Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Walsh, Linda
Abstrak :
A Guide to Eighteenth-Century Art offers an introductory overview of the art, artists and artistic movements of this period, and the social, economic, philosophical and political debates that helped shape them. It uses an innovative framework to highlight the roles of tradition, modernity and hierarchy in the production of artistic works during this influential era. -- The book spans a broad range of topics from the trade and craft of art, the hierarchy of genres and the emerging public for artistic works, through to the relationship of art to wider cultural developments of the Enlightenment, art and morality, and much more. It also explores the relationship between western art and the growth of colonialism. In examining the art of the period, Walsh reflects the latest research and insights from contemporary scholars. Complete with numerous illustrations and supported by online resources, A Guide to Eighteenth-Century Art offers illuminating insights into the dramatic artistic achievements that transpired between the waning days of the baroque and the Age of Revolution
Hoboken, N.J.: John Wiley & Sons, 2017
709.409 WAL g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hammond, Mary
Hants: Ashgate, 2006
028.9 HAM r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kalenuik, Ron
Jakarta: Tira Pustaka, 1995
R 641.5 KAL f
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Marlina
Abstrak :
Perubahan sensitifitas rasa pada perokok di Medan. Lidah memiliki taste buds yang mengandung reseptor yang dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kebiasaan merokok. Tujuan: Menganalisis perbedaan sensitifitas rasa manis dan pahit pada supir becak dengan dan tanpa kebiasaan merokok di wilayah Medan Padang Bulan. Metode: Penelitian ini dimulai dengan memberikan kertas rasa manis dan pahit pada seluruh reseptor rasa di lidah dengan konsentrasi yang meningkat pada 74 subjek. Disain penelitian ini adalah lintas potong pada populasi supir becak di wilayah Medan Padang Bulan. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna terhadap sensitifitas rasa manis antara perokok dan bukan perokok (p<0.005). Terdapat perbedaan bermakna terhadap sensitifitas rasa pahit antara perokok dan bukan perokok (p<0.005). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara sensitifitas rasa manis dan pahit pada populasi perokok. Simpulan: Supir becak tanpa kebiasaan merokok memiliki taste buds yang lebih sensitif terhadap rasa manis dibandingkan perokok. Sensitifitas rasa pahit lebih tinggi di kelompok perokok. Reseptor rasa pada seluruh permukaan lidah dapat mengenali rasa manis dan pahit namun reseptor rasa pada lokasi tertentu lebih sensitif dibandingkan yang lain.
Tongue has taste buds that contain taste receptor which affected by many factors, including smoking habit. Objective: To analyze the differences of sweet and bitter taste sensitivity in the pedicab driver clove cigarette smokers compared to non-smokers in Medan Padang Bulan. Methods: This study was conducted by placing the sweet taste strips and bitter taste strips on four taste receptors of the tongue, with increasing solution concentration in 74 subjects. This was a cross sectional study on pedicab driver population in Medan Padang Bulan. Results: There were differences between clove cigarette smokers and non-smokers on sweet taste examination (p<0.005). There was a difference between clove cigarette smokers and non-smokers on examination bitter taste receptors (p<0.005). On the clove cigarette smokers, there was no significant difference between sweet taste and bitter taste on the receptors itself. Conclusion: Non-smokers are more sensitive to sweet taste than the clove cigarette smokers. Bitter taste sensitivity is greater in cigarettes smokers than in non-smokers. Taste receptors on all location of the tongue could taste sweet and bitter substances, but a certain location of taste receptors were more sensitive compared to others.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adisty Safitri
Abstrak :
Artikel ini membahas fenomena third wave coffee pada kedai kopi di Jakarta. Studi-studi mengenai konsumsi kopi sebelumnya banyak berfokus pada kopi retail second wave coffee dan pengaruh brand terhadap konsumsi kopi para konsumernya. Artikel ini berfokus pada third wave coffee yang ditandai dengan jumlah kedai kopi dan konsumernya. Third wave coffee menjadi kultur kaum muda karena kopi tidak hanya befungsi sebagai komoditas untuk di konsumsi, namun pemahaman akan kopi itu sendiri menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kaum muda sebagai konsumer. Dalam konteks ini, taste dan distingsi menjadi unsur penting dalam konsumsi. Artikel ini melengkapi kajian sebelumnya melalui third wave coffee dan implikasinya bagi kultur kaum muda. Penulis berargumen bahwa taste dan distingsi yang melekat dalam konsumsi third wave coffee berkontribusi tehadap pembentukan kultur kaum muda di Jakarta. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data dari hasil studi literatur, observasi, dan wawancara mendalam pada konsumer, pekerja, dan pemilik kedai kopi third wave coffee. ...... This article discusses the phenomenon of third wave coffee at coffee shop in Jakarta. Previous studies about coffee consumption focused much on retail coffee second wave coffee and brand influence on coffee consumption of its customers. This article focuses on third wave coffee that marked by the number of coffee shops and consumers. Third wave coffee is a youth culture because coffee not only serves as a commodity for consumption, but the understanding of coffee itself becomes an unattached part of young people as consumers. In this context, taste and distinction are important elements of consumption. This article complete the previous study through third wave coffee and its implications for youth culture. Researchers argue that taste and distinction inherent in third wave coffee consumption contribute to the formation of youth culture in Jakarta. This article uses a qualitative method by collecting data from the results of literature studies, observations, and in-depth interviews on consumers, workers, and owners of third wave coffee shops.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Irma F.
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan karena melihat gejala maraknya kehidupan orkestra di Indonesia. Penelitian ini berawal dari pemikiran Pierre Bourdieu mengenai konsepnya habitus, field, kapital, yang pada dasarnya dapat saling ber-interplay, yang kemudian dikembangkan dalam pemikirannya mengenai taste, reproduksi budaya, hingga pada pandangan mengenai produksi budaya, yang didalamnya juga termasuk konsumsi budaya. Untuk melengkapi pemahaman mengenai industri orkestra, maka juga digunakan pandangan Adorno dan Horkheirner mengenai industri budaya, dimana didalamnya juga terdapat pemikiran mengenai komodifikasi budaya. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang berusaha mengungkap struktur yang sebenarnya dengan tujuan membentuk kesadaran sosial agar dapat memperbaiki dan merubah kondisi hidup manusia, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil kasus tiga orkestra yakni Erwin Gutawa Orchestra (EGO), Nusantara Symphony Orchestra (NSO), dan Twilite Orchestra (TO) untuk memberi gambaran mengenai beragam konten atau repertoir yang dimainkan oleh orkestra, dan mendapat data dari para 8 informan yang memberi data beragam mengenai kebijakan orkestra, bagaimana produksi dan konsumsi budaya dari pelaku, konsumen, produser media, hingga pengamat budaya. Hasil pengamatan dan informasi dari para informan menunjukkan besarnya pengaruh habitus tokoh-tokoh di orkestra, sehingga berpengaruh juga dalam field yang memungkinkan mereka untuk bertindak antara lain dalam menentukan arah atau jalur yang diambil orkestra. Hal ini terlihat pada jalur yang berbeda antara EGO yang mengarah pada musik Indonesia, NSO dengan pilihan repertoirnya yang beragam, dan TO dengan pops orchestra-nya. Namun yang sama adalah ketiga orkestra ini berjuang untuk memperoleh kapital, bukan hanya kapital ekonomi, tetapi juga kapital budaya dan kapital sosial / simbolik, untuk memperkuat keberadaan dan kehadiran mereka ditengah masyarakat. Masalah taste mereka juga penting dalam keberadaan orkestra, karena produk budaya merupakan taste yang terbentuk, atau meningkat dari pengalaman, hasrat, hingga akhirnya menjadi sebuah karya atau produk budaya. Hal ini juga terlihat dalam produk budaya ketiga orkestra diatas yang dipengaruhi taste para tokohnya. Namun taste juga bisa dihubungkan dengan struktur kelas orang yang mengkonsumsi budaya. Dengan keempat formasi taste yang disampaikan Bourdieu: legitimate, middlebrow, popular, dan pure aesthetic disposition, tampak bahwa hal ini tidak bisa diterapkan seluruhnya pada masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Barat. Namun dalam pengamatan lebih jauh, formasi ini tampak walau tidak seperti yang disampaikan Bourdieu, yakni legitimate taste berada dalam kelas dominan, yang kaya dalam kapital ekonomi, pendidikan. Sedangkan taste middlebrow dan popular digabungkan karena umumnya kelas pekerja, atau kelas menengah bawah jarang yang mendengar musik klasik. Oleh karena itu kedua taste ini diperuntukkan bagi kelas menengah atas, termasuk pelajar mahasiswa, yang mendengarkan musik klasik termasuk light classic. Sedangkan karya EGO bisa digolongkan dalam pure aesthetic karena usaha artisbknya membebaskan dia dari pakem klasik yang baku, sehingga bebas mencampurkannya dengan unsur seni yang lain seperti band, musik tradisional. Masalah pemain orkestra juga menarik karena masih minimnya jumlah musisi sehingga kebanyakan orkestra menggunakan musisi yang `itu-itu juga'. Faktor tingginya biaya penyelenggaraan sebuah konser, menjadikan harga tiket juga cenderung mahal, sehingga makin menambah kesan konser orkestra yang mahal dan eksklusif. Masalah reprodulsi budaya juga penting bagi kehidupan orkestra, karena berhubungan dengan konsumsi orkestra, baik sebagai musisi, atau hanya sekedar untuk mengapresiasi. Untuk itu diperlukan kapital budaya yang mampu memberi kecukupan untuk menjalani kehidupan di masyarakat sebagai sumber sosial. Selain itu, anggapan bahwa orkestra merupakan sesuatu yang eksklusif, mewah, mendorong banyak konsumen untuk menampilkan orkestra dalam acara/event mereka, untuk mencerminkan eksklusiltas atau kemewahan tersebut. Hal yang lama juga terjadi di televisi yang memproduksi acara dengan menggunakan orkestra atau chamber, baik untuk memenuhi permintaan klien atau untuk menyesuaikan target konsumen yang ingin dituju, sehingga pada akhirnya juga meningkatkan gengsi/image acara atau kliennya. Hal ini membawa pembahasan kepada high culture dan popular culture. Kedua hal ini sebetulnya sangat subyektif. Walaupun di Barat, banyak penampilan orkestra merupakan budaya popular, namun di Indonesia tampaknya musik klasik masih dianggap sebagai budaya tinggi. Namun bagi EGO tampaknya bisa menuju kearah itu karena faktor band atau penyanyi yang diiringinya yang bersifat pop. Ketiga orkestra di atas dalam menjalankan produksinya juga memperhatikan unsur industri budaya. Selain itu ditemukan juga unsur komodifikasi yang mengubah use value menjadi exchange value untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau rnembuat menjadi suatu kebutuhan, sebagai sebuah ilusi. Hasil penelitian diatas memberi beberapa kesimpulan, yakni besarnya pengaruh habitus yang juga ber-interplay dengan field dan kapital dalam produksi dan juga konsumsi budaya. Selain itu, semakin klasik sebuah taste, berarti diperlukan habitus yang kuat dan kapital budaya/ekonomi yang lebih tinggi. Semakin popular sebuah taste, bisa berarti habitus tidak terlalu kuat atau kapital budaya/ekonomi yang lebih rendah, atau keduanya. Kesimpulan lain mengungkapkan bahwa kelas dan struktur sosial juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengkonsumsi budaya, untuk memperkuat perbedaan klasifikasi seseorang. Selain itu, kolaborasi antara produksi dan konsumsi budaya orkestra menghasilkan industri orkestra, karena industri ini banyak berperan dalam produksi budaya yang terkomodifikasi, merasionalisasi teknik distribusi sehingga mencapai sasaran yakni meningkatnya konsumsi budaya akibat pembentukan realitas semu. Implikasi teoritis dalam penelitian ini memperkuat pendapat Bourdieu mengenai peran habitus dalam diri seseorang termasuk pada budaya yang diproduksi dan dikonsumsinya. Penelitian ini juga memunculkan modifikasi dari formasi taste menurut Bourdieu, sehingga yang tampak adalah hanya ada 3 formasi: legitimate taste, middlebrow - popular taste, serta taste pure aesthetic disposition. Selain itu industri orkestra di Indonesia juga sejalan dengan pendapat Adorno dan Horkheimer mengenai industri budaya yang menyediakan sesuatu bagi semua orang sehingga tidak ada yang dapat lobi dari sergapan produksi budaya tersebut. Pada akhirnya hal ini juga menjadi cerminan terjadinya komodifikasi budaya yang merupakan proses mengubah nilai kegunaan sebuah produk (budaya) menjadi nilai pertukaran produk tersebut. Oleh karena itu penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan mengenai peran kelas, taste, dalam industri, produksi, serta konsumsi orkestra di Indonesia, walau tidak bisa digeneralisasi untuk menggambarkan formasi taste masyarakat Indonesia. Implikasi sosial penelitian ini bertujuan memberi kesadaran pada masyarakat bahwa dibalik penyajian orkes, terdapat makna, tujuan yang sarat dengan unsur lain selain budaya, yakni ekonomi, politik, sosial. Oleh karena itu hal ini penting diperhatikan dalam memproduksi budaya dan juga dalam mengkonsumsinya. Implikasi praktis dan rekomendasi penelitian ini diberikan untuk kemajuan industri orkestra di Indonesia serta juga perlunya penelitian lanjutan untuk mendapatkan data lain yang tidak diperoleh melalui penelitian ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Ruth Olivia Laima Natalia Boru
Abstrak :
Fashion telah menjadi sebuah fenomena dimana masyarakat terkalsifikasi berdasarkan selera. Setiap kelas dalm masyarakat memiliki seleranya masing – masing yang dibentuk oleh kompetensi kultural. Perbedaan kompetensi kultural menciptakan perbedaan selera yang hierarkis antara kelas dominan dan kelas terdominasi. Kelas dominan memiliki akses yang lebih baik terhadap fashion dan mampu melegitimasi selera mereka dan menjadi panutan bagi kelas sosial lainnya. Namun, era New Media telah membawa masyarakat memasuki era dengan akses lebih luas terhadap informasi terkait fashion yang mambuat masyarakat dapat memiliki kompetensi kultural untuk dapat memproduksi selera mereka sendiri. Penelitian ini mencoba untuk menemukan bagaimana produksi selera dilakukan di dalam era New Media melalui penggunaan Instagram oleh generasi muda perempuan sebagai kelompok usia yang menjadi agen perubahan di dalam produksi selera melalui fashion. ...... Fashion has been a phenomena where society have been classified by their taste. Each classes of the society has their own taste that shaped by their cultural competence. Different cultural competence hence creating different hierarchy of tastes between The Dominant Class and The Dominated Class. However the Dominant Class has better access to fashion and legitimate their taste and becomes the role model for other social classes. However the age of New Media has brought society to the era of greater access to the information related to fashion which makes society has better cultural competence to produce their own tase. This research is trying to find out how the production of taste occurred in the age of New Media through the use of Instagram by female Youth as group of people who are the game-changer  of the taste  production through fashion.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Naifa Ufaira Polem
Abstrak :
Perkembangan konsep merek pada taraf internasional telah memperkenalkan beragam jenis objek dibawah kategori merek non-konvensional seperti rasa. Skripsi ini selanjutnya akan membahas mengenai perkembangan perlindungan rasa sebagai merek dagang dalam taraf internasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti rumusan permasalahan mengenai topik terkait. Adapun untuk menilai hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini diantaranya adalah perbandingan sistem hukum terkait merek, permasalahan hukum yang ditemukan di lapangan, kasus terkait pendaftaran rasa sebagai merek, serta kelayakan integrasi aspek rasa sebagai unsur merek dagang yang dilindungi. Hasil penelitian ini selanjutnya juga akan menyimpulkan aspek apa saja yang perlu diperhatikan untuk dapat menerapkan perlindungan atas rasa sebagai unsur merek dagang. ......The development of trademark concept in international level has acknowledged several aspects that falls under the category of non-conventional trademark particularly in the form of taste. Specifically, this thesis will discuss the development of taste trademark protection on international level. This research will use normative legal method to seek answers based on presented research questions. For the purpose of this topic, there are several identified problems such as legal system comparison within countries related to trademark protection, challenges faced on implementation, cases related to taste trademark registration, and consideration of taste trademark integration to be a part of protected and acknowledged trademark aspect. Furthermore, there will be conclusion on what aspects of taste that needs to be considered in order to implement protection for this aspect as a trademark.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela
Abstrak :
Pasien kanker kepala leher rentan mengalami malnutrisi akibat penurunan sensitivitas indera pengecap yang sudah terjadi sejak awal diagnosis dan akan diperberat oleh terapi. Seng merupakan salah satu zat gizi yang berperan dalam proses metabolisme utama seperti regulasi siklus sel dan pembelahan sel, sintesis protein dan penyembuhan luka termasuk di antaranya sel-sel taste bud pada indera pengecap. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher sebelum menjalani kemoradiasi. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subyek dewasa dengan kanker kepala leher sebelum kemoradiasi di RSCM. Asupan seng dinilai menggunakan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap dinilai dengan menggunakan 3-stimulus drop technique yang dikembangkan oleh Mossman dan Henkin untuk 4 kualitas rasa (asin, manis, asam, dan pahit). Sebanyak 85 subyek penelitian dengan median usia 54 tahun, mayoritas laki-laki, terdiagnosis kanker nasofaring dengan jenis karsinoma sel skuamosa dan stadium IV. Rerata subyek memiliki status gizi normal, dengan median asupan energi 28 (15-58) kkal/kgBB dan protein 1 (0-3) g/kgBB. Median asupan seng pada subyek sebesar 8 (3-24) gram dengan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap subyek didapatkan paling tinggi berturut-turut adalah untuk rasa asam, pahit, asin, dan manis. Dilakukan uji korelasi antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap. Tidak ditemukan adanya korelasi bermakna antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher praradiasi baik rasa manis (r= -0,170, p= 0,120), asin (r= -0,085, p= 0,442), asam (r= 0,080, p= 0,467), ataupun pahit (r= -0,131, p= 0,233). ......Head and neck cancer patients are susceptible to malnutrition due to decreased taste sensitivity that has occurred since first diagnosed and worsened by therapy. Zinc is a nutrient that plays a role in major metabolic processes such as regulation of the cell cycle dan cell proliferation, protein synthesis and wound healing, including taste bud cells. This study aims to examine the relationship between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before undergoing chemoradiation. The study used a cross-sectional design on adult head and neck cancer subjects who have not been undergone chemoradiation at RSCM. Zinc intake was assessed using a semi-quantitative food frequency questionnaire. Taste sensitivity was assessed using the 3-stimulus drop technique developed by Mossman and Henkin for 4 taste qualities (salty, sweet, sour, and bitter). A total of 85 subjects with a median age of 54 years, most of them are male, diagnosed with nasopharyngeal cancer and already at stage IV. On average, the subjects had normal nutritional status, median energy intake was 28 (15-58) kcal/kgBW and protein 1 (0-3) g/kgBW. The median zinc intake in subjects was 8 (3-24) grams assessed with a semi-quantitative FFQ. The highest taste sensitivity of the subjects was sour, bitter, salty, and sweet, respectively. A correlation test was conducted between zinc intake and taste sensitivity. There was no significant correlation between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before chemoradiation, either sweet (r= -0.170, p= 0.120), salty (r= -0.085, p= 0.442), sour (r= 0.080), p= 0.467), or bitter (r= -0.131, p= 0.233).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Indira Kuswoayuning
Abstrak :
Melalui kemunculan beragam layanan music streaming seperti Apple Music, Spotify, Joox dan semacamnya, masyarakat dimudahkan dalam mengakses musik digital sebab layanan-layanan tersebut menawarkan opsi layanan yang gratis maupun berbayar. Namun, keberadaan layanan music streaming tidak serta merta dapat diakses oleh seluruh masyarakat sebab masih adanya kesenjangan digital yang dialami kelompok-kelompok tertentu. Dalam melihat fenomena konsumsi layanan music streaming, studi-studi sebelumnya banyak memfokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam menggunakan layanan tersebut. Oleh karena itu artikel ini mencoba melengkapi studi-studi sebelumnya dengan membahas dari aspek akses terhadap layanan music streaming dan selera musik kaum muda yang merupakan kelompok paling terpapar oleh teknologi dan internet. Temuan hasil studi ini memperlihatkan bahwa kesenjangan digital dalam akses terhadap layanan music streaming berkontribusi terhadap pembentukan selera musik kaum muda. Artikel ini menggunakan metode kualitatif berupa wawancara mendalam terhadap kaum muda yang merupakan pengguna layanan music streaming dan kaum muda yang tidak pernah menggunakan layanan tersebut. ...... Through the emergence of a variety of streaming music services such as Apple Music, Spotify, Joox and the like, it becomes easier to access digital music as those services offer free and paid service options. However, the presence of music streaming services is not necessarily accessible to the whole community because digital inequality is still being experienced by certain social groups. In looking at the phenomenon of the consumption of music streaming services, previous studies have focused heavily on the factors that influence a person in using the service. This article therefore attempts to complement previous studies by addressing access to music streaming services and musical taste of the youth as the most exposed group to technology and the internet. The result of this study shows that digital inequality in the use of music streaming services contributes to musical taste of the youth. This article uses qualitative methods of in-depth interviews of young people who are users of music streaming services and young people who have never used the service.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>