperfusion therapy prior to surgery. Results of the study, 12 subjects survived at the end of follow-up. The survival rate at the first month was 55% which then decreased to 36% at 12 months follow-up (Kaplan-Meier). Of the 27 subjects who died, 17 subjects died within the first month of post-operative care in the hospital (interval 1-20 days), with infection as the leading cause of death, while the rest died outside of hospital care. Of the 12 survivors, 58% had poor functional outcomes (modified Rankin scale 4-5). There was no significant difference in survival rate (p 0.779, log rank test) and functional outcome (p 0.929, Mann-Whitney test) in the group receiving reperfusion therapy or not. From the bivariate analysis, it was found that age, timing of surgery, and craniectomy diameter were not significantly related to survival or functional outcome. From the multivariate analysis including other additional factors, it was found that sex was significantly related to functional outcome (p 0.032) while the pre-operative National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) score was significantly related to survival (p 0.028) and functional outcome (p 0.004). From this study, it is known that the 12-month survival rate of malignant MCA infarction patients who underwent decompressive hemicraniectomy was 36% and the majority of survivors had poor functional outcomes. Further research is needed by including a control group of patients with malignant MCA infarction who did not undergo decompressive hemicraniectomy Universitas Indonesia x but received maximum conservative therapy in order to know the benefits of surgery by comparing the outcomes of the two groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Setyamarta
Abstrak :
Kanker kolorektal merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Kanker kolorektal memiliki onset yang tersembunyi, gejala tidak muncul hingga penyakit mencapai stadium lanjut. Kanker kolorektal stadium lanjut yang mengalami metastasis ke intra abdomen memiliki prognosis yang buruk. Massa kanker yang metastasis ke intra abdomen menyebabkan obstruksi usus malignan, yang menimbulkan gejala mual, muntah, dan anoreksia. Pasien dengan obstruksi usus maliganan yang tidak dapat dioperasi diarahkan ke terapi paliatif. Salah satu intervensi terapi paliatif untuk mengurangi gejala obstuksi usus pada pasien yaitu dekompresi lambung dengan selang NGT disertai manajemen medikasi berupa obat antiemetik dan antisekretori. Tindakan paliatif tersebut memerlukan intervensi keperawatan unutk mengatasi respons masalah nutrisi dan cairan akibat mual, muntah, dan kehilangan cairan berlebih. Intervensi keperawatan yang diperlukan oleh pasien dengan obstruksi usus yang menjalani dekompresi lambung yaitu pemberian terapi nutrisi parenteral, rehidrasi, dan perawatan selang NGT. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan pasien yang menjadi salah satu indikator peningkatan kualitas hidup dalam terapi paliatif. ......Colorectal cancer is one of the major health problems in the world. Colorectal cancer has a hidden onset, there is no symptoms until the disease reaches an advanced stage. Advanced-stage colorectal cancer that metastasis to the intra-abdomen has a poor prognosis. Metastatic cancer spread to the intra-abdominal causes malignant bowel obstruction, resulting in severe symptoms such as severe nausea, vomiting, and anorexia. Patients with unoperable bowel obstruction are advised to palliative therapy. One of the palliative interventions to reduce symptoms in malignant bowel obstruction is gastric decompression with nasogastric tube NGT in conjunction with antiemetic and antisecretory drugs. The palliative care need nursing interventions to manage respons from nutrition and fluid problems. Nursing interventions that can be performed in patients with gastric decompression are parenteral nutrition therapy, rehydration, and NGT care. This intervention is purpose to provide the comfort of patients to improve quality of life in palliative therapy.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan, 2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>