Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Farah Lutfiputri
"Pada saat ini, di media sosial Instagram terdapat sejumlah akun yang secara aktif mengunggah meme tentang budaya kerja di startup Indonesia, yang salah satunya adalah @ecommurz. Bermula dari akun meme, Ecommurz telah menjelma menjadi sebuah komunitas virtual di mana para pekerja startup saling berjejaring, berinteraksi, dan membantu sama lain. Dengan mengacu pada konsep connective action oleh Bennett & Segerberg (2012), penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebuah aksi kolektif di antara para pekerja startup dapat terbentuk melalui media sosial. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dilakukan dengan metode etnografi virtual, dan didukung oleh observasi mendalam, analisis retorika visual untuk mengungkap makna di balik meme yang diunggah dan analisis tekstual terhadap kolom komentar pada unggahan tersebut. Penelitian ini mengungkap bahwa melalui meme-meme yang bernuansa humor, satir, dan bergaya bahasa kasual, Ecommurz telah mendemokratisasi pembicaraan mengenai isu dan permasalahan yang dihadapi banyak pekerja di lingkungan startup. Hasilnya adalah terciptanya ikatan kolektif di antara para pekerja startup yang merasa relevan dengan meme yang diunggah dan memiliki kesamaan tujuan. Connective action yang terbentuk bermula dari aksi personal sekelompok orang, dan sepenuhnya terjadi secara organik melalui media sosial, Meskipun Ecommurz berperan besar sebagai yang memotori gerakan, tapi perkembangan pesat dan influence (pengaruh) kuat yang mereka miliki tidak akan tercipta tanpa adanya solidaritas dan partisipasi aktif di antara para pengikutnya. Hingga pada akhirnya, dampak dari gerakan yang mereka lakukan dapat turut menghasilkan perubahan atau mempengaruhi apa yang terjadi di kehidupan nyata (offline).

Currently, there are a number of Instagram accounts that are actively uploading memes concerning work culture at Indonesian startups, one of which is @ecommurz. Ecommurz began as a meme account and has evolved into a virtual community where startup workers network, connect, and help one another. This study tries to examine how connective action among startup employees can be formed through social media by referring to Bennett and Segerberg's (2012) concept of connective action. This is a qualitative research project using the virtual ethnography method, with in-depth observations, visual rhetorical analysis to uncover the meaning behind the uploaded memes, and textual analysis of the comments column. This study reveals that Ecommurz has democratized conversations regarding the concerns and problems experienced by many employees in the startup environment by using memes that are humorous, satirical, and casual in tone. As a result, a collective tie is formed among startup company employees who relate to the published memes and share similar objectives. The establishment of a connective action begins with the personal action of a group of people and occurs fully organically through social media. Even if Ecommurz is the movement's driving force, their rapid growth and great influence cannot be achieved without solidarity and active engagement among their followers. In the end, the impact of their movements can produce changes or influence what happens in real life (offline)."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwini Rahmadina Nisahati
"Selama beberapa tahun terakhir, ruang digital menjadi tempat di mana gerakan sosial terjadi, menghadirkan istilah baru yang dikenal dengan gerakan sosial online. Tesis ini membahas bagaimana tindakan konektif tipologi crowd-enabled network yang digagasi oleh Bennett dan Segerberg (2012) terbentuk pada gerakan sosial online #BeraniJujurPecat dan #KPKKiniLebihBaik di Twitter yang merupakan reaksi publik terhadap pemberhentian 75 pegawai KPK karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dinilai kontroversial. Penelitian ini menerapkan mixed method, dengan analisis SNA untuk metode kuantitatif dan Netnografi untuk metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan tindakan konektif terbentuk pada kedua tagar dengan penerapan yang berbeda-beda. Kedua tagar tidak memiliki koordinasi dari organisasi formal atau badan khusus dan tetap menyediakan akses personal yang terbuka untuk publik Jaringan #BeraniJujurPecat terbentuk berdasarkan personal action frames, dan jaringan #KPKKiniLebihBaik terbentuk berdasarkan collective action frames. Terdapat indikasi bahwa aktor-aktor pada jaringan #KPKKiniLebihBaik merupakan Buzzer politik yang bertujuan untuk mempersuasi publik dengan narasi sesuai kepentingan mereka.

Over the past few years, the digital space has become a place where social movements occur, introducing a new term known as online social movements. This thesis discusses how the collective action of the crowd-enabled network typology initiated by Bennett and Segerberg (2012) was formed in the online social movements #BeraniJujurPecat and #KPKKinibaik on Twitter which were public reactions after Corruption Eradication Commission (KPK) fired 51 employees for failing controversial civic. This study applies a mixed method, with SNA analysis for quantitative methods and Netnography for qualitative methods. The result of the research shows that the connective action is formed on the two hashtags although with varied implementations. Both #BeraniJujurPecat and #KPKKiniLebihBaik do not have the coordination of a formal organization or special agency and still provide personal access that is open to the public. The #BeraniJujurPecat network is formed based on personal action frames, while the #KPKKiniLebihBaik network is formed based on collective action frames. There are indications that the actors in the #KPKKiniLebihBaik network are political buzzers whose aim is to persuade the public."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Kusumo
"Pasca reformasi 1998 gerakan mahasiswa di Indonesia leluasa melakukan protes karena dijamin oleh konstitusi. Kemajuan teknologi semakin membuat gerakan mahasiswa tampil lebih kreatif dan melibatkan ragam elemen dengan memanfaatkan media sosial. Pada September 2019 terjadi serangkaian aksi demonstrasi mahasiswa yang berpusat di depan Gedung DPR RI. Bukan hanya masif di lapangan (offline), aksi juga masif terjadi di media sosial (online). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Adapun instumen penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data adalah melalui wawancara dan studi literatur. Mengacu pada teori Bennet dan Segerberg (2013) tentang connective action, penelitian ini menemukan bahwa telah terjadi koneksi pada aksi demonstrasi mahasiswa September 2019 dengan aksi digital dalam bentuk personal action frame. Akun-akun Twitter yang teridentifikasi terlibat dalam percakapan di media sosial mengekspresikan sikap personal mereka melalui ragam bentuk, mulai dari foto, video, maupun poster. Semua akun tersebut membentuk satu kluster bersama melalui tagar dan narasi yang sama, yaitu menolak RKUHP, revisi UU KPK dan RUU lainnya yang dianggap bermasalah. Aksi demonstrasi mahasiswa September 2019 termasuk dalam tipologi organizationally-enabled action karena bukan hanya terjadi masif di lapangan (offline), melainkan terjadi juga secara hybrid di media digital (online). Struktur formal yaitu Aliansi Mahasiswa Indonesia berperan mengoordinasikan aksi di lapangan, sekaligus media sosial telah membuka partisipasi yang luas dari berbagai kalangan untuk terlibat aksi. Namun demikian, masifnya aksi digital yang terjadi bukan merupakan desain dari gerakan mahsiswa, melainkan terjadi secara organik dan natural.

After the 1998 Reform, the student movement in Indonesia Has more freedom to protest because it is guaranteed by the constitution. The Advances in technology are progressively making student movements appear to be more creative and involve various elements by utilizing social media. In September 2019, there were a series of student demonstrations centered in front of the Indonesian Parliament Building (DPR). The form of demonstrations was not only massively done in the field (offline), but also massively done on social media (online). This research uses a qualitative approach with a case study method. The research instrument used to obtain data is through interviews and literature studies. Referring to the theory of Bennet and Segerberg (2013) about connective action, this research found that there was a connection between the September 2019 student demonstrations with digital actions in the shape of personal action frames. The Twitter accounts that was identified, they were engaged in conversations on social media and expressed their personal attitudes through various forms, for examples were photos, videos, and posters. All of these accounts were created a collective cluster by means of the same hashtag and narrative, namely to reject the Draft Legislation of Criminal Code (RKUHP), revisions to the KPK Law and other Draft legislations those were deemed problematic. The student demonstration in September 2019 is included in the typology of organizationally-enabled action since it did not only occur massively in the field (offline), but also I in a hybrid way in digital media (online). The formal structure, namely the Indonesian Student Alliance (Aliansi Mahasiswa Indonesia), had the role of coordinating actions in the field, as well as social media which led to open widely of participation from various groups to get involved in the action. Nevertheless, the massive digital action that occurred, was not the part in the design of the student movement, but occurred organically and naturally.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Halomoan
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses logika terbentuknya Gerakan Sosial #NoRoomForRacism yang dilakukan oleh para atlet IBL. Gerakan ini dapat dikatakan sebagai gerakan pertama yang dilakukan dalam lingkup Indonesian Basketball League terlebih kasus yang terjadi adalah kasus dalam liga sendiri. Studi terdahulu menyatakan bahwa olahraga adalah salah satu lingkup atau bidang yang sering dianggap tidak politis, namun nyatanya olahraga adalah lingkup yang baik dalam segi perjuangan atau perlawanan atas diskriminasi. Keberagaman dan keadilan hadir bagi masyarakat untuk berkompetisi untuk menunjukkan kesetaraan di lingkup yang kompetitif. Selanjutnya, studi terdahulu juga menyatakan bahwa sudah melakukan beberapa gerakan untuk melawan rasisme dan dilakukan baik secara langsung maupun secara daring melalui media sosial dalam pelaksanaannya. Lalu, studi ini membawa kebaharuan dengan melakukan analisis aksi konektif pada aksi yang dilakukan di lingkup olahraga di Indonesia khususnya olahraga basket. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan juga observasi secara daring kepada aktor-aktor gerakan #NoRoomForRaicsm di media sosial instagram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan #NoRoomForRacism merupakan sebuah gerakan yang terjadi secara dinamis tanpa koordinasi oleh struktur tertentu. Gerakan yang menggunakan teknologi sosial berupa instagram ini membuatnya menjadi sebuah gerakan yang luas dan aksesibel bagi publik. Selanjutnya, opini dan ekspresi aktor menunjukkan bahwa aksi rasisme yang terjadi antara Restu Dwi Purnomo terhadap Austin Mofunanya adalah sebuah hal yang salah dan tidak terpuji. Aksi #NoRoomForRacism juga tidak mendapatkan moderasi dari pihak petinggi setiap tim yang menyebabkan opini setiap tim adalah opini personal yang terjadi secara kolektif.

This research aims to understand the logical formation process of the #NoRoomForRacism Social Movement conducted by IBL athletes. This movement can be considered the first of its kind within the scope of the Indonesian Basketball League, particularly given that the incident occurred within the league itself. Previous studies state that sports are often regarded as apolitical fields; however, in reality, sports are an excellent arena for the struggle or resistance against discrimination. Diversity and justice are present for society to compete and demonstrate equality in a competitive environment. Furthermore, previous studies also indicate that several movements have been undertaken to combat racism, both directly and online through social media in their implementation. This study brings novelty by analyzing connective action in the context of sports movements in Indonesia, specifically basketball. This research employs a qualitative approach with in-depth interview techniques and online observation of #NoRoomForRacism movement actors on Instagram. The findings show that the #NoRoomForRacism movement is a dynamic movement without coordination by a specific structure. The movement, which utilizes social technology in the form of Instagram, makes it broad and accessible to the public. Additionally, the opinions and expressions of the actors indicate that the racist act between Restu Dwi Purnomo and Austin Mofunanya is wrong and disgraceful. The #NoRoomForRacism movement also did not receive moderation from senior team officials, making each team's opinion a personal opinion that occurs collectively.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library