Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iris Rengganis
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2018
616 IRI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2018
616 IRI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
Abstrak :
Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma. Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma. PENETAPAN MASALAH Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara. METODOLOGI PENELITIAN Disain dan analisis penelitian Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma. Populasi dan sampel penelitian Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Tempat dan waktu penelitian SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004. Cara kerja Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik kasus Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan. Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma. Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang. Prevalensi asma Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban. Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi. Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu). Prevalensi mengi 12 bulan terakhir Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2. Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123). Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%. Model prediksi, skoring dan titik potong Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3). Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%. Berat asma Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47). Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250). Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004). Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma. Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada. KESIMPULAN - Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak. - Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor. - Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%. - Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma. - Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma. SARAN - Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen. - Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta. - Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah. - Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati. - Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suriani Alimuddin
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan IgE spesifik serum baru diperkenalkan di Indonesia, tetapi belum ada data uji diagnostik mengenai akurasinya dalam mendeteksi alergen tungau debu rumah dan kecoa pada pasien asma dan atau rinitis alergi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan akurasi diagnosis pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t dan Blatella germanica Bla g pada pasien asma dan atau rinitis alergi.Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang pada pasien alergi pernapasan dan merupakan bagian dari studi epidemiologi mengenai sensitisasi IgE spesifik di Divisi Alergi-Immunologi, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara September dan Desember 2016. Pengukuran sensitisasi IgE spesifik dilakukan dengan metode imunoblot Euroline , Euroimmun AG, Germany . Alergen yang diuji adalah Der p, Der f, Blo t, dan Bla g. Hasilnya dibandingkan dengan baku emas uji tusuk kulit. Uji diagnostik yang dilakukan meliputi sensitivitas, spesifisitas, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , likelihood ratio positif dan negatif LR and LR- .Hasil: Serbanyak 101 pasien dilibatkan dalam studi, 77 76,2 di antaranya adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 38,8 tahun. Berdasarkan uji tusuk kulit, sensitisasi tertinggi yang didapatkan adalah terhadap Blo t 76,2 , disusul oleh Der p 70,3 , Der f 69,3 , dan Bla g 41,6 . Sensitisasi IgE-spesifik tertinggi ditunjukkan oleh Der f 52,9 , diikuti oleh Der p 38,2 , Blo t 33,3 dan Bla g 10,8 . Alergen Der p memiliki 50,7 sentivitas, 90 spesifisitas, 92,3 PPV, 43,5 NPV, 5,1 LR dan 0,1 LR-. Der f memperlihatkan 71,4 sensitivitas, 87,1 spesifisitas, 82,6 PPV, 57,4 NPV, 5,5 LR dan 0,3 LR-. Alergen Blo t menunjukkan 41,6 sensitivitas, 91,7 spesifisitas, 94,1 PPV, 32,8 NPV, 5,0 LR , dan 0,6 LR-. Alergen Bla g menghasilkan 23,8 sensitivitas, 98,3 spesifisitas, 90,9 PPV, 64,4 NPV, 14,5 LR dan 0,8 LR-.Kesimpulan: Pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, dan Blatella germanica pada pasien asma dan atau rinitis alergi memperlihatkan sensitivitas rendah sampai sedang, tetapi spesifisitas dan PPV yang tinggi.
ABSTRACT
Background Serum specific IgE testing has recently been introduced in Indonesia, but diagnostic test has not been performed to know its performance to detect house dust mite and cockroach allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Objective The objective of this study was to obtain diagnostic accuracy of serum specific IgE testing in diagnosing allergen sensitization to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Method This was a cross sectional study among patients with respiratory allergy and was part of a larger epidemiology study on specific IgE sensitization in the Division of Allergy Immunology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between September and December 2016. Specific IgE sensitization was measured using immunoblot method Euroline , EuroImmun AG, Germany . Allergens tested were Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t , and Blatella germanica Bla g . The results was compared to the standard skin prick test . Diagnostic test were performed and include sensitivity, specificity, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , positive and negative likelihood ratio LR and LR .Results A total of 101 patients were enrolled 77 76.2 were women. Patients mean age was 38.8 years old. Based on SPT, sensitization was highest for Blo t 76.2 , followed by Der p 70.3 , Der f 69.3 , and Bla g 41.6 . Specific IgE sensitization was highest for Der f 52.9 , followed by Der p 38.2 , Blo t 33.3 and Bla g 10.8 . Der p allergen had 50.7 sentivity, 90 specificity, 92.3 PPV, 43.5 NPV, 5.1 LR and 0.1LR . Der f showed 71.4 sensitivity, 87.1 specificity, 82.6 PPV, 57.4 NPV, 5.5 LR and 0.3 LR . Blo t allergen had 41.6 sensitivity, 91.7 specificity, 94.1 PPV, 32.8 NPV, 5.0 LR , and 0.6 LR . Bla g allergen had 23.8 sensitivity, 98.3 specificity, 90.9 PPV, 64.4 NPV, 14.5 LR and 0.8 LR .Conclusion Serum specific IgE testing to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis showed only low to moderate sensitivity, but high specificity and PPV.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Priambodo
Abstrak :
ABSTRAK Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dengan luas sekitar 11 juta hektar pada tahun 2014. Serbuk sari kelapa sawit memiliki potensi alergi yang cukup besar, karena memiliki ukuran relatif kecil, berjumlah relatif banyak, dan bersifat anemofili. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter kandidat protein alergen serbuk sari kelapa sawit melalui metode SDS-PAGE dan Western Blotting, serta mengetahui aktivitas IgA, IgE, IgG, IgM, dan IFN-γ pada sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) terhadap induksi protein serbuk sari kelapa sawit yang dilakukan secara in vitro. Penelitian diawali dengan ekstraksi protein serbuk sari kelapa sawit, yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Berat molekul protein dianalisis dengan metode SDS-PAGE, serta uji kealergenikan kandidat protein alergen diuji dengan menggunakan 21 serum pasien alergi melalui metode Western Blotting. Protein serbuk sari kelapa sawit juga diinduksikan pada kultur sel PBMC. Proses pendeteksian IgA, IgE, IgG, IgM, dan IFN-γ dilakukan menggunakan metode ELISA. Berat molekul protein serbuk sari kelapa sawit diketahui berukuran 10?80 kDa. Hasil uji kealergenikan protein tersebut pada Western Blotting menunjukkan kandidat protein alergen memiliki ukuran 14 kDa, 15 kDa, 20 kDa dan 31 kDa. Aktivitas beberapa immunoglobulin dan sitokin berhasil terdeteksi. Konsentrasi IgA didapatkan sebesar 0,022 pg/ml, IgE sebesar 9,655 pg/ml, IgG sebesar 39,856 pg/ml, IgM sebesar 10,369 pg/ml, dan IFN-γ sebesar 2.617,240 pg/ml.
ABSTRACT Oil palm is a plant that widely cultivated in Indonesia, with an area of about 11 million hectares in 2014. Oil palm pollen is potential to caused allergy, because it has a small size, much in amount, and was dispersed by wind. This study aims to determine the character of the allergen protein candidate from oil palm pollen by using SDS-PAGE and Western Blotting, and also to know the activity of IgA, IgE, IgG, IgM, and IFN-γ against exposure to oil palm pollen protein performed in vitro on Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC). The study begins with the protein extraction from oil palm pollen, which is derived from several regions in Indonesia. The molecular weight of these proteins are analyzed using SDS-PAGE. Allergenic test of allergen protein candidates were tested using 21 serum of allergic patients through Western Blotting method. Oil palm pollen protein also induced in PBMC cultures. The detection of IgA, IgE, IgG, IgM, and IFN-γ were performed using ELISA. The molecular weight of oil palm pollen protein is about 10?80 kDa. Allergenic test results through Western Blotting showed the allergen protein candidates have a size of 14 kDa, 15 kDa, 20 kDa and 31 kDa. Immunoglobulin and cytokine activity successfully detected. The IgA concentrations obtained 0.022 pg/ml, IgE obtained 9.655 pg/ml, IgG obtained 39.856 pg/ml, IgM obtained 10.369 pg/ml, and IFN-γ obtained 2,617.240 pg /ml.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Ayu Witarini
Abstrak :
Latar belakang: Penyakit alergi didasari reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi mekanisme imunologi spesifik diperantarai oleh IgE. Warga kota Denpasar memiliki karakteristik spesifik, yaitu tingkat memelihara hewan berbulu anjing dan konsumsi daging babi yang tinggi. Data sensitisasi alergen pada anak di kota Denpasar belum ada. Penelitian sensitisasi alergen dapat memberikan gambaran sensitisasi spesifik untuk anak di kota Denpasar sehingga upaya pencegahan penyakit alergi dapat dilakukan dengan lebih efektif. Tujuan: Mengetahui sensitisasi alergen pada anak dengan penyakit alergi dermatitis atopi, asma, rinitis alergi yang dibuktikan melalui uji tusuk kulit di RSUP Sanglah Denpasar. Metode: Penelitian potong lintang di Poliklinik Rawat Jalan Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah, Denpasar, periode Januari 2017-Maret 2017. Anak usia 3-18 tahun dengan dermatitis atopi, asma, rinitis alergi dan orang tua setuju mengikuti penelitian akan diinklusi. Sensitisasi alergen dibuktikan melalui uji tusuk kulit terhadap alergen spesifik inhalan dan/atau ingestan, hasil positif bila diameter urtika 3 mm. Data dinyatakan sebagai proporsi, dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis penyakit alergi dan umur. Hasil: Proporsi anak dengan penyakit alergi, yaitu dermatitis atopi 30,5, asma 57,9, dan rinitis alergi 56,8. Proporsi berdasarkan multimorbiditas penyakit adalah dermatitis atopi dengan asma 8,5, dermatitis atopi dengan rinitis alergi 4,2, asma dengan rinitis alergi 24,2, dermatitis atopi dengan asma dan rinitis alergi 4,2, dermatitis atopi 13,7, asma 21, rinitis alergi 24,2. Sensitisasi pada kelompok dermatitis atopi usia 3-6 tahun tersering terhadap alergen ingestan, usia sekolah baik pada dermatitis atopi, asma, maupun rinitis alergi sensitisasi terutama terhadap alergen inhalan D. farinae, D. pteronyssinus, kecoa. Simpulan: Proporsi penyakit alergi tertinggi pada anak di kota Denpasar adalah asma dengan rinitis alergi. Sensitisasi terutama terhadap alergen inhalan pada anak usia sekolah. ...... Background: Allergic disease in children is based on hypersensitivity reactions initiated by specific immunologic mechanism mediated by IgE. Residents of Denpasar city have their own characteristics in terms of the level of having furry animals dogs and the level of consumption of pork is high. While allergen sensitization data for the children of Denpasar is still not available. Allergen sensitization research in Denpasar will give a picture of the sensitization type specifically for children in Denpasar in order for having more effective prevention programs. Objectives: To study the sensitization of allergens in children with atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis that proven through skin prick test at Sanglah Hospital Denpasar. Methods: A cross sectional study was done in the Outpatient Immunology Allergy Polyclinic, Sanglah Hospital, Denpasar in the period of January to March 2017. Children 3 18 years who are diagnosed with atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis, and the parents signed a letter of approval, will be included. Allergen sensitization proven by skin prick test against specific allergens inhalants and or ingestants, and it classified positive results when indicating wheal diameter ge 3 mm. The data is calculated as a proportion number and is grouped based on the type of allergy and age. Results: The proportion of children with allergy was atopic dermatitis 30.5, asthma 57.9, and allergic rhinitis 56.8. While the proportion based on the multimorbidity of the disease is atopic dermatitis with asthma 8.5, atopy dermatitis with allergic rhinitis 4.2, asthma with allergic rhinitis 24.2, atopy dermatitis with asthma and allergic rhinitis 4.2, atopic dermatitis 13, 7, asthma 21, and allergic rhinitis 24.2. Sensitization in the atopy dermatitis at age 3 6 years group frequently to ingestant allergen, but at school age in both atopic dermatitis, asthma, and allergic rhinitis sensitization especially to inhalants allergen D. farinae, D. pteronyssinus, and cockroaches. Conclusions: Children in Denpasar showed the highest proportion of allergies for asthma and allergic rhinitis, with the majority of allergen are inhaled at school age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widiastuti S. Manan
Abstrak :
Dhermatophagoides pteronyssinus adalah jenis tungau debu yang merupakan salah satu alergen pencetus timbulnya asma bagi orang yang rentan. Karena tungau ini habitatnya didalam debu pada rumah--rumah yang lembab, kasur kapuk, serta perabot rumah tangga lainnya. Sumber debu dengan jumlah tungau terbanyak adalah di kamar tidur terutama di kasur. Pada umumnya masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan kasur kapuk sebagai alas tidurnya.Kasur kapuk merupakan salah satu perabot kamar tidur yang paling rawan terhadap infestasi TDR, sedangkan dalam satu hari kita berada dalam kamar tidur rata-rata 6-8 jam, sehingga kemungkinan kita dapat terpajan oleh alergen TDR besar sekali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR, sebagai salah satu upaya pemberantasan TDR. Sampel debu diambil secara acak dengan menggunakan alat penyedot debu dari kasur kapuk yang masa penggunaan 2 tahun, 3tahun dan 4 tahun, selanjutnya dengan Cara flotasi debu kasur diperiksa. Hasil pemeriksaan total debu kasur 156,03 gram berasal dari, 60 kasur, didapatkan tungau debu rata-rata 147 per gram debu dan jumlah total tungau yang didapat adalah 26470 individu yang terdiri dari 5 jenis tungau yaitu: D. pteronyssinus, D. farinae, Glycipagus destructor, Suidasia medinensis , dan Ceyletus erudetus. Jumlah tungau terbanyak adalah D. pteronyssinus dan G. destructor. Kesimpulan bahwa makin lama masa penggunaan kasur kapuk makin banyak jumlah tungau yang didapat. Terdapat hubungan yang positif antara masa penggunaan kasur, masa penjemuran dan jenis-jenis-TDR.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Julfreser
Abstrak :
Latar Belakang : Skin prick test SPT merupakan baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan IgE spesifik merupakan pemeriksaan in vitro, nyaman dan tidak ada risiko anafilaksis.Tujuan: Mendapatkan akurasi pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA dalam mendiagnosis sensitisasi alergen hirup pada pasien asma dan/atau rinitis alergi.Metode: Merupakan uji diagnostik dengan desain cross sectional pada pasien asma dan rinitis alergi di poliklinik Alergi-Imunologi FKUI-RSCM. Seratus pasien diperiksa IgE spesifik serum tungau debu rumah D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , kulit anjing, kulit kucing dan kecoak dengan metode ELISA serta SPT sebagai baku emas mendiagnosis sensitisasi alergen tersebut. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga, dan rasio kemungkinan dari IgE spesifik serum dinilai untuk masing-masing alergen.Hasil: Sensitivitas IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen tungau debu rumah berkisar 48-77 , dengan sensitivitas tertinggi 77 IK 95 66-86 pada D.farinae. Spesifisitas berkisar 64-95 , dengan spesifitas tertinggi 95 IK 95 76-99 pada B.tropicalis, serta nilai RK antara 2,1-11, dengan tertinggi untuk B.tropicalis. Sensitivitas mendiagnosis sensitisasi kecoak 12 IK 95 4,5-27 , namun spesifisitas 100 IK 95 92-100 , dengan RK . Spesifisitas mendiagnosis sensitisasi kulit anjing 89 IK 95 79-95 , namun senstitivitas 3 IK 95 1,5-17 , dengan RK hanya 0,29 IK 95 0,03-2,26 . IgE spesifik serum memiliki spesifitas 88 IK 95 77-95 dalam mendiagnosis sensitisasi kulit kucing, namun sensitivitas 10 IK 95 3,5-26 dan RK 0,9 IK 95 0,3-3,1 .Kesimpuan: Pemeriksaan IgE spesifik serum metode ELISA memiliki akurasi diagnostik yang sedang dalam mendiagnosis sensitisasi terhadap tungau debu rumah dan kecoak, namun akurasi rendah untuk kulit anjing dan kucingKata Kunci: Skin prick test IgE spesifik serum, Akurasi, Alergen hirup ......Background Skin prick test SPT is the gold standard to diagnose allergen sensitization, but has some limitations. Serum specific IgE SSIgE is in vitro test, comfortable and has no anaphylaxis risk.Aim To get the accuracy of SSIgE test using ELISA method in diagnosing inhalant allergens sensitization in asthma and or allergic rhinitis patients.Method This is diagnostic study with subjects were asthma and or allergic rhinitis patients. One hundreds patients had SSIgE test for house dust mites D.pterossinus, D.farinae, B.tropicalis , dog dander, cat dander and cockroach allergens and SPT as gold standard to diagnose allergen sensitization. Sensitivity, specificity, predictive value, and likelihood ratio of SSIgE were evaluated.Result To diagnose house dust mites sensitization SSIgE has 48 77 sensitivity, with the highest is for D.farinae 77 95 CI 66 86 , while specificity is 64 95 , with the highest is for B.tropicalis 95 95 CI 76 99 and LR around 2,1 11, with the highest is for B.tropicalis. Sensitivity of SSIgE to diagnose cockroach sensitization is 12 95 CI 4.5 27 , but has high specificity 100 95 CI 92 100 , and high LR . SSIgE has high specificity 89 95 CI 79 95 in diagnosing dog dander sensitization, but low sensitivity 3 95 CI 1.5 17 and low LR 0.29 95 CI 0.03 2.26 . To diagnose cat dander sensitization SSIgE has 88 95 CI 77 95 specificity, but low sensitivity 10 95 CI 3.5 26 and low LR 0.9 95 CI 0.3 3.1 Conclusion SSIgE test using ELISA method has moderate accuracy in diagnosing house dust mites and cockroach sensitization, but low accuracy for dog and cat dander sensitization.Keywords Skin prick test, Serum specific IgE, Accuracy, Inhalant Allergens
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suzy Maria
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Atopi yang ditandai dengan sensitisasi (produksi IgE) terhadap alergen merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit alergi. Karena komposisi genetik cenderung stabil, peningkatan prevalensi penyakit alergi diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang berubah.

Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi sensitisasi terhadap alergen hirup dan munculnya manifestasi penyakit alergi pada populasi dewasa muda di Indonesia.

Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun 2019. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner berisi data demografi, kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), menjalani pemeriksaan fisik dan uji cukil kulit terhadap lima alergen hirup (kecoa, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, bulu kucing, epitel anjing). Sensitisasi ditandai dengan terdapat setidaknya satu hasil positif pada uji cukil kulit. Jika terdapat hasil positif pada dua atau lebih alergen, subyek disebut mengalami polisensitisasi. Manifestasi alergi yang dinilai berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi.

Hasil: Proporsi sensitisasi adalah 44,8% (128 dari 286 subyek), sedangkan proporsi manifestasi penyakit alergi adalah 57,7% (165 dari 258 subyek). Manifestasi penyakit alergi didapatkan pada 84 (65,6%) subyek dari subkelompok yang tersensitisasi. Sensitisasi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (OR 2,25; IK95% 1,38-3,71; p=0,001) dan subyek yang lahir secara caesar (OR 2,46; IK95% 1,22-5,06; p=0,013), sebaliknya lebih sedikit pada subyek yang berasal dari urban (OR 0,54; IK95% 0,32-0,90; p=0,019). Subyek yang tersensitisasi cenderung untuk memiliki manifestasi penyakit alergi (OR 1,79; IK95% 1,10-2,95; p=0,020). Pada subkelompok yang tersensitisasi, manifestasi penyakit alergi ditemukan lebih banyak pada subyek yang tinggal di urban (OR 2,58; IK95% 1,15-6,01; p=0,024), obese (OR 5,25; IK95% 1,35-34,92; p=0,036), dan mengalami polisensitisasi (OR 2,26; IK95% 1,01-5,10; p=0,046).

Simpulan: Sensitisasi terhadap alergen hirup dipengaruhi oleh jenis kelamin lakilaki, status urban, dan riwayat persalinan caesar. Munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi. Pada subkelompok yang tersensitisasi, munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh status urban, obesitas, dan polisensitisasi.
ABSTRACT
Background: Atopy marked by allergen sensitization (IgE production) is a risk factor for allergic diseases. Since genetic composition tends to be stable, the increase of allergic diseases prevalence is suspected due to changing environment factors.

Purpose: To identify the factors affecting sensitization to inhalant allergen and allergic diseases manifestation in Indonesian young adults.

Methods: Cross-sectional study done on Universitas Indonesia 2019 new students. Students were asked to fill in a demographic questionnaire, an International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) questionnaire, undergo physical examination and skin prick tests for five inhalant allergens (cockroach, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, cat hair, dog epithelium). Sensitization was marked by at least one positive result on the skin prick test. If there were two or more positive allergen results, subject was deemed as being polysensitized. Evaluated allergic manifestations were asthma, allergic rhinitis, dan atopic dermatitis.

Result: Sensitization was found in 44.8% (128 out of 286 subjects), while allergic diseases clinical manifestation was found in 57.7% (165 out of 258 subjects). The manifestation was found in 84 (65.6%) subjects from the sensitized subgroup. Sensitization was found more on male (OR 2.25; 95%CI 1.38-3.71; p=0.001) and subjects born by caesarean section (OR 2.46; 95%CI 1.22-5.06; p=0.013), whereas fewer on subjects from urban (OR 0.54; 95%CI 0.32-0.90; p=0.019). Sensitized subjects tended to demonstrate allergic diseases manifestation (OR 1.79; 95%CI 1.10-2.95; p=0.020). In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was found more on subjects living in urban (OR 2.58; 95%CI 1.15-6.01; p=0.024), are obese (OR 5.25; 95%CI 1.35-34.92; p=0.036), and are polysensitized (OR 2.26; 95%CI 1.01-5.10; p=0.046).

Conclusion: Sensitization to inhalant allergens was affected by male sex, urbanstatus, and caesarean section birth. Allergic diseases manifestation was affected by presence of sensitization. In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was affected by urban status, obesity, and polysensitization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Joko Susanto
Abstrak :
Latar belakang: Tungau debu rumah TDR merupakan alergen hirup yang penting pada asma alergik. Namun, penelitian diagnostik molekuler menggunakan Imunoglobulin E IgE spesifik akibat sensitisasi alergen TDR dihubungkan dengan derajat keparahan asma alergik belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar IgE spesifik serum kuantitatif akibat sensitisasi alergen Dermatophagoides D. pteronyssinus, D. farinae dan Blomia B. tropicalis pada asma alergik intermiten dan persisten. Metode: Desain penelitian potong lintang pada pasien asma alergik dewasa yang diundang untuk pemeriksaan IgE spesifik serum dan merupakan bagian dari penelitian payung di Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, RS Cipto Mangunkusumo. Derajat keparahan asma ditentukan berdasarkan kriteria Global Initiative on Asthma GINA 2015 dan dikelompokkan menjadi intermiten dan persisten. Pemeriksaan IgE spesifik serum kuantitatif menggunakan metode multiple allergosorbent test Polycheck Allergy, Biocheck GmbH, Munster, Germany . Alergen TDR yang diperiksa adalah D. pteronyssinus, D. farinae, dan B. tropicalis. Perbedaan antara dua kelompok dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Sebanyak 87 subyek dilibatkan dalam penelitian ini; 69 79,3 subyek adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 40,2 tahun. Enam puluh tiga 72,4 pasien menderita asma dan rinitis alergik. Sebanyak 58 66,7 pasien asma persisten. Gambaran sensitisasi alergen TDR adalah 62,1 D. farinae; 51,7 D. pteronyssinus dan 48,3 B.tropicalis. Median kadar IgE spesifik secara bermakna lebih tinggi pada asma persisten dibandingkan asma intermiten untuk alergen D. farinae 1,30 vs. 0,0 kU/L; p=0,024 dan B. tropicalis 0,57 vs. 0,0 kU/L; p=0,015 . Kadar IgE spesifik D. pteronyssinus lebih tinggi pada asma persisten dibandingkan intermiten 0,67 vs. 0,00 kU/L; p=0,066. Kesimpulan:Gambaran sensitisasi alergen secara berurutan didapatkan D. farinae 62,1, D. pteronyssinus 51,7 dan B. tropicalis 48,3 . Kadar IgE spesifik akibat sensitisasi D. farinae dan B. tropicalis lebih tinggi secara bermakna pada pasien asma persisten dibandingkan asma intermiten. Kadar IgE spesifik akibat sensitisasi D. pteronyssinus lebih tinggi pada pasien asma persisten dibandingkan asma intermiten, tetapi secara statistik tidak bermakna.
Introduction House dust mites HDM are an important inhalant allergen in allergic asthma. However, molecular diagnostic study using specific IgE level induced by HDM allergens associated with asthma severity has not been done in Indonesia. Objective To investigate the difference of serum quantitative specific IgE levels induced by Dermatophagoides D. pteronyssinus, D. farinae and Blomia B. tropicalis sensitization in intermittent and persistent allergic asthma. Method This was a cross sectional study on adult allergic asthma patients who were invited for serum specific IgE testing. This study was a part of a larger research within the Division of Allergy and Immunology, Cipto Mangunkusumo Hospital. Asthma severity was defined based on Global Initiative on Asthma GINA 2015 criteria and were grouped as intermittent or persistent. Quantitative specific IgE testing was done on blood serum using a multiple allergosorbent test Polycheck Allergy, Biocheck GmbH, Munster, Germany . The HDM allergens tested were D. pteronyssinus, D. farinae, and Blomia tropicalis. Difference between two groups were analyze using Mann Whitney test. Results A total of 87 subjects were enrolled in this study 69 79.3 were women. Mean patients rsquo age was 40, 2 years. Sixty three 72.4 patients had asthma and allergic rhinitis. Fifty eight 66.7 patients were classified as persistent asthma. The prevalence of sensitization was 62.1 D. farinae, 51.7 D. pteronyssinus, and 48.3 Blomia tropicalis. The median of specific IgE levels is significantly higher in persistent asthma compares to intermittent asthma induced by D. farinae median 1.30 vs. 0.0 kU L p 0.024 and B. tropicalis median 0.57 vs. 0.0 kU L p 0.015 sensitization. Level of Specific IgE D. pteronyssinus is also to be higher in persistent asthma than the level measured in intermittent asthma 0.67 vs. 0.00 kU L p 0.066. Conclusion Sensitization of HDM allergens is shown to be highest for D. farinae 62.1 , followed by D. pteronyssinus 51, 7 and Blomia tropicalis 48, 3 . Specific IgE level induced by D. farinae and Blomia tropicalis sensitization are significantly higher in patients with persistent compares to intermittent asthma, whereas specific IgE level induced by D. pteronyssinus sensitization to be higher in persistent asthma although not statistically significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library