Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zalicha Bintang Nindrya
"Skabies merupakan penyakit kulit yang menular dan identik dengan rasa gatal yang disebabkan mikroorganisme Sarcoptes scabiei var. hominis. Skabies lebih sering menginfeksi kelompok sosial-ekonomi rendah dengan keadaan pemukiman padat penduduk, lingkungan yang tidak terawat serta higienitas yang buruk, salah satunya adalah pesantren. Prevalensi skabies di pesantren padat penghuni di Jakarta tergolong tinggi,yaitu 78,7 %. Untuk itu diperlukan pemberian pengobatan yang disertai dengan penyuluhan sebagai upaya pencegahan.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan santri mengenai gejala klinis skabies dan hubungannya dengan karakteristik demografi santri dengan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di pesantren X ,Jakarta Timur pada tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuesioner berisikan pertanyaan mengenai gejala klinis skabies kepada santri. Pengolahan data menggunakan program SPSS versi 16 dan dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
Hasil yang diperoleh menunjukkan santri yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 4,2%, sedang 27,9 % dan kurang 67,9%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan usia (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), jenis kelamin (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), tingkat pendidikan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05), jumlah sumber informasi (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05) dan informasi yang paling berkesan (Kolmogorov-Smirnov, p>0,05).
Dari uraian tersebut, disimpulkan tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan santri mengenai gejala klinis skabies dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah informasi, dan informasi yang paling berkesan.

Scabies is a contagious skin disease and identical wtih itching sensation caused by microorganisms Sarcoptes scabiei var. hominis. Scabies is more commonly infect lower socio-economic groups with a dense population and the environment with poor hygiene, one of which is a boarding school. The prevalence of scabies in dense boarding schools in Jakarta is high (78.7%).
The research aims to determine the level of knowledge of students of clinical symptoms of scabies and its association with demographic characteristics of students with a cross-sectional design. The research was conducted in a boarding school X, East Jakarta on January 22nd , 2011 by giving questionnaires containing questions about the clinical symptoms of scabies to the students. The data was processed using SPSS version 16 and analyzed using the Kolmogorov-Smirnov test.
The result shows that students with good knowledge 4.2%, regular 27.9% and 67.9% . There were no significant differences between the level of knowledge with age (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05), sex (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05), educational level (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05), number of information sources (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05) and the most memorable information (Kolmogorov-Smirnov, p> 0.05).
From the description, it was concluded that there is no relationship between the level of knowledge of students about the clinical symptoms of scabies with age, gender, education level, the amount of information, and the most memorable information.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
"Di Indonesia, tuberkulosis (TB) paru menjadi salah satu prioritas nasional dalam program pengendalian penyakit karena dapat berdampak terhadap kualitas hidup, ekonomi, dan menyebabkan kematian. Status gizi merupakan penentu penting dari klinis pasien TB. TB diketahui dapat menyebabkan malnutrisi, sedangkan malnutrisi dapat menjadi faktor risiko terjadinya aktivasi TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gizi kurang pada pasca TB paru dan faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah gejala klinis TB dan hasil gambaran foto X-ray toraks. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan pada Juni 2011 di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan total sampling dengan jumlah sampel 78 orang. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner dengan wawancara langsung, pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pemeriksaan radiologi X-ray toraks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek terbanyak berusia 26-65 tahun (74,4%) dan berjenis kelamin laki-laki (52,6%). Prevalensi malnutrisi pada pasca TB sebesar 52,3% dengan rerata IMT 18,29±2,43 kg/m2. Sebanyak 67,9% subyek masih memiliki gejala klinis TB dan lesi infiltrat pada foto X-ray toraks sebanyak 51,3%. Berdasarkan uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan gejala klinis TB (p≥0,05) dan gambaran hasil foto X-ray toraks (p≥0,05).

In Indonesia, pulmonary tuberculosis (TB) is one of a national priority in disease control programs because it affects the quality of life, economy, and mortality. Nutritional status is an important determinant of clinical manifestation in pulmonary TB patients. TB can lead to malnutrition, while malnutrition may predispose TB. This study aims to determine prevalence of under nutrition on post pulmonary TB and its associated with clinical symptoms and chest X-ray findings. This study is an observational analytic using cross sectional design. This study was held in June 2011 in South Central Timor District, East Nusa Tenggara. The selection of the samples is done by total sampling by involving 78 subjects. The data was collected by interviewing all subjects with questionnaire, the body weight measurement, height measurement, and chest X-ray examination.
The result of this study shows that the most subjects aged 26-65 years (74,4%) and males (52,6%). Prevalence of under nutrition on post TB is 52,3% and the mean BMI is 18,29±2,43 kg/m2. Most of subjects still have one of clinical symptoms of TB (67,9%) and infiltrate on chest X-ray finding (51,3%). It was concluded that there are no association between nutritional status with clinical symptoms (p≥0,05) and chest X-rays findings (p≥0,05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maina Setiani
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Lesi tuberkulosis menggambarkan proses yang terjadi di paru dan dapat dideteksi oleh pemeriksaan radiologi toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran radiologi toraks pasien pascatuberkulosis dan faktor-faktor yang berhubungan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan desain cross sectional. Data didapatkan dengan melakukan wawancara berdasarkan kuesioner dan pemeriksaan radiologi toraks pada 61 subjek di Nusa Tenggara Timur. Subjek sebagian besar berusia dibawah 50 tahun (65,5%), berjenis kelamin laki-laki (50,8%), memiliki keluhan batuk (63,9%), sesak napas (59%) dan nyeri dada (8,2%). Gambaran radiologi toraks yang ditemukan adalah lesi aktif TB (45,9%), lesi bekas TB (42,6%) dan normal (11,5%). Lesi tuberkulosis yang ditemukan adalah fibrosis (72,1%), infiltrat (45,9%), ektasis (45,9%), kavitas (3,3%), kalsifikasi (24,6%), penebalan pleura (13,1%) dan luluh paru (3,3%). Pengolahan data menggunakan SPSS 16 yang kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square dan kolmogorov-smirnov. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran radiologi toraks pasien pascatuberkulosis dengan usia (p = 0,985), jenis kelamin (p = 0,309), keluhan batuk (p = 0,357), sesak napas (p = 0,918) dan nyeri dada (p = 1,000).

Tuberculosis remains major health problem worldwide, including Indonesia. Tuberculosis lesions describe the process that occurs in the lung and can be detected by chest radiologic examination. This study aims to describe chest radiologic findings of post-pulmonary tuberculosis patients and associated factors in East Nusa Tenggara Province by using cross-sectional design. Data obtained by conducting interviews based on questionnaires and radiological examination in 61 subjects in East Nusa Tenggara. Most subjects are less than 50 years old (65.5%), male (50.8%), have cough (63.9%), dipsneu (59%) and chest pain symptom (8.2 %). Chest radiologic findings showed active lesion of TB (45,9%), former lesion of TB (42.6%) and normal (11.5%). Tuberculosis lesions found are fibrosis (72.1%), infiltrates (45.9%), ectasis (45.9%), cavities (3.3%), calcification (24.6 %), pleural thickening (13.1%) and destroyed lung (3.3%). Data processed using SPSS 16 and analyzed using the chi-square and kolmogorov-smirnov test. Results shows there is no relationship between chest radiologic findings of post pulmonary tuberculosis patients by age (p = 0.985), gender (p = 0.309), cough (p = 0.357), dipsneu (p = 0.918) and chest pain (p = 1.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Wijaya
"Latar belakang: Hemoglobin A1c HbA1c menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis, mulai dari gejala klinis ,derajat keparahan dan respon terhadap terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar HbA1c terhadap lama konversi dan perbaikan gejala klinis pada fase intensif pengobatan pasien TB paru kasus baru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat BBKPM Bandung pada tahun 2015.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kohort prospektif yang dilakukan pada bulan April 2015 hingga September 2015 di BBKPM Bandung. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien TB paru kasus baru berusia ge; 15 tahun dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien TB paru dengan diabetes mellitus dan kehamilan.
Hasil Penelitian: Jumlah subjek yang didiagnosis sebagai kasus baru TB paru bakteriologis dan klinis, kasus baruadalah 123 pasien, terdiri dari 63 51,2 perempuan dan 60 48,8 laki-laki. Pasien dengan nilai HbA1c. 6.5 sebanyak 111 subjek 90,2 dan HbA1c ge; 6,5 sebanyak 12 subjek 9,8. Subjek dengan BTA positif di 69 56,1 dan BTA negatif sebanyak 54 subyek 43,9. Pada subjek TB paru bakteriologis dengan nilai HbA1c ge; 6,5 dan waktu konversi sputum BTA lebih dari. bulan adalah 54,5 sedangkan subjek dengan HbA1c. 6.5 adalah 45,5.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalens DM pada pasien TB kasus baru adalah 9,8 dan kejadian waktu konversi lebih dari. bulan pada subjek TB paru kasus baru dengan HbA1c ge; 6,5 adalah 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien TB paru kasus baru dengan HbA1c. 6,5. Nilai HbA1c tidak menunjukan hubungan yang bermaknaterhadap perubahan klinis pada pasien TB paru kasus baru setelah pengobatan fase intensif.

Background: Haemoglobin A1c (HbA1c) causes increased susceptibility to tuberculosis, as well as clinical symptoms, severity, and response to therapy. This study aims to determine the influences of HbA1c levels toward sputum conversion time and clinical symptoms in a new case pulmonary tuberculosis new cases with intensive phase of TB treatment at the Community Center for Lung Health (BBKPM) Bandung in 2015.
Method: A prospective cohort study was conducted in April 2015 until September 2015 at BBKPM Bandung. Inclusion criteria for this study is a new case of pulmonary TB patients aged ≥ 15 years and willing to participate in the study by signing a letter of approval. The exclusion criteria of this study are pulmonary TB patients with diabetes mellitus and pulmonary TB patients with pregnancy. This study used Chi-square test to find relative risk of all variables which evaluated.
Results: The number of subjects who diagnosed as new cases of pulmonary TB were 123 patients, consists of 63 female and 60 male. Patients with HbA1c levels <6.5% at 111 subjects and levels of ≥ 6.5% by 12 subjects. Subjects with smear positive in 69 (56.1%) and negative AFB as many as 54 subjects (43.9%). Duration of sputum smear conversion time for more than 2 months were 11 subjects (8.9%) while the conversion time for 2 months were 112 subjects (91.1%). Subjects with HbA1c levels ≥ 6.5% were longer obtained sputum smear conversion of more than 2 months (54,5%) compared to subjects with HbA1c levels < 6.5% (45.5%). Level of HbA1c did not show significant result in clinical changes after intensive phase treatment either patient with HbA1c ≥ 6,5% or HbA1c < 6,5%.
Conclusion: This study shows that there are significant influences of HbA1c levels towards sputum smear conversion time in patients with new cases of pulmonary TB in BBKPM Bandung, however the level of HbA1c does not show significant difference in clinical changes in patient with tuberculosis after intensive phase treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library