Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Philip Leo
Jakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional, L.I.P.I., 1975
499.221 PHI c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Orrada
Abstrak :
Fenomena hubungan internasional antar kota (sister city) telah berkembang pesat di manca negara, demikian juga di Indonesia. Hingga saat ini sebanyak 47 pemerintah kota dan 16 pemerintah propinsi di Indonesia telah melaksanakan hubungan kemitraan ini. Berbagai kebijakan serta anjuran telah dikeluarkan oleh Pemerintah agar Pemerintah Kota/Daerah dapat memanfaatkan hubungan ini untuk memacu pertumbuhan kota/daerah. Namun di sisi lain, hubungan kemitraan kota belum dikenal dan dipahami secara luas, bahkan hanya terbatas pada sebagian jajaran pemerintahan, khususnya Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Kota/Daerah, padahal hubungan kemitraan kota idealnya dilaksanakan secara sinergi antar inslansi pemerintah dan antara pemerintah dan rnasyarakat. Tesis ini berlujuan untuk membuka wawasan mengenai hubungan kemitraan kota dengan mengulas latar belakang perkembangan sister city serta berbagai manfaat yang dapat diperoleh melalui suatu program kerjasama yang konkrit dan dikelola secara baik. Fokus studi tesis ini adalah salah satu aspek manfaat kerjasama sister city di bidang pembangunan sosial perkotaan, yaitu pembangunan sumber daya manusia (tenaga kerja) di DKI Jakarta yang diperoleh melalui pemanfaatan program pelatihan bagi para tenaga kerja DKI Jakarta cli Tokyo-Jepang. Tesis ini juga meneliti model program pelatihan yang digunakan untuk program kerjasama ini serta implikasinya pada pembangunan sosial di DKI Jakarta, sehingga dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKl Jakarta dalam mengelola program sejenis dimasa datang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa program pelatihan tenaga kerja (dalam rangka kerjasama sister city Jakarta-Tokyo), telah memberi manfaat berupa peningkatan pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja di DKI Jakarta (peserta program pelatihan) dengan keluaran (output) berupa peningkatan produktivitas serta efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan, serta membawa dampak (outcome) berupa peningkatan kesejahteraan hidup peserta pelatihan, dengan indikator berupa peningkatan jabatan dan pendapatan/gaji. Dengan adanya program kerjasama ini juga telah membantu khususnya bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam menyediakanlnrenyelenggarakan program pelatihan bagi tenaga kerja, terutama terhadap kebutuhan program pelatihan tingkat internasional yaitu melalui program `pemagangan' di kotalnegara luar negeri (On the Job Training) yang memiliki keunggulan balk dalam hal teknologi maupun kualitas tenaga kerja (SDM)nya. Dalam hal ini, adanya program kerjasama ini telah memberikan "manfaat ganda" bagi DKI Jakarta, yaitu selain manfaat memperoleh pengetahuan dan penguasaan teknologi tinggi bagi tenaga kerja, juga manfaat dalam hal efisiensi biaya yang dibutuhkan bagi penyelenggraan program pelatihan sejenis (terutama karena sebagian besar biaya bagi penyelenggaraan program ini ditanggung sepenuhnya oleh Pihak Tokyo). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa melalui program pelatihan tenaga kerja dalam rangka kerjasama sister city yang dikelola secara baik, dapat memberi dampak positif dalam upaya pembangunan sosial perkotaan. Oleh sebab itu Pemerintah perlu memberi perhatian yang Iebih besar terhadap fenomena hubungan sister city di Indonesia, baik melalui piranti lunak berupa ketentuan perundangan yang dapat menciptakan suasana kondusif juga melalui bimbingan dan dorongan agar kegiatan tersebut benar-benar bermanfaat dalam upaya mendorong percepatan pembangunan kota dan daerah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.H. Amelia R.K. Permana
Abstrak :
Selain sebagai ibu kota, Jakarta merupakan pusat pemerintahan, kehidupan politik dan pusat adminisirasi negara yang berkembang menjadi pusat perdagangan dan jasa, industri, pendidikan, budaya, sosial, rekreasi dan pusat pengembangan wisata. Luas lahan yang terbatas dan tanpa sumberdaya alam yang memadai, sangat tidak mudah bagi Jakarta untuk memikul beban multi fungsi Megapolitan Jakarta memerlukan strategi perencanaan dan pembangunan yang tepat. Ketika pembangunan nasional lumbuh pesat, konsep pembangunan tata ruang Jakarta harus mempertimbangkan keseimbangan lingkungan. Rumusan persoalan sebagai berikut:
1.Dampak kebisingan yang ditimbulkan oleh pergerakan lalu lintas mempengaruhi kenyamanan/kegiatan masyarakat di permukiman.
2.Besarnya volume dan kecepatan lalu lintas mempenguruhi tingkat kebisingan yang timbul.
3.Jarak prasarana lalu lintas dengan permukiman dan hembusan angin mempengaruhi tingkat kebisingan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukenali pengaruh kebisingan akibat pergerakan lalu lintas pada kawasan perkotaan yang berkembang pesat sebagai bahan masukan bagi para penata ruang untuk perencanaan permukiman yang merupakan sasaran untuk kriteria desain. Ada tiga sasaran penelitian yang dituju, yaitu:
1. Merumuskan karakterislik lalu lintas dan tingkat kebisingan yang timbul di kawasan permukiman pendapatan rendah (PPR), pendapatan sedang (PPS) dan pendapatan tinggi (PPT).
2. Merumuskan parameter yang berpengaruh terhadap persepsi tentang dampak kebisingan.
3. Mengidenti fikasi persepsi masyarakat terhadap dampak kebisingan. Metode penelitian yang digunakan ada tiga tahap yaitu :
a. Pengumpulan data sekunder sebagai referensi awal untuk mengarahkan penelitian
b. Pengumpulan data primer ada dua yaitu :
1. Pengukuran Iangsung di lapangan meliputi pengukuran volume, jenis dan kecepatan kendaraan; kecepatan dan arah angin.
2. Survei wawancara rumah tangga.
c. Hasil pengamatan dan pengukuran ini dianalisis dengan uji statistik chi square untuk persepsi masyarakat dan uji p-value. Hubungan antara volume dan kecepatan kendaraan terhadap kebisingan memakai regresi tinier berganda. Diolah dengan menggunakan perangkat lunak SPSSfor Windows 6.0. Hasil pengamatan, pengukuran dan pengujian dapat disimpulkan sebagai berikut : Kelurahan Cilincing mewakili tipologi kawasan permukiman berpendapatan rendah (PPR), Kelurahan Koja mewakili tipologi kawasan permukiman berpendapatan sedang (PPS) dan Kelurahan Kelapa Gading Timur mewakili tipologi permukiman berpendapatan tinggi (PPT). ...... Investigation Of Traffic Noise On Recidentialihousing AreaBesides a capital city, Jakarta is also a centre of Government Indonesia, politic and administration. The functions gradually develop as a centre of trade, services, industry, education, culture, social, recreation and tourism. It is not easy for Jakarta to cover these multifunctions due to the limitation of space and without any natural resources. Therefore, Megapolitan Jakarta needs a strategy for planning and accurate development. In other words, the rapid of national development, i.e. Jakarta system development concept has to consider also the balance of environment side. The main problems encountered are:
The effect of noise cause by traffic activities disturbing the respondent pleasure on residential area
The vehicle volume and speed influence the noise level.
The distance between the noise source to the residential area and the wind speed influence the noise level. The objective of this research is to find out the influence of noise, caused by traffic activities in rapidly developing urban areas. The result becomes input for housing designers. There are three stages to reach the objective i.e.:
Formulating traffic characteristic and noise level on low-income area (PPR), middle-income area (PPS) and high-income area (PPT)
Formulating the parameters, which influence the respondent perception due to noise effect.
Indentifying the respondent perception due to noise effect. There are three stages in this research method:
a. To collect the secondary data as an early reference to direct the research
b. To collect primary data in two ways, namely; Direct measurements in the field i.e. noise measurement; vehicle volume, type and speed; wind-speed and wind direction. Household interview survey
c. These measurements will be analysed by using chi square test for public interview and p-value. The correlation between vehicle volume and speed toward noise uses double linear regression. The process which look place by SPSS for Windows 6 software. The result showed that: Kelurahan Cilincing represented the low-income area (PPR), where as Kelurahan Koja was in the middle income area (PPS) and Kelurahan Kelapa Gading Timur represented the high-income area (PPT).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Aurora
Abstrak :
ABSTRAK Kota merupakan suatu kesatuan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan buatan sebagai lingkungan kehidupan manusia. Salah satu cirinya adalah keberadaan ekosistem alami yang biasanya relatif sangat kecil. padahal kualitasnya mempengaruhi kualitas ekosistem kota secara keseluruhan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu bentuk keberadaan ekosistem alami pada suatu lingkungan buatan menjadi amat penting mengingat fungsinya secara ekologis, sosial dan estetis. Ruang Tebuka Hijau dapat mengatur temperatur kota, mengatur kandungan oksigen. mengurangi karbondioksida, menjadi perangkap bahan pencemar baik debu maupun gas, meningkatkan peresapan air, memberi bentuk visual yang menarik dan sehat untuk rekreasi, menjadi habitat bagi semua makhluk hidup dan meningkatkan keanekaragaman kehidupan di lingkungan kota. DKI Jakarta memiliki dinamika pembangunan yang diwarnai dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang pada tahun 1961 baru berjumlah 2,9 juta jiwa, pada tahun 1995 telah berjumlah 9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2005 akan berjumlah 12 juta jiwa. Perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang demikian pesat pada luas tanah terbatas (650 km2) pada akhirnya terekspresikan pada masalah penggunaan tanah dan secara Iuas pada sumberdaya alam dan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitasnya tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan tanah antara berbagai kegiatan. Persaingan penggunaan tanah yang terjadi selama ini telah menyebabkan ruang yang seharusnya dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kegiatan lain. karena Ruang Terbuka Hijau dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis. Perbandingan yang seimbang antara manusia dan lahan (man-land ratio), khususnya perbandingan antara luas bangunan dan luas tanah (building area ratio) danfatau perbandingan antara luas lantai dan luas tanah (floor area ratio) akan dapat membantu keberadaan RTH. Untuk kepentingan penelitian ini, maka dibedakan dua jenis Ruang Terbuka Hijau. Pertama adalah Ruang Terbuka Hijau Umum (Publik), yaitu Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki oleh umum, seperti taman kota yang dibangun oleh Pemerintah. Ruang Terbuka Hijau Umum ini merupakan daerah yang di dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) mempunyai peruntukan penyempurnaan hijau. Kedua adalah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan (Pribadi), yaitu daerah dalam persil bangunan pada kepemilikan pribadi yang dialokasikan untuk tanaman hijau, Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta mengenai komposisi daerah yang tidak terbangun dalam suatu persil bangunan, khususnya yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pengaturan Intensitas Bangunan khususnya Koefisien Dasar Bangunan mampu mengendalikan pemanfaatan tanah di dalam suatu persil dalam kaitannya dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam pengambilan kebijakan perencanaan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan. Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian pustaka dan penelitian lapangan di daerah studi sepanjang koridor JI. Thamrin - JI. Sudirman, batas utara dimulai dari Air Mancur sampai batas selatan Jembatan Semanggi dan di JI. Rasuna Said, batas utara dimulai dari Jembatan Latuharhary sampai batas selatan Simpang-4 J1. Gatot Subroto. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 macam. Pertama adalah yang berkaitan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan mempergunakan alat ukur tanah, yaitu untuk mendapatkan luas kawasan non-bangunan dan luas kawasan non-perkerasan dalam kawasan non-bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan. Data tiap persil tersebut, selanjutnya digitasi dan dianalisis melalui sistem Arc-Info untuk mendapatkan informasi mengenai berapa luas sesungguhnya daerah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dibandingkan dengan luas daerah non-perkerasan. Kedua, adalah melalui wawancara langsung dengan responder penelitian di lapangan dalam hal ini adalah perencanalarsitek bangunan pada persil-persil di sepanjang kawasan studi. Data Primer yang diperoleh melalui wawancara adalah : wawasan lingkungan hidup perencanalarsitek, persepsi perencanalarsitek terhadap perhitungan ekonomis lahan serta persepsi perencana/arsitek terhadap peraturan yang berkaitan dengan intensitas bangunan. Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan penelitian, maka dapat diarnbil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kota mempunyai multi fungsi, yaitu : fungsi ekologi, estetis dan sosial budaya yang dapat dijabarkan sebagai daerah resapan, sebagai peredam cemaran udara sebagai pengendali iklim mikro dan sebagai unsur keindahan dan kenyamanan hidup kota. Diharapkan Iuas Ruang Terbuka Hijau untuk DKI Jakarta dengan luas wilayah 65.000 Ha. adalah 30% dari luas kota, yaitu ± 19.500 ha. Luas Ruang Terbuka Hijau Umum pada tahun 1996 adalah seluas 12.900 ha, atau kurang lebih 20% dari luas kota. Dengan kemampuan pendanaan Pemerintah yang terbatas, maka penyediaan Ruang Terbuka Hijau kota tidak dapat digantungkan dari kemampuan pendanaan Pemerintah semata, namun perlu diupayakan peluang-peluang penciptaan Ruang Terbuka Hijau yang dapat memanfaatkan kemampuan dan peranserta masyarakat dan pihak swasta, antara lain Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan Penelitian sepanjang koridor Thamrin-Sudirman dan Rasuna Said membuktikan bahwa komposisi Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dalam daerah non-bangunan tidak mencapai 50% dari Ruang Terbuka yang tercipta. Peraturan Intensitas Bangunan, khususnya Koefisien Dasar Bangunan yang berlaku saat ini, hanyalah mengatur mengenai komposisi daerah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun, sehingga yang di atuar hanyalah komposisi ruang terbuka dan bukannya ruang terbuka hijau. Faktor-faktor utama yang menentukan keberadaan Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan, adalah : Wawasan Lingkungan Hidup pemilik persil dan perencana, perhitungan ekonomis lahan serta adanya peraturan spesifik yang mengatur komposisi Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Tanpa adanya pengaturan komposisi Ruang Terbuka Hijau secara eksplisit, maka pemilik persil dan atau perencana/arsitek tidak akan memberi "porsi" yang memadai bagi penyediaan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Untuk itu harus dicapai kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, para pakar serta masyarakat untuk menentukan komposisi yang wajar, sehingga semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Selanjutnya kesepakatan tersebut dapat dipergunakan untuk menyempurnakan peraturanperaturan yang ada. Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan keberadaan RTH di kawasan perkotaan.
ABSTRACT Evaluation Of The Ratio Of Green Open Space At Building Lots (Case Study of Thamrin - Sudirman and Rasuna Said Corridor Jakarta)A city constitutes of a unity of natural environment, socio - cultural environment and man - made environment where people live. One of its characteristics is the existence of a relatively small natural ecosystem, despite the fact that its quality affects its overall quality of the urban ecosystem. The existence of green open space as a natural ecosystem becomes highly important in terms of its ecological, social and aesthetical aspects. Green open space reduces carbonmonoxide, captures pollutants such as dust and gas, improves water absorption, provides an attractive and healthy visual shape for recreation purposes, becomes a habitat for all creatures and adds to living variety within an urban environment. The Special Capital Territory of Jakarta (DKI Jakarta) owns a development dynamism characterized by speedy population increase. The number of population in DKI Jakarta in 1961 was 2.9 million only, but in 1995 it increased to 9 million and in 2005 it is estimated to reach 12 million. Such fast population increase along with its activities on a limited space (650 km2) will eventually put a pressure on the land use and deplete the natural resources and seriously burden its environment seriously. The rising number of population and activities has led to the increasing competition of land use for many different activities. The land use competition that has been prevailing so far has caused the space designated for Open Green Space to be used to meet the needs of development for other infrastructure, as Natural Environment is considered being economically un-beneficial. There is a need to balance the ratio between man and land especially the building-area ratio and/or the floor-area ratio as a way to increase the green open space in urban area. For the purpose of this survey, an open space is categorized into two types namely Public Green Open Space which is green open space owned by the public like city gardens constructed by the Government. Such green open space are pieces of land in which within the Zoning General Plan areas have the function as greenery. Second is green open space on private building lots, namely areas within building lots owned by an private allocated for greenery. This survey is aimed at finding facts about composition of areas unbuilt within building lots, and more particular, those related to green open space within those building lots. It is also to know if the building intensity regulation is able to control its land utilization within a lot in its relation to the allocation of green open space. It is expected that this survey is able to provide some thoughts for the DKI Government in making decisions pertaining to environmentally-oriented urban zoning. For such purpose, a library research and field survey have been conducted in the study area along JI. Thamrin - JI. Sudirman corridor (Its north border began from Air Mancur up to the south border of Semanggi Clover Leave Bridge) and Jl. Rasuna Said, (its north border began from the Latuharhary bridge up to the south border of Jl. Gatot Subroto intersection). The primary data required in this survey comprise two types. First, those related to direct surveying in the field using surveying equipment to obtain the extent of the un-built area, and the un-compacted area within an un-built area which shall be further referred to as green open space on the building lots. The data of each lot was further digitized and analyzed using Arc - Info as to obtain information about the actual extent of such green open space on the building lots compared to the un-compacted area. Second, the data was also obtained through direct interviews with the survey respondents in the field, in this case planners/building architects of the lots along the study area. The primary data were obtained from the perception of the planners/ architects towards regulation linked to the building intensity. Based on the results of the discussion on the survey issues, it could be concluded as follows: Green Open Space within a city has a multi functions, namely: as water catchment area, as air pollutant absorption, as microclimate controller and as aesthetical element of the environment. The ideal extent of Green Open Space for DKI Jakarta with total size of 65,000 ha is 30% of the city size namely around 19,500 ha. The green open space size in 1996 was 12,000 ha or equivalent to 20% of the city size. Under the government's restricted budget allocation, the allocated green open space cannot depend on the government fund availability solely, but there should be alternative ways for the creation of green open space through participation of the community and private sector, among others green open space existing on building lots. The survey along the Thamrin-Sudirman corridor and Rasuna Said corridor has proved that the green open space composition at building lots within un-built areas does not even reach 50% of the open space. Regulations concerning Building Intensity, only regulates the composition between what may be built and may not be built. Thus, the regulations concern only with' the open space composition and not the green open space. Main factors that determine Green Open Space on building lots are: Environmental Awareness of the lot owners and planners, land economic calculation and specific regulations regulating composition of Natural Environment on building lots. In the absence of such explicit regulations concerning composition of Green Open Space, the lot owners/planners/architects will not give away their adequate share of the cake to be allocated for green open space on their building lots. Accordingly, an agreement must be reached as to determine the appropriate composition so that all related parties will not be harmed. Such agreement further can be used as to review the existing regulations. The need for a further study to explore new ideas and new possibilities to increase the green open space in urban area. Total of References : 43 (1970 - 1986)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safitri
Abstrak :
Setiap individu menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda. Begitu juga setiap lapisan dan golongan masyarakat menggunakan ruang kota dengan cara yang berbeda pula. Penyalahguna narkotika dan psikotropika bagian dari warga kota yang menggunakan ruang kota. Bagaimana karakteristik ruang yang mereka gunakan? Pertanyaan itu menyebabkan saya memutuskan untuk meneliti masalah ini. Agar mendapatkan karakteristik ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika di Jakarta, maka harus diketahui kognisi penyalahguna tentang ruang kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara tidak terstruktur, menggambar, dan mendeskripsikan ruang yang didapatkan dari tuturan informan. Informan kunci berasal dari pasien yang rawat inap di ruang detoksifikasi RSKO, RS Fatmawati. Kriteria informan adalah laki-laki, sudah mengonsumsi narkotika dan psikotropika lebih dari 5 tahun, berumur 16 - 36 tahun, dan dirawat lebih dari 3 hari (untuk menghilangkan ketegangan fisik dan psikis), dan mengonsumsi narkotika (heroin) dan psikotropika (sabu-sabu dan ekstasi). Dari hasil penelitian selama 1 bulan (Desember 2004) saya menemukan bahwa penyalahguna mampu mengingat kembali lokasi membeli narkotika dan psikotropika, yaitu (1) lokasi yang sama (tempat untuk membeli narkotika dari psikotropika selalu sama) (2) lokasi yang berpindah-pindah (tergantung kesepakatan antara penyalahguna dan bandar). Karakteristik lokasi yang sama berupa kawasan pemukiman golongan menengah-bawah, ada warung, tukang ojek, banyak jalan/gang, ruang umum, ruang kosong antar bangunan, dan ruang yang tersembunyi dari bangunan/mobil. Sedangkan lokasi yang berpindah-pindah terdapat ruang untuk menunggu, ada acuan (landmark), dan penyalahguna mudah mengawasi lingkungan di sekitarnya. Mereka mampu mengingat lokasi dan rute perjalanan menuju lokasi, lengkap dengan acuan, persimpangan, jalan, kawasan. Bila lokasi itu didatangi berkali-kali, ada kejadian yang memberikan kesan di lokasi itu, dan keinginan yang kuat untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika. Sedangkan lokasi yang hanya didatangi sesekali dan diantar oleh teman, mereka hanya mengingat kawasannya saja. Ruang yang digunakan untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika tergantung dari jenis zat, cara mengonsumsi, dan efek yang ditimbulkannya. Penyalahguna mengonsumsi di dalam rumah dan di luar rumah (ruang umum). Penyalahguna yang mengonsumsi di dalam rumah menggunakan ruang tertutup dan ruang terbuka. Penyalahguna menggunakan ruang untuk membeli dan mengonsumsi narkotika dan psikotropika, yang juga digunakan oleh bukan penyalahguna. Mereka menggunakan ruang umum dan menjadikan sarana dan fasilitas umum untuk tempat bertransaksi. Penyalahguna dapat memenuhi kebutuhannya untuk mengonsumsi narkotika dan psikotropika, bila mereka menjalin hubungan baik dengan bandar, keluarga, sesama penyalahguna, dan bukan penyalahguna. Jika membeli narkotika dan psikotropika untuk pertama kali, penyalahguna harus diantar oleh teman atau orang yang mengetahui keberadaan bandar. Konstribusi penelitian ini bagi pengelola kota adalah memberikan masukan dalam membuat program penangganan masalah penyalahguna narkotika dan psikotropika di ,perkotaan. Untuk perencana/perancang kota, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menata ruang kota.
Individuals look at urban spaces differently to one another and it is also (rue in the case of social stratifications and groups. Narcotic and psychotropic drugs abuse, on the other hand, arc one way the inhabitants of a city utilize the urban space. What is the characteristic of space used for such an illegal transaction? What is their cognition on such spaces? These are the main questions that leads me towards this research. My focus is on the aspect of cognition within those who either conduct illegal transaction on narcotic and psychotropic drugs or consume them while my ultimate main is to search tier the characteristic of spaces used for such illegal actions. This research employs qualitative approach using unstructured interviews with the informants to picture and describe the space in questioned. Key informants are male patients under treatment at detoxification ward of the RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat or Drug Addictive Hospital) Fatmawati. They have consumed narcotic and psychotropic drugs for at least 5 years and their ages are between 16 - 36 years old. They have been at the ward for more than 3 days to reduce their physical and emotional tension due to the consumption of narcotic (i.e.: heroin), and psychotropic, amphetamine (i.e.: sabu-sabu and ecstasy). Within 1 month of observation in December 2004, I have found out that these informants were able to recall locations they used to go for the drugs. These locations are either permanent or moveable according to the deal between them and the suppliers. The permanent locations are either housing complexes for low-income communities having many waning (kiosks) or the nearby tukang ojek (motorcycle taxis) or gang (narrow alleys), public areas, space between buildings and hidden places behind cars or buildings. The moveable ones are those that provide unseen waiting corners and a landmark where they may easily watch the surrounding. These informants were also able to recall the routes toward permanent locations along with references such as the crossroads, name of streets and areas whereas for the moveable locations they were able to remember the areas only. The places to consume are depending on the drugs, means of consuming and effects being experienced soon after taking the drugs. These may be taking place at homes or in public areas and in the case of outside consuming; they would use both of a close and open areas within physical and social terms of it. Deliberately, these informants even used common public areas for the transaction and consuming the drugs. The informants must have a good relation with the suppliers and other drugs addicts in order to get the drugs. including their families and those who are not addicted to drugs. However, they must be taken by particular person to meet the suppliers in their first acquaintance with narcotic and psychotropic drugs. This research contributes inputs to the Municipal Governments in tackling problems of illegal drugs trafficking and consuming in the respected cities. Town planners and urban designers. on the other hand, may take the result of this research as part of their consideration in conducting their professions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadika Nurani Hamid
Abstrak :
Tesis ini membahas persepsi pemilik dan pengelola bangunan di Kawasan Taman Fatahillah terhadap program revitalisasi Kota Tua Jakarta yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dari studi pustaka, observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pandangan para pemilik dan pengelola bangunan, aspek negatif revitalisasi masih lebih besar dibandingkan aspek positifnya. Oleh karena itu harus dilakukan pembenahan pada tiga bidang, yaitu manajemen pemerintahan, perencanaan revitalisasi dan pendidikan masyarakat. ......The focus of the study is the perception of building owners’ and building users’ of the Taman Fatahillah area on the Old City of Jakarta revitalization program initiated by the provincial government of Jakarta. This study use qualitative method. The data were collected by means of deep interview, observation and library research. This study concludes that based on the building owners’ and building users perspectives, the negative aspect of the revitalization is still greater than the positive aspects. To resolve that, three domains needs to be addressed: government management, revitalization planning and public education.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T26102
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rayhan Sultan Deyis
Abstrak :
Pemerintah DKI Jakarta adalah pelopor penerapan konsep smart city di Indonesia sejak tahun 2014. Smart city secara sederhana merujuk pada penggunaan teknologi digital oleh pemerintah kota untuk meningkatkan pelayanan bagi warganya. Salah satu yang diinisiasi Pemerintah DKI Jakarta adalah aplikasi smartphone bernama Jakarta Kini (JAKI). Melalui aplikasi ini Pemerintah DKI berharap warga menerima, memanfaatkan, berpartisipasi, dan turut berkontribusi dalam pembangunan kota. Agar mampu memanfaatkan teknologi untuk terlibat dalam lingkungan smart city, diasumsikan oleh berbagai kajian perkotaan tentang pentingnya “smart citizen”, alias masyarakat yang terliterasi digital. Penelitian ini mengeksplorasi pengaruh penerapan aplikasi JAKI terhadap partisipasi warga DKI Jakarta. Teori urban teknopolitik dan tangga partisipasi digunakan untuk menganalisis pengaruh di antara keduanya. Teori urban teknopolitik mengungkapkan bahwa adanya pengaruh penggunaan teknologi dalam tata kelola pemerintahan kota terhadap peningkatan partisipasi warga. Sementara, konsep tangga partisipasi menjelaskan indikator dan klasifikasi tiap tahap peningkatan partisipasi warga. Data dikumpulkan menggunakan metode kualitatif melalui studi literatur dan wawancara. Dari penelitian tersebut didapati hasil bahwa JAKI sebagai suatu inovasi teknologi dalam smart city berpengaruh terhadap tingkat partisipasi warga walaupun masih tahap partisipasi rendah. Warga yang memiliki aplikasi JAKI memiliki kesempatan untuk menggunakan fitur di JAKI dan mencapai tangga partisipasi informing & consultation. Hanya saja, capaian tangga partisipasi warga ini akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang warga. ......DKI Jakarta government has been a pioneer in implementing the smart city concept in Indonesia since 2014. Smart city, simply refers to the use of digital technology by the city government to improve services for its citizens. One of the initiatives initiated by the DKI Jakarta Government is a smartphone application called Jakarta Kini (JAKI). Through this application, DKI Government hopes that citizens will accept, use, participate, and contribute to city development. In order to be able to utilize technology and involved in the smart city environment, various urban studies have assumed the importance of "smart citizens", a.k.a digitally literate people. This study explores the impact of implementing the JAKI application on the participation of DKI Jakarta citizens. Urban technopolitics theory and participation ladder are used to analyze the influence between them. Urban technopolitics theory reveals that there is an effect of using technology in urban governance to increase citizen participation. Meanwhile, the concept of the ladder of participation explains the indicators and classification of each stage of increasing citizen participation. Data were collected using qualitative methods through literature studies and interviews. From this research it was found that JAKI as a technological innovation in smart city has an effect on the level of citizen participation even though it is still at a low level of participation. Citizens who have JAKI application have the opportunity to use features in JAKI and reach the informing & consultation levels on participation ladder. But, this citizen participation ladder levels are also influenced by the background of the citizens.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library