Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soeharini Toelle
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1978
S2069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Bunga Parmawati
Abstrak :
Gangguan pendengaran pada anak tuna rungu yang terjadi sebelum masa perkembangan bahasa (prelingual) dan tergolong parah (profound) menimbulkan masalah dalam proses akademis dan komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, intervensi untuk meningkatkan kosakata anak tuna rungu sebagai dasar perkembangan bahasa penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efektivitas pendekatan modifikasi perilaku dengan teknik fading dan token economy untuk meningkatkan kosakata siswa tuna rungu prelingual profound. Program intervensi diadaptasi dari Morris (1985) untuk mengajarkan nama-nama obyek dan kegiatan. Teknik fading dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pemberian stimulus berupa gambar dan prompt tulisan, lalu gambar dan prompt sebagian tulisan, kemudian gambar tanpa prompt tulisan. Setiap kali berhasil menulis dengan tepat, subyek diberikan token yang nantinya dapat ditukarkan dengan reinforcer. Penelitian dilakukan terhadap seorang anak tuna rungu prelingual profound, laki-laki, berusia 13 tahun, duduk di kelas 5 SD inklusi, memiliki kecerdasan non-verbal rata-rata, dan kosakata yang sangat terbatas. Dengan desain penelitian single-subject tipe ABA single-factor, peningkatan kosakata dilihat dari perbandingan antara hasil tes sebelum dan setelah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan modifikasi perilaku dengan teknik fading dan token economy efektif untuk meningkatkan kosakata siswa tuna rungu prelingual profound. Subyek mampu memahami serta memproduksi secara tertulis sebesar 87,5% dari delapan nama obyek dan 100% dari delapan nama kegiatan yang diberikan dalam intervensi. ...... A profound hearing impairment that happened before the development of language causes some problems within the academic process and daily communication. Therefore, an intervention to increase the deaf students vocabulary as the foundation of a language development is important. This research was conducted to examine the effectiveness of a behavior modification approach with fading and token economy techniques to increase the vocabulary of a student with prelingual profound deafness. The intervention program was adapted from Morris (1985) to teach names of objects and activities. In the program, the subject was given three steps of fading, starting with a stimuli and a prompt in a form of a picture and its written name. Subsequently, the prompt was faded into only a certain part until it was entirely eliminated. Everytime the subject succeeded in writing the correct name, he was given a token which could be exchanged with a reinforcer. Research was conducted on a male prelingual profound deaf student studying at a primary school with an inclusion program who has an average level of non verbal intelligence and lack of vocabulary. Using a single subject-ABA-single factor research design, the increase in vocabulary was determined by comparing the test results before and after the intervention. Results indicated that a behavior modification approach with fading and token economy techniques is effective in order to increase the vocabulary of a student with prelingual profound deafness. Through writing, the subject was able to understand and produce 87,5% of the eight objects' names and 100% of the eight activities' names given during the intervention program.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T31756
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yangki Soeparno
Abstrak :
Pemerolehan bahasa yang sempurna didukung oleh dua indra yang vital, yaitu pendengaran dan penglihatan. Bila salah satu tidak dapat berfungsi dengan baik dalam hal ini pendengaran, maka proses pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan lancar. Usaha yang lebih intensif harus dilakukan. Bila anak-anak normal 'memperoleh' bahasa maka anak-anak tunarungu 'belajar' berbahasa. Kepada yang disebut terakhir ini harus disadarkan bahwa mereka hidup di alam bunyi, dan harus dilatih agar sisa pendengaran mereka dapat berfungsi maksimal. Untuk melatih dan 'belajar' berbahasa inilah ada sekolah Luar Biasa bagian B-Santi Rama-. Di Sekolah Luar Biasa Santi Rama inilah penulis mengadakan pengamatan untuk membuktikan bahwa proses pemerolehan bahasa anak-anak tunarungu tidak berjalan seperti anak_anak normal; singkatnya, terjadi penyimpangan. Anak-anak tunarungu yang penulis amati selama mengadakan penulisan skripsi tampak berusaha sungguh-sungguh, walaupun demikian, tanda-tanda khas seperti yang tertulis pada bab II dan IV sulit diatasi.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desvira Salsabila Putri
Abstrak :
Penyandang disabilitas sering kali dianggap sebagai kaum yang tidak memiliki kemampuan untuk bisa hidup layaknya non-difabel, mereka juga kerap dianggap tidak bisa bersosialisasi dengan lingkungan luas karena kekurangan yang mereka miliki. Film La Famille Bélier menunjukkan bahwa penyandang tuna rungu dapat bersosialisasi dan menjalani aktivitas selayaknya kaum normal, namun adanya unsur ketergantungan kaum tuna rungu terhadap kaum normal dalam film ini membuat seolah-olah mereka tak berdaya terutama dalam hal komunikasi. Artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana kaum disabilitas direpresentasikan dalam film, dengan metode penelitian kualitatif berdasarkan teori kajian film Boggs dan Petrie (2008), analisis semiotika Roland Barthes, dan teori representasi dari Stuart Hall (1997). Penelitian menemukan bahwa tokoh penyandang tuna rungu pada film ini tetap direpresentasikan sebagai kaum yang tidak berdaya dan bergantung kepada kaum normal. Dengan demikian mengukuhkan wacana ketidaksetaraan pada kaum disabilitas, serta ketidakmampuan dalam menjalani kehidupan dengan membandingkan antara kaum disable dengan kaum normal. ......People with disabilities are often considered as people who do not have the ability to live like non-disabled people, they are also often considered unable to socialize with the wider environment because of their shortcomings. The film La Famille Bélier shows that deaf people can socialize and carry out activities like normal people do, but the dependence of the deaf on normal people in this film makes it seem as if they are powerless, especially in terms of communication. This article aims to see how people with disabilities are represented in films, using qualitative research methods based on Boggs and Petrie's (2008) film study theory, Roland Barthes semiotic analysis, and Stuart Hall's (1997) representation theory. The study found that the deaf characters in this film are still represented as people who are powerless and dependent on normal people. Thus confirming the discourse of inequality in people with disabilities, as well as the inability to live life by comparing disabled people with normal people.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mugiarsih CH., Widodo
Abstrak :
ABSTRAK< b>
Penelitian ini diawali melalui suatu pemikiran penulis dengan ineinperhatikan jenis kelainan anak luar biasa khususnya anak tunarungu. Anak tunarungu mi meiniliki kelainan pendengaran yang harus mendapat pelayanan pendidikan secara khusus di Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu. Anak tunarungu luengalaiui kesulitan dalam berkomunikasi dengan menggunakan tatabahasa yang balk dan benar dilingkungan kaum tunarungu, keluarga maupun masyarakat secara luas. Bagi anak tunarungu yang duduk di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu secara dini perlu inandapat pelayanan pendidikan dengan inenggunakan media koinunikasi

Adapun sebagai sarana untuk berkoinunikasi bagi anak tunarungu adalah menggunakan media komunikasi total dan oral. Media komunikasi total dan oral mi dapat digunakan apabila anak tunarungu dapat mengetahui kosa kata bahasa secara jelas dan konkrit. Maksudnya bahwa perbendaharaan kosa kata yang diiuiliki anak tunarungu iuelalui beberapa pengalaman berbahasa pada masa-masa lalu dengan menunjukan benda gambar tiruan yang akhirnya terjadi proses penainbahan kata-kata. Sebagai upaya untuk meningkatkan perbendaharaan kosa kata pada anak tunarungu sesuai dengan kurikulum di Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu adalah melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang tujuannya antara lain agar anak dapat berbahasa dengan baik dan benar. Keterainpilan berbahasa dalam kurikulum di sekolah biasanya meliputi keterainpilan inenyimak mendengarkan, berbicara, meinbaca dan inenulis.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tiinbul minat untuk mengadakan penelitian tentang kemampuan keterampilan membaca dan menulis permulaan siswa di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu. Penelitian mi bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan membaca dan keterampilan menulis permulaan siswa di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu dengan inenggunakan media komunikasi total dan media koinunikasi oral.

Berdasarkan kajian teori, diajukan 2 hipotesis untuk dibuktikan kebenarannya. Subyek yang diteliti adalah siswa tunarungu di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu yang meiniliki IQ rata-rata normal dan memiliki sisa pendengaran antara 85-90 db keatas (tuli total), di Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Santi Rama I dan II, jalan R.S. Fatinawati, 1]]. Cipete Jakarta Selatan dan Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Karya Mulya I dan II, jalan A. Yani 6-8, Surabaya pada tahun pelajaran 1994 1995.

Analisis data dengan rumus t tes inenunjukan hasil penelitian bahwa keterampilan meinbaca dan inenulis yang menggunakan media komunikasi total dan yang menggunakan media koinunikasi oral secara rinci dapat dikeinukakan sebagai berikut

1. Dengan menggunakan media komunikasi total, hasil keterampilan membaca siswa di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Karya Mulya I dan II Surabaya ternyata tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada siswa di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Santi Rama I dan II Jakarta yang menggunakan media komunikasi oral.

2. Dengan iuenggunakan media komunikasi total hasil keteraiupilan inenulis siswa di kelad I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Karya Mulya I dan II Surabaya ternyata tidak iuenunjukan hasil yang lebih baik dari pada siswa di kelas I Sekolah Luar Biasa bagian tunarungu Santi Rama I dan II Jakarta yang inenggunakan media komunikasi oral.

Berdasarkan hasil temuan seperti tersebut di atas penulis menyarankan agar guru dalain mengajar meiubaca dan menulis perinulaan siswa di kelas I dipilih guru yang senior, sudah berpengalainan dalam menghadapi inasing-inasing individu. Maksudnya pada kelas-kelas rendah tingkat dasar dalam pendekatan terhadap anak inemerlukan ketekunan, ketelatenan dan kesabaran guru.

Guru di kelas I tidak hanya bertugas untuk mengajar, tetapi sekaligus niempunyai peran ganda yaitu bisa sebagai peinbimbing dan yang lebih penting adalah bisa sebagai pengganti orang tua bagi siswa-siswanya. Dengan suasana yang nyaman tidak jauh berbeda situasi di sekolah maupun di rumah, tentunya dengan perasaan yang aman dan menggeinbirakan, sehingga siswa dapat berkomunikasi secara luwes, yang keinungkinan besar dapat menyerap materi pelajaran dengan lancar.

Kemudian bagi siswa yang menggunakan media komunikasi total perlu diperhatikan dalam mengekpresikan komunikasi secara terpadu, misal bukan hanya isyarat yang inenjadi pokok perhatian nainun sekaligus kekompakan baca bibir ucapan lisan yang jelas untuk inengikuti isyarat baku yang dilakukan.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Noor Finda Finari
Abstrak :
Latar belakang. Kecemasan adalah bentuk ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Dianjurkan tindakan yang dilakukan adalah memberikan informasi atau mengedukasi dengan cara yang baik dan menyenangkan. Salah satu bentuk pendekatan melalui gambar yang berkesan positif baik yang statis maupun bergerak.Anak tuna rungu adalah anak yang memilki kelainan pendengaran. Hambatan terbesar adalah kesulitan berkomunikasi, oleh karena itu manajemen kecemasan pada anak tuna rungu membutuhkan komunikasi dan teknik tersendiri Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan tingkat kecemasan pada anak tuna rungu sebelum dan sesudah ditunjukkan gambar statis atau gambar bergerak “berkunjung ke dokter gigi”. Metode Penelitian. Desain penelitian adalah studi eksperimental klinis. Pendekatan yang dilakukan dengan menunjukkan gambar statis dan gambar bergerak. Sebanyak 42 anak tuna rungu, dibagi menjadi 2 kelompok, 1 kelompok diberikan gambar statis dan 1 kelompok diberikan gambar bergerak. Subjek diukur tingkat kecemasannya sebelum dan setelah melihat gambar statis atau gambar bergerak. Pengukuran tingkat kecemasan dihitung dengan Facial Image Scale (FIS) dan Venham Behaviour Scale (VBS). Hasil. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap tingkat kecemasan anak tuna rungu antara sebelum dan sesudah pemberian aplikasi gambar statis dengan VBS (p=0,010) dan tidak bermakna dengan FIS (p=0,310). Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap tingkat kecemasan anak tuna rungu antara sebelum dan sesudah pemberian aplikasi gambar bergerak dengan VBS (p=0,003) dan tidak bermakna dengan FIS (p=0,1000). Kesimpulan. Dapat disimpulkan baik gambar statis maupun gambar bergerak memberikan pengaruh dalam menurunkan tingkat kecemasan anak tuna rungu yang baru pertama kali berkunjung ke dokter gigi. ......Background. Anxiety is relating to a fear of unknown subject. One important technique in alleviating anxiety for patients is delivering patient education in the best way. The alternate way to allevating patient’s anxiety is by giving picture and video based patient education. Deaf children is children with hearing impairment that cause difficulty to communicate. American Association Pediatric Dentristry provides the guidelines that effective communication is essential, and for hearing impared patients, can be accomplished through a variety of methods. Method. The design of this study is clinic experimental study. We show the static picture and the moving picture “Berkunjung ke Dokter Gigi” to 42 deaf children. The anxiety level before and after is measured by using the Facial Image Scale (FIS) and Venham Behaviour Rating Scale (VBS). Result. There are significant differences on level of anxiety before and after by giving static picture measured by using VBS (p=0,010) and not significant defferences measured by using FIS (p=0,310). There are significant differences on level of anxiety before and after by giving moving picture measured by using VBS (p=0,003) and not significant differences measured by using FIS (p=1,000). Conclusion. Static picture and moving picture can reduce the level of anxiety in deaf children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover