Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S7162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dega Syamsu Nur Adhiyat
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai rekacipta kesenian Kuntulan di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia, yang dilakukan oleh Kelompok Kesenian Tirto Arum. Pengertian rekacipta yang digunakan merujuk pada Hobsbawn 1987:1 , yakni sebuah upaya untuk memunculkan kembali suatu kesenian dengan wajah dan fungsi yang baru. Gambaran mengenai proses rekacipta yang terjadi pada kesenian Kuntulan di Banyuwangi ini diperoleh dengan menggunakan metode observasi dan wawancara secara mendalam. Proses observasi dilakukan dengan mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Kesenian Kuntulan Tirto Arum dalam kurun waktu enam bulan, sedangkan wawancara secara mendalam dilakukan kepada dua informan kunci dan beberapa informan pendukung. Secara garis besar, proses rekacipta pada kesenian Kuntulan di Banyuwangi dilakukan agar kesenian Kuntulan dapat tetap bertahan dan diterima masyarakat, walaupun proses rekacipta ini ternyata juga mengakibatkan adanya fungsi kesenian Kuntulan yang awalnya digunakan sebagai media dakwah berubah menjadi fungsi hiburan.
ABSTRACT
This study is a qualitative research with ethnography approach that aims to describe about the reinvention of Kuntulan art in Banyuwangi, East Java, Indonesia, spesifically who conducted by Tirto Arum Kuntulan Art Group. The definition used is referred to Hobsbawn 1987 1 , an attempt to bring back an art with a new face and function. The description of Kuntulan art reinvention in Banyuwangi is obtained by using the method of observation and indepth interview. The observation process was done by observing various activities from Tirto Arum Kuntulan Arts Group within six months, while indepth interviews were conducted to two key informants and some supporting informants. In general, this study suggest that the process of Kuntulan art reinvention is done for get the accepted from society, so Kuntulan art can be survive, although the process of this invention of tradition also resulted in a Kuntulan art function that was originally used as a medium of da 39 wah turned into a function of entertainment.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Made Budiana Setiawan
Abstrak :
Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengenai konversi yang pada umumnya terjadi dari penganut agama-agama lokal ke agama-agama Samawi, karena mendapatkan legalitas dari negara. Namun pada komunitas Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung terjadi sebaliknya, berkonversi dari agama-agama Samawi ke ajaran Budaya Tirta. Meskipun demikian, ketentuan pemerintah yang mengharuskan setiap warga negara memeluk salah satu agama resmi menyebabkan komunitas ini memilih Hindu sebagai agama resminya. Sebagian lagi beradhesi, tidak mengubah identitas agamanya, namun tetap menjalankan ajaran dan praktik-praktik peribadatan dari ajaran Budaya Tirta. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, gejala sosial apakah yang dapat diketahui dari komunitas ini? Kedua, mengapa komunitas ini menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu. Ketiga, bagaimana ajaran Budaya Tirta dan agama Hindu saling terkait dalam memberikan fungsi psikologis bagi komunitas paguyuban ini? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ethos (etos) dan world view (pandangan hidup) dari Clifford Geertz, tahap-tahap konversi dari Lewis R. Rambo dan Charles E. Farhadian, dan rekacipta tradisi dari E.J. Hobsbawn dan Terrence O Ranger. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode participation observation (pengamatan terlibat), in-depth interview (wawancara mendalam), dan studi pustaka. Penelitian ini juga merupakan suatu bentuk ottoetnografi karena memakai pengalaman pribadi untuk menjelaskan kasus yang dipelajari oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komunitas ini meskipun memeluk agama-agama Samawi, namun etos dan pandangan hidup dari agama lokal sebelumnya tidak hilang, yang “tersimpan” melalui kearifan lokal dan tradisi-tradisi Kejawen yang masih dilaksanakan oleh mereka. Komunitas ini juga menginterpretasikan ajaran Budaya Tirta sebagai bagian dari agama Hindu karena konsep etos dan pandangan hidupnya sejalan dengan ajaran Hindu. Dalam kaitannya dengan konsep pandangan hidup, pemahaman tentang Tuhan dalam agama Hindu bersifat pantheistik. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai etos merujuk pada sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia yang banyak menyerap unsur-unsur kepercayaan dan tradisi lokal Nusantara. Keterkaitan dengan sejarah perkembangan agama Hindu menyebabkan komunitas ini melakukan rekacipta tradisi keagamaan yang sesuai dengan ajaran Hindu. ......This study starts from questions of conversion, that generally occurs from adherents of local religions to Samawi religions, which is supported by legality of government. But there is an opposite occurs for the community of Paguyuban Perguruan Budaya Tirta Padepokan Segara Gunung, which converting from Samawi religions to the teaching of Budaya Tirta. Nevertheless, the government's regulation that requires every citizen to embrace one of the official religions lead this community chose Hinduism as their official religion. Apart of them chose to adhesion, do not change their religious identity, but practice the teaching of Budaya Tirta worship. This statements raises several questions. First, what social phenomenons that can be seen from this community? Second, why does the community interprets the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism? Third, how the teaching of Budaya Tirta and Hinduism are intertwined in providing psychological function for this community? Theories that are used in this research, i.e.: ethos and world view of Clifford Geertz, conversion phases of Lewis R. Rambo and Charles E. Farhadian, and invented tradition of E .J. Hobsbawm and Terence O. Ranger. This study is a qualitative research. Techniques for data collection through method of observation participation, in-depth interviews, and literature study. This research is an ottoetnography too, because using personal experience of the researcher for explain the cases that studied. The result of this study shows that even the community embraced Samawi religions, but their ethos and worldview of the local religion had not previously lost, but "saved" through local wisdom and Kejawen traditions which are carried out by them. The community also interpret the teachings of Budaya Tirta as part of Hinduism because ethos and worldview of the teaching of Budaya Tirta in line with Hinduism. The linkage to the worldview is understanding of God in Hinduism is pantheistic. The linkage the ethos is refer to the historical of development of Hinduism in Indonesia, which absorb elements of local beliefs and traditions of the archipelago. The linkage to the historical of development of Hinduism lead this community doing invented tradition of religious that in accordance with Hinduism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang globalisasi dan wacana dalam bahasa Inggris berhubungan dengan dampak yang ditimbulkannya secara kultural di Kampung Inggris, Kota Pare, Kabupaten Kediri. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan menjadi fokus utama sorotan analisis tulisan ini. Pembahasan inti dari tulisan ini adalah respon speech community di Kampung Inggris terhadap pembelajaran bahasa Inggris, varian-varian yang muncul dalam proses kontekstualisasi bahasa Inggris, dan proses rekacipta bahasa Inggris sebagai upaya melawan kekuatan hegemonik dari globalisasi untuk menjaga tradisi lokal. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya bisa dilihat sebagai pembelajaran alat komunikasi saja, namun pembelajaran bahasa Inggris juga membawa nilai-nilai kultural atau wacana dari kebudayaan English-speaking countries. Respon terhadap flow of culture ini bermacam-macam. Di Kampung Inggris Pare, bahasa Inggris direkacipta dan dikontekstualisasi agar sesuai dengan nilai-nilai tradisi lokal Jawa santri.
ABSTRACT
This thesis discusses globalization and discourses in English related to its impact culturally in Kampung Inggris, Pare, Kediri. The relationship between language and culture became the main focus of this paper analyzes. The core topics of this paper is a response speech community in Kampung Inggris to learning English, variants that arise in the process of contextualization English, and (re)invention English process as the resistance against the hegemonic power of globalization to maintain local traditions. This research is a qualitative with descriptive analysis. The study states that learning English is not only seen as a means of communication only, but learning English also carry cultural values ​​or cultural discourses of English-speaking countries. The response to the flow of culture is diverse. In Kampung Inggris Pare, English remade and contextualized to fit the values of local Javanese santri tradition.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Indah Sundari
Abstrak :
Artikel ini membahas rekacipta Ketuk Tilu menjadi Jaipongan yang dilakukan oleh Gugum Gumbira. Ketuk Tilu pada mulanya merupakan tarian ritual yang mengalami perubahan fungsi menjadi pertunjukan. Meskipun telah lama hadir dalam kesenian Jawa Barat, Ketuk Tilu kurang diminati dan mulai tergeser keberadaannya oleh kesenian Barat. Gugum Gumbira kemudian menghidupkan kembali kesenian tradisional tersebut agar dapat diminati oleh kaum muda dengan merekacipta menjadi Jaipongan. Sejauh ini penelitian tentang Ketuk Tilu dan Jaipongan lebih ke arah seni pertunjukan. Penelitian ini lebih membahas tentang perubahan dalam proses berkesenian dengan mengangkat tradisi yang hampir punah menjadi kesenian yang diminati masyarakat. Penulisan artikel ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari 4 tahapan yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa Jaipongan merupakan hasil Rekacipta dari Ketuk Tilu. Hal tersebut dibuktikan dengan penamaan Jaipongan diawal kemunculannya dengan nama Ketuk Tilu Perkembangan. Selain itu, pola musik pengiring Jaipongan juga didominasi oleh tepak kendang Ketuk Tilu. Begitu pula dengan gerakan dan busana Jaipongan yang memiliki kemiripan cukup identik dengan Ketuk Tilu. Melalui proses rekacipta, Gugum Gumbira berhasil menjadikan tari tradisi yang hampir punah dan terkesan negatif menjadi tarian pergaulan yang diminati oleh segala kalangan. Meskipun pada awalnya Jaipongan menimbulkan kontra dari masyarakat karena terkesan terlalu erotis, Jaipongan berhasil menjadi sebuah trend di era 1980-an. Bahkan Jaipongan menjadi seni tradisi yang digemari kalangan muda dan simbol karakteristik dari perempuan Sunda masa kini. Sehingga Jaipongan menjadi karya seni yang memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat seperti prinsip yang dikemukakan Gugum Gumbira. ......This article discusses the creation of Ketuk Tilu by Gugum Gumbira in creating Jaipongan. Ketuk Tilu was originally a ritual dance that has shifted its function into a performance. Although it has long been exist in West Javanese art, Ketuk Tilu is less attractive and has begun to be displaced by Western art. Gugum Gumbira then revived the traditional art so that it could attract the youth by creating it into Jaipongan. So far, the research on Tap Tilu and Jaipongan is more towards the performing arts. This study discusses the changes in the artistic process by elevating an almost extinct tradition into an art that is of interest to the public. This article is written using historical method which consists of 4 stages, namely Heuristics, Criticism, Interpretation, and Historiography. This study proves that Jaipongan is the result of the creation of Ketuk Tilu. This is evidenced by the naming of Jaipongan at the beginning of its appearance with the name Ketuk Tilu Developments. In addition, the musical accompaniment of Jaipongan is also dominated by the slap of the drums of Ketuk Tilu. Likewise, Jaipongan's movements and clothing have a fairly identical resemblance to Ketuk Tilu. Through the process of creation, Gugum Gumbira has succeeded in turning a traditional dance that is almost extinct and has a negative impression into a social dance that is in demand by all groups. Although at first Jaipongan caused contra from the public because it seemed too erotic, Jaipongan managed to become a trend in the 1980s. In fact, Jaipongan has become a traditional art favored by young people and a characteristic symbol of today's Sundanese women. So that Jaipongan becomes an artwork that is useful for the community as stated by Gugum Gumbira.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bhremaalya Enzovani Wiratno Putra
Abstrak :
Sejak tahun 1990-an, PT Freeport Indonesia mensponsori festival-festival besar yang bertujuan untuk merevitalisasi dan memberdayakan masyarakat Kamoro, penduduk asli Mimika, Papua Tengah. Festival-festival ini memberikan kesempatan kepada para pemahat Kamoro untuk menjual karya mereka dengan harga yang menguntungkan dan menampilkan budaya mereka kepada khalayak yang lebih luas. Inisiatif ini memicu terjadinya kebangkitan budaya Kamoro yang signifikan, khususnya di kalangan maramowe, sang pengukir Kamoro. Seiring berjalannya waktu, kebangkitan budaya ini berkembang menjadi misi preservasi, pemberdayaan, dan promosi budaya Kamoro yang kini dilakukan oleh Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe di bawah naungan PT Freeport Indonesia. Penelitian ini mengkaji proses kompleks yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif ini, dengan fokus pada fenomena komodifikasi budaya dan rekacipta tradisi. Selain itu, tulisan ini juga memberikan wawasan mengenai perkembangan ini dari sudut pandang masyarakat Kamoro sendiri. ......Since the 1990s, PT Freeport Indonesia has sponsored major festivals aimed at revitalizing and empowering the Kamoro people, the indigenous people of Mimika, Central Papua. These festivals give Kamoro carvers the opportunity to sell their work at profitable prices and showcase their culture to a wider audience. This initiative sparked a significant cultural revival, especially among Maramowe, the Kamoro carvers. Over time, this cultural revival developed into a mission to preserve, empower and promote Kamoro culture which is now carried out by the Maramowe Weaiku Kamorowe Foundation under the auspices of PT Freeport Indonesia. This research examines the complex processes involved in these initiatives, focusing on the phenomena of cultural commodification and the reinvention of tradition. In addition, this paper also provides insight into these developments from the perspective of the Kamoro people themselves.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Eka Yulian
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas proses kebangkitan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Menggunakan pendekatan penelitian etnografi. Secara mendalam melihat bagaimana prosesnya, siapa yang membangkitkan, apa tujuannya dan apa implikasinya. Proses kebangkitan itu kemudian dilukiskan sebagai Re-Invensi Kesultanan yang didalamnya terdapat rekacipta tradisi. Dalam upaya membangkitkan kesultanan, terdapat kepentingan politik dari aktor di luar kesultanan yang bertemu dengan kepentingan kesultanan. Pasca kebangkitan kesultanan, lembaga-lembaga adat di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten ikut dibangkitkan. Selain itu juga muncul klaim-klaim tanah adat dengan mengatasnamakan tanah hibah sultan baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
ABSTRACT
This thesis describes the revival process of Kutai Kartanegara Ing Martadipura Sultanate. Using ethnographic research approach, this thesis provides an in-depth explanation about the rise-up process, who revived the Sultanate, what is the goal, and what are the implications. The process of revival was later described as a re-invention of the Sultanate in which there is a rekacipta of tradition. In order to revive the Sultanate, there are political interests from outside actors that would meet the interests within the Sultanate itself. After the revival, traditional institutions in the village, kecamatan, and kabupaten are also resurrected along with the Sultanate. There are also claims over the customary lands on behalf of the Sultan’s grant, coming from either individuals or groups.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kumoratih
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas dinamika relasi dan kontestasi antara masyarakat, korporasi dan negara, dalam upayanya meredefinisi identitas ke-Indonesia-an dan merekonstruksi sejarah nasional melalui rekacipta tradisi. Studi ini bertujuan untuk menguraikan proses interaksi yang terjadi di balik rekonstruksi sejarah jalur perdagangan rempah Indonesia dikenal dengan sebutan Jalur Rempah oleh para aktornya baik secara teoritik maupun empirik. Melalui penelitian ini, penulis ingin memperlihatkan bahwa proses rekonstruksi sejarah nasional tidak selalu merupakan inisiasi para elit politik maupun negara sebagai pemegang otoritas tertinggi. Dalam kajian ini penulis melakukan penelitian dengan metode komparasi, pengamatan langsung, pengamatan-terlibat participant-observation , wawancara mendalam in-depth interview , analisis deskriptif dan reflektif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa, 1 demokratisasi menjadi ruang negosiasi bagi kontestasi gagasan dari masyarakat, korporasi dan negara karena adanya kesetaraan dalam otoritas dan legitimasi; 2 relatifitas mekanisme legitimasi sebagai akibat dari relasi sejajar dan ketiadaan otoritas dominan; 3 adanya siklus legitimasi dua arah bolak-balik sebagai konsekuensi dari demokratisasi; dan 4 terjadi pemaknaan bebas atas ideologi yang berorientasi pada pasar. Sebagai kesimpulan, proses rekacipta tradisi dalam rekonstruksi naratif kultural-historis yang terlepas sama sekali dari intervensi otoritas dominan menimbulkan pemaknaan baru yang mereduksi ideologi politis menjadi sangat berorientasi pasar.
ABSTRACT
This study discusses the dynamics of relations and contestation between society, corporations and the state, in its attempt to redefine Indonesian identity and to reconstruct national history through the invention of tradition. This study aims to describe the process of interaction that occurs behind the reconstruction of the history of spice route in Indonesia by its actors, both theoretically and empirically. Through this research, I would like to show that the process of reconstruction of national history is not always inititated by political and state elites as the highest authority. I conducted this research through comparative methods, direct observation, participant observation, in depth interview, descriptive and reflective analysis. Based on the research conducted, I have discovered that, 1 democratization became a sphere where negotiation of contesting ideas of society, corporations, and the state, took place due to equality in authority and legitimacy 2 the relativity of legitimacy mechanisms as a result of parallel relations and the absence of dominant authority 3 a two way cycle of legitimacy as a consequence of democratization and 4 free interpretation of market oriented ideology. In conclusion, the process of re invention of tradition within cultural historical narrative reconstruction that is completely disconnected from the dominant authority 39 s intervention leads to a new meaning that reduces the political ideology to become highly market oriented.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T47726
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Roswita
Abstrak :
Skripsi ini mengkaji tentang rekacipta dan komodifikasi tradisi Buka Palang Pintu sebagai tradisi asli Betawi. Ada dua komponen kesenian Betawi yang wajib ditampilkan pada setiap pelaksanaan tradisi ini, yaitu pencak silat dan sike. Tradisi Buka Palang Pintu awalnya merupakan tradisi upacara yang kental akan unsur religi dan hanya dilaksanakan pada resepsi pernikahan orang Betawi. Sosok jawara sebagai penjaga kampung berperan penting sebagai pelakon dalam tradisi. Seiring perubahan zaman, tradisi Buka Palang Pintu kini bertransformasi sebagai tradisi komoditas yang juga dilaksanakan pada acara-acara di luar pernikahan. Pelakon tradisi bukan lagi jawara kampung, melainkan para seniman Palang Pintu yang merupakan anggota sanggar Betawi. Perubahan tersebut tidak lepas kaitannya dari peran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, LKB, dan sanggar Betawi sebagai agen-agen rekacipta. Komodifikasi tradisi Buka Palang Pintu yang dilakukan oleh para agen rekacipta memiliki ‘nilai jual’ yang berpeluang dalam rangka mencapai tujuan ekonomi. Tujuan tersebut sekaligus membuat eksistensi tradisi Buka Palang Pintu lebih bertahan karena mampu mendatangkan keuntungan finansial kepada sejumlah pihak dengan kemasan yang lebih menghibur. ...... This undergraduate thesis examines the re-invention and co-modification of Buka Palang Pintu tradition as the original tradition of Betawi. There are two elements of Betawi's art that have to be presented in every implementation of this tradition, they are Pencak Silat and Sike. Buka Palang Pintu tradition originally is a ritual tradition that is rich of religious elements, which used to only be implemented at wedding ceremonies of Betawi people. The Jawara as the guardian of the village has important role as the actor in this tradition. As the time goes by, the Buka Palang Pintu tradition now has transformed into commodities of tradition which is also be presented in any events beside the wedding ceremony. The actor of the tradition is not the warrior of the village anymore, but the artist of Palang Pintu that are the members of Betawi's art studio. This change is also related to the role of the government of Jakarta, LKB, and Betawi's art studio as the agents of reinvention. The co-modification of Buka Palang Pintu tradition that is presented by the agents has a 'selling-value' that will be able to attain the economic goal. That goal also makes the existence of Buka Palang Pintu tradition last, because it can gain the financial income to several agents with a more entertaining package.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46469
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library