Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Mulyanto
"Pilkada Kota Depok tahun 2015 telah memenangkan pasangan walikota dan wakil walikota yaitu Idris Abdul Shomad dan Pradi Supriatna yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera PKS, Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Dalam janji politiknya selama masa kampanye pasangan ini ingin menjadikan Kota Depok sebagai kota yang unggul, nyaman dan religius. Janji politik saat masa kampanye adalah sebuah visi misi dan agenda pasangan ini dalam mengusung rencana kerja jika terpilih saat pemilihan kepala daerah. Setelah terpilih sebagai kepala daerah, maka janji politik tersebut dimasukan ke dalam dokumen RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Pengesahan RPJMD harus melalui pembahasan di DPRD dan mendapat persetujuan dimana DPRD Kota Depok hasil Pemilu Legislatif diisi oleh 30 kursi partai politik non-pengusung walikota terpilih. Tulisan ini menjelaskan mengenai faktor penyebab dukungan partai politik non-pengusung walikota terpilih terhadap Raperda RPJMD 2016-2021 di DPRD Kota Depok tahun 2016. Teori aktor kebijakan dan kompromi serta penggunaan metode kualitatif akan menjadi pisau analisis untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab dukungan partai politik non-pengusung walikota terpilih terhadap Raperda RPJMD 2016-2021 di DPRD Kota Depok Tahun 2016. Faktor-faktor penyebab dukungan partai politik non-pengusung walikota terpilih adalah faktor konstituen, faktor kesamaan visi dan misi dalam membangun Kota Depok, faktor persentase kenaikan penerimaan pendapatan asli daerah dan kesepahaman eksekutif dan legislatif sebagai sebuah mitra. Akhirnya paripurna pengesahan menghasilkan musyawarah dengan hasil semua partai politik mendukung Raperda RPJMD 2016-2021.

Depok City mayor election of 2015 have won Idris Abdul Somad and Pradi Supriatna who were supported by PKS, Gerindra Party, and Demokrat Party. During their political campaign, Idris ndash Pradi promises to make Depok City as superior, comfortable, and religious city. These campaign promises are vision, mission, and agenda of this pairs for carrying out the work plan when elected as mayor and deputy mayor of Depok City. After elected, these campaign promises were included in the RPJMD Medium Term Regional Development Plan. RPJMD ratification must be discussed with and approved by DPRD. More than half of DPRD, 30 seats, consist of political parties which didn rsquo t support Idris ndash Pradi in election. This study seeks to explain about factors causing the support of political parties which didnt support elected mayor on Raperda RPJMD 2016 2021 in Depok City DPRD of 2016. This study uses theory of policy actors and compromises, as well as qualitative methods as analytical tools to explain factors causing the support of political parties which didnt support elected mayor on Raperda RPJMD 2016 2021 in Depok City DPRD of 2016. This study found four factors, which were constituent factors, similarity of vision and mission in developing Depok City, increase of percentage in local revenue reception, and understanding between executive and legislative as partners. Eventually, all political parties through discussion reach consensus in favor of Raperda RPJMD 2016 2021. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Astutiningrum
"Fokus penelitian ini membahas tentang dinamika interaksi para aktor kebijakan di media sosial dalam proses Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi. Peneliti menggunakan teori tentang jejaring kebijakan, media sosial, dan siklus kebijakan publik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian post positivis dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini menujukkan jika terjadi dinamika interaksi aktor kebijakan di media sosial pada tahapan proses agenda setting dan pengambilan keputuan terkait Revisi UU KPK. Pada tahapan agenda setting, para aktor kebijakan menggunakan media sosial untuk saling menyampaikan argumentasi mereka di ruang publik. Adu argumentasi di media sosial ini memiliki peran penting untuk mempengaruhi proses pembentukan opini publik pada tahapan agenda setting. Sementara itu pada tahapan pengambilan keputusan, para aktor kebijakan berusaha menyakinkan masyarakat bahwa sikap atau pandangan mereka terkait revisi UU KPK, merupakan pandangan yang benar. Sehingga dinamika interaksi aktor kebijakan di media sosial ini berperan untuk mempengaruhi aktor kebijakan pemerintah state actor untuk mengambil suatu keputusan.

The focus of this study is to describe the interaction between policy actor in social media in the process of revision of Corruption Eradiction Commission Laws at The House of Representative. The method of this research is using post positivis with type of descriptive research. The results of this study indicate that there is the dynamics of interaction between policy actors, in social media at the phases of the agenda setting and decision making process. At the agenda setting stage, policy actors use social media to share their arguments in the public sphere. This argumentation in social media has an important role to influence the process of forming public opinion on the agenda setting stage. Meanwhile, at the stage of decision making, the policy actors tried to convince the public that their views about the revision of the Corruption Eradication Commission Law are the right views. "
2018
T51328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Mardita
"Penelitian ini mengkaji pentingnya kedaulatan data Indonesia dalam konteks pengelolaan data satelit penginderaan jauh, dengan fokus pada studi terhadap aktor-aktor kebijakannya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji kondisi kedaulatan data dan acaman-ancaman jika tidak berdaulat secara data. Di era digital dan globalisasi, data memiliki nilai strategis dalam perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, pertahanan dan keamanan nasional, serta geopolitik. Ketergantungan Indonesia terhadap data satelit yang bersumber dari luar negeri menimbulkan kekhawatiran mengenai terbatasnya kendali negara atas data spasial yang berkaitan erat dengan wilayah kedaulatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan Soft Systems Methodology (SSM) untuk membuat permodelan yang dapat memberikan solusi pada level kebijakan maupun teknis terkait aktor yang terlibat dalam kebijakan kedaulatan data terkait satelit penginderaan jauh. Penggunaan metode soft system dilakukan karena untuk mencari permasalahan yang belum diketahui strukturnya. Permasalahan dalam kedaulatan data berbasis satelit penginderaan jauh ini merupakan situasi yang problematik, sehingga perlu dipetakan di mana permasalahannya, termasuk aktor-aktornya. Penelitian ini mengadopsi perspektif kedaulatan siber sebagaimana dikemukakan oleh Yeli (2017), yang membagi kedaulatan data ke dalam tiga tingkatan: infrastruktur, aplikasi, dan inti (core). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pada level infrastruktur, Indonesia masih belum berdaulat karena keterbatasan dalam kepemilikan satelit dan ketergantungan tinggi pada data dari luar negeri. Di sisi lain, pada level aplikasi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam hal pemanfaatan dan pengolahan data oleh lembaga seperti BRIN (penyedia dan pengolah data), BIG (informasi geospasial), serta instansi pengguna seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pemerintah daerah. Pada level core, Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur pengelolaan data satelit, seperti Inpres Nomor 6 Tahun 2012, UU Nomor 21 Tahun 2013, dan PP Nomor 11 Tahun 2018, yang dikoordinasikan melalui peran Bappenas dan Kementerian Keuangan sebagai perencana nasional. Selain aktor negara, temuan ini juga membahas peran aktor nonnegara dalam kedaulatan data penginderaan jauh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedaulatan data harus dimaknai sebagai kemampuan negara dalam mengelola siklus data dan memiliki kendali dalam strategis pemanfaatannya. Penelitian ini menegaskan bahwa kedaulatan data tidak dapat dimaknai secara parsial sebagai kepemilikan infrastruktur semata, tetapi harus dilihat secara menyeluruh dari aspek kelembagaan, pemanfaatan, dan kemampuan negara dalam memanfaatkan data untuk kepentingan strategik nasional.

This study examines the importance of Indonesian data sovereignty in the context of remote sensing satellite data management, with a focus on the study of its policy actors. This research also aims to examine the condition of data sovereignty in Indonesia and the threats if it does not have data sovereignty. In the digital and globalization era, data has strategic value in development planning, natural resource management, national security, and geopolitics. Indonesia's dependence on satellite data from abroad raises concerns about the limited state control over spatial data related to sovereignty. This study uses the Soft Systems Methodology (SSM) approach to create a model that can provide solutions at the policy and technical levels related to actors involved in data sovereignty policies related to satellite remote sensing. The use of the soft system method is carried out to find problems that are not yet structured. The problem in data sovereignty based on remote sensing satellites is a problematic situation, so it is necessary to map where the problem is, including the actors. This study adopts the perspective of cyber sovereignty as proposed by Yeli (2017), which divides data sovereignty into three levels: infrastructure, application, and core. The research findings show that at the infrastructure level, Indonesia is still not sovereign due to limitations in satellite ownership and high dependence on data from abroad. On the other hand, at the application level, Indonesia has shown significant progress in terms of data utilization and processing by institutions such as BRIN (data provider and processor), BIG (geospatial information), and user agencies such as the Ministry of Agriculture, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, and local governments. At the core level, Indonesia already has regulations governing satellite data management, such as Presidential Instruction Number 6 of 2012, Law Number 21 of 2013, and PP Number 11 of 2018, which are coordinated through the role of Bappenas and the Ministry of Finance as national planners. In addition to state actors, these findings also discuss the role of non-state actors in remote sensing data sovereignty. This study concludes that data sovereignty must be interpreted as the state's ability to manage the data cycle and have control over its utilization strategy. This study confirms that data sovereignty cannot be interpreted partially as ownership of infrastructure alone, but must be viewed comprehensively from the institutional aspects, utilization, and the country's ability to utilize data for national strategic interests. This finding is expected to be a reference for strengthening data preservation policies in Indonesia in the future"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Adi Perwira
"Kebijakan vaksinasi adalah tindakan penanganan pandemi Covid-19 jangka panjang yang krusial dilakukan di luar intervensi non-medis yang sifatnya lebih temporer. Namun, dalam pelaksanaannya, disparitas kecepatan vaksinasi antar negara masih sangat timpang dikarenakan perbedaan jumlah penduduk maupun ketersediaan vaksin. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami tantangan dalam melakukan vaksinasi secara cepat dan masif sehingga menginisiasi lahirnya kebijakan vaksinasi Covid-19 berbayar untuk individu. Kebijakan ini menjadi salah satu kebijakan yang berakhir dengan pembatalan hanya dalam beberapa hari karena kuatnya penolakan publik. Berangkat dari fenomena tersebut, penelitian ini berupaya untuk mengupas dua hal utama yaitu argumen/opini yang muncul dalam mendukung maupun menolak serta koalisi aktor yang terlibat menghasilkan argumen tersebut menjadi suatu diskursus. Penelitian ini menggunakan metode Discourse Network Analysis dengan mengolah 125 berita dari dua media berita online serta wawancara kepada narasumber dari pihak pemerintah dan non-pemerintah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa argumen yang mendukung paling sering menggunakan justifikasi bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan angka vaksinasi nasional serta dapat menjadi opsi vaksinasi bagi masyarakat. Di lain sisi, argumen yang menolak berpusat kepada alasan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan amanat konstitusi, tidak efektif dan adanya persoalan etis ketika dilakukan di tengah krisis pandemi. Di saat yang sama, penelitian ini juga mengungkap bahwa terdapat dua koalisi aktor yang saling bersaing dengan struktur adversarial, distribusi kekuasaan yang dominan di koalisi pendukung, jaringan aktor yang bersifat terbuka/heterogen serta memperlihatkan bahwa koalisi aktor yang terbentuk merupakan kelanjutan dari koalisi diskursus ekonomi versus kesehatan.

Vaccination policy is a crucial long-term response to the Covid-19 pandemic, apart from non-medical interventions that are more temporary. However, in practice, the disparity in vaccination rates between countries is still very unequal due to differences in population and vaccine availability. Indonesia is one of the countries experiencing challenges in vaccinating rapidly and massively, thus initiating the birth of a self-paid Covid-19 vaccination policy. This policy became one of the policies that ended in cancellation in just a few days due to strong public resistance. Departing from this phenomenon, this study seeks to explore two main things: the arguments/opinions that arise in support or against and the coalition of actors involved in producing these arguments into a discourse. This study uses the Discourse Network Analysis method by processing 125 news from two online news media and interviews with government and non-government actors. The results of this study indicate that the argument that supports this policy most often justifies that this policy can increase the national vaccination rate and be a vaccination option for society. On the other hand, the arguments against it center on the reason that this policy is contrary to the constitutional mandate. It is ineffective and has ethical issues when carried out during a pandemic. At the same time, this study also reveals two competing actor coalitions with an adversarial structure, the dominant distribution of power in the supporting coalition, an open/heterogeneous actor network. It shows that the coalition of actors formed continues the economic versus health discourse coalition."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Sarah Armadani
"Tesis ini menganalisa penyebab dan proses modernisasi alutsista pertahanan laut melalui kebijakan Minimum Essential Force (MEF) tidak mencapai target pada tahap II tahun 2015-2019. Penelitian ini menggunakan teori implementasi kebijakan oleh Grindle. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada narasumber penelitian, serta melakukan pengumpulan data sekunder berupa dokumen-dokumen terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat permasalahan yang menjadi penyebab tidak tercapainya target pemenuhan modernisasi alutsista pertahanan laut melalui kebijakan MEF tahap II tahun 2015-2019. Pertama, realisasi anggaran pertahanan. Kedua, perbedaan pandangan antara aktor-aktor kebijakan terhadap MEF. Ketiga, pengawasan dan pengendalian tidak terlaksana. Keempat, kemandirian industri pertahanan dalam negeri tidak tercapai. Dengan menggunakan teori implementasi kebijakan Grindle, penelitian ini menjelaskan bahwa keempat permasalahan yang menjadi penyebab tidak tercapainya target tidak hanya dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya, namun juga oleh komitmen (political will) aktor-aktor kebijakan. Political will yang dimaksud Grindle dijelaskan melalui variabel konteks implementasi kebijakan meliputi kepentingan aktor-aktor kebijakan, karakteristik rezim dan tingkat kepatuhan stakeholders. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak terpenuhinya setiap aspek dalam variabel konten dan variabel konteks implementasi kebijakan menjadi faktor yang menyebabkan implementasi kebijakan modernisasi alutsista TNI dalam MEF tahap II tahun 2015-2019 tidak memenuhi target yang telah ditetapkan.

This thesis analyzes the causes and process of modernizing maritime defense equipment through the Minimum Essential Force (MEF) policy which did not reach the target in phase II 2015-2019. This research uses Grindle's theory of policy implementation. Data collection techniques were carried out using in-depth interviews with research sources, as well as collecting secondary data in the form of related documents. The results of this research show that there are four problems that are the cause of not achieving the target of fulfilling the modernization of maritime defense equipment through the MEF phase II policy for 2015-2019. First, realization of the defense budget. Second, differences in views between policy actors towards MEF. Third, supervision and control does not work. Fourth, the independence of the domestic defense industry has not been achieved. By using Grindle's theory of policy implementation, this research explains that these four problems are not only influenced by limited resources, but also by the commitment (political will) of policy actors. The political will referred to by Grindle is explained through policy implementation context variables including the interests of policy actors, regime characteristics and the level of stakeholder compliance. The results of the analysis also show that the failure to fulfill every aspect in the content variables and policy implementation context variables is a factor that causes the implementation of the TNI defense equipment modernization policy in MEF phase II 2015-2019 to not meet the targets that have been set."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library