Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Singh, Gurmeet
Abstrak :
Insidens penyakit jamur invasif semakin meningkat di seluruh dunia dalam 2-3 dekade terakhir. Penyakit ini perlu mendapat perhatian, khususnya pada pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) karena kelompok tersebut lebih rentan. Diagnosis dan terapi dini sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir yang lebih baik, ditandai dengan penurunan angka morbiditas dan mortalitas. Tujuan: Mengetahui profil pasien sakit kritis akibat penyakit jamur invasif yang didiagnosis secara dini, Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien sakit kritis yang dirawat di RSCM selama periode Maret 2015-September 2015. Jumlah subjek pada penelitian ini diambil berdasarkan jumlah subjek terbanyak dari salah satu faktor (HIV), yaitu 74 subjek. Pada perawatan hari ke-5 hingga 7, dilakukan pengambilan spesimen sesuai dengan standar operasional Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PPIRS). Hasil: Sejumlah 206 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Pada 74 subjek dengan penyakit jamur invasif, mayoritas subjek adalah laki-laki (52,7%), usia rerata 58 tahun (rentang 18-79), rerata skor Leon 3 (rentang skor 2-5), subjek terbanyak pada kelompok non-bedah atau non-trauma (72,9&), dengan rerata isolasi jamur positif pada hari ke-5. Spesies jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah spesies Kandida (92,2%). Kultur urin merupakan spesimen dengan isolat jamur terbanyak (70,1%) dengan angka mortalitas sebesar 50%. Kesimpulan: Kejadian penyakit jamur invasif yang didiagnosis secara dini banyak didapatkan pada pasien sakit kritis dengan angka mortalitas yang tinggi.
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimatuzzuhroh
Abstrak :
Latar belakang : Skor PELOD-2 digunakan untuk mengetahui prognosis disfungsi organ pada anak sakit kritis. Hasil skor PELOD-2 terkadang tidak berbanding lurus dengan luaran perawatan sehingga tidak selalu dapat digunakan sebagai prediktor luaran pasien yang dirawat di PICU. Tujuan : Mengetahui profil dan luaran pasien sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM berdasar skor PELOD-2. Metode : Penelitian retrospektif dengan mengambil data rekam medis pasien rawat di PICU RSCM, periode Januari-Desember 2018 secara total sampling. Penilaian skor PELOD-2 pada 24 jam pertama perawatan, komorbid dan luaran subjek dicatat dalam rekam medis. Hasil : Diperoleh 477 subjek yang memenuhi kriteria. Pasien sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM sebagian besar berjenis kelamin laki (56,4%) dan berusia <1 tahun (27,9%), dengan bedah sebagai diagnosis terbanyak (65%). Sebagian besar pasien memiliki penyakit kronik (70,4%). Nilai median skor PELOD-2 2 untuk pasien hidup dan median skor 8 untuk pasien meninggal. Angka mortalitas adalah 10,7%. Sebagian besar subjek memiliki lama rawat <7 hari (75,5%). Subjek dengan lama rawat >14 hari memiliki median skor PELOD-2 tiga kali lipat dari subjek dengan lama rawat <7 hari. Subjek meninggal memiliki median skor PELOD-2 empat kali lipat lebih tinggi dari subjek hidup. Adanya luaran mortalitas dan lama rawat subjek yang tidak sesuai dengan skor PELOD-2 kemungkinan dipengaruhi oleh status nutrisi dan status imun. Titik potong mortalitas skor PELOD-2 pada penelitian ini adalah >5, dan titik potong mortalitas skor PELOD-2 pasien sepsis >7. Simpulan : Skor PELOD-2 dapat digunakan untuk memprediksi prognosis disfungsi organ yang mengancam kehidupan pada anak tanpa imunosupresi, semakin tinggi skor PELOD-2 akan diikuti peningkatan lama rawat dan mortalitas. ......Background: PELOD-2 score is stated can be used to discover prognosis of organ dysfunction in critically ill child. Sometimes PELOD-2 score does not always directly proportional to critically ill child s outcome, therefore sometimes can not be used as outcome and mortality predictor. Objective: To describe critically ill patient s profile and outcome of based on PELOD-2 score. Methods: This descriptive study was retrospective, conducted from January to December 2018 in PICU RSCM by total sampling. Evaluation of PELOD-2 score were performed in the first 24 hours. Subjects comorbid and outcome were stated in medical record. Results: There were 477 subjects that fulfilled the criteria. Most of the subjects were boys (56,4%) and under 1 year of age (27,9%) with surgical were the most common diagnosis (65%). Most of the subject have chronic illness as comorbid (70,4%). Median of PELOD-2 score were 2 for subjects that lived and 8 for subjects that died. Mortality rate is 10,7%. Most of the subjects were stayed in PICU for < 7 days (75,5%). Subjects with length of stay >14 days had median PELOD-2 score 3 times higher than the subjects with length of stay <7 days. Died subjects had median PELOD-2 score 4 times higher than the subjects that lived. The subjects mortality and length of stay that not in accordance with the PELOD-2 score may be influenced by subjects nutritional and immunity status. Mortality cut off point for PELOD-2 score in this study is >5. Mortality cut off point for PELOD-2 for subjects with sepsis is >7 Conclusion: PELOD-2 score is feasible to be used to predict life threatening organ dysfunction in critically ill children without immunosuppression, the higher the PELOD-2 score is equal to higher mortality and longer length of stay.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57773
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Ardian
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang Mortalitas pasien dengan kandidiasis invasif cukup tinggi berkisar 30 ndash; 70 . Perbedaan angka mortalitas pada tiap tiap studi erat kaitannya dengan desain penelitian dan sampel penelitian. Data tentang profil dan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang ada di Indonesia belum ada.Tujuan Memberikan informasi profil kandidiasis invasif pada pasien sakit kritis beserta faktor faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata laksana pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif. Metode Desain penelitian adalah cross sectional, mengumpulkan data dari rekam medis pada seratus dua pasien sakit kritis dengan diagnosa kandidiasis invasif. Pasien kandidiasis invasif adalah pasien dengan hasil kultur darah dan atau kultur cairan tubuh normal steril positif jamur spesies Candida. Data yang dikumpulkan meliputi data usia, spesies jamur candida penyebab infeksi, faktor risiko kandidiasis invasif, serta faktor faktor yang diduga berpengaruh terhadap mortalitas yaitu ada tidaknya kondisi sepsis, nilai APACHE, ada tidaknya kondisi gagal nafas, ada tidaknya gagal ginjal, waktu pemberian terapi antijamur, Charlson Index, dan tempat perawatan ICU atau Non ICU . Uji analisa bivariat dengan uji chi square dilakukan terhadap masing masing faktor yang diduga dengan mortalitas, yang dilanjutkan dengan uji multivariat regresi logistik untuk menilai faktor yang paling berhubungan terhadap mortalitas 30 hari. Hasil Dari 102 sampel penelitian didapatkan laki laki 52,9 dan perempuan 47,1 , Median usia 53 th. angka mortalitas 68,6 , Spesies candida penyebab terbanyak adalah Candida Tropicalis 34,3 dan Candida Parapsilosis 29,4 . Faktor risiko kandidiasis invasif terkait dengan penyakit dasar adalah sepsis 78,9 , keganasan 42,15 , diabetes melitus 29,4 , sedangkan terkait terapi atau tata laksana yang diberikan adalah penggunaan antibiotik spektrum luas 99 , kateter vena sentral 77,5 , serta pemberian nutrisi parenteral 70,6 . Dari uji multivariat regresi logistik diperoleh data faktor yang paling berpengaruh terhadap mortalitas 30 hari adalah sepsis berat p 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash; 24,6 , Charlson Index ge; 3 p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash; 10,2 , dan gagal nafas p 0,066, OR 2,7, IK95 0,9 ndash; 8,0 Simpulan Pada pasien sakit kritis dengan kandidiasis invasif yang dirawat di RSCM laki laki lebih banyak dari perempuan, dengan median usia 53 tahun, dengan angka mortalitas 68,6 . Spesies candida terbanyak penyebab infeksi adalah Candida Tropicalis dan Candida Parapsilosis. Faktor risiko kandidiasis invasif terkait penyakit dasar adalah sepsis, sedangkan terkait tata laksana perawatan yang terbanyak adalah penggunaan antibiotik spektrum luas. Sedangkan faktor faktor yang berhubungan dengan mortalitas 30 hari adalah kondisi sepsis berat, dan Charlson index ge;3. Kata Kunci Kandidiasis invasif, sakit kritis, faktor mortalitas. < hr> b>ABSTRACT
ABSTRACTName Ardi ArdianMajor Internal Medicine Faculty of MedicineTitle Factors related to a 30 day mortality in Critically Ill Patients with Candidiasis Invasive in Cipto Mangunkusumo hospital Background. Mortality rate candidiasis invasive is still high, approximately 30 70 . Every study has a variety mortality rate depend on study design and sample. There is no data in Indonesia about profile and mortality factors analysis in critically ill patients with candidiasis invasive . Objectives To give information about candidiasis invasive profile and to evaluate some factors relate to 30 days mortality in critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.Method. The Study design was Cross Sectional. We studied 102 hospitalized critically ill patients with candidiasis invasive. The demographic, clinical and laboratory data, the risk factors for candidiasis invasive and the outcome of each patient in 30 days were recorded. An analysis bivariate with chi square or Fisher rsquo s test was carried out to analyse some factors such as age 60 years old, severe sepsis, APACHE score 20, respiratory failure, renal failure, delayed antifungal treatment 72 hours after positive culture, Charlson index score, and ICU or Non ICU patients. The logistic regression of multivariate analysis was carried out to identify the most influence of all mortality factors. Result. Among 102 identified sample, the majority was male 52.9 , the median age was 53 years old and the mortality rate was 68,6 . Laboratory candida findings came from blood sample candidemia 98,03 , liquor cerebrospinal 1,5 and retina exudat 1,5 . The most common candida species was Candida Non Albicans especially Candida Tropicalis 34,3 and Candida Parapsilosis 34,3 . The risk factors for Candidiasis invasive from this study, relate to underlying disease were sepsis 78,9 , malignancy 42,15 , diabetes mellitus 29,4 and relate to therapy or treatment were the usage of broad spectrum antibiotic 99 , catheter vena central 77,5 , and parenteral nutrition 70,6 . The result from multivariate analysis, severe sepsis p 0,001, OR 7,7, IK95 2,4 ndash 24,7 , Charlson Index ge 3 p 0,022, OR 3,5, IK95 1,2 ndash 10,2 , and respiratory failure p 0,066, OR 2,7 IK95 0,9 ndash 8,0 were independently asscociated with mortality.Conclusion. Critically ill patients with candidiasis invasive in Cipto Mangunkusumo hospital, male was predominan than female, median age was 53 years old, and mortality rate was 68,6 . The two most species candida caused infection were Candida Tropicalis and Candida Parapsilosis. The most risk factors of candidiasis invasive from underlying disease was sepsis and the one from the treatment was the usage of broad spectrum antibiotic. Severe sepsis, and Charlson index ge 3 were associated with a 30 day mortality in critically ill patients with candidiasis invasive.. Key words Candidiasis invasive, Critically ill, Mortality factors
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
Abstrak :
Latar belakang: Hiperglikemia dan AKI merupakan komorbiditas yang sering dijumpai pada anak sakit kritis. Keduanya berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hubungan antara hiperglikemia dan AKI pada anak sakit kritis belum banyak diketahui. Tujuan: Diketahuinya perbedaan proporsi AKI pada kelompok anak sakit kritis dengan hiperglikemia dan nonhiperglikemia. Diketahuinya perbedaan rerata kadar gula darah admisi, kadar gula darah puncak, dan durasi hiperglikemia pada kelompok anak sakit kritis dengan AKI dan tanpa AKI. Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan pada anak sakit kritis usia 1 bulan-18 tahun di ruang resusitasi IGD dan perawatan intensif anak RSCM selama bulan Agustus-Desember 2016. Pemeriksaan kadar gula darah, kreatinin serum, dan kadar NGAL urine dilakukan pada saat admisi. Pemantauan kadar gula darah dilakukan dengan interval 2 jam pada kelompok hiperglikemia. Seluruh subyek diikuti sampai keluar ruang perawatan intensif. Hasil: Proporsi subyek anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia adalah 46,5 IK 95 36,8-56,2 . Proporsi subyek dengan hiperglikemia yang mengalami AKI menurut kriteria AKIN adalah 30,7 IK 95 21,8 ndash;39,6 , sedangkan proporsi subyek dengan hiperglikemia yang memiliki kadar NGAL urine >135 ng/mL adalah 21,8 IK 95 13,8 ndash;29,8 . Acute kidney injury menurut kriteria AKIN maupun kadar NGAL urine lebih banyak dijumpai pada subyek dengan hiperglikemia, namun perbedaan proporsi tersebut tidak bermakna secara statistik kriteria AKIN: RR 2,08; IK 95 0,93-4,67; P 0,072; NGAL urine >135 ng/mL: RR 1,34; IK 95 0,81-2,1; P 0,243 . Paparan hiperglikemia pada perawatan intensif dengan durasi ge;4 jam risiko AKI meningkat sebesar 2,38 kali IK 95 1,25 ndash;4,56. Simpulan: Acute kidney injury banyak dijumpai pada anak sakit kritis yang mengalami hiperglikemia. Paparan hiperglikemia ge;4 jam pada perawatan intensif berkaitan dengan peningkatan risiko AKI pada anak sakit kritis. ......Background Hyperglycemia and AKI are common in critically ill children. Both conditions are associated with increasing mortality and morbidity. The association of hyperglycemia and AKI in critically ill children is still not well understood. Objective To evaluate the difference in proportion of AKI between critically ill children with and without hyperglycemia. To evaluate the mean difference of initial blood glucose, peak blood glucose, and the duration of hyperglycemia between critically ill children with and without AKI. Method A prospective cohort study was conducted in critically ill children aged 1 month to 18 years at the emergency unit and the pediatric intensive care unit at Cipto Mangunkusumo Hospital between August December 2016. Blood glucose, creatinine serum, and urine NGAL was examined at admission. Blood glucose was monitored every 2 hours in hyperglycemic subjects. All of the subjects were followed until time of discharge from the intensive care unit. Result Hyperglycemia in critically ill children was found in 46.5 subject 95 CI 36.8 56.2. Acute kidney injury based on the AKIN criteria was found in 30.7 hyperglycemic subjects 95 CI 21,8 ndash 39,6, and hyperglycemia with an increased urine NGAL level 135 ng mL was found in 21.8 subjects 95 CI 13.8 ndash 29.8. Acute kidney injury and an increased urine NGAL were more frequently found in subjects with hyperglycemia, however, the difference in the proportion was statistically insignificant AKIN criteria RR 2,08 95 CI 0,93 4,67 P 0,072 urine NGAL level 135 ng mL RR 1,34 95 CI 0,81 2,1 P 0,243 . The duration of hyperglycemia ge 4 hours at the intensive care unit increases the risk of AKI up to 2.38 times CI 95 1.25 ndash 4.56. Conclusion Acute kidney injury are frequently seen in hyperglycemic critically ill children. A duration of hyperglycemia of ge 4 hours in intensive care unit is associated with an increased risk of AKI in critically ill children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
Abstrak :
Anak yang dirawat di ICU cenderung mengalami malnutrisi sejak masuk atau selama perawatan yang dapat memperberat penyakit dasar, memperpanjang lama rawat serta meningkatkan mortalitas. Baik underfeeding atapun overfeeding dapat terjadi di ICU Anak selama perawatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, menggunakan data rekam medis. Selama 3 bulan penelitian. didapatkan 45 subjek penelitian. Dari 45 data pasien didapatkan 127 peresepan untuk menilai keseuaian peresepan dengan pemberian nutrisi pada pasien. Pemberian nutrisi pada pasien yang dirawat di ICU Anak merupakan hal yang sangat penting. Perlu perhitungan kebutuhan nutrisi yang cermat, pemberian nutrisi tepat yang sesuai kebutuhan pasien agar tidak terjadi malnutrisi yang lebih berat lagi. ......Children admitted to the Pediatric Intensive Care Unit (PICU) are at risk for poor and potentially worsening nutritional status, a factor that further increases comorbidities and complications, prolongs the hospital stay, increases cost and increases mortality. Both underfeeding and overfeeding are prevalent in PICU and may result in large energy imbalance. This was cross sectional study design, with 3 month consecutive sampling in PICU which met 45 patients as the subject and 127 prescription of nutrition. Nutrition support therapies in PICU is very important .Adequate nutrition therapy is essential to improve nutrition outcomes in critically ill children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahmania Yulman
Abstrak :
Malnutrisi pada anak sakit kritis dalam perawatan intensif menjadi masalah dalam beberapa dekade terakhir dan berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas. Hingga kini, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) belum memiliki panduan baku mengenai dukungan nutrisi anak sakit kritis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui profil pemberian nutrisi enteral (NE) dan waktu pencapaian resting energy expenditure (REE) di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSCM dan faktor-faktor yang memengaruhi. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data rekam medis anak sakit kritis yang dirawat di PICU RSCM pada tahun 2017-2018. Waktu inisiasi pemberian NE dan pencapaian REE serta faktor-faktor yang memengaruhi pemberian tersebut dicatat dan dilakukan analisis multivariat untuk mencari faktor risiko yang bermakna. Terdapat 203 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 120 subyek berjenis kelamin lelaki (59,1%), dengan median usia adalah 35 bulan (rentang usia 1-209 bulan). Kasus bedah terdapat pada 125 subyek (61,6%) dan status gizi normal terdapat pada 87 subyek (42,9%). Prevalensi pemberian NE dini adalah 63,1%, dan pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah 67,5%, dengan median 48 jam. Faktor risiko yang menghambat pemberian NE dini adalah pasca-bedah abdomen, penggunaan inotropik, penggunaan ventilator, gejala gastrointestinal sebelum inisiasi, dan status gizi tidak normal dengan odds ratio (OR) 10,89 (IK 95% 4,31-27,50; p=0,009), 4,60 (IK 95% 1,78-11,90; p=0,002), 4,18 (IK 95% 1,56-11,17; p=0,004), 3,40 (IK 95% 1,59-7,29; p=0,002), 2,49 (IK 95% 1,09-5,72; p=0,031). Faktor risiko yang menghambat pencapaian kalori REE ≤72 jam adalah pemberian NE lambat, intoleransi pemberian enteral berupa gejala gastrointestinal dan skor PELOD-2 ≥7 dengan OR 20,62 (IK 95% 6,48-65,65; p=0,000), 14,77 (IK 95% 4,40-49,60; p=0,000), 3,98 (IK 95% 1,01-15,66; p=0,048). Prevalensi pemberian NE dini pada anak sakit kritis di PICU RSCM cukup baik dengan waktu pencapaian REE sesuai dengan target. Faktor terbanyak penghambat pemberian NE dini adalah kondisi pasca-bedah abdomen, sedangkan faktor penghambat pencapaian REE ≤ 72 jam terbanyak adalah pemberian NE lambat. ......Malnutrition of critically ill children remains a major problem that is closely related to high morbidity and mortality in pediatric intensive care unit (PICU) during the last decades. The protocol of nutritional support for critically ill children in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) has not yet been developed. The study is aimed to evaluate the enteral nutrition (EN) profile, the duration to achieve resting energy expenditure (REE) and number of influencing factors associated with the late EN administration and late REE achievement. The data were collected retrospectively from medical records during the year 2017 to 2018 in PICU CMH. We assessed the timing of EN given and the duration of REE achieved from EN. We performed multivariate analysis to determined significant factors associated with late EN and late REE achievement. Two hundred three subjects were included. One hundred twenty subjects (59%) were boys, with median age of 35 (1-209) months old. One hundred twenty five subjects (61.6%) were post-surgical period and 87 subjects (42.9%) were in good nutritional status. The prevalence of early EN was 63.1%, and REE ≤72 hours was achieved in 67.5% subjects, with the median time was 48 hours. Significant factors inhibit early EN administration were post-abdominal surgery, ventilator use, inotropic use, gastrointestinal symptoms before initiation, and abnormal nutritional status; with OR 10.89 (95% CI 4.31 to 27.50; p=0.009), 4.60 (95% CI 1.78 to 11.90; p=0.002), 4.18 (95% CI 1.56 to 11.17; p=0.004), 3.40 (95% CI 1.59 to 7.29; p=0.002), 2.49, 95% CI 1.09 to 5.72; p=0.031), respectively. While factors inhibit the achievement of REE ≤72 hours were the late EN initiation, enteral intolerance, and PELOD-2 score ≥7 with OR 20.62 (95% CI 6.48 to 65.65; p=0.000), 14.77 (95% CI 4.40 to 49.60; p=0.000), 3.98 (95% CI 1.01 to 15.66; p=0.048), respectively. The prevalence of early EN administration with the duration to achieve REE among critically ill children in the PICU CMH was quite satisfying. The most influencing factor inhibit early EN administration was post-abdominal surgery, while the most significant factor inhibit the achievement of REE ≤72 hours was the late NE administration.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Maya Sari
Abstrak :
Pendahuluan: Acute kidney injury AKI merupakan komplikasi gagal organ pada sepsis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas di ICU.Hasil dan pembahasan: Pemenuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI sangat tergantung pada keadaan klinis pasien dan terapi AKI. Pada serial kasus ini terdapat satu pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan 3 pasien dengan AKI klasifikasi AKIN 3. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 maupun sepsis dengan AKI AKIN 3 selama perawatan di ICU diberikan dengan target energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari. Perburukan fungsi ginjal pada pasien sepsis dengan AKI tidak disebabkan oleh pemberian nutrisi tinggi protein melainkan disebabkan oleh keadaan sepsis yang tidak teratasi. Terapi renal replacement therapy RRT dibutuhkan pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan AKIN 3 agar nutrisi dapat diberikan secara optimal untuk menunjang perbaikan klinis. Terapi nutrisi optimal pada pasien sepsis dengan AKI dapat mempertahankan lean body mass, memperbaiki sistem imun, dan memperbaiki fungsi metabolik.Kesimpulan: Terapi nutrisi yang adekuat dengan energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari pada pasien sepsis dengan AKI dapat menunjang perbaikan klinis. ......Introduction Acute kidney injury AKI is an organ failure complication in sepsis that increased morbidity and mortality in ICU.Results and discussion Nutrition in sepsis with AKI patients are dependent on clinical condition and AKI treatment. In this serial case displayed one case septic AKI classification AKIN 2 and three cases septic AKI classification AKIN 3. Nutritional requirements for sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKI classification AKIN 3 in ICU setting were targetted at 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day. Worsening renal function in sepsis with AKI are not caused by high protein intake but caused by unresolved infection. Renal replacement therapy is required in sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKIN 3 to maintain adequate nutritional therapy for better clinical outcomes. The optimal nutritional therapy in sepsis with AKI aimed to maintain lean body mass, improved immune function, and metabolism.Conclusion Adequate nutritional therapy with energy 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day in sepsis with AKI can bolster better clinical outcomes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikbal Gentar Alam
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Pasien bedah dengan sakit kritis yang dirawat di ICU cukup sering dijumpai dan menggunakan sumber daya rumah sakit lebih banyak. Sakit kritis dapat menyebabkan pasien menjadi malnutrisi. Malnutrisi pada pasien yang dirawat di ICU akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi untuk pasien sakit kritis pascabedah bertujuan untuk menurunkan stres metabolik, memodulasi respons imun, dan membantu penyembuhan lukaHasil dan Pembahasan: Pemenuhan kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis pascabedah bergantung pada kondisi klinis pasien. Serial kasus ini menguraikan dua pasien dengan bedah mayor gastrointestinal, satu pasien dengan pembedahan pembuluh darah besar, dan satu pasien dengan pembedahan besar daerah leher sampai mediastinum. Selama perawatan di ICU semua pasien diberikan terapi nutrisi dengan target energi 30 kkal/kg BB dan protein 1,2 ndash;2,0 g/kg BB per hari. Nutrisi diberikan secara optimal sesuai kondisi pasien untuk mendukung perbaikan klinis pasien. Terapi nutrisi secara optimal pada sakit kritis pascabedah dapat menurunkan katabolisme, memodulasi sistem imun, mencegah malnutrisi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitasKesimpulan: Terapi nutrisi yang optimal pada pasien sakit kritis pascabedah dapat membantu perbaikan klinis
ABSTRACT
Introduction Surgical patients with critical illness admittted to the ICU are fairly common and use more hospital resources. Critical illness can cause the patients become malnourished. Malnutrition in the ICU patients will increase the morbidity and mortality rates. Nutrition therapy in critically ill postoperative patients aims to reduce metabolic stress, modulate the immune response, and improve wound healingResults and Discussion Fulfilment of nutrition requirements in postoperative critically ill patients depends on the patient 39 s clinical condition. This serial case describes two patients with major gastrointestinal surgery, one patient with major blood vessel surgery, and one patient with large neck and mediastinum surgery. During treatment in the ICU all patients were given nutrition therapy with the target energy of 30 kcal kg and protein 1.2 ndash 2.0 g kg daily. Nutrition is given optimally adjusted to patients rsquo condition to support the patient clinical improvement. Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can reduce catabolism, modulate the immune system, prevent malnutrition, and decrease morbidity and mortality rates.Conclusion Optimal nutrition therapy in critically ill postsurgical patients can support clinical improvement
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisadelfa Sutanto
Abstrak :
Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal. ...... Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
Abstrak :
Latar belakang Jumlah pasien obesitas yang dirawat di unit perawatan intensif semakin meningkat. Pasien obesitas dalam kondisi sakit kritis berisiko mengalami acute kidney injury (AKI). Belum ada panduan pemberian energi dan protein yang optimal bagi pasien obesitas sakit kritis dengan AKI. Asupan energi dan protein yang tidak adekuat akan memperberat risiko malnutrisi dan sarkopenia sehingga meningkatkan komplikasi, lama rawat, dan mortalitas. Terapi medik gizi yang komprehensif diperlukan untuk mencegah progresivitas penyakit dan penurunan status gizi yang memengaruhi luaran klinis pasien. Kasus: Pasien pada serial kasus ini adalah tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan, berusia 58-64 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan menderita AKI saat perawatan. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak sakit kritis fase akut. Preskripsi energi berdasarkan rule of thumb sedangkan protein berdasarkan nilai imbang nitrogen. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, hemodinamik, dan toleransi asupan pasien. Hasil: Selama perawatan, asupan energi pasien dapat mencapai 30 kkal/kgBB dengan protein 1-1,3 g/kgBB. Dua pasien mengalami imbang nitrogen negatif hingga akhir perawatan karena asupan protein tidak adekuat dan kondisi hiperkatabolisme berat. Dua pasien dengan asupan protein yang cukup (1,1–1,2 g/kgBB) memiliki imbang nitrogen yang normal. Tiga pasien mengalami komplikasi sepsis dan satu pasien menderita ulkus dekubitus. Satu pasien mengalami malnutrisi dan sarkopenia saat perawatan sakit kritis. Dua pasien dengan imbang nitrogen seimbang dapat melewati fase kritis dan pindah ke ruang rawat biasa. Dua pasien dengan imbang nitrogen negatif meninggal dunia saat perawatan di ICU. Kesimpulan: Terapi medik gizi dan pemberian protein yang adekuat pada pasien obes sakit kritis dengan AKI dapat memperbaiki kondisi klinis, meningkatkan kesintasan, dan menurunkan mortalitas. ......Background The prevalence of obesity has increased and is reflected in the intensive care unit (ICU) population. Critically ill obese patients are at risk for acute kidney injury (AKI). There are no guidelines for optimal energy and protein delivery for critically ill obese patients with AKI. Inadequate energy and protein intake will exacerbate malnutrition and sarcopenia, thereby increasing complications, length of stay, and mortality. Comprehensive nutritional medical therapy is needed to prevent disease progression and derivation of nutritional status that affects the clinical outcome. Case The patients were three men and one woman, aged 58-64 years with obesity, critically ill, and AKI. All patients received medical nutrition therapy since the acute phase of critical illness. Energy prescription is based on the rule of thumb while protein is based on the nitrogen balance. Nutritional administration is adjusted to the clinical condition, hemodynamic, and patient's tolerance. Result During treatment, the patient's energy intake reach 30 kcal/kgBW with protein of 1-1,3 g/kgBW. Two patients experienced negative nitrogen balance at the end of treatment due to inadequate protein intake and severe hypercatabolism. Two patients with adequate protein intake (1.1–1.2 g/kgBW) had normal nitrogen balance. Three patients had complications of sepsis and one patient had a pressure ulcer. One patient developed malnutrition and sarcopenia during treatment. Two patients with a normal nitrogen balance were able to pass the critical phase and step down to the ward. Two patients with negative nitrogen balance died during intensive care treatment. Conclusion Medical nutrition therapy and adequate protein intake in critically ill obese patients with AKI can improve clinical conditions,increase survival, and reduce mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>