Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1987
S26102
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wang, Faye Fangfei
New York: informa law from Routledge, 2018
347.090 285 WAN o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Moehammad Rizky Pratama
Abstrak :
Berbicara mengenai masalah hubungan industrial selalu saja tidak pernah ada habisnya. Konflik antara Pengusaha dengan Buruh selalu saja timbul. Dalam perkembangan saat ini, hubungan antara pengusaha dan buruh berangsur mulai sejajar. Dampaknya pihak Pengusaha tidak dapat bertindak semena-mena terhadap buruh yang dipekerjakannya. Termasuk untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pihak Buruh melakukan suatu kesalahan berat. Langkah awal yang dilakukan pihak Pengusaha ialah dengan mengeluarkan surat skorsing terhadap pihak Buruh yang diduga melakukan kesalahan berat. Pada kenyataannya, dikeluarkannva surat skorsing seringkali malah dijadikan pihak Buruh sebagai alat bukti untuk melaporkan pihak Pengusaha kepada pihak Kepolisian yang telah melakukan tindak pidana ?enghinaan. Hal tersebut tentu saja sangat menyulitkan bagi pihak Pengusaha. Di satu sisi, pihak Pengusaha (dengan jalan mengeluarkan surat skorsing) ingin secepat mungkin agar pihak Buruh yang melakukan kesalahan berat tadi segera 'diamankan' dari tempat kerja guna menghindari kerugian yang lebih besar. Namun di sisi lain bila surat skorsing tetap dikeluarkan, maka akan terjadi semacam serangan balik dari pihak Buruh dengan memperrnasalahkan substansi dari surat skorsing tersebut yang sering diartikan bertentangan dengan Asas Praduga Tak Bersalah. Hal semacam ini tentunya akan memperuncing masalah. Pihak Pengusaha akan merasa dipojokkan akibat laporan yang terkesan berat sebelah. Menilik kepada kondisi yang dihadapi oleh pihak Pengusaha sehubungan dengan kenyataan yang diuraikan diatas, maka dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pihak Pengusaha dalarn melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pihak Buruh yang diduga melakukan kesalahan berat, tentunya dengan tetap menjunjung Asas Praduga Tidak Bersalah. Selain itu pe_masa]ahan yang ingin diajukan dalam penelitian ini adalah, bagaimana pihak Pengusaha menyikani setiap la:_,eran dari pihak Buruh kepada pihak penyidik Kepolisisan yang dimana sebenarnya laporan tersebut cenderung diurnikan sebagai media untuk mendongkrak posisi tawar (bargaining position) pihak Buruh yang sedang dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja(PHK) oleh pihak Pengusaha. Dalam rangka mencari jawaban atas pertanyaan diatas, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yuridis normatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh jawaban, bahwa langkah yang dilakukan pihak Pengusaha dengan mengeluarkan surat skorsing kepada pihak Buruh yang diduga melakukan kesalahan berat adalah sudah tepat. Surat skorsing tersebut pada intinya berisikan hal yang menyatakan bahwa pihak Buruh yang bersangkutan dinonaktifkan dari aktivitas pekerjaannya sehari-hari di lingkungan Perusahaan tempat ia bekerja. Satu hal yang perlu diingat dan diper.hatikan adalah mengenai redaksi dan substansi dari surat skorsing tersebut, yang mana harus tetap menjunjung tinggi Asas Praduga Tidak Bersalah. Bila isi surat skorsing tersebut dianggap pihak Buruh tidak menjunjung tinggi Asas Praduga tidak Bersalah serta cenderung menyudutkannya, bukan tidak mungkin surat skorsing tersebut malah dijadikan alat oleh pihak Buruh untuk mengadukan juga pihak Pengusaha ke pihak berwajib, yakni Kepolisian. Hal ini dimungkinkan, karena dalam Undang-undana Nomor 2 Tabun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dikatakan bahwa balk pihak Buruh maupun pihak Majikan sama-sama mempunyai hak untuk nvenempur upaya hukum atas setiap perbuataa mereka yang dianggap mempunyai aspek pidana. Di sisi lain, kedua belah pihak juga mempunyai kemungkinan untuk dikenakan pidana dalam hal mereka melakukan pelanggaran sesusai peraturan perundarig-undangan yang berlaku pada masing-masinc pihak. Tujuan laporan dari pihak Buruh yakni untuk mendongkrak posisi tawar (bargaining position) mereka, sehingga semakin mempersulit pihak Pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Selanjutnya untuk menyikapi setiap laporan dari pihak Buruh kepada pihak Kepolisian, pihak Pengusaha sebagai terlapor harus mengur«pulkan bukti-bukti yang terkait dengan dugaan pihak Buruh telah melakukan kesalahan berat. Guna menghindari kemungkinan untuk menderita kerugian dalam iumlah yang lebih besar lagi, maka tindakan skorsing terhadap pihak Buruh yang diduga melakukan kesalahan berat tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Lebih lanjur mengenai penyelesaiannya, para pihak dapat meminta pihak Kepolisian untuk menjembatani perselisihan yang terjadi di antara kedua belah pihak yang berselisih.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oyong Darwan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risely Augustina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S25347
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Abid Ulil Albab AF
Abstrak :
Abstrak
Semula pilkada masuk dalam rezim pemerintah otonomi daerah, sehingga penyelesaian sengketa pilkada berada pada kewenangan Mahkamah Agung. Kemudian para pembuat undang-undang memasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu dan membentuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 236C UU tersebut menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pilkada dialihkan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Pada 19 Mei 2014 MK mengabulkan pengujian Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 terkait kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada, sebab MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Dalam hukum Islam ketika terjadi pemilihan kepala daerah yang kemudian menimbulkan perselisihan tentang siapa calon pemimpin yang sah dan lebih berhak menerima baiat, maka harus dibuktikan melalui pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti. Untuk itu, maka harus diketahui terlebih dahulu tentang siapa yang paling berwenang untuk mengadili persoalan tersebut, apakah MA atau MK
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yudith Sarah Veronica
Abstrak :
Pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia pada awal tahun 2020. Jakarta sebagai ibukota Indonesia mengalami dampak paling besar akibat dilaksanakannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai respon pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus. Pengurangan kegiatan sampai dengan penutupan fasilitas di berbagai bidang usaha mengakibatkan banyaknya perusahaan dan pekerja yang terdampak sehingga terjadi kasus perselisihan PHK dan perselisihan hak. Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta sebagai instansi pemerintah daerah DKI Jakarta di bidang ketenagakerjaan memiliki kewajiban dalam memantau dan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terjadi di DKI Jakarta, dengan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai dasar pelaksanannya. Skripsi ini menganalisis mengenai bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial di DKI Jakarta pada masa pandemi Covid-19 dilakukan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan data primer diperoleh dari wawancara mendalam dengan narasumber-narasumber terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta melakukan berbagai upaya untuk memperlancar penyelesaian perselisihan pada masa pandemi ini yang kasusnya berbeda dari perselisihan pada umumnya, mediasi menjadi pilihan terbaik dengan diutamakannya musyawarah. Namun, masih ditemui kendala dalam proses penyelesaian perselisihan, baik dari segi pihak yang berselisih maupun dari ketersediaan mediator. ......The Covid-19 pandemic began to hit Indonesia in early 2020. Jakarta as the capital of Indonesia experienced the greatest impact due to the implementation of Large-Scale Social Restrictions (PSBB) as the government's response to reducing the spread of the virus, stopping activities to closing facilities in various business fields resulting in the loss affecting companies and workers, resulting in cases of dismissal disputes and disputes over rights. The Department of Manpower, Transmigration and Energy of DKI Jakarta Province as the DKI Jakarta regional government agency in the manpower sector has the obligation to carry out and resolve industrial relations disputes that occur in DKI Jakarta, with Undang-Undang No.2 of 2004 concerning the Settlement of Industrial Relations Disputes as basic implementation. This thesis analyzes this regarding the settlement of industrial relations disputes in DKI Jakarta during the Covid-19 pandemic. This research used a qualitative approach, with primary data obtained from in-depth interviews with related sources. The results showed that the Department of Manpower Transmigration and Energy of DKI Jakarta Province made various efforts to facilitate the settlement of disputes where dispute cases were unique than the norm during this pandemic, mediation became the best option with a civilized discussion as the priority. However, they were still found in the dispute resolution process, both from the disputing parties and from the mediator.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahat
Abstrak :
Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, negara-negara sedang berkembang memerlukan modal, keahlian dan teknologi dari negara-negara maju. Kebutuhan akan modal baik modal asing maupun modal dalam negeri bagi negara yang melakukan pembangunan memang tidak dapat dihindari. Sejak krisis tahun 1998, investasi jatuh, yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi hanya 3,5% - 4 % per tahun. Sebelum krisis pertumbuhan ekonomi berkisar antara 7 % - 8 % per tahun. Sebagai akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan angka pengangguran yang cukup memprihatinkan. Untuk mengatasi tingkat pengangguran yang memprihatinkan tersebut, pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya dapat ditempuh dengan cara meningkatkan investasi, untuk itu diperlukan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi. Salah satu faktor penghambat investasi adalah sektor ketenagakerjaan, khususnya pelaksanaan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha yang dapat mempengaruhi investasi seperti mogok kerja dan perselisihan hubungan industrial. Timbulnya mogok kerja adalah sebagai akibat institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang diatur melalui UU No. 22 Tahun 1957 dan UU Na 12 Tahun 1964 tidak efektif memberikan penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil dan murah oleh karena untuk mendapatkan penyelesaian perselisihan dibutuhkan waktu 2 tahun 3 bulan atau bahkan lebih. Berdasarkan kondisi tersebut, baru-baru ini pemerintah telah mengundangkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang mulai berlaku pada bulan Januari 2005. Untuk mengetahui dampak Undang-Undang tersebut terhadap iklim investasi, secara substansi Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan lebih ekonomis dan tidak berbelit-belit serta mengutamakan penyelesaian di luar pengadilan melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase dan membatasi perselisihan yang dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan melalui konsiliasi mediasi atau arbitrase pada dasarnya dilakukan berdasarkan win-win solution sehingga dapat mendorong timbulnya kerja sama saling membutuhkan antara pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang pada gilirannya dapat tercipta iklim investasi yang kondusif sebagai basis persaingan internasional di masa mendatang.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia D. Soebrata
Abstrak :
Perselingkuhan, yang merupakan suatu hubungan antara suami/isteri dengan orang ketiga dalam perkawinan, merupakan suatu ancaman besar perkawinan. Kehadiran orang ketiga dalam perkawinan pada umumnya akan menimbulkan percekcokan yang terus menerus dalam rumah tangga, hingga akhirnya salah satu pihak mengajukan permohonan cerai berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, yaitu antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Hal ini tidak menjadi masalah bila suami dan isteri sama-sama ingin bercerai. Dalam hal perceraian ini diajukan oleh pasangan yang berselingkuh, apakah pasangan tersebut dapat menggunakan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975, sebagai alasan cerai, dan bila si suami/isteri ingin mempertahankan keutuhan perkawinannya, bagaimana hukum melindungi suami/isteri tersebut. Selain itu kehadiran orang ketiga seringkali menyebabkan keselamatan harta bersama menjadi terancam, karena biasanya ada bagian harta bersama yang teralihkan kepada orang ketiga. Lembaga sita marital merupakan suatu lembaga yang bertujuan untuk menyelamatkan harta bersama. Tetapi apakah lembaga sita marital dapat menyelamatkan harta bersama yang telah dialihkan kepada orang ketiga. Dengan menggunakan metodologi penelitian hukum normatif yang melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam penulisan ini didapatkanlah kesimpulan bahwa SEMA No. 3 Tahun 1981 dapat melindungi suami/isteri dari gugatan cerai pasangannya yang berselingkuh, akan tetapi dengan tidak diikutinya oleh hakim ketentuan-ketentuan SEMA tersebut, menjadikan suami/isteri yang ingin mempertahankan perkawinannya menjadi tidak terlindungi lagi, sehingga Pasal 19 huruf (f) PP No.9 Tahun 1975 dapat digunakan oleh pasangan yang berselingkuh sebagai alasan cerai. Dengan ditingkatkannya SEMA No. 3 Tahun 1981 menjadi peraturan yang lebih tinggi tingkatnya, diharapkan ketentuanketentuan SEMA tersebut menjadi wajib diikuti oleh hakim. Dan agar lembaga sita marital dapat digunakan untuk menyelamatkan harta bersama yang telah dialihkan kepada orang ketiga, diperlukan suatu pembuktian bahwa harta orang ketiga tersebut berasal dari harta bersama. ......Adultery, which is a sexual unfaithful relationship between a married man or woman and another woman or man in the marriage, will become a big disaster of their marriage. In general, the presence of the other person either man or woman in the marriage will cause continuous conflicts in the family, which is at the end, one of them will propose a divorcement appeal according to Art. 19 Letter (f) Government Regulation Nr. 9 Year 1975, that between husband and wife who keep having conflicts and quarrels and there will be no hope to be harmonious in their own marriage. This will be no problem when each of them will divorce. In the case that the divorcement proposed by the adulterer or adulteress, can he or she use Art. 19 Letter (f) Government Regulation Nr. 9 Year 1975 as a reason to divorce, and when the husband or wife will keep their marriage up, how will the law protect them? Besides that, the presence of the other man or woman often causes the safety of their matrimonial joint property and wealth are threatened, because it's usually some of their matrimonial joint property and wealth are shifted or change positioned to the other man or woman. The objective of the marital confiscation institution is to secure the matrimonial joint property and wealth. But the problem is if the marital confiscation institution can safe or secure the matrimonial joint property and wealth which have been shifted or change positioned to the other man or woman. By using the standard norm law research method which make a research in primary law material and secondary law material, which is in this process of writing, concluded that SEMA Nr. 3 Year 1981 can protect husband or wife from the adulteress or adulterer's divorcement suit, but if the judge is not accordance with the SEMA, the husband or wife who will keep their marriage up will be not more under protection, with the result that Art. 19 Letter (f) Government Regulation Nr. 9 Year 1975 can be used by the adulterer or adulteress as a reason to get divorce. By promoting the SEMA Nr. 3 Year 1981 as a higher level regulation, hopes that the stipulations stated in the SEMA have to be submissive and followed by the judge. In order that the marital confiscation institution is used and proposed to safe and to secure the matrimonial joint property and wealth which have been shifted or change positioned to the other man or woman, it needs evidence that the property and wealth owned by the other man or woman are originated or provided from the matrimonial joint property and wealth.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37389
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>