Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicky Djatnika Ustama
Abstrak :
Melihat realita yang terjadi sekarang ini dengan bergulirnya arus reformasi disertai adanya perubahan pada berbagai bidang tentunya masyarakat harus dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang bersifat revolutif telah terjadi pada sistem pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka peluang begitu besar kepada Pemerintah Daerah untuk memberdayakan masyarakat secara maksimal. Kewenangan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan yang mendukung upaya tersebut telah digariskan dalam peraturan-perundangan yang melengkapinya. Sehubungan dengan hal di atas, salah satu aspek yang tidak kalah penting adalah pembangunan sosial pada daerah masing-masing. Hal ini dirasakan penting karena telah terjadi sebuah kondisi yang tidak baik bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan yang sedang berlangsung. Permasalahan ini terjadi karena pola kebijakan pembangunan yang salah pada Pemerintah terdahulu. Pada pembangunan yang serba terpusat telah membawa masyarakat kehilangan sikap kemandiriannya, sense of organizing mereka hilang serta masyarakat menjadi atomistic yaitu merasa tidak mempunyai dukungan organisasi. Semua proyek pembangunan sampai tingkat RT/RW pun berpusat pada pemerintah. Hal mana membuat rakyat sangat tergantung kepada pemerintah. UU 22 yang telah memberikan kewenangan besar kepada Pemerintah Daerah menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat harus diberdayakan secara lebih serius terutama pada tatanan terbawah yang seringkali tidak terjangkau oleh kebijakan Pemerintah. DPRD yang ada dirasakan tidak cukup dapat merambah kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara baik dengan segala keterbatasan yang ada. Salah satu upaya pencarian solusi untuk kondisi masyarakat di atas adalah harus ada sebuah kebijakan yang secara sistematis dapat mengembalikan kemandirian masyarakat sehingga lebih jauh akan tercipta daya partisipasi masyarakat secara lebih aktif dalam pembangunan. Belajar dari kenyataan adanya dua konsep kongkrit tentang keterlibatan secara langsung masyarakat pada lapisan terbawah yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) yang ada di desa-desa Kabupaten Bogor serta Dewan Kelurahan (DK) yang terdapat pada Kelurahan-kelurahan DKI Jakarta, penulis berupaya untuk mengadopsi konsep tersebut pada masyarakat kelurahan yang ada di Kabupaten Bogor. BPD dan DK terbentuk karena amanat UU. BPD terbentuk berdasarkan UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta DK terbentuk berdasarkan UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta. Yang ironi dari UU 22 tahun 1999 adalah bahwa bagi daerah yang kondisi desanya telah berubah karateristiknya menjadi perkotaan maka harus dibentuk menjadi kelurahan, pembentukan atau perubahan status dari Desa menjadi Kelurahan dengan serta merta berimplikasi kepada tergusurnya peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan dan pembangunan. Hal ini sangat jelas karena kelurahan yang dibentuk tidak dilengkapi dengan lembaga sejenis BPD yang dapat menampung atau menjadi wadah partisipasi masyarakat. Dari kenyataan ini maka tidak mengherankan jika di beberapa daerah (Kab. Bogor khususnya) banyak warga masyarakat desa yang keberatan bahkan menolak perubahan status tersebut. Alasan yang paling sering mengemuka adalah karena mereka tidak lagi berhak secara penuh untuk mengelola wilayah tempat mereka bermukim. Hal ini lebih jauh menjadi problem tersendiri yang harus dicarikan solusinya. Badan Perwakilan Kelurahan yang dapat saja dikatakan hybrid atau gabungan dari konsep BPD dan DK, penulis kedepankan untuk menjawab persoalan tersebut dengan tentunya terlebih dahulu menggali berbagai informasi dari masyarakat setempat dalam hal ini elit masyarakat Kabupaten Bogor.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9512
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK
Perubahan Struktur Organisasi merupakan hal yang biasa terjadi pada setiap organisasi. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mendukung tercapainya visi organisasi.

Badan Kepegawaian Negara telah mengaiami beberapa kali perubahan; yang terakhir sebagai akibat diundangkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang tersebut mengatur pemberian kewenangan administrasi kepegawaian kepada daerah yang sebelumnya menjadi kewenangan Badan Kepegawaian Negara. Pemberian kewenangan ini membawa konsekwensi berkurangnya kewenangan Badan Kepegawaian Negara.

Sejalan dengan itu Badan Kepegawaian Negara telah merubah fungsinya dari fungsi administratif menjadi fungsi Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (Affandi, 1998). Dengan berubahnya fungsi tersebut mengakibatkan perubahan pada Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Negara. Walaupun perubahan struktur Organisasi disebabkan karena beberapa faktor, dalam penelitian ini faktor-faktor yang diteliti dibatasi pada berbagai variabel yang mempengaruhi Struktur Organisasi, variabel tersebut meneakup; strategi, besaran organisasi (size), wewenang, teknologi dan teknologi informasi.

Dan hasil penelitian diperoleh gambaran, bahwa pada awalnya variabelvariabel tersebut cukup signifikan berpengaruh terhadap struktur organisasi, namun dalam perkembangannya struktur tersebut sudah kurang efektif lagi, karena perubahannya lebih banyak berdasarkan pertimbangan politis dari pada efektifitas organisasi.

Oleh karena itu disarankan untuk mengkaji ulang beberapa kebijakan pembentukan Kantor Wilayah Badan Kepegawaian Negara atau peninjauan kembali struktur Badan Kepegawaian Negara yang lebih menitikberatkan pada jabatan fungsional dari pada jabatan struktural.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Dwidharto
Abstrak :
Wawasan Nusantara pada awalnya merupakan konsep hukum laut tentang wilayah perairan negara Republik Indonesia yang pada intinya menetapkan keutuhan wilayah territorial sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pulau-pulau dan perairan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perkembangan politik ketatanegaraan konsep Wawasan Nusantara berkembang secara luas sebagai nilai doktrin dan dijadikan Wawasan Nasional sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam berbagai aspek penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna memenuhi kesejahteraan dan keamanannya. Secara Yuridis dan Ketatanegaraan Wawasan Nusantara telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973 dan berlanjut pada GBHN 1998, ditegaskan bahwa Wawasan Nusantara sebagai wawasan dalam pencapaian, tujuan pembangunan nasional mencakup : perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, Wawasan Nusantara perlu diimplementasi dalam sistem pemerintahan dengan memperhatikan aspirasi dan perkembangan politik, paradigma desentralisasi, demokratisasi serta keadilan sosial yang menjadi tuntutan rakyat diberbagai bidang kehidupan, termasuk dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang desentralisasi dengan otonomi yang luas dan nyata kepada daerah. Selama kurun waktu diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah pelaksanaan Otonomi Daerah tidak berjalan seperti yang diharapkan di daerah dan lebih bersifat sentralistik daripada desentralisasi, serta membatasi demokratisasi di daerah karena kuatnya pengaruh (dominasi) pusat terhadap daerah sehingga menimbulkan ketergantungan daerah terhadap pusat dan terjadi hubungan pemerintah yang tidak kondusif terutama dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah secara proporsional dan adil. Untuk mendorong daerah lebih mampu dan mandiri sebenarnya telah diambil kebijakan dengan penetapan model percontohan otonomi daerah yang semula diharapkan mempunyai "Spin of Effects" yang dapat dikembangkan keberhasilannya sesuai dengan kondisi dan karakteristik alamiah dan sosial daerah. Namun kebijakan pemerintah ini tidak berjalan dengan baik karena tidak didukung "Political Will" dan komitmen yang kuat dan Pemerintah Pusat. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi arus balik pemerintahan sesuai era desentralisasi, maka Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota I Kabupaten harus melakukan Reformasi dibidang kelembagaan dengan melakukan Restrukturisasi, Reorganisasi dan Refungsionalisasi Pemerintahan Daerah. Dalam penelitian ini akan diteliti persoalan implementasi Wawasan Nusantara dalam pelaksanaan otonomi derah terutama mengenai pembangunan lembaga pemerintah daerah Kabupaten Banyumas pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hubungan pusat dan daerah serta penerapan Wawasan Nusantara dalam pembangunan lembaga di era Reformasi dengan pendekatan yang komprehensip atau pendekatan Ketahanan Nasional (Asta Gatra) dengan mengkaji aspek-aspek alamiah dan sosial serta lingkungan Strategi yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara dengan pejabat ditingkat pusat, provinsi dan Kabupaten Banyumas yang sangat berkompeten dengan pengambilan kebijakan dalam pembangunan lembaga, pengamatan di lapangan (observasi) dengan didukung Study Kepustakaan dan peraturan perundangan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa meskipun Wawasan Nusantara telah dijadikan Wawasan Nasional sebagai Wawasan dalam pencapaian tujuan pembangunan sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan keamanan belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kebijakan pemerintahan daerah terutama dalam pembangunan lembaga yang harus memberikan peluang, dorongan, kreativitas dan partisipasi masyarakat di Kabupaten, meskipun secara Implicit penerapan Wawasan Nusantara telah sebagian dilaksanakan dengan mengedepankan wacana kesatuan dan persatuan dalam pengambilan keputusan atau penerapan kebijakan pemerintah. Dengan analisis atau pendekatan aspek alamiah (Tri Gatra) dan aspek sosial (Panca Gatra) memperlihatkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada Kabupaten sangat strategic dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju penguatan kondisi Kabupaten Banyumas. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten merupakan Reformasi dan pemberdayaan kelembagaan (organisasi) pemerintah daerah sebagai alat dan wadah untuk menggerakkan pemerintahan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan demokratisasi dan keadilan sesuai aspirasi masyarakat daerah. Dilain pihak dengan pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata dengan pemberian kewenanganlurusan kepada Kabupaten Banyumas membawa implikasi terhadap meningkatnya beban tugas dan tanggungjawab, pembiayaan (anggaran) dalam rangka pemberian pelayanan dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin besar. Selanjutnya untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah Kabupaten diperiukan persamaan persepsi dari aparatur pemerintah pusat dan daerah dengan dilandasi komitmen dan kemauan politik yang kuat (Political Will) sekaligus, mengantisipasi dan merespon tuntutan dan dinamika pembangunan dan aspirasi rakyat yang terus berkembang. Wawasan nusantara sebagai dokrin, nilai dan pedoman dalam implementasi sistem pemerintahan dan otonomi daerah sebagai sub sistemnya hendaknya selalu diaktualisasikan sesuai dengan dinamika dan peradigma dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan karakteristik bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dengan mengakui Kebhineka Tunggal Ikaan bangsa Indonesia tidak bersifat seragam (Uniform) tetapi mengedepankan kesatuan (unity), untuk mencapai tujuan kesejallteraan dan keamanan yang pada gilirannya memperkuat ketahanan daerah, regional dan nasional dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoharman Syamsu
Abstrak :
Dalam menyongsong era globalisasi yang semakin luas dan bertanggung jawab pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia, tekad ini telah dipancangkan melalui Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Artinya baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan mesti dinilai berdasarkan prinsip-prinsip efektivitas, akuntabilitas, dan objektivitas. Pada sisi penerimaan, utamanya untuk Penerimaan Asli Daerah, ditahap perencanaan, "Target" setiap jenis penerimaan, baik berasal dari pungutan pajak ataupun retribusi lainnya harus ditentukan berdasarkan kapasitas untuk memungutnya. Kemudian pada tahap evaluasi dan pertanggungjawaban, besarnya tingkat upaya (effort) dalam mengumpulkan penerimaan tersebut mesti menjadi titik perhatian utama. Tingkat upaya pengumpulan yang tinggi ataupun rendah, selanjutnya dapat dijadikan titik tolak untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk: (i) Mempertahankan tingkat upaya yang relatif tinggi, jika ini telah dicapai; (ii) Meningkatkan tingkat upaya tersebut, jika ternyata masih rendah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Daerah (Kabupaten/Kota) memiliki hak otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diharapkan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri sejalan dengan prefrensi masyarakat daerahnya. Oleh sebab itu maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harts dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya, dengan cara menggali secara maksimal potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berada dalam kewenangannya. Sesuai dengan UU Nomor 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa Keuangan Pemerintah Daerah bersumber dari PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan yang sah Sedangkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari: (i) Hasil Pajak Daerah; (ii) Hasil Retribusi Daerah; (iii) Hasil Laba Badan Usaha Milik Daerah; (iv) Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa Pemerintah Daeah Kabupaten/Kota dapat memungut 6 jenis pajak, salah satunya adalah Pajak Reklame. Melihat ke belakang, penerima dari Pajak Reklame ini, terutama untuk daerah-daerah perkotaan, cukup signifikan, namun di pihak lain penentuan besarnya target dari pajak ini sering kali belum realistik. Target Penerimaan yang semestinya ditetapkan berdasarkan potensi dan/atau kapasitas umumnya ditentukan agak arbitrer (tidak realistis), pada hal mestinya target penerimaan dari pajak tersebut adalah sama dengan kapasitas dari pajak itu sendiri. Berangkat dan hal tersebut di atas, penelitian ini bermaksud membahas masalah penetapan target tersebut melalui pelacakan terhadap kapasitas pajak sehingga Pemerintah Daerah memiliki pedoman yang objektif dalam penentuan target, dan jika telah dilakukan demikian, setiap penyimpangan realiasai terhadap taget dapat dicarikan kebijakan untuk perbaikannya. Daerah yang diplih menjadi daerah penelitian adalah Kota Semarang dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menghitung Potensi Penerimaan, Kapasistas Pengumpulan, dan Upaya Pengumpulan Penerimaan Pajak Reklame. 2. Memaparkan Sistem dan Prosedur Administrasi pemungutan Pajak Reklame di Daerah Kota Semarang, baik pada periode Pra maupun Pasca Peraturan Daerah Nomor 1/1998. 3. Menyajikan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan upaya pengumpulan pajak Reklame di kota Semarang. Ruang lingkup penelitian adalah selama tahun 1997/1998. Pungutan Pajak Reklame di Pemerintah Kota Semarang menjadi objek penelitian. Ini tidak lain karena dan pengamatan sementara yang dilakukan, Pemerintah Kota Semarang merupakan pionir yang menggunakan cara pengenaan pajak reklame dengan Ad-valoren Tax System. Cara mana selanjutnya oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai suatu hal positif, dan oleh karenanya diinklusifkan dalam Undang-Undang Nomor 18/1998. Dan penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa; Pajak Reklame merupakan salah satu sumber keuangan Pemerintah Daerah yang cukup besar peranannya bagi pelaksanaan administrasi pemerintahan dan administrasi pembangunan bagi Pemerintah Kota Semarang. Cukup besarnya penerimaan dari pajak ini salah satunya adalah ditentukan oleh sistem pengenaan pajak itu sendiri kepada wajib pajaknya. Tarif Pajak Reklame di Kota Semarang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1998, dengan menggunakan sistem pengenaan "Ad valaren Tax", yaitu pengenaan pajak berdasarkan persentase terhadap Nilai Sewa Reklame (NSR) sebesar 20%. Nilai Sewa Reklame didapatkan dengan menjumlahkan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) dan Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJDPR). Penggunaan sistem seperti ini merupakan yang pertama pada Pemerintah-pemerintah Daerah di Indonesia. Karena secara prinsip sistem ini cukup baik, maka diharapkan digunakan pula oleh Pemerintah-pemerintah Daerah lain di kemudian hari. Oleh karena itulah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 diinklusifkan di dalamnya. NSPR ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek yaitu : (i) Lokasi atau Wilayah Strategis dan Kelas Jalan pemasangan Reklame; (ii) Jumlah Sudut Pandang untuk melihat Reklame; dan (iii) Luas Reklame itu sendiri. Selanjutnya keseluruhan variabel tersebut diberi bobot dan nilai. Nilai total dari satu reklame dikalikan dengan Nilai Titik Simpul (NTS) yang merupakan patokan untuk penentuan harga NSPR. diformulasikan dalam model adalah sebagai berikut : NTS = (wi.NL + w2.NK.T + w3.NSP + w4.NLR) dimana : NTS = Nilai Titik Simpul NL = Nilai Lokasi NKJ = Nilai Kelas Jalan NSP = Nilai Sudut Pandang NLR = Mai Luas Reklame wi = Bobot untuk Lokasi w2 = Bobot untuk Kelas Jalan w3 = Bobot untuk Sudut Pandang w4 = Bobot untuk Luas Reklame Harga Titik Simpul (HTS) ditentukan dengan dua cara. Pertama didasarkan kepada mekanisme pasar, yang dilaksanakan dengan cara lelang terbuka, dan kedua melalui pendekatan kepakaran, yang oleh Pemda Kota Semarang disebut Harga Jabatan. Selanjutnya ditentukan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR), yaitu dengan mengalikan Nilai Titik Simpul dengan Harga Titik Simpul, yang diformulasikan sebagai berikut : NSPR = NTS x HTS Dimana : NTS = Nilai Tittik Simpul dan HTS = Harga Titik Simpul NJOPR Ditentukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yaitu : (i) Biaya Pembuatan Reklame; (ii) Biaya Pemasangan Reklame; (iii) Biaya Pemeliharaan dan Operasional Reklame selama terpasang, dan (iv) Biaya Pembongkaran Reklame. Secara sederhana dapat dirumuskan Sebagai berikut NJOPR = eBB + eBP + eBM + eBR Dimana: NJOPR = Nilai Jual Objek Pajak Reklame eBB eBP eBM eBR Estimasi Biaya Pembuatan - Estimasi Biaya Pemasangan - Estimasi Biaya Pemeliharaan - Estimasi Biaya Pembongkaran Untuk semua titik pemasangan reklame ditentukan oleh satu tim yang personalianya berasal dari dinas dan instansi terkait. Diantaranya yaitu: Dinas Pendapatan Daerah sendiri, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, dan Satuan Polisi Pamong Praja. Tim menentukan semua kriteria untuk pemasangan reklame, misalnya luas, tinggi, jenis reklame dan lain-lain dari setiap titik yang sudah ditentukan, untuk kemudian disusun dalam satu tabel dan ditetapkan Melalui Surat Keputusan Walikota. Dengan Mekanisme yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang ini Potensi Penerimaan Pajak Reklame tahun anggaran 1997/1998 mencapai Rp 245.964.107,53 dengan jumalah titik pemasangan yang terjual'sebanyak 317 buah. Lebih dari 750 titik pemasangan reklame belum dipasangi reklame atau kurang diminati oleh konsumen. Kapasitas Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang pada tahun anggaran tersebut adalah sebesar Rp 900.132.560,- sementara pada tahun tersebut realisasi penerimaan Pajak reklame sudah mencapai Rp 1.746,386.000,- . Hal ini menunjukan bahwa tingkat Upaya Pemungutan Pajak Reklame Pemerintah Daerah Kota Semarang secara relatif sudah berada di atas 100 %, terbukti sudah mencapai 194,01%. Namun jika dibandingkan dengan besarnya potensi yang dimiliki Realisasi ini masih di bawah 10%. Tarif efektif yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah di atas dan rata-rata daerah lainnya yaitu sebesar Rp 5.509.100,- untuk setiap reklame terpasang, sementar tarif efektif rata-rata 2 daerah Kota lainnya (Surakarta dan Tegal) di Propinsi rawa Tengah =sing-miming bare sebesar Rp 928.880,- dan Rp 351.680,- untuk setiap reklame terpasang di kota tersebut. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah; Berkaitan dengan prosedur dan sistem pengenaan Pajak Reklame di Kota Semarang dengan basis yang hampir sama dengan kota-kota lain di propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lain di luar jawa tangah, jika diperbandingkan memberikan hasil yang lebih tinggi, maka akan lebih baik jika sistem pengenaan "Ad-valoren Tax" ini disosialisasikan pada Pemerintah Daerah lain di Indonesia, terutama daera-daerah Kota. Untuk Pemerintah Daerah Kota Semarang yang sudah menerapkan sistem "Advaloren Tax" ini rekomendasi adalah sebagai berikut: 1. Untuk sistem penetuan harga titik simpul yang selama ini dilakukan dengan mekanisme pasar (melalui pelaksanaan lelang terbuka) danlatau dengan pendekatan kepakaran (barga jabatan) akan lebih mudah jika harga titik simpul ini diambil dari harga jual tanah tertinggi pada kawasan/lokasi yang bersangkutan. 2. Untuk meningkatkan potensi penerimaan Pajak Reklame, Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melakukan lelang terbuka terhadap titik-titik pemasangan reklame yang belum terjual dan atau titik pemasangan reklame yang sudah habis masa kontraknya. 3. Pelaksanaan lelang untuk titik-titik pemasangan reklame seperti yang penulis ungkapkan pada poin 2 dilaksanakan harus lebih dari 1 kali dalam setahun, umpamanya setiap semester atau setiap triwulan. 4. Untuk meningkatkan kapasitas penerimaan pajak reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang harus segera melengkapi sarana dan prasarana pemungutan pajak ini, terutama seperti kendaraan operasional roda 4 (empat) atau roda 2 (dua) serta perangkat keras dan lunak lainnya. 5. Walaupun secara relatif upaya pemungutan Pajak Reklame oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sudah lebih tinggi dari Pemerintah Daerah Kota lainnya di Propinsi Jawa Tengah dan beberapa kota lainnya yang dijadikan sebagai pembanding, namun harus tetap mensosialisasikan sistem pengenaan ini terutama kepada lingkungan internal Pemerintah Daerah dan kepada masyarakat umum khususnya yang menjadi objek dan/atau subjek pajak reklame ini. 6. Untuk lebih meningkatkan upaya pemungutan pajak Reklame di kota Semarang ini harus melakukan penelitian dan penelaahan lebih lanjut.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrahim Wiyoto
Abstrak :
Dengan diberlakukannya U.U No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah beserta beberapa peraturan pelaksanaannya pada 1 Januari 2001, salah satunya P.P No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Berakibat banyak perubahan dilingkungan Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota, terutama struktur organisasi dilingkungan pemerintah daerah tersebut. Hal ini berkosekuensi pada perubahan jabatan-jabatan eselonnya. Perubahan yang terjadi misalnya di Propinsi Jawa Barat dan atau Kota Bandung adalah banyak kekurangan jabatan eselon 3 dan jabatan eselon 4. Dalam rangka pengisian kekurangan jabatan eselon tersebut, pemerintah Propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota mengirimkan para pegawainya, yang memenuhi persyaratan-persyaratan untuk mengikuti diktat Adumia dan atau diktat Spama di salah satu Lembaga diktat diantaranya diktat Wilayah II Departemen Dalam Negeri - Bandung. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptip, dimana untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar dimulai pada awal pelaksanaan diklat T.A 1999 std 2001 yang diikuti 4 angkatan diktat Adumla dan 8 angkatan diktat Spama, dilaksanakan suatu test yang disebut Pretest dengan hasil nilai rata-ratanya 51,52 untuk peserta diktat Adumia dan 48,76 untuk peserta diktat Spama sedangkan pada akhir pelaksanaan diktat para peserta memiliki nilai akhir dengan hasil nilai rata-ratanya 74,77 untuk diktat Adumia dan 74,90 untuk diktat Spama. Sehingga diperoleh peningkatan prestasi belajar, didapat dari selisih antara nilai akhir dengan nilai pretest dengan hasil 23,25 (45,15 %) untuk diklat Adumia dan 26,14 (53,61 %) untuk diktat Spama. Sedangkan untuk memperoleh retevansi diktat di dapat dan ketika penelitian ini dilaksanakan, sebanyak 26 orang (78,79 %) bagi alumnus diktat Adumia dan 60 orang (92,31 %) bagi alumnus diktat Spama sudah menduduki jabatan eselon baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan Relevansi diktat Adumia maupun Spama belum sesuai dengan tujuan masing-masing diktat yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan diktat Adumia dan diklat Spama. Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara usia/umur responden dengan nilai akhir digunakan Korelasi Product Moment Didapatkan hubungan yang kuat atau dengan nilai koefisien korelasi 0,6238 antara usia/umur responden dengan nilai akhir responden diktat Adumia dan hubungan yang kuat dengan nilai koefisien korelasi 0,7344 bagi responden diktat Spama. Dari kuisioner yang diisi mengenai Ketahanan Nasional diperoleh nilai yang cukup, baik yang diisi oleh responden diktat Adumia maupun responden diktat Spama. Hal ini berarti diktat Adumia maupun dildat Spama tidak memberi pengaruh nyata terhadap Ketahanan Nasional.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T9866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basnida Efrizal
Abstrak :
Penyeragaman bentuk Pemerintahan Desa seperti yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 merupakan awal terciptanya hukum nasional di bidang Pemerintahan Desa. Di Sumatera Barat, lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut telah menyebabkan perubahan yang mendasar bagi penyelenggaran Pemerintahan Nagari, terutama karena ditetapkannya Jorong (wilayah administratif dari Pemerintahan Nagari) menjadi Desa. Dua puluh tahun kemudian, sejalan dengan gencarnya tuntutan reformasi dan demokratisisasi di berbagai bidang, Pemerintah mengganti UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 ini membuka pintu seluas-luasnya bagi refomasi bentuk Pemerintahan Desa. Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat dengan judul "Dari Sistem Pemerintahan Desa Kembali Ke Sistem Pemerintahan Nagari" (Studi di Desa Kampung Baru dan Desa Situjuh Ladang Laweh Kabupaten Lima Puluh Kota). Rumusan masalah dari penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang memotivasi masyarakat untuk kembali ke sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota. Meskipun perubahan sistem Pemerintahan Desa kembali menjadi Pemerintahan Nagari merupakan perubahan organisasi formal yang menjadi objek kajian dalam administrasi negara, namun dalam tesis ini perubahan Desa kembali menjadi Nagari akan dilihat sebagai proses sosiologis yaitu proses perubahan lembaga sosial baik pada tingkat pranata sosial yaitu perangkat kaidah-kaidah status dan peran dan pads tingkat organisasi yaitu kelompok individu yang terlibat dalam dalam aktivitas lembaga Pemerintahan Desa dan Nagari. Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Kembali Menjadi Sistem Pemerintahan Nagari akan dilihat dalam keutuhan sistem sosial melalui penelusuran gejala-gejala empirik yang dianalisa dan dijelaskan dalam kaitan dengan berbagai kegiatan dan fenomena proses pembangunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuaiitatif. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak digunakan model serta uji statistik angka-angka dan laporan statistik digunakan dalam rangka memperjelas masalah atau gejala yang diteliti. Penelitian ini hanya akan difokuskan pada tiga faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi motivasi untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari, yaitu : 1) terjadinya krisis kepemimpinan di tingkat Desa dan Nagari, 2) terjadinya disintegrasi sosial masyarakat Nagari dan 3) terlantarnya harus kekayaan Nagari. Krisis Kepemimpinan adalah merosot atau berkurangnya kewibawan serta kurangnya keleluasaan untuk berinisiatif dari Pemerintah Desa dan Kerapatan Adat Nagari dalam menjalankan tugas dan fungsinya dibandingkan dengan Pemerintah Nagari. Disintegrasi Sosial adalah suatu keadaan dimana hubungan timbal balik antar sesama warga masyarakat Nagari tidak berlangsung dengan balk yang terlihat dari semakin melemahnya semangat kelompok kekerabatan dalam masyarakat Nagari. Terlantarnya Harta Kekayaan Nagari adalah suatu keadaan dimana Marta kekayaan Nagari tidak terkelola dengan baik sehingga tidak dapat memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat Nagari. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dalam menata pemerintahan terendah untuk menyikapi aspirasi masyarakat. Tesis ini berkesimpulan bahwa sepanjang sejarah Minangkabau, belum ada ideologi di tingkat supra Nagari yang secara radikal menghapus sistem otoritas tradisional Minangkabau. Melihat sejarah perkembangan Pemerintahan Nagari sampai dengart berlakunya UU Nomor 22 Tahuh 1999, maka bentuk pemerintahan terendah di Kabupaten Lima Puluh Kota idealnya adalah kembali ke sistem Pemerintahan Nagari, karena sistem itu berakar dari kekuatan dasar-dasar sosiologis, ekonomis dan politis.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Ferdian
Abstrak :
Pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi pada kemandirian Pemerintah Daerah untuk bisa mengupayakan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mampu mengajak masyarakat lokal menggali dan mengembangkan potensi ekonomi yang mandiri, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya Pengembangan potensi ekonomi masyarakat lokal yang mandiri, tidak terlepas dari kondisi perkembangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat lokal, yang mana kegiatan usaha kecil dan menengah mendominasi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Tesis ini meneliti tentang suatu dimensi yang lebih khusus mengenai pengembangan usaha kecil di daerah melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER), dengan memberikan kredit lunak kepada kegiatan usaha milik masyarakat yang dikategorikan pada usaha masyarakat menengah ke bawah. Implementasi program tersebut memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif sebagai perwujudan proses pemberdayaan masyarakat (Community Empowernment). Penelitian ini dilakukan di Kota Sabang, mengingat sebagian besar masyarakat Kota Sabang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha indistri rumah tangga.Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) ini diharapkan dapat mengembangkan ekonomi masyarakat di Kota Sabang yang berpotensi dengan cara meningkatkan nilai tambah produksi melalui pembentukan dan pendayagunaan kelembagaan, mobilisasi sumber daya, serta jaringan kerja pengembangan usaha menengah ke bawah sesuai kompetensi ekonomi lokal. Dengan adanya program ini pendapatan dan volume produksi usaha kecil akan meningkat dan pada akhirnya akan mampu menciptakan lapangan kerja produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggambarkan proses pemberian kredit lunak dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sebagai upaya peningkatan usaha kecil masyarakat di Kota Sabang dan sejauhmana keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Dalam penelitian ini, penulis memilih informan dengan menggunakan teknik Snowball Sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam {in-depth interview) secara semi struktur dan pengamatan langsung terhadap keterlibatan masyarakat dalam proses pemberian kredit lunak melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER). Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) tersebut, Pemerintah Kota Sabang membentuk panitia pelaksana. Dengan adanya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada panitia, panitia merumuskan enam tahapan yang akan dijalankan untuk mendapatkan kredit lunak dari pemerintah. Tahapan tersebut yaitu: tahap pertama meliputi kegiatan pengajuan dan pengagendaan proposal serta penyeleksian tahap awal; tahap kedua meliputi kegiatan pengajuan proposal kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebagai Dinas teknis, studi kelayakan jenis usaha, survey lapangan, dan merekomendasikan kembali ke panitia; tahap ketiga yaitu survey lapangan yang dilakukan oleh tim teknis dan tim gabungan; tahap keempat yaitu pengumumam penerima dana bantuan; tahap kelima yaitu pengambilan rekomendasi oleh penerima bantuan; dan tahap terakhir yaitu pencairan dana yang dilakukan di PT. Bank BPD Kota Sabang. Tahapan tersebut dirumuskan guna tertib administrasi serta mengantisipasi timbulnya kecurangan dari berbagai pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program PER melalui pemberian kredit lunak kepada masyarakat Kota Sabang telah berjalan seperti yang diharapkan pemerintah setempat. Namun program itu masih terkesan hanya proyek pemberian kredit dana dengan bunga ringan karena sangat sedikit dari proses itu yang menggunakan konsep pemberdayaan. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha kecil masyarakat ditekankan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-reliant communities). Konsep pemberdayaan hanya tercermin pada pembelajaran bagi masyarakat tentang cara membuat proposal permohonan bantuan dana. Pemberdayaan masyarakat belum menyentuh keseluruhan aspek dalam tahapan pemberian kredit lunak kepada pengusaha kecil. Padahal suatu program yang mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan. Pertama, agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, Kedua, sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat melalui pengalaman dengan merancang, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Program ini adalah program pemberdayaan ekonomi masyarakat bukan proyek pemberian dana kredit dengan bunga ringan. Perlu adanya kerjasama yang lebih intensif antara aparat pemerintah Kota Sabang dengan masyarakatnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan. Sehingga terjalin suatu komunikasi aktif stakeholders dengan pemerintah menuju pengembangan masyarakat madani. Masyarakat yang berkembang akan membentuk suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat itu sendiri.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library